Hujan Somasi

M. Said Budairy

Mon, 6 January 2003

JERAT hukum sedang berputar melingkar-lingkar di atas sejumlah media. Tidak kurang dari The Washington Post, majalah Time, Jawa Pos, Rakyat Merdeka, Surabaya Pos dan Bali Pos, sedang berurusan dengan datangnya somasi.

JERAT hukum sedang berputar melingkar-lingkar di atas sejumlah media. Tidak kurang dari The Washington Post, majalah Time, Jawa Pos, Rakyat Merdeka, Surabaya Pos dan Bali Pos, sedang berurusan dengan datangnya somasi. Sedangkan The Sydney Morning Herald berada dalam incaran.

Fenomina itu agaknya merupakan ekses dari kegiatan pers menangani krisis. Ada yang berkaitan dengan pemberitaan mengenai jaringan terorisme internasional, peledakan bom Bali, penyergapan bus pegawai di Timika, atau keterkaitan dengan Jamaah Islamiah. Pada kesibukan menangani krisis, pers berkecendrungan lebih mengutamakan penyajian berita secara cepat dari pada berita yang akurat. Cenderung membesar-besarkan. Akibatnya bisa membingungkan dan bisa pula menabrak sana-sini berakhir menghasilkan delik pers. Tapi perlu sabar, jika berlanjut ke pengadilan, akan menjadi jelas pemberitaan pers yang benar ataukah yang menuntut.

Pada kolom ini edisi Oktober 2002 saya menunjuk satu kasus berita bersumber “bekas pejabat intelijen” yang ternyata tidak benar. Berita yang menyebutkan Wakil Presiden RI mengusulkan agar kepala Badan Intelijen Nasional diganti, dibantah oleh yang bersangkutan. Peristiwa dalam sidang kabinet yang diberitakan Koran Tempo itu disiarkan tanpa lebih dulu melakukan cek ulang.. Kasus ini berhenti sebatas disiarkannya berita bantahan pada penerbitan berikutnya.

Kejadian yang tidak selesai hanya dengan “cover both side” justru menimpa media luar negeri. The Washington Post edisi 3 November 2002 menyiarkan laporan berjudul “Indonesia Military Allegedly Talked of Targeting Mine.” Penulis laporannya Ellen Nakashima dan Alan Sipress.

Dalam laporan itu antara lain disebutkan, bahwa pejabat senior militer Indonesia membahas suatu rencana operasi terhadap Freeport McMoRan Copper & Gold Inc. sebelum serangan di Timika pada 31 Augustus 2002 itu terjadi. Sumber informasinya intelijen.

Dalam laporan itu disebutkan, diskusi perencanaan melibatkan pejabat tinggi militer Indonesia, termasuk Panglima TNI Endriartono Sutarto. Perencanaan mengarah untuk mengambing hitamkan kelompok sparatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Intelijen mendasarkan informasinya dari keterangan seorang pemantau yang diyakini banyak tahu perbincangan kalangan tinggi militer. Informasi itu dinyatakan sebagai “sangat dapat dipercaya.” Kebenarannya didukung oleh hasil pelacakan percakapan para individu itu. Pelacakan dilakukan Amerika Serikat dibantu Australia.

Dalam laporan itu dikutip juga pernyataan Kepala Pusat Penerangan TNI Major Jenderal Syafrie Syamsuddin, yang menyatakan tidak pernah ada pembicaraan di antara perwira tinggi menyangkut operasi penyerangan Freeport. Dia bilang, Endriartono adalah seorang perwira yang berdisiplin yang tak mungkin melibatkan diri dalam pelanggaran aturan dan disiplin ketat Tentara Nasional Indonesia. Syamsuddin juga menyatakan, para perwira tinggi tidak menangani masalah teknis seperti perencanaan suatu penyerangan atau penyergapan. Ditambahkannya, penyerangan terhadap pegawai Freeport sebagai cara mendiskreditkan OPM tidaklah logis. “Mungkin malah bertujuan mendiskreditkan TNI”, ujar Syamsuddin.

Kendati laporan The Washington Post itu menyiarkan bantahan Syafrie Syamsuddin dan beberapa keterangan Indriartono, tapi laporannya secara lebih rinci lagi dilanjutkan dengan informasi peran FBI, brieving yang diberikan badan intelijen itu kepada Departemen Luar Negeri AS. Bahkan menonjol pula komentar Deputi Sekretaris Pertahanan AS Paul D. Wolvowitz.

Begitu rinci, meluas dan terkesan ada usaha meyakinkan kebenaran laporan itu beserta kemungkinan dampaknya atas hubungan Indonesia/TNI dengan Amerika Serikat, bantahan Syafrie Syamsuddin maupun keterangan Indriartono Sutarto tenggelam tak menimbulkan kesan berarti dalam mengimbangi laporan Washington Post itu. Dalam kasus seperti ini karena sumber berita anonim, tanggung jawab berada pada The Washington Post.

SEPULUH hari setelah beredarnya laporan The Washington Post edisi 3 November 2002, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto didampingi dua pengacaranya dalam konferensi pers khusus tentang kasus tersebut mengumumkan bahwa TNI memutuskan melakukan perlawanan melalui jalur hukum untuk meminta pertanggungjawaban hukum dari The Washington Post. Juga hadir pada kesempatan itu antara lain Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Djamari Chaniago, Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) Marsekal Madya Ian Santoso, dan Inspektur Jenderal (Irjen) TNI Laksamana Madya Stanny Fofied. TNI melayangkan surat somasi kepada The Washington Post. Jika somasi itu tidak ditanggapi, TNI akan mengajukan gugatan melalui pengadilan.

Dalam surat somasi TNI menuntut The Washington Post menyampaikan permintaan maaf secara terbuka (public apology) sekaligus mengakui kekeliruan atas pemberitaannya.. Bila The Washington Post tidak memenuhi tuntutan dalam somasi itu akan ada tuntutan ganti rugi berupa uang sebesar 1 milyar dollar AS.

Pemberitaan The Washington Post yang dipersoalkan TNI adalah artikel yang pada intinya menggambarkan seakan-akan telah terjadi diskusi atau pembicaraan antara para pejabat tinggi TNI, termasuk Panglima TNI, untuk melakukan operasi terhadap Freeport Mc MoRan Copper&Gold Inc sebelum terjadi insiden Timika, 31 Agustus 2002, yang menewaskan dua warga Amerika Serikat dan seorang warga Indonesia.

Panglima TNI secara tegas menyatakan, artikel yang dimuat oleh The Washington Post tidak benar, karena tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu pembicaraan di mana TNI merencanakan suatu aksi terhadap Freeport hanya untuk mendiskreditkan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebagaimana dituduhkan dalam artikel tersebut. Ia juga mengaku telah mengonfirmasikan isi artikel tersebut kepada pejabat negara AS dan Australia, yang dikutip sebagai sumber berita. "Dalam pertemuan 7 November lalu, Duta Besar AS di Jakarta Ralph L Boyce dan Duta Besar Francis X Taylor dari Deplu AS membantah dan merasa sangat kecewa atas pemberitaan pada artikel tersebut. Sedangkan Menteri Pertahanan Australia Senator Hill dalam hearing dengan parlemen Australia pada 11 November lalu menyatakan penyesalannya atas artikel tersebut.

Endriartono menambahkan bahwa keputusan untuk menggugat The Washington Post bukan untuk membatasi kebebasan pers atau untuk menghambat proses demokratisasi. Gugatan itu justru untuk memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi bekerja dan bergeraknya proses hukum. "Itulah sebabnya, kami ingin memberikan keyakinan dan kepastian bahwa penghargaan dan penghormatan TNI terhadap kebebasan pers dan dunia pers itu sendiri sama sekali tidak akan berubah dengan proses hukum yang akan kami tempuh," paparnya.

THE Washington Post menolak tuntutan TNI. Untuk memulihkan nama baik, martabat, dan kehormatan TNI rincian tuntutan kepada The Washington Post adalah agar suratkabar itu membuat surat permintaan maaf secara resmi kepada Panglima TNI, memasang iklan pernyataan ralat berita dan permohonan maaf yang dimuat dalam lima surat kabar berperedaran luas di Amerika Serikat dan lima surat kabar di Indonesia, serta di surat kabar yang mengutip pemberitaan The Washington Post. The Washington Post juga dituntut untuk memuat pernyataan maaf di dalam media pelayanan informasi elektronika yang dikelola suratkabar tersebut.

Kuasa Hukum The Washington Post Mulya Lubis dalam jumpa pers di Jakarta tak dapat menerima tuntutan itu dengan menyatakan siap berdialog untuk mencari formula penyelesaian sebaik mungkin.

Lubis menilai, tuntutan Panglima TNI itu terlalu berlebihan dan kontradiktif dengan pernyataan TNI sebelumnya yang akan menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan pers. Menurutnya, permintaan itu akan menimbulkan preseden yang tidak baik dan mematikan kemajuan dan perkembangan kebebasan dan kemerdekaan pers yang profesional dan bertanggung jawab serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari mana pun.

Lubis membantah bahwa berita yang ditulis Mr. Alan Sipress dan Ms. Ellen Nakashima merupakan fitnah dan dimaksudkan untuk mencemarkan dan merugikan nama baik TNI. Washington Post telah melakukan fungsi dan peranannya secara profesional dengan membuat dan menyajikan pemberitaan yang berimbang sesuai peraturan perundang-undangan dan kode etik jurnalistik yang berlaku universal.

Menanggapi jawaban itu pengacara TNI menyatakan, yang dipersoalkan bukan soal cover both side. Tapi Washington Post telah melansir berita yang tidak benar. Berita yang tidak benar dan sudah dibantah tetap dimuat tanpa sebuah penelitian terlebih dahulu. Penyiapan gugatan terus dilakukan, tapi tetap terbuka untuk negosiasi.

Perkembangan terakhir dari pertemuan kedua pihak melalu para pengacaranya, The Washington tetap menolak somasi dan menawarkan penggunaan hak jawab (koreksi) kepada TNI . Tulisan itu bisa dibuat sendiri oleh TNI secara lengkap untuk menjelaskan mengenai cara pandang TNI terhadap kasus Timika. Bisa juga dalam bentuk berita wawancara oleh The Washington Pos.

KASUS lain menyangkut majalah Time. Abu Bakar Bashir melaporkan majalah tersebut ke Markas Besar Polri Oktober lalu. Bashir menilai Time telah menyiarkan kabar bohong dengan menyebutnya sebagai anggota jaringan teroris internasional. Selain majalahnya, Bashir juga melaporkan wartawan yang menulis beritanya, Jason Tedjasukmana. Kelanjutannya belum diketahui, sementara Bashirnya ditahan oleh Polisi.

Habis lebaran ini giliran 4 suratkabar Indonesia disomasi oleh Dan Sesko Mabes TNI, Letjen Djadja Suparman. Ke empat media itu Surabaya Pos, Jawa Pos, Rakyat Merdeka dan Bali Pos. Pasalnya, Djadja Suparman menganggap ke empat koran itu menyiarkan berita tidak benar tentang dirinya, tanpa ada cek dan pengecekan ulang. Pemberitaan itu dinilai mencemarkan nama baiknya dan cendrung melibatkan dirinya dengan persitiwa bom Bali. Proses sedang terus berlanjut.

Adapun The Sydney Morning Herald (SMH) edisi online menyiarkan berita berjudul ”Link Between Indonesian Military and JI”. Sumbernya Internasional Crisis Group (ICG), sebuah jaringan organisasi yang berkantor di Brussel, Belgia. Menurut SMH, Teungku Fauzi Harbi, figur yang diasosiasikan dekat dengan Jemaah Islamiah, sering melakukan kontak dengan Mayor Jenderal Syafrie Syamsuddin. ICG merekomendasikan agar dilakukan investigasi lebih lanjut terhadap kasus itu untuk mengetahui seberapa jauh TNI mengetahui keberadaan JI sebelum peledakan bom Bali.

Tentu saja Syafrie “tersengat” oleh pemberitaan sepotong itu dan Sydney Jone, Direktur CGI Indonesia serta merta membantah berita tersebut. “Kami tidak pernah bilang Syafrie Syamsuddin atau TNI terlibat Jamaah Islamiah”, ujarnya. Syafrie masih akan mempelajari lebih jauh penjelasan ICG lebih lanjut sebelum mengambil sikap terhadap pemberitaan yang dirasakannya miring itu.

BERAGAM kasus yang dihadapi media berkaitan dengan pemberitaan yang mereka buat itu, agaknya bisa tidak akan terjadi jika kode etik wartawan dan aturan yang dipegangi Pantau dipraktekkan. Aturan itu antara lain, syarat sebuah laporan yang tak bisa ditawar adalah laporan itu harus benar. Kebenaran bukan dalam pengertian filosofis. Tapi kebenaran fungsional.

Kebenaran bisa tercapai bila kita menjalankan prosedur pengumpulan informasi dengan baik. Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Metodenya macam-macam. Standarnya juga banyak antara lain akurasi, proporsi, komprehensi, relevansi, fairness, berimbang, dan sebagainya.

Akurat dalam arti semua informasi yang disuguhkan tak kurang, tak berlebihan, dengan sumber-sumber yang jelas, nama lengkap, angka, waktu, jarak, ukuran, tempat, dan sebagainya. Kontekstual dalam arti laporannya proporsional. Mungkin suatu fakta benar tapi secara kontekstual salah.

Terutama bagi para jurnalis dari negeri Paman Sam, agaknya tak perlu diingatkan bahwa ada Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang dalam buku mereka “The Elements of Journalism” memberi lima nasihat praktis untuk wartawan. Kelima nasehat itu ialah: jangan menambah atau mengarang apapun; jangan menipu atau menyesatkan pembaca; bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase; jujur dalam menjelaskan semua hal yang relevan untuk diketahui pembaca, termasuk kalau ada hubungan Anda dengan orang-orang dalam reportase Anda atau hubungan Anda dengan masalah yang dibahas; bersandarlah pada reportase Anda sendiri, lakukan sendiri wawancara, meneliti dokumen, dan tak mewawancarai pihak-pihak ketiga yang tak melihat sendiri proses di mana isu yang Anda bahas berlangsung dan bersikaplah rendah hati. Wallahu a’lam.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy