BERITA penangkapan Amrozi, salah satu tersangka peledakan Bali, ternyata jadi arena media adu kekuatan. Atmakusumah Astraatmadja dari Dewan Pers mengatakan ada dua pilihan media untuk memberitakan para pelaku terorisme di Bali. Pertama melakukan “investigasi” sendiri untuk menemukan pelaku. Kedua menjalin hubungan dengan polisi. Penangkapan Amrozi, orang yang disangka polisi membeli materi bom serta mengantarkannya ke Bali dari Jawa Timur, membuktikan media yang dekat dan menjalin hubungan dengan polisi, jadi media yang paling cepat melaporkan seluk-beluk penangkapan dan pemeriksaan rombongan Amrozi.

Penangkapan Amrozi berlangsung sekitar pukul 8:30 Selasa 5 November 2002. Polisi merahasiakan operasi itu. Penangkapan dipimpin Brigadir Jenderal Gories Mere di sebuah desa kecil Jawa Timur, bernama Tenggulun di kecamatan Solokuro, sekitar 30 kilometer utara Lamongan. Polisi menyita telepon genggam dan belasan buku-buku agama. Amrozi dibawa ke Surabaya dan langsung diterbangkan ke Bali.

Mulanya tak ada media yang menduga kalau salah satu orang yang diduga pelaku terorisme Bali berada di Lamongan. Polisi berhati-hati menangani penangkapan ini. Sehari setelah Amrozi ditangkap, wakil kepala Badan Penerangan Markas Besar Kepolisian Indonesia, Brigadir Jenderal Edward Aritonang, mengelak pertanyaan wartawan kalau ada tersangka yang ditangkap. Aritonang hanya mengatakan ada “calon tersangka” walau hari itu SCTV dan harian Surya sudah memberitakannya.

Keterangan resmi baru disampaikan Jumat 8 November 2002 oleh kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Da’i Bachtiar. Usai mengikuti sidang kabinet di Sekretariat Negara –kemungkinan sesudah dia memberitahu Presiden Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden Hamzah Haz, dan rekan-rekannya dalam kabinet—Da’i Bachtiar mengumumkan bahwa polisi telah menangkap Amrozi.

Harian Surya terbitan Surabaya adalah suratkabar pertama yang melaporkan penangkapan itu. Bagaimana Surya bisa bekerja cepat? Febby Mahendra, redaktur pelaksana Surya, mengatakan ia sudah curiga kalau akan ada peristiwa penting di Jawa Timur setelah polisi mengumumkan pada 30 Oktober tiga sketsa wajah dan logat Jawa Timuran tersangka pengeboman Bali. “Saat itu kita langsung memberitahu biro di Lamongan, Malang, Jember, Madura, Kediri, Nganjuk dan daerah-daerah yang kemungkinan menjadi asal tersangka agar terus siap dan mengikuti perkembangan, ” katanya.

Sketsa itu dibuat polisi berdasarkan wawancara mereka terhadap saksi-saksi di lapangan. Sketsa pertama menunjukkan wajah seorang pria, diperkirakan berusia 27 tahun, mata hitam, kulit sawo matang, rahang tajam, tulang pipi menonjol dan berbahasa Indonesia dengan logat Jawa Timur. Sketsa kedua diduga pria berusia 20 tahun, tinggi 170 sentimeter, dan bobot diperkirakan 60 kilogram. Sketsa ketiga berupa pria berusia 30-an tahun, tinggi 160-165 centimeter, tubuh tegak, rambut tipis lurus dan panjang.

Dugaan pelaku ada di Jawa Timur, menurut Febby Mahendra, makin diperkuat dengan kedatangan tim polisi dari Bali dan markas besar kepolisian dari Jakarta. Kepolisian Jawa Timur sendiri membentuk tiga tim khusus. Pada Senin 4 November 2002, wartawan Surya yang biasa bekerja di markas polisi Jawa Timur di Surabaya, mendapat informasi kalau sebuah tim polisi akan pergi ke Lamongan untuk menangkap tersangka Bali.

Keesokan harinya, Selasa 5 November, Febby Mahendra mengontak Teguh Budi Utomo, reporter Surya di Tuban –kota yang bertetangga dengan Lamongan—untuk melakukan liputan penangkapan itu. Teguh bergerak cepat menuju Lamongan. Selasa malam, lebih dari 12 jam sesudah Amrozi ditangkap, Teguh jadi wartawan pertama yang masuk Tenggulun dan mendapatkan informasi awal kasus Amrozi. Surya memenangkan kompetisi kecepatan keesokan harinya ketika ia terbit dengan laporan Teguh soal Amrozi.

Kalau Surya menang di media cetak, media elektronik pemenangnya SCTV. Makroen Sanjaya, kepala liputan program berita Liputan 6 SCTV, mengatakan bahwa dia mendengar penangkapan Amrozi pada Selasa sore. Makroen mendapatkan informasi ini dari “seorang polisi.”

Polisi itu memberitahu Makroen bahwa pelaku yang ditangkap adalah warga “kecamatan Solokuro, Lamongan.” Ada nama sebuah pondok pesantren yang disebut-sebut sebagai “al Islam” dan terkait dengan tempat penangkapan Amrozi. Makroen dan Karni Ilyas, direktur pemberitaan SCTV, percaya pada informasi polisi itu. Maka pukul 22.00 SCTV memberitakan dalam “Liputan 6 Terkini” bahwa seseorang yang diduga pelaku ledakan Bali telah ditangkap di Jawa Timur. Tayangan itu tanpa gambar, hanya berupa info grafis.

Surya dan SCTV mengendus penangkapan Amrozi pada hari ia ditangkap dan memberitakannya lebih dulu dari keterangan Jenderal Da’i Bachtiar. Keputusan ini sebenarnya sebuah pilihan redaksional yang punya resiko mengingat polisi sudah beberapa kali salah tangkap semenjak pengumuman sketsa wajah. Dalam jurnalisme, pilihan redaksional yang terbukti benar akan membantu publik mengetahui informasi terkini dengan akurat sekaligus memperkuat reputasi media bersangkutan. Tapi pilihan yang salah akan menimbulkan kebingungan bagi pembaca atau pemirsa sekaligus mengurangi reputasi dan kredibilitas media bersangkutan.

SCTV merasa keputusan itu tepat. Mereka memutuskan mengejarnya. Makroen Sanjaya kebetulan berasal dari Lamongan. Ia bertanya ke teman-teman lamanya di Lamongan, apakah mereka mendengar kabar penangkapan tersangka pengeboman Bali di Solokuro. Mereka tak tahu tapi Makroen mendapat informasi kalau di Solokuro memang ada pondok pesantren bernama al Islam. Pukul 23.00 atau satu jam sesudah breaking news SCTV, Makroen Sanjaya baru mendapat informasi spesifik tentang desa Tenggulun.

Ketika kamerawan SCTV Muhammad Kodhim datang ke sana, di Tenggulun sudah tengah malam. Tapi suasana desa itu masih ramai karena warga ribut membicarakan penangkapan Amrozi pagi hari dan penggeledahan pondok pesantren al Islam siang harinya. Warga melakukan ronda. Para santri pondok pesantren al Islam, di mana Amrozi sering berkunjung, juga berjaga-jaga. Mohammad Kodhim mengambil gambar pesantren. Tindakannya sempat membuat gusar santri-santri. Tapi keadaan jadi lebih tenang setelah Kodhim menjelaskan kalau ia hanya mengambil gambar suasana pesantren.

Drama penangkapan Amrozi disiarkan SCTV keesokan harinya pukul 12.00. Karni Ilyas melaporkan langsung penangkapan itu dari Surabaya. Ini agak jarang untuk organisasi berita sebesar SCTV menugaskan orang nomor satunya turun sendiri ke lapangan. Terlepas dari penampilan Karni yang agak kaku di depan kamera –mungkin karena dia lebih banyak bekerja sebagai wartawan cetak ketimbang televisi—tapi keterangan Karni cukup jelas. Dia mengatakan sebelum penangkapan, polisi selama dua hari telah mengintai kediaman Amrozi dan pondok pesantren al Islam. Penangkapan dipimpin langsung Gories Mere. SCTV menyebut pelaku yang ditangkap itu bernama “Amrozis” (seharusnya Amrozi).

Karni melaporkan bahwa Amrozi sudah mengaku terlibat pengeboman Sari Club dan Paddy’s Café di Bali. Amrozi juga mengaku pernah berada di Thailand dan Malaysia serta kenal dengan Abubakar Ba’asyir dari pondok pesantren al Mukmin di Ngruki, Surakarta.

Ba’asyir seorang warganegara Indonesia yang dituduh Singapura, Malaysia, Filipina, maupun Amerika Serikat sebagai pemimpin “organisasi teroris” Jamaah Islamiyah. Kini Ba’asyir berada dalam tahanan polisi di Jakarta dengan tuduhan terlibat pengeboman malam Natal 2000 serta usaha pembunuhan Megawati Soekarnoputri pada pertengahan 2001. Ba’asyir mengatakan tak kenal dengan Amrozi.

Ironisnya, kecepatan SCTV menciptakan gosip di kalangan wartawan Surabaya bahwa itu semua berkat kedekatan Karni Ilyas dengan Gories Mere. Karni berkarir sebagai wartawan sejak awal 1970-an di harian Suara Karya. Dia pindah ke majalah Tempo sebelum jadi pemimpin redaksi majalah Forum Keadilan –dwimingguan ini diterbitkan sebagai kerja sama Tempo dan sebuah yayasan milik Kejaksaan Agung. Dari sana Karni pindah ke SCTV sebagai direktur pemberitaan. Kenalannya banyak terdapat di kalangan perwira militer dan polisi.

Gories Mere sendiri telah lama kenal Karni. Mere berasal dari Pulau Flores bagian timur. Dia pernah jadi wakil kepala polisi Nusa Tenggara Timur juga kepala reserse kepolisian Jakarta. Mere suka publikasi. Dia pernah menangani beberapa kasus yang kontroversial, antara lain kasus Zarima, seorang artis yang terlibat distribusi obat terlarang, maupun pembunuhan seorang gadis Indonesia keturunan Tionghoa di Jakarta –ketika sedang marak isu pemerkosaan gadis-gadis Tionghoa saat kerusuhan Mei 1998.

Gosip di Surabaya ini bisa jadi hanya bumbu persaingan wartawan Jawa Timur. Karni sendiri berkomentar singkat, “Apa yang aneh? Wartawan memang harus dekat dengan narasumber termasuk polisi.”

KEPUTUSAN Surya dan SCTV untuk membesarkan berita Amrozi terbukti tepat. Desa Tenggulun membuat banyak media, dari Surabaya hingga Jakarta, dari New York hingga Hongkong, memusatkan perhatian mereka ke sana. Mereka menyusul liputan berita itu.

Ivan Haris Prikurnia dari RCTI menerangkan keterlambatan RCTI terjadi karena SCTV “lebih dekat dengan sumber-sumber kepolisian.” Hersubeno Arief dari Metro TV menjelaskan saat itu Metro TV konsentrasi liputan di Bali, “Metro TV menerjunkan satu mobil satelit, satu kamerawan dan dua reporter dari Surabaya dan Jakarta.”

Jawa Pos, suratkabar terbesar di Jawa Timur, segera mengejar Surya. Menurut Arief Afandi, pemimpin redaksi Jawa Pos, ia mengandalkan wartawan-wartawan Radar Lamongan, anak perusahaan Kelompok Jawa Pos, untuk meliput kasus Amrozi. Ternyata Radar Lamongan belum biasa bekerja dengan kompetisi tingkat nasional. Arief memutuskan mengirim tiga wartawan dari Surabaya ke Lamongan: Sholahuddin, Imron R. Fahmi dan Beki Subeki.

Di Surabaya, liputan diperkuat oleh empat orang wartawan di bawah tanggung jawab redaktur halaman satu Solihin, yang kebetulan pernah praktek mengajar di SMA Negeri Paciran –tak jauh dari Tenggulun. Solihin bertanya ke teman-teman lamanya, yang kebetulan kenal Amrozi. “Dari mereka saya tahu, kalau Amrozi itu suka nongkrong di warung sate Cak Mujib. Dari Cak Mujib saya dapat informasi siapa saja yang sering ditemui oleh Amrozi,“ kata Solihin.

Pada edisi 7 November, Jawa Pos melaporkan penangkapan Amrozi hampir satu halaman penuh, mulai dari kronologi penangkapan sampai kondisi Amrozi dan desa Tenggulun. Persaingan ketat antara Surya dengan Jawa Pos jadi lebih seru. Mereka berlomba mendapatkan informasi mengenai keluarga dan kehidupan Amrozi.

Jawa Pos menurunkan feature tentang tamu-tamu Amrozi yang sering diajaknya makan sate di tempat Cak Mujib. Amrozi sering mengajak ustadz Muhammad Zakaria dari pondok pesantren al Islam makan sate di sana maupun “orang-orang asing” yang berbahasa Inggris. Amrozi tampaknya bangga dianggap punya teman-teman orang asing dan bisa berbahasa Inggris pula. Jawa Pos juga mewawancarai pengusaha penukaran uang (money changer) yang biasa meladeni Amrozi menukar uang dollar Singapura, ringgit Malaysia, maupun dollar Amerika. Amrozi juga dilaporkan pernah menukar US$1,000 ke rupiah. Kawin-cerai, saudara kandung plus saudara tiri, maupun kepergian Amrozi ke Malaysia juga tak lepas dari Jawa Pos.

Persaingan Surya dan Jawa Pos punya sisi yang tak enak. Ketika Teguh Budi Utomo dari Surya menemui keluarga Amrozi, ia mendapat tiga foto keluarga. Foto pertama memperlihatkan Amrozi berjenggot dan bersarung sedang bermain dengan anaknya. Foto ini belakangan Gatra, The Jakarta Post, dan Forum Keadilan.

Foto kedua, Amrozi memakai kopiah putih, sedang menggendong anaknya. Foto ini misalnya dipakai Tempo. Foto ketiga, Amrozi berpose bersama dua saudara kandungnya: Ali Imron dan Mohamad Ghufron alias Mukhlas. Mereka bertiga tengah berpose memakai kopiah. Foto ini jadi penting setelah Ali Imron, yang dituduh polisi ikut membantu terorisme Bali dan memiliki senjata otomatis M-16, tiba-tiba raib dari Tenggulun. Mukhlas dilaporkan berada di Malaysia dan disebut sebagai orang penting Jamaah Islamiah. Majalah Time memakai foto ini dalam kulit muka edisi 25 November. Time menyebut tiga bersaudara ini punya ikatan kuat dan Mukhlas yang mendorong adik-adiknya ikut kegiatan terorisme. Time menyebut mereka dengan istilah: Blood Brothers.

Sehari setelah Surya mendapatkan foto Amrozi, AFP minta foto itu. AFP menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia. Menurut Febby Mahendra dalam sebuah wawancara November lalu, “Surya sampai sekarang belum mendapat imbalan dari AFP.“ Tapi distribusi AFP ini membuat foto-foto Surya dicetak di banyak tempat.

Kalau Surya mendapatkan foto lama, Jawa Pos mendapatkan foto baru Amrozi. Dalam foto ini, Amrozi tampak lebih gemuk, tak berkumis, dan berjenggot. Amrozi juga tampak lebih mirip dengan salah seorang dalam sketsa polisi. Jawa Pos mendapatkan foto itu dari petugas bagian identifikasi kepolisian Lamongan.

“Bagian urusan identifikasi selalu punya dokumentasi penangkapan tersangka kasus tertentu. Saat penangkapan Amrozi, unit ini merekam menggunakan handycam. Hasil rekaman itu yang di-print. Saya mendapatkan itu dari seseorang di bagian urusan identifikasi,” kata Sholahuddin dari Jawa Pos.

Jawa Pos mewawancarai santri al Islam dan tetangga Amrozi. Reporter Jawa Pos membawa foto Surya itu dan memperlihatkan ke orang-orang yang diwawancarai. Menurut laporan Jawa Pos, Amrozi tak pernah memelihara jenggot, sehingga foto itu pasti bukan Amrozi –bisa jadi saudaranya.

“Saya berani mengatakan kalau foto Jawa Pos yang benar. Kita sudah cek ke tetangga bahkan ke mantan isteri kedua Amrozi, Astuti. Mereka bilang foto laki-laki berjenggot dengan anaknya itu bukan Amrozi. Saya sudah jejerkan foto Jawa Pos dan Surya dan memperlihatkan ke penduduk Tenggulun, mereka bilang foto Jawa Pos yang benar,” kata Solihin.

Astuti adalah warga desa Pelirangan, Solokuro, yang dinikahi Amrozi 1990. Tapi sejak 1991 Astuti ditinggal Amrozi ke Malaysia. Astuti mengatakan Amrozi tak pernah berjenggot. Mereka bercerai 1993 tanpa anak. Jawa Pos mengandalkan keterangan Astuti untuk menyatakan foto Surya salah.

Amrozi baru diperlihatkan di depan wartawan saat bertemu dengan Jenderal Da’i Bachtiar di Bali, 11 November. Tapi selama empat hari, Jawa Pos dan beberapa media lain, di antaranya Kompas, memakai foto Jawa Pos. Foto ini membuat Jawa Pos yakin kalau foto Surya, Amrozi berjanggut sedang bermain dengan seorang anak kecil, adalah salah.

Sayangnya, Jawa Pos tak melakukan verifikasi kepada Surya. Praktek ini memang jarang dilakukan wartawan Indonesia: melakukan verifikasi terhadap sesama mereka. Ternyata Jawa Pos kurang teliti. Jawa Pos misalnya tak memverifikasi tahun berapa foto itu diambil? Siapa anak yang sedang bermain dengan Amrozi?

Foto itu didapatkan Teguh Budi Utomo dari M. Khozien dan Ja’far Shodiq, dua kakak Amrozi, yang mendirikan al Islam. Ketiga foto itu benar-benar foto Amrozi. Dia mulai memelihara jenggot sesudah pulang dari Malaysia (sesudah cerai dari Astuti). Anak kecil itu bernama Khaula, anak Amrozi, ketika berumur 1,5 tahun, dari istri ketiga, Choiriana Khususiati.

Kecepatan melaporkan berita, acap menimbulkan adegan yang tak nyaman saat wartawan memburu objek liputannya. Di Tenggulun ada tiga sampai empat mobil media, termasuk OB van yang dilengkapi antena satelit, kebut-kebutan mengekor mobil polisi. Polisi mengebut menghindari wartawan. Wartawan mengebut mengejar polisi atau mobil wartawan yang tahu duluan (terutama SCTV). Ini tak menyenangkan warga desa, polisi, SCTV, dan semuanya. Meminjam istilah Howard Kurtz, Tenggulun selama dua minggu itu jadi lokasi “sirkus media.”

Gosip lain adalah SCTV mengumpankan Muhammad Zakaria ke kepolisian Jawa Timur. Gosip ini muncul pada 8 November ketika Zakaria, ditemani oleh reporter SCTV, datang ke kantor polisi Jawa Timur. SCTV paling cepat memberitakan kedatangan Zakaria. Tujuan Zakaria untuk mencari tahu soal penangkapan Amrozi. Dari kantor polisi, sekitar pukul 16.00, Zakaria dengan ditemani polisi, terbang ke Bali untuk memberikan keterangan. Kedatangan Zakaria bersama SCTV ini menimbulkan gosip seolah-olah SCTV memonopoli berita dan sengaja mengumpankan Zakaria kepada polisi.

Gosip ini keliru. Makroen Sanjaya mengatakan peristiwa itu terjadi ketika Zakaria diwawancarai studio SCTV di Surabaya. Usai wawancara, Zakaria menyatakan ingin bertemu dengan kepolisian Jawa Timur. Kebetulan, pihak kepolisian juga ingin bertemu Zakaria. “Ya sudah kita antar saja ustadz Zakaria ke Polda Jatim. Kalau kita mempertemukan mereka, SCTV juga dapat berita bagus,” katanya.

Dari Surabaya Zakaria diajak ke Bali. Di sana Zakaria mendengar Amrozi, dalam pemeriksaannya, mengaku terlibat pembelian dan pengantaran materi bom. Zakaria jadi saksi. Zakaria kembali ke Lamongan setelah pemeriksaan selesai. Ini semua menjelaskan bahwa SCTV tak melakukan perbuatan tercela. SCTV tak menjebak Zakaria agar SCTV diuntungkan. Ini sebuah kebetulan yang menguntungkan SCTV.

BERITA penangkapan Amrozi itu mendapat liputan luas media Jakarta dan internasional sejak 8 November. Tapi beritanya simpang-siur antara Amrozi positif tersangka dan Amrozi korban salah tangkap. Ironisnya, keterangan polisi sendiri tak satu suara. Ketika Surya memuat laporan Teguh Budi Utomo soal penangkapan Amrozi, kepolisian Jawa Timur justru membantahnya.

Di Jakarta Kompas memilih keterangan polisi. Mungkin ini sesuai dengan kebijakan redaksional Kompas yang cenderung hati-hati dan suka mengutip sumber-sumber resmi bila ada keterangan yang bertentangan dengan sumber-sumber dari lapangan. Jadinya, ketika Jawa Pos dan Surya memberitakan penangkapan itu pada 7 November, Kompas justru mengatakan Amrozi korban salah tangkap. Kompas baru menurunkan laporan mengenai tertangkapnya Amrozi pada 8 November.

Di Jakarta penangkapan itu dibumbui dengan ketidakpercayaan Amrozi sebagai pelaku pengeboman Bali. Radio Elshinta pada 18 November 2002 mengudarakan wawancara dengan juru bicara polisi Edward Aritonang dan Presiden Partai Keadilan Hidayat Nur Wahid.

Aritonang menjelaskan berbagai upaya kerja lapangan yang dilakukan polisi untuk mengungkap pelaku pengeboman Bali, dari mulai mencari nomor rangka mobil yang meledak hingga menangkap Amrozi.

Hidayat meragukan pekerjaan polisi. Dia ingin ada rekonstruksi. “Polisi sering kontradiktif dengan ucapan mereka sendiri. Misalnya berkaitan dengan penangkapan Omar al Faruq. Pihak kepolisian mengirimkan orang untuk bertemu al Faruq di Amerika. Kemudian menghasilkan berita acara pemeriksaan, yang konon berisi pengakuan yang sangat dahsyat termasuk berkaitan dengan Abubakar Ba’asyir dan bom di Bali. Tapi diinformasikan lebih lanjut ternyata pihak kepolisian tidak ke Amerika, tetapi ke Afghanistan. Konon pertemuan itu tidak wawancara langsung tetapi hanya jawaban yes atau no,” katanya.

Omar al Faruq adalah pria Arab dari Kuwait. Dia ditangkap agen rahasia Indonesia pada Juni 2002 dan diekstradisi ke pangkalan militer Amerika Serikat di Bagram, Afghanistan. Al Faruq dituduh sebagai wakil al Qaeda di Asia Tenggara. Laporan interogasinya dari Central Intelligence Agency (CIA) bocor dan diberitakan majalah Time. Al Faruq dalam laporan itu mengatakan dia terlibat pengeboman Natal 2000 bersama Jamaah Islamiyah pimpinan Abubakar Ba’asyir.

Mengenai penangkapan Amrozi, Hidayat berkomentar, ”Pihak kepolisian melansir nama dan gambar beberapa orang. Ternyata yang ditangkap adalah Amrozi. Dari tiga gambar sketsa yang disampaikan, sulit untuk melihat Amrozi itu satu dari tiga.”

Aritonang menjawab, “Sketsa tiga orang yang kita publikasikan itu merupakan deskripsi dari beberapa orang saksi yang sudah kita periksa. Kemudian kita publikasikan. Tentunya deskripsi seseorang dengan gambar tidak bisa sama persis. Soal Amrozi, ia ada dalam satu dari tiga sketsa itu. Justru setelah sketsa dipublikasikan, Amrozi melakukan pemotongan rambut dua kali, setelah ia melihat kok polisi bisa menggambar wajahnya. Ia semula rambut (nya) panjang dari membeli kendaraan sampai mendatangi lokasi.”

Apa mungkin seorang lulusan sekolah menengah membuat bom sedahsyat Bali? Aritonang menjawab, ”Kita sebagai penyidik sebelumnya ragu. Apa betul Amrozi? Tidak ada rekayasa untuk mengorbankan seseorang. Kita profesional penyelidik berhadapan dengan pelaku kejahatan tidak melihat suku, agama dan golongan mana. Kita jangan underestimate. Seseorang memiliki kemampuan tidak harus memiliki jenjang pendidikan formal.”

Hidayat Nur Wahid hanya satu dari sejumlah politisi yang meragukan pekerjaan polisi. Abdul Qadir Djailani, mantan tahanan politik, anggota parlemen dari Partai Bulan Bintang, mengatakan, “Masak bom sedahsyat itu bisa dibikin seorang tukang bengkel dengan bahan bakunya bisa dibeli di toko kampung?”

Ketua Majelis Permusyawarakatan Rakyat Amien Rais mengatakan baru percaya Amrozi sebagai pelaku kalau diadakan rekonstruksi. “Bisa ndak ya Amrozi dan kawan-kawannya membuat bom seperti itu? Apa mungkin dia mendapat ilmu langsung dari langit?”

Berbagai keraguan itu muncul karena prestasi polisi Indonesia memang tak bagus-bagus amat. Selama 30 tahun Orde Baru, polisi terlibat banyak melakukan rekayasa. Orang berkuasa yang bersalah dilindungi, tapi orang benar justru dikorbankan. Mulai dari pembunuhan terhadap peragawati Dice hingga wartawan Udin, aktivis buruh Marsinah dan banyak kasus lain. Kini orang ragu kok polisi bisa tiba-tiba cepat menangkap Amrozi dan belakangan juga Abdul Azis alias Imam Samudra (koordinator pengeboman Bali)?

Keraguan ini mestinya ditawar dengan mengingat bahwa pekerjaan Bali ini bukan hanya pekerjaan polisi Indonesia. Ini sebuah satuan tugas internasional di mana ada kontribusi polisi Australia (korban Bali paling banyak warga Australia) serta polisi-polisi dari negara lain, termasuk Scotland Yard dari Inggris serta Federal Bureau of Investigation dari Amerika Serikat. Jenderal Da’i Bachtiar menunjuk Inspektur Jenderal Made Mangku Pastika, salah satu perwira polisi terbaik di Indonesia, untuk memimpin pekerjaan ini.

Kedua, jauh sebelum Amrozi ditangkap, telah muncul berbagai teori konspirasi tentang peledakan. Versi pertama, Amerika Serikat, Singapura, maupun sebagian kalangan di Indonesia, termasuk Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil, menuduh al Qaeda atau Jamaah Islamiyah (“satelitnya al Qaeda” menurut wartawan Robert Fisk dari The Independent) terlibat pengeboman Bali. Versi kedua adalah tentara Indonesia. Tudingan ini membuat orang nomor satu militer Indonesia Jenderal Endriartono Sutarto marah besar dan bersumpah akan menembak kepalanya sendiri kalau terbukti ada jenderal Indonesia terlibat pengeboman Bali. Versi ketiga, Amerika Serikat “terkait” pengeboman.

Semua tuduhan itu mengarah pada pelaku yang profesional, dengan tingkat penguasaan bom yang tinggi, akses yang cukup dengan bahan peledak, dan dana memadai. Mereka yang percaya dengan teori konspirasi pasti kecewa ketika polisi menangkap Amrozi, seorang pemuda kampung di desa kecil di Lamongan.

Keraguan makin kental ketika polisi mengumumkan bom Bali dirakit dari bahan-bahan kimia yang dibeli Amrozi di toko Tidar Kimia, Surabaya. Dalam versi polisi, dari toko bahan kimia itu Amrozi membeli klorat, belerang, serbuk aluminium, tawas dan klorin. Bahan-bahan itu sama sekali bukan barang terlarang.

Z.A. Maulani, seorang pensiunan jenderal dan mantan kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara zaman Presiden B.J. Habibie, meragukan Amrozi sebagai pelaku pengeboman Bali. “Dari latar belakang pendidikan saja dia terlalu hebat. Ini persekongkolan dunia internasional,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta 11 November lalu.

Dalam rapat kerja Komisi I DPR dengan Jenderal Dai Bachtiar, Permadi Satrio Wiwoho dari PDI Perjuangan dan Aisyah Amini dari Partai Persatuan Pembangunan mengatakan mereka curiga CIA terlibat dan menyusup dalam pengeboman Bali. Permadi menjelaskan pola pelaku yang digunakan dalam pengeboman Bali mirip dengan kejadian di Indonesia tahun 1965 ketika CIA terlibat upaya menggulingkan Presiden Soekarno karena dianggap cenderung mendukung blok negara-negara sosialis macam Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. CIA kemungkinan besar telah menyusupkan intel-intelnya ke kelompok Islam garis keras.

Soeripto, pensiunan intel dari Badan Koordinasi Intelijen Negara, juga mengatakan kalau pengeboman di Bali hanya mungkin dilakukan oleh pelaku yang mempunyai jaringan intelijen dengan skala operasi tinggi dan global. “Sampai saat ini hanya tiga negara yang mempunyai pengalaman seperti itu, yakni CIA Amerika, M-16 Inggris dan Mossad Israel,” katanya.

Intinya, kedua orang yang banyak dimintai komentar oleh media ini, dan disebut sebagai “pengamat,” menyatakan bukan Amrozi pelaku pengeboman. Ia terlalu hebat untuk meledakkan Bali.

Dalam pengeboman Bali ini ada banyak analisis, ada banyak konspirasi, yang dikemukakan “pengamat” dan politisi, yang justru bisa menimbulkan kebingungan masyarakat. Komentar yang hanya berisi dugaan dan prasangka tanpa bukti ini dimuat oleh beberapa media ketika media seharusnya memilih mana fakta, mana rumor, mana kenyataan, dan mana yang praduga.

“Tugas media bagi saya adalah mencari pembenaran empiris. Tidak jauh berbeda dengan tugas para ilmuwan. Kalau berteori itu mudah. Saya bisa membikin lima buah teori dalam sehari. Tetapi untuk mengadakan penelitian empiris dan investigasi, itu yang susah,” kata Goenawan Mohamad dari Institut Studi Arus Informasi. Dia mengatakan pekerjaan ilmuwan, wartawan, maupun polisi, sama karena mereka harus berangkat dari penelitian empiris.

Di Indonesia cukup banyak media yang berlepotan kerjanya. Tapi kesalahan juga terjadi di Amerika Serikat. Goenawan mengatakan dia jengkel sekali bila nonton televisi di sana. CNN juga tak luput dari pertanyaan. CNN pernah mengeluarkan berita al Qaeda mengaku bertanggungjawab atas serangan Bali. Sumbernya dari situs web Alneda yang dianggap sering dipakai al Qaeda. Metro TV pada 14 November mengutip siaran CNN tersebut walau agak meragukan, karena sejak Juni, situs itu sudah berada di luar kendali pemiliknya

Ada perbedaan antara Jawa Pos dan Surya yang terbit di Surabaya dengan media di Jakarta. Media di Jakarta banyak memberi analisis benar tidaknya Amrozi sebagai pelaku pengeboman Bali. Ini ditambah dengan berbagai komentar seputar berbagai konspirasi di balik penangkapan Amrozi, dari permintaan asing sampai upaya menyembunyikan pelaku sebenarnya. Tak mengherankan jika komentar dari orang-orang yang disebut sebagai “pakar” dan “pengamat” itu menghiasi pemberitaan.

Jawa Pos dan Surya tidak banyak memberi tempat kepada berbagai konspirasi seputar penangkapan Amrozi. Jawa Pos dan Surya justru bersaing menghadirkan fakta-fakta seputar Amrozi dan keluarganya: dari masa kecilnya, anak dan isterinya, kehidupannya sampai kebiasaannya. Tak jarang beberapa informasi kecil, yang kurang relevan, seperti kebiasaan Amrozi menggoda wanita, juga diberitakan panjang lebar. Jawa Pos menyebut Amrozi sebagai “lelanangin jagad” atau “lelakinya alam raya.”

APAKAH dengan fokus pada pekerjaan polisi, ketimbang mengutip “pengamat” yang komentarnya tak disertai bukti-bukti empiris sedang media sendiri tak sanggup bikin investigasi yang menyeluruh, media berarti lebih suka berdekatan dengan versi bahwa terorisme ini dilakukan oleh al Qaeda atau Jamaah Islamiyah?

Seorang pembaca mengomentari laporan Tempo edisi 28 Oktober yang bertajuk, “Diakah Sang Imam?” Tempo menelusuri jejak perjalanan Abubakar Ba’asyir dan melacak hubungan Ba’asyir dengan Encep Nurjaman alias Hambali, dalang terorisme yang dituduh sebagai kontak antara al Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Pembaca itu mengkritik Tempo “pro Amerika” karena berniat membuktikan benar-tidaknya tuduhan terhadap Jamaah Islamiyah. Sementara fakta lain mengenai dugaan keterlibatan Amerika tak ditelisik.

Pekerjaan polisi sejauh ini memang makin memperkuat versi pertama bahwa ada keterlibatan orang-orang yang diduga punya hubungan dengan Jamaah Islamiyah dalam pengeboman Bali (maupun aksi terorisme lain di Indonesia). Amrozi, Abdul Azis, Ali Ghufron, Ali Imron, dan sebagian besar tersangka lain, kebanyakan pernah tinggal di Malaysia, kenal dengan atau setidaknya mendengarkan khotbah-khotbah Abubakar Ba’asyir, serta mereka pernah ikut kegiatan politik dan militer berlabel “jihad” di Afghanistan.

Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia Fauzan al Ansyari , salah seorang murid Abubakar Ba’asyir, mengatakan pemberitaan media banyak “mempropagandakan kepentingan Amerika.” Penangkapan Amrozi, yang didahului oleh penangkapan Ba’asyir, menurut Fauzan, sekedar memenuhi permintaan pihak asing untuk memberangus kekuatan “Islam.” Media, menurut Fauzan, tak menelusuri dugaan keterlibatan asing. “Adanya surat Arroyo dan lainnya itu menunjukkan adanya keterlibatan asing. Fakta ini ternyata tidak ditelusuri oleh media. Media sibuk menelusuri dugaan keterlibatan Islam. Media tidak berimbang,” katanya.

Apakah tuduhan Fauzan valid? Rasanya sulit membenarkan Fauzan.

Surat Arroyo yang dimaksud Fauzan adalah sebuah “surat” yang dibuat oleh Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo kepada Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Surat Arroyo itu pertama kali dimuat oleh majalah terbitan Kuwait al Mujtama’ edisi 5 Oktober 2002. Harian Republika menerbitkan ulang surat 10 halaman tersebut tiga hari berturut-turut (30 Oktober-1 November). Isinya, semacam proposal membangun aliansi Kristen untuk menguasai Asia Pasifik dengan Filipina sebagai pusatnya.

Arroyo dilaporkan menulis bahwa posisi Filipina sebagai benteng terakhir Vatikan di Asia Pasifik tengah terancam. Pertumbuhan Islam di kawasan ini mengalami peningkatan, baik di Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand selatan, maupun Filipina selatan. Di sejumlah negara berpenduduk Muslim, muncul kekuatan politik berbendera Islam, yang juga dibarengi dengan fundamentalisme Islam, yang bisa mengancam kepentingan Barat dan daerah-daerah berpenduduk Kristen.

Di dalam negeri, Filipina terus-menerus diganggu oleh gerakan separatisme yang dimotori Front Islam untuk Kemerdekaan Moro (MILF) dan Front Nasional untuk Kemerdekaan Moro (MNLF). Satu-satunya cara untuk membendung kekuatan Islam tersebut, menurut “surat “ itu, adalah membentuk aliansi antara Filipina dan wilayah bermayoritas Kristen. Itu didahului dengan pembentukan pasukan di sejumlah wilayah di Malaysia dan Indonesia. Setelah memerdekakan sejumlah wilayah, dibentuklah aliansi Filipina, Singapura, Taiwan, Hongkong, Macao, Sabah-Serawak, Perlis, Penang, Selangor, Perak, Maluku, dan Timor-Timur.

Untuk mewujudkan rencana itu, dibutuhkan sumber daya dan dana, dukungan politik dan persenjataan, termasuk menghidupkan kembali kehadiran pangkalan militer Amerika di Filipina. Era komunisme sudah habis dan ancaman yang ada di depan mata adalah “fundamentalisme Islam.”

Menurut Rafiq Zakaria dalam buku The Struggle Within Islam (1988), al Mujtama’ adalah majalah milik Jami’iyat al Islah al Ijtima’I –sebuah organisasi Islam yang kuat dan berpusat di Kuwait. Cara kerja dan tujuan politik organisasi ini mirip dengan Ikhwanul Muslimin –salah satu organisasi Islam yang terbesar di dunia, yang didirikan Hasan al Banna di Mesir pada 1928, sebagai reaksi terhadap keterpurukan umat Islam karena kolonialisme Eropa, bubarnya kerajaan Ottoman, represi rezim otoriter, dan pengaruh sekulerisme. Al Mujtama’ sendiri dibaca secara luas di kawasan Teluk Persia. Kebijakan redaksional al Mujtama’ mendukung kerajaan Arab Saudi dan para sheik penguasa kesultanan-kesultanan Teluk Persia serta melawan “rezim Muslim hibrida” di Mesir, Libya, Tunisia, dan Algeria. Al Mujtama’ juga mendapat bantuan dari organisasi-oganisasi Arab Saudi serta para sheik.

Republika menurunkan wawancara dengan pemimpin redaksi al Mujtama’ Ahmad Izzudin untuk menilai otentisitas dokumen tersebut. Izzudin mengatakan mereka mulanya kaget membaca dokumen tersebut (aslinya dalam bahasa Inggris tapi diterjemahkan ke bahasa Arab oleh al Mujtama’). “Kami tak memungkiri, setelah pemuatan itu, masyarakat juga tokoh-tokoh pemerintahan beberapa negara, menanyakan kepada kami. Mereka ingin tahu, apa benar isi surat itu.”

Dari mana dokumen itu?

“Kalau ini masalah internal kami. Kami tak bisa memberitahukan kepada siapa pun. Kami mengambil sikap tegas dan merupakan bagian dari kerahasiaan kami ihwal sumber yang memberi bocoran surat itu,” kata Izzudin.

Terlepas dari benar tidaknya dokumen itu, ia menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya mengapa seorang Arroyo, yang tak punya riwayat praktek keagamaan yang sempit, bisa menawarkan proposal kristenisasi? Mengapa isi dokumen ini hanya disiarkan media partisan macam al Mujtama’, Republika atau Sabili? Kalau dokumen itu otentik, mengapa isu ini tak ditangkap media umum lain, baik di Indonesia maupun Filipina?

Arroyo sendiri adalah putri mantan Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Ketika kuliah di Washington DC, Arroyo teman sekelas mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton di Georgetown University. Arroyo mendapatkan PhD bidang ekonomi dari University of the Philippines di Manila.

Endy Bayuni, wakil pemimpin redaksi The Jakarta Post, berpendapat tak bertanggungjawab bila suratkabarnya menerbitkan berita yang kurang credible macam itu. Dia khawatir jika informasi yang setengah-setengah diturunkannya, maka ini bisa menambah ketakutan bagi masyarakat. “Media dalam hal ini dapat kita katakan, tidak berada dalam proses penciptaan pencerdasan bangsa tapi malah menciptakan proses pembodohan bangsa,” katanya dalam suatu diskusi majalah Pantau.

Jawaban sama mungkin akan muncul dari puluhan redaktur media lain. Sejauh ini belum ada bukti bahwa dokumen itu asli. Bantahan juga muncul dari kedutaan Amerika Serikat maupun Filipina di Jakarta. Greta Morris dari kedutaan Amerika Serikat mengatakan ia mengecek ke Departemen Luar Negeri di Washington DC dan menurut catatan di sana tak ada satu pun dokumen yang diterima dari Presiden Arroyo tertanggal Selasa 20 November 2001. Catalino Dilem dari kedutaan Filipina mengatakan Presiden Arroyo tak pernah menulis surat itu.

Surat itu sendiri mengandung banyak kejanggalan. Misalnya, di halaman pertama ada nama besar “Gloria Macapagal Arroyo: President of the Republic of the Philippines” –sebagai letter head. Ini janggal karena surat kepresidenan Istana Malacang biasanya tak mencantumkan nama presiden lebih besar dari jabatannya. Di halaman 10 ada nama Presiden George W. Bush. Mengapa alamat ditaruh di belakang? Bahasa Inggrisnya juga penuh kesalahan. Mengapa Arroyo, dengan pendidikan setinggi itu, membiarkan terjadinya kesalahan tata bahasa yang bisa bikin malu itu? Mengapa Arroyo menyapa Bush secara bombastis dengan “the Great World Leader”?

Arief Supriyono, redaktur pelaksana Republika, dalam diskusi Pantau, mengatakan surat itu pertama kali diterima Republika dalam bentuk fotokopian artikel “Arab gundul” al Mujtama’. Ada perdebatan internal di redaksi. Dimuat atau tidak. Komprominya, redaksi memutuskan dimuat asal ada keterangan dari al Mujtama’ serta pejabat kedutaan besar Filipina dan Amerika Serikat. Ahmad Izzudin pun diwawancarai dan mengatakan berani menjamin surat itu otentik. Diplomat dari kedutaan Amerika Serikat dan Filipina, juga dikutip mengatakan surat itu tidak benar.

Dedy Junaedi, koordinator desk Republika Minggu, dalam sebuah seminar di Jakarta akhir Oktober lalu membawakan makalah berjudul “Kebijakan Republika Menghadapi Propaganda Asing.” Seminar diadakan Forum Pemuda Ukhuwah Islamiah. Dedy mengatakan bahwa posisi Republika adalah melakukan pembelaan terhadap umat Islam yang mengalami ketidakadilan pasca tragedi 11 September 2001.

“Misi utamanya adalah menjaga keseimbangan opini publik di tengah dominasi dan hegemoni media lain (Barat). Pasca tragedi 11 September, Republika melihat arus informasi mengalir dengan amat tidak berimbang, berat sebelah atau malah bertendensi memojokkan citra Islam dan umat Muslim. Maka menjadi fardu kifayah bagi media ini untuk bersikap lebih kritis terhadap sumber-sumber informasi dari mana pun datangnya,” katanya.

Soal kejanggalan-kejanggalan “surat” itu secara tak langsung dijawab oleh Z.A. Maulani kepada majalah Sabili. dengan mengatakan surat rahasia umumnya sengaja dibuat cacat sana-sini supaya kalau bocor, mereka bisa cuci tangan. Maulani percaya surat Arroyo itu benar dan otentik.

Menurut Arief Supriyono, benar-tidaknya surat tersebut sama dengan misteri benar-tidaknya kasus lain yang ditulis media tapi belum jelas benar tidaknya, dari soal Jamaah Islamiyah, keterlibatan CIA dalam bom Bali, sampai al Qaeda.

“Kebenaran dan ketidakbenaran berita (surat) itu hampir sama dengan ketidakbenaran atau kebenaran penangkapan Agus Dwikarna. Atau sama juga kebenaran atau ketidakbenaran terhadap tuduhan bahwa al Qaeda pelakunya. Atau sama pula dengan tuduhan terhadap Jamaah Islamiyah. Atau sama pula dengan tuduhan dengan kebenaran atau ketidakbenaran CIA sebagai pelaku terorisme,” katanya.

Dwikarna adalah warga Indonesia yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara di Manila karena kedapatan membaca bahan peledak C-4 di bagasinya di bandar udara Ninoy Aquino pada Maret 2002. Dwikarna juga komandan Laskar Jundullah –sebuah milisi yang didirikan oleh Komite Penegak Syariat Islam di Makassar. Beberapa dari anggota milisi ini belakangan ditangkap polisi karena dituduh terlibat pengeboman restoran Mc Donald’s dan show room Toyota milik Haji Jusuf Kalla di Makassar pada awal Desember.

Mungkin kurang tepat membandingkan kasus Arroyo dengan kasus Agus Dwikarna. Dalam kasus Dwikarna, sudah ada proses verifikasi dan pengadilan terbuka dengan saksi-saksi yang memberatkannya (dua warga Indonesia lain dibebaskan). Surat Arroyo lebih belum jelas kebenarannya. Proses verifikasinya hanya melibatkan al Mujtama’. Tapi berita keberadaan dokumen ini, jadi membesar magnitude-nya, karena dokumen itu seakan-akan melengkapi teori konspirasi keterlibatan Amerika Serikat dalam pengeboman Bali. Teori ini, entah siapa yang memulai, bergulir 24 jam pertama sesudah ledakan Bali. Abubakar Ba’asyir dan Hidayat Nur Wahid termasuk orang-orang pertama yang melontarkan isu Amerika Serikat terlibat pengeboman itu.

Sama dengan SCTV dan Surya, yang mengambil resiko memuat berita Amrozi, al Mujtama’, Republika, dan Sabili, juga mengambil resiko dengan memberitakan isi dan keberadaan “surat” Arroyo itu. Bedanya, berita SCTV dan Surya dengan segera diikuti munculnya fakta-fakta yang mendukung liputan eksklusif mereka, sementara al Mujtama’ dan kawan-kawan, belum menemukan bukti-bukti baru tentang otentisitas dokumen Arroyo itu.

Ironisnya, ketidakjelasan “surat” Arroyo ini dianggap benar oleh Fauzan al Anshari maupun rekannya, Irfan S. Awwas, ketua lajnah tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia. Awwas dalam kolomnya di majalah Tempo 18 November menulis soal ketidakadilan Barat terhadap gerakan Islam –sesuatu yang secara umum benar. Tapi Awwas menambahi dengan analisis bahwa ketika ada gerakan menegakkan syariat Islam, Barat langsung bereaksi keras. Sementara ketika ada isu mendirikan “negara Kristen Asia Pasifik, media massa dan dunia internasional membisu.”

Isu adanya konspirasi Amerika Serikat dalam pengeboman Bali ini mungkin tak akan selesai dengan pengadilan Amrozi, Abdul Azis, Ali Ghufron dan sebagainya. Ini mungkin sejalan dengan argumentasi Walter Lippmann, filsuf media yang menerbitkan buku Public Opinion (1923), tentang apa yang disebutnya sebagai kekuatan “gambaran dalam benak kita.” Orang percaya pada apa yang mereka ingin percaya dan gambar-gambar yang ada dalam benak orang bisa lebih berkuasa dari realitas itu sendiri –bahkan ketika realitas ada terang-benderang di depan mata kita.

SAAT Amrozi ditangkap, tak sampai satu bulan setelah pengeboman Bali, tak sedikit yang skeptis dengan hasil kerja polisi. Menurut Goenawan Mohamad dari Institut Studi Arus Informasi, keraguan ini bisa dipahami mengingat daftar panjang kinerja buruk polisi dalam main tangkap dan main siksa orang agar pura-pura mengaku sebagai pelaku. Sementara pelaku yang sesungguhnya hilang atau sengaja dihilangkan polisi atau intel militer. Prosedur yang dipakai susun skenario, cari pelaku, dan paksa agar mengikuti skenario.

Faktor yang membedakan kerja polisi kasus Bali ini dengan kerja polisi sebelumnya adalah Da’i Bachtiar, Mangku Pastika, dan anak buah mereka tak memulai pekerjaannya dari skenario atau teori konspirasi. Mereka bekerja dari bukti-bukti yang dikumpulkan di lapangan. Polisi tak memulai dari teori dugaan keterlibatan al Qaeda atau Amerika Serikat, tapi dari keterangan saksi-saksi dan terutama ringsekan mobil Mitsubishi L-300 di kawah ledakan serta penemuan sepeda motor yang di badanya melekat residu bom. Dari seorang penjaga masjid dan dua karyawan ruang pamer Mitra Motor, Bali, polisi membuat sketsa wajah orang-orang yang diduga membeli sepeda motor dan membawa mobil itu dalam ledakan.

Polisi mengumpulkan pecahan minibus Mitsubishi L-300 dengan teliti. Pecahan bodi mobil itu dipertautkan. Polisi menempuh cara kimiawi re-etching untuk melihat nomor rangka mobil dan memakai pecahan kir mobil. Dari sana diketahui nomor rangka mobil itu B 001230. Penyidik menelusuri nomor ini dan penyelidikan lanjutan menemukan nomor polisi mobil DK-1324-DS. Berbekal informasi ini, polisi melacak pemilik mobil, sampai ke pemilik terakhir Amrozi di Lamongan.

Kerja polisi ini bukan hanya ilmiah tapi dapat diverifikasi wartawan. Komentar polisi akhirnya memang mendominasi pemberitaan media. Metro TV menurut Hersubeno Arief, banyak mewawancarai sumber polisi agar sesedikit mungkin menimbulkan kebingungan yang tak perlu bagi pemirsanya. “Terlebih kinerja polisi dalam pengungkapan pelaku pengeboman Bali cukup baik,” katanya.

Jawa Pos, menurut Arief Affandi, lebih tertarik untuk meliput detil dan peristiwa kecil di lapangan seperti kondisi desa Tenggulun, tempat mengaji Amrozi dan fakta-fakta lapangan. Keterangan polisi dicek kebenarannya di lapangan. Jawa Pos misalnya, menanyakan kepada penduduk Tenggulun dan mendapatkan keterangan kalau sebelum ledakan Bali, minibus Mitsubishi itu sempat dibawa-bawa Amrozi.

Kebijakan yang sangat berbeda dipilih Republika. Menurut Arief Supriyono dari Republika, harian ini berusaha mencari sumber lain dan versi lain di luar keterangan resmi kepolisian. “Dalam pemberitaan media tentang Amrozi, hanya bergantung kepada sumber polisi. Tidak ada pernyataan dari Amrozi atau setidaknya dari pengacaranya. Media terus-menerus menjadikan polisi sebagai sumber utama. Padahal, acapkali kepolisian melakukan kebohongan publik. Kapolri misalnya pernah mengatakan kalau Imam Samudara mengaku sebagai pelaku pengeboman, padahal dari pengacaranya Imam Samudra, belum pernah sekali pun mengucapkan hal itu, “ katanya.

Amrozi, menurut Supriyono, mungkin terlibat tapi Amrozi bukan otak terorisme Bali. Ketidakpercayaan pada Amrozi, terutama pada keterangan mengenai bahan peledak yang dipakai. “Dari pakar kimia yang kita undang dan wawancarai serta perwira militer, kita percaya bahwa bom Bali tidak mungkin dari jenis TNT atau bom karbit,” katanya.

Bahan dan jenis peledak jadi isu yang banyak dibicarakan Republika. Dekat konsulat Amerika Serikat di Renon, Bali, polisi menemukan sisa bahan peledak berupa trinitrotoluence (TNT). Residu TNT juga ditemukan dekat Paddy’s Club. Tapi depan Sari Club, residu yang ditemukan adalah residu RDX yang merupakan bahan utama campuran bom C-4 . Hal ini mengganjal dari penangkapan Amrozi. Menurut pengakuan Amrozi, ia membeli satu ton pottasium chlorat (potasium klorat), dua zak sulfur, bubuk aluminium dan tawas. Bahan peledak ratusan kilogram tersebut dimasukkan ke dalam mobil L-300 dan terciptalah bom mobil.

Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos dan Surya tak mengembangkan lebih lanjut isu bahan ledakan Bali. Republika dalam banyak berita tak percaya kalau bom yang meledak di Bali berasal dari potasium klorat seperti pengakuan Amrozi.

Berita yang banyak dilansir Republika adalah bom yang meledak di Bali, dilihat dari jumlah korban dan efek ledakannya, hanya dimungkinkan oleh bom berjenis C-4. Kemungkinan lain adalah bom nuklir mikro atau dikenal sebagai Special Atomic Demolition Munition (SDAM). Keterangan ini terutama didapatkan dari Z.A. Maulani dan seorang “investigator independen” Joe Vialls. Mereka berpendapat jenis bom Bali hanya mungkin oleh bom nuklir mini dilihat dari cendawan panas, kubangan yang cukup besar, serta lumpuhnya aliran listrik saat ledakan.

Kalau memang bom di Bali adalah mikro nuklir, bagaimana dengan radiasinya? Adanya radiasi ini bisa diukur dengan detektor Geiger-Muller. Beberapa staf Badan Pengawas Tenaga Nuklir telah dikirim dari Jakarta ke Bali untuk mengambil sampel untuk memastikan apakah ada peningkatan kandungan produk fisi. Hasilnya, ternyata tak ada peningkatan radioaktivitas yang berarti akibat ledakan tersebut. Tingkat radiasi yang terukur setara dengan radiasi latar (background level).

Kecurigaan bahwa bom di Bali adalah jenis nuklir mini sudah dikemukakan oleh Republika sebelum penangkapan Amrozi. Republika banyak mengutarakan pendapat mengenai bom nuklir mini ini yang hanya dimiliki oleh negara besar seperti Amerika dan Israel. Setelah Amrozi ditangkap, pernyataan polisi bahwa Amrozi merakit bom dikontraskan oleh Republika dengan jenis ledakan.

Republika edisi 10 November misalnya menyangsikan seorang pemuda desa lulusan SMP bisa membuat bom yang menghancurkan gedung dan menewaskan ratusan orang. Republika juga menyangsikan bom itu rakitan domestik. Potasium klorat dan parafin memang bisa dibuat bom tapi hanya mempunyai kekuatan ledak rendah. Republika mengutip situs Joe Vialls yang mengungkapkan bom di Bali adalah bom nuklir mini. Vialls mengatakan kalau bom potasium klorat dan parafin hanya bisa menghasilkan detonasi 3500 kaki per detik (fps). Sementara bom di Bali mempunyai daya ledak jutaan fps.

Joe Vialls tinggal di Perth, Australia dan pernah menulis buku Deadly Deception, sebuah upaya penghapusan jejak keterlibatan pemerintah Australia dalam “pembunuhan massal” atas orang Aborigin di Port Arthur. Dalam situsnya www.geocities/vialls, Vialls mengulas berbagai peristiwa terorisme, mulai dari “pembunuhan” Putri Diana Spencer sampai serbuan Amerika Serikat ke Afghanistan.

Stanley Harsha dari kedutaan Amerika Serikat menyebut Vialls seorang “neo-Nazi” karena kebenciannya terhadap orang Yahudi. Vialls dalam analisisnya memang paling sering menyerang Israel maupun orang-orang Yahudi.

Tapi Vialls juga kritis terhadap dinas intelijen besar macam CIA Amerika, Mossad Israel dan M16 Inggris. Peristiwa serangan 11 September 2001 misalnya, menurut Vialls, tak dilakukan oleh orang Arab seperti dituduhkan Amerika Serikat. Dari empat pesawat yang dibajak dan kemudian dipakai untuk meledakkan World Trade Center dan Pentagon, tak ditemukan penumpang Arab. Pembajakan itu dilakukan di luar pesawat secara elektronik. Vialls curiga Israel ada di balik pembajakan itu.

Vialls juga punya analisis tersendiri atas peristiwa penembakan Yvonne Fletcher, seorang polisi Inggris pada 17 April 1984 di depan kedutaan besar Libya di London. Polisi Inggris menuduh Libya ada di balik penembakan itu. Menurut Vialls, justru Israel dan CIA yang ada di belakang aksi tersebut. Peristiwa pengeboman pesawat Pan Am 103 pada 21 Desermber 1998, yang dicurigai dilakukan oleh Syria, Iran, dan Libya, menurut Vialls, justru dilakukan oleh Israel untuk mendapatkan keuntungan material dan menaikkan citranya di Timur Tengah. Bahkan peristiwa kecelakaan dan kematian Putri Diana pada 29 Januari 1999 sebetulnya pembunuhan terencana yang melibatkan dinas rahasia Israel Mossad.

Tampaknya terlalu besar resikonya untuk mempercayai pekerjaan Joe Vialls. Cara terbaik untuk membuktikan apakah bom di Bali adalah bom nuklir mini adalah meneliti kandungan residunya. Vialls tak melakukan itu. Vialls tak pernah melakukan penyelidikan lapangan ke Bali. Vialls hanya menganalisis foto dan publikasi media. Vialls hanya membuat perbandingan korban dan kerusakan dengan berbagai aksi peledakan bom di tempat lain. Bahan yang dipakai Vialls adalah bahan sekunder, foto, dan kliping koran. Dalam pengeboman Bali, Vialls hanya memakai liputan televisi dan foto satelit terutama bagian yang menggambarkan titik-titik ledakan.

Tapi sensasi soal bom nuklir mini ini bersama isu dokumen Arroyo seakan-akan melengkapi puzzle mengenai adanya konspirasi keterlibatan negara besar terutama yang dianggap memusuhi Indonesia dan Islam. Jika informasi soal bom nuklir mini itu benar, maka benar pula dugaan keterlibatan asing karena hanya negara besar saja yang bisa memproduksi jenis bom tersebut.

Menurut Arief Supriyono, informasi mengenai bom buklir mini atau keterlibatan Amerika dan Israel sampai sekarang belum terbukti. Tapi sama dengan berbagai informasi lain yang juga belum terbukti. “Sama juga dengan tuduhan keterlibatan al Qaeda yang sampai sekarang belum terbukti. Sama artinya juga dengan dugaan keterlibatan Jamaah Islamiyah yang sampai sekarang juga belum ada buktinya,” katanya.

Republika menganggap penangkapan Amrozi tak menjawab berbagai pertanyaan besar berkenaan dengan pengeboman Bali. Republika edisi 10 November membuat laporan dengan judul “Usamah, Al-Qaedah dan Jamaah Islamiyah” di mana diuraikan berbagai pertanyaan seputar “perang terhadap terorisme” pimpinan Amerika Serikat. Keterlibatan Osama bin Laden dan al Qaeda sampai sekarang belum terbukti kebenarannya. Republika mengutip pernyataan mantan direktur FBI Robert Muller yang konon pernah mengaku tak mendapat bukti selembar pun yang memberi indikasi bin Laden terlibat. Bahkan, dari 19 tersangka pelaku serangan bunuh diri dalam serangan itu, 10 di antaranya masih hidup. Malah, ada kesaksian, Mohammad Atta, yang disangka operator utama pembajakan pesawat dan tewas bersama 18 teroris lainnya, masih berkeliaran di Amerika.

Soal pengeboman Bali disusul dengan penengkapan Amrozi, Republika mempertanyakan berbagai kejanggalan. “Mengapa sejumlah korban lokal dievakuasi ke Australia? Mengapa ada jenazah dipulangkan dari Australia dalam bentuk abu? Mengapa Australia minta police line ditunda? Mengapa bom C4 yang dipakai dalam pengeboman Bali, bisa masuk dan dipakai? Mungkinkah ini semua ada kaitannya dengan merapatnya kapal-kapal induk AS di Benoa, Bali sebelum 12 Oktober?” tulis Republika.

Pekerjaan polisi memang belum menjawab banyaknya pertanyaan yang muncul. Mungkin butuh satu atau dua dekade lagi untuk mengurangi jumlah pertanyaan itu. Tapi ada beberapa kecurgiaan Republika yang sudah terjawab. Soal merapatnya kapal induk Amerika di Benoa, misalnya, sudah dibantah oleh pejabat Angkatan Laut Republik Indonesia di Bali. Bukan kapal induk tapi kapal wisata. Bukan dari Amerika tapi dari Australia dan Prancis. Komandan pangkalan laut Benoa Kolonel Eddy Sugiatmo mengatakan kunjungan KMS Norman (Australia) dan Nivose (Prancis) itu untuk muhibah dan wisata.

Bom Bali dan penangkapan Amrozi memang menimbulkan banyak informasi dan disinformasi yang simpang siur. Tampaknya media Indonesia harus meningkatkan lagi prinsip kehati-hatian dalam pemberitaannya dan tak dibuat ceroboh karena alasan-alasan emosional.*

— Agus Sudibyo memberikan kontribusi lewat wawancara-wacancara untuk naskah ini.Bahan juga diambil dari diskusi oleh Pantau 7-8 November 2002 di Teater Utan Kayu yang melibatkan Arief Supriyono, Endy Bayuni (Jakarta Post), Goenawan Mohamad (ISAI), Hersubeno Arief (Metro TV) dan beberapa pembicara lain.

by:Eriyanto