Baku Hantam UU Penyiaran

Agus Sudibyo

Mon, 6 January 2003

EKO Patrio dan Ulfa Dwiyanti berpolah jenaka. Tiap subuh selama Ramadan lalu kedua pelawak ini, lewat layar SCTV, menggoda pemirsa yang sedang sahur. Ada yang tak lazim

EKO Patrio dan Ulfa Dwiyanti berpolah jenaka. Tiap subuh selama Ramadan lalu kedua pelawak ini, lewat layar SCTV, menggoda pemirsa yang sedang sahur. Ada yang tak lazim Senin 25 November lalu. Di tengah acara, Eko Patrio membacakan short message service (sms) dari SCTV. "Teman-teman artis diundang untuk demo pagi ini, pakai baju hitam-hitam, menentang pengesahan RUU Penyiaran," kata Eko.

Cengar-cengir itu tampaknya kena sasaran. Lima jam sesudahnya, gedung parlemen di kawasan Senayan, Jakarta, dipenuhi sekitar 500 demonstran berpakaian hitam-hitam. Kebanyakan para pekerja penyiaran dari 10 televisi swasta yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Komunitas Televisi Indonesia (Kom TV), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Beberapa pelawak, antara lain Gogon dan Tarzan Srimulat, juga hadir. Tujuannya, mencegah pengesahan RUU Penyiaran.

Inilah babak final tarik ulur RUU Penyiaran. Senin itu lebih dari 60 mobil, dengan logo dari RCTI hingga SCTV, berjejer parkir di depan gedung parlemen.

Untuk pertama kali sejak menggelundungnya Presiden Soeharto Mei 1998, sebuah demonstrasi bisa dilakukan sampai ke depan ruang sidang paripurna DPR. Mengapa protes baru dilakukan pada detik-detik terakhir?

"ATVSI sudah memberi masukan-masukan jauh-jauh hari. Kita pakai cara-cara sopan, tidak seperti yang dilakukan MPPI (Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia) di Bogor. Kita temui pimpinan fraksi secara resmi. Namun ternyata kita ditelikung pada saat-saat terakhir. Masukan kita tidak dipakai sama sekali," kata juru bicara ATVSI, Uni Z. Lubis, dari TV7.

Keberatan utama ATVSI adalah RUU Penyiaran mengharuskan televisi swasta nasional berjaringan dengan televisi swasta lokal. Keharusan ini dinilai memberatkan televisi swasta Jakarta yang mengeluarkan miliaran rupiah untuk membangun transmisi di daerah-daerah. ATVSI juga menentang Komisi Penyiaran Indonesia karena wewenangnya terlalu besar termasuk dalam mencabut izin siaran dan menyusun code of conduct.

Lubis mengatakan, "Perumusan RUU Penyiaran dikuasai beberapa gelintir orang seperti Djoko Susilo, Paulus Widiyanto, Effendy Choirie, dan Bambang Sadono. Mereka ini jalan sendiri dengan sentimen tertentu terhadap televisi swasta."

Djoko Susilo mengatakan, "Harus dicatat, kesalahan ATVSI adalah merasa cukup jika sudah menemui ketua-ketua fraksi. Padahal yang lebih berperan adalah anggota-anggota fraksi yang telah ditunjuk menjadi anggota Komisi I dan Pansus (Panitia Khusus) RUU Penyiaran."

Komentar agak janggal datang dari ketua Kom-TV Gilang Iskandar. Kepada radio Elshinta FM, Iskandar mengatakan, "Dulu ketika DPR menurunkan Gus Dur, mereka butuh kami. Kami bantu mereka. Kok sekarang kami orang TV disakiti. Kami sebenarnya dulu yang banyak menyuarakan mereka yang di DPR."

Tak semua demonstran pagi itu selaras dengan sikap ATVSI dan Kom-TV.

"IJTI hanya menolak beberapa pasal saja. Kami sepakat kepemilikan media diatur lagi. Namun karena demonstrasi dilakukan bersama-sama, suara IJTI tenggelam," kata Syaefurrahman al-Banjary, sekretaris jenderal IJTI.

Aksi itu disiapkan dengan rapi. Namanya juga wartawan. Mereka punya hubungan ke mana-mana. ATVSI, Kom TV, dan IJTI melakukan konsolidasi sejak Jumat malam. "Sabtu malam, ATVSI mengundang unsur-unsur fraksi besar DPR ke Hotel Hilton Jakarta. Di sinilah lobi intensif dilakukan. Saya diundang, tapi tak sempat datang," kata Hinca Panjaitan, mantan ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia.

Lobi berhasil. Rapat Senin itu tak memenuhi kuorum. RUU Penyiaran ditunda pengesahannya. Dari 496 anggota parlemen, hanya 216 orang yang hadir. "Bagaimana mungkin quorum, wong anggota DPR sudah kita telepon satu-satu untuk tidak hadir," kata Gilang Iskandar.

Lubis memakai taktik yang digunakan MPPI pada rapat Bogor akhir Agustus lalu: lobi dan sms. Minggu malam, beberapa anggota parlemen mendapatkan pesan, "Pak, permintaan sos dr 10 tv swasta, bsk, rapat paripurna DPR, tlg anggota PDIP tdk usah hadir. Spy tidak kuorum. Ini sgt serius, Pak. Kami menolak ruu itu. Tks." Ada juga sms, "TK udah telp aku. Dia janji 40 org PDIP tdk hadir. Tlg dong PDIP lain yg geng Anda jgn hadir. Tks."

TK adalah Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri, yang juga anggota parlemen berpengaruh. Pesan-pesan ini membuat rapat gagal. Senin siang diadakan rapat antarpemimpin fraksi.

Pada forum inilah, para anggota panitia khusus RUU Penyiaran memprotes wakil ketua DPR A.M. Fatwa, yang dinilai terburu-buru menyatakan sidang tak kuorum, karena jika ditunggu setengah jam saja, kemungkinan kuorum terpenuhi. Mereka juga mempersoalkan mengapa demonstran dibiarkan hingga di depan pintu masuk ruang sidang.

"Saya minta maaf. Saya tadi pagi terpengaruh pemberitaan Media Indonesia yang begitu meyakinkan menolak RUU Penyiaran. Apalagi demonstran begitu banyak," kata Fatwa.

Kecaman terhadap kinerja DPR datang dari berbagai pihak. "DPR tidak punya good will untuk menyelesaikan tugasnya membahas RUU Penyiaran," kata Dadan Sanusi dari Jaringan Radio Komunitas Jawa Barat.

Kritik pun datang dari dalam. "Inilah kondisi DPR kita. Para anggota dewan malas untuk mengikuti sidang-sidang, tapi tetap mau tanda tangan untuk mengambil honor," kata Djoko Susilo dari Fraksi Reformasi.

Wacana bahwa media bias juga muncul. Bukan saja terhadap Media Indonesia, yang satu perusahaan dengan Metro TV, tapi juga harian Kompas yang seatap dengan TV7. Editorial Kompas 26 November 2002 menegaskan, "Saran kita, tangguhkan pengesahan RUU Penyiaran. Bicarakan lagi secara kritis dan komprehensif. Jika DPR ternyata mengesahkan juga RUU Penyiaran, pemerintah agar menangguhkan menandatanganinya sehingga UU belum berlaku dan ada kesempatan untuk revisi."

Rabu ATVSI menemui ketua MPR Amien Rais. Hasilnya, televisi-televisi swasta memberitakan pernyataan Amien Rais, "Malam nanti sehabis tarawih saya akan mengumpulkan anggota Fraksi Reformasi yang berkompeten untuk diskusi. Jika ternyata RUU Penyiaran masih banyak kelemahan, ya kita pikirkan penundaannya." Hari Kamis Kompas menampilkan berita berjudul, "Amien Rais: Tunda Rancangan Undang-Undang Penyiaran."

Tapi politik tampaknya tak sederhana. Kamis ada sidang paripurna lagi. Aksi ATVSI mencapai puncaknya. Aksi ini lagi-lagi diikuti praktisi penyiaran dari 10 televisi swasta di Indonesia. Sebuah TV-Poll bertajuk "Radio dan TV Berduka" dilakukan TPI, Anteve, dan RCTI selama setengah jam. Metro TV, Indosiar, dan lainnya melaporkan demonstrasi secara periodik antara pukul 10.00-11.00.

Televisi swasta mempertontonkan adegan yang akan dicatat dalam sejarah media Indonesia. Mereka kompak demonstrasi sambil bekerja. Reporter RCTI mewawancarai Metro TV, reporter Metro TV mewawancarai SCTV, reporter SCTV mewawancarai Trans TV, dan seterusnya.

Prinsip liputan berimbang, apalagi verifikasi, diabaikan. Semua narasumber berasal dari kubu yang menolak RUU Penyiaran padahal pada saat yang sama, Jaringan Radio Komunitas-salah satu pendukung RUU Penyiaran-juga melakukan demonstrasi di Senayan.

Mengapa mereka tak diliput? Sebuah pertanyaan yang serius. Televisi swasta telah mengesampingkan prosedur liputan yang benar. Mereka menggunakan frekuensi publik untuk melegitimasi kepentingan dirinya sendiri dan mendelegitimasi kepentingan pihak lain. Waktu setengah jam bukan durasi pendek, apalagi siaran langsung.

"Terus terang dalam hal ini kita memang agak berlebihan," kata Ishadi S.K. dari Trans TV dan salah satu tokoh ATVSI.

Ketua IJTI Ray Wijaya juga mengakui terjadinya pelanggaran prinsip-prinsip jurnalisme. "Itu bukan berita namanya, itu kampanye orang televisi. Namun harus dipahami bahwa saat itu kalangan televisi memang dalam kondisi frustasi dan emosional karena semua jalan sudah buntu untuk memperjuangkan aspirasi televisi swasta. Kami sudah mengingatkan agar teman-teman hati-hati. Namun TV Poll itu diputuskan pada tingkat top manajer sehingga divisi pemberitaan tidak bisa berbuat apa-apa."

Menarik menyimak kisah Henry Subiakto, dosen ilmu komunikasi Universitas Airlangga Surabaya. Dia mulanya mendapat kabar dari koleganya, Kacung Marijan, ia akan diwawancarai SCTV. Tak lama kemudian reporter SCTV menanyakan pendapat Henry soal RUU Penyiaran. "Saya jawab bahwa saya mendukung RUU Penyiaran disahkan. Entah mengapa, mereka kemudian sama sekali tidak menghubungi saya lagi," katanya.

"Frekuensi itu ranah publik, dan televisi swasta nyata-nyata menggunakannya selama setengah jam untuk mempropagandakan kepentingan mereka sendiri. Ini tidak adil, ini membohongi publik," kata Kabul Budiono, kepala divisi pemberitaan RRI.

Sesungguhnya, bukan hanya kalangan televisi swasta yang menolak pengesahan RUU Penyiaran. Aliansi Jurnalis Independen dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia juga melakukan hal sama dengan alasan berbeda.

Aliansi Jurnalis Independen mempersoalkan banyaknya pasal karet yang mengancam kebebasan pers. PRSSNI mempersoalkan pasal-pasal tentang lembaga penyiaran publik yang dirasa tak adil bagi radio swasta. Namun sikap kedua organisasi itu tak begitu bergema karena tak diikuti dengan kampanye politik yang dilakukan ATVSI.

Dukungan terhadap RUU Penyiaran datang dari Kelompok Kerja Rasuna Said (Kreasi)-terdiri dari Jaringan Radio Komunitas Indonesia, Indonesian Media Law and Policy Centre, Komseni, Institut Studi Arus Informasi, Yayasan Sains Estetika dan Teknologi, Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, dan Yayasan Tifa. Mereka membuat pernyataan bersama mendukung RUU Penyiaran.

Baku hantam politik ini menurun setelah parlemen setuju mengesahkan RUU Penyiara, Kamis pukul 15.00. Interupsi dari Enggelina Pattiasina (F-PDIP) dan Alvin Lie (F-Reformasi) tak berhasil menghentikan pengesahan itu.

Meski demikian, bukan berarti pengesahan itu merupakan akhir eposide. Aksi black-out televisi swasta telah menunggu. "Ide ini sudah ada dalam pikiran kami. Namun perlu diperhitungkan lagi agar tidak merugikan para pengiklan," kata Lubis.

"Kalau saya memilih menggunakan jalur Mahkamah Agung untuk menggugat UU Penyiaran," kata Ishadi S.K.

"UU Penyiaran yang baru bertentangan dengan konstitusi. Kami akan menggunakan jalur Mahkamah Konstitusi untuk memperbaikinya," kata Leo Batubara dari MPPI.

Apa kata anggota DPR? "Sebaiknya, yang tak puas dengan UU Penyiaran berjuang di tingkat KPI dan penyusunan Peraturan Pelaksana KPI. Ini jauh lebih realistis," kata Djoko Susilo.

Perjalanan UU Penyiaran tak lepas dari polemik. Maklum banyak pihak berkepentingan. Apakah ini yang namanya demokrasi? *

kembali keatas

by:Agus Sudibyo