Wajah Suratkabar Hindia Belanda

Asikin Hasan

Mon, 2 December 2002

SORE 17 Oktober lalu, pameran wajah suratkabar tua di Galeri Lontar berakhir. Selama 10 hari minat pengunjung cukup bagus, dari wartawan hingga mahasiswa, murid sekolah, aktivis dan sebagainya.

SORE 17 Oktober lalu, pameran wajah suratkabar tua di Galeri Lontar berakhir. Selama 10 hari minat pengunjung cukup bagus, dari wartawan hingga mahasiswa, murid sekolah, aktivis dan sebagainya. Banyak pengunjung bertanya, antara lain pada saya selaku kurator galeri, apa alasan penyelenggaraan pameran? Kenapa memamerkan suratkabar bukan lukisan atau patung? Apakah wajah suratkabar itu juga seni rupa?

Pertanyaan ini berhubungan dengan bagaimana media kita memberitakan dan apa yang diberitakan mengenai seni rupa selama ini. Menurut saya, berita-berita seni rupa di suratkabar dan televisi, sebagian besar dipenuhi sensasi yang berkaitan dengan seni lukis. Tempo baru-baru ini misalnya, menurunkan perdebatan soal pasar seni lukis. Ini bukan pertama kali dan makan halaman berlembar-lembar, tanpa penggalian makna karyanya. Lukisan Berburu Celeng karya Djoko Pekik, yang terjual Rp 1 milyar, jadi headline majalah D&R. Lukisan Sudjana Kerton, yang dicuri beberapa tahun silam dari studionya di Bandung, menempati halaman pertama harian Kompas. Media juga cenderung membicarakan isu non-seni itu sendiri. Joko Pekik membeli bus atau pelukis Erika punya sedan BMW seri terbaru, jadi perbincangan.

Media kita masih berkiblat pada seni lukis dan kegemparan di sekitarnya—mitos yang sesungguhnya telah lama rontok di arus utama (mainstream). Di sana, orang sudah jenuh sensasi dangkal macam itu. Lukisan mahal tak lagi mengejutkan, karena dapat dijelaskan sebagai gaya hidup atau investasi. Orisinalitas dan ketunggalan, yang dulu dipandang berharga dalam seni lukis, sudah ditendang Andy Warhol dari Amerika Serikat dengan karya-karya pop-nya. Yasumasa Morimura dari Jepang menggunakan teknologi digital dan banyak mengutip pencitraan lukisan masa lampau. Berbagai pameran seni juga mengurangi dominasi lukisan dan memberi tempat pada media baru seperti fotografi, performance art, video art, digital art, web art, atau kemungkinan lain.

Cakrawala seni diperluas dengan melihat pelbagai gejala rupa dalam kehidupan sehari-hari. Inilah cara pandang visual art. Bukan fine art. Dua istilah ini dalam Bahasa Indonesia punya arti yang sama: seni rupa. Namun, kalangan media kita sering kurang cermat untuk tahu kalau keduanya punya acuan berbeda. Visual art punya pengertian lebih demokratis, menempatkan segala gejala rupa sebagai sesuatu yang setara. Tak membedakan antara karya primitif, tradisional, modern dan kontemporer. Fine art mengandung pengertian yang mengacu pada hirarki high art dan low art –konsep dari estetika Yunani Kuno.

Pandangan inilah, kurang lebih selama dua abad, mendominasi wacana seni rupa dan merumuskan seni lukis, gambar, patung, sebagai satu-satunya seni rupa. Seni lukis ditempatkan sebagai yang paling utama. Itulah sebabnya, cerita tentang perkembangan seni lukis dan riwayat para pelukis, mengambil tempat paling besar dalam sejarah seni rupa modern. Gejala rupa lainnya, karena dipandang tak cukup bernilai dan tak memiliki perenungan mendalam, tak pantas masuk katagori ini. Mereka masuk katagori lain: seni rendah (low art).

Seni rendah dinilai tak unik, karena terjadi pengulangan dalam produksi massal. Masuk dalam paket seni rendah adalah kesenian tradisional dan kebudayaan massa yang dipandang berselera rendah. Produknya disebut kerajinan, kriya, atau desain.

Cara pandang baru dalam melihat produk kebudayaan seperti cultural studies dan belakangan visual culture –membuka pintu yang lebar bagi rerupaan apa saja sebagai obyek penelitian yang sama nilainya. Memang ada konsekuensiny: ia cenderung mengabaikan aspek estetik pada obyek. Sebaliknya, justru konteks pada obyek itu sendiri yang bermakna untuk dibaca.

Dalam kerangka ini pula pameran wajah suratkabar tua itu ditempatkan. Makna yang terkandung di belakangnya dibongkar dan sejarah kecil atau catatan remeh temeh yang berkaitan dengan dirinya, dipaparkan sebagai sesuatu yang juga sah dibicarakan dan ditampilkan sebagaimana seni lukis.

SAYA melakukan suratkabar tua ini dengan mengunjungi Perpustakaan Nasional, Jakarta, tempat di mana sebagian besar suratkabar zaman kolonial Belanda tersimpan. Hampir seluruh suratkabar itu warnanya sudah kelihatan kecoklatan dan penuh bercak di sana-sini, lapuk dimakan waktu dan cuaca yang tak menentu.

Fasilitas perpustakaan itu tak memadai untuk memelihara begitu banyak lembar suratkabar dari sekitar abad 18 hingga sekarang. Tempat penyimpanan suhunya cukup tinggi. Untuk mengurangi hawa panas, para petugas membuka jendela kaca, membiarkan udara bebas masuk. Cara ini mempercepat proses pelapukan dan kehancuran benda-benda kuno yang justru membutuhkan suhu stabil. Untunglah sebagian suratkabar itu telah direkam dan disimpan dalam mikrofilm.

Galeri Lontar dan Institut Studi Arus Informasi, yang bersama-sama mengadakan pameran, sepakat mengambil rentang waktu 1900 hingga 1920 untuk materi pameran. Alasannya sederhana: untuk melihat rupa dan isi serta mencatat apa yang terjadi dalam suratkabar zaman itu ketika memasuki abad ke-20.

Dalam dua dekade itu, saya mencatat sekitar 180 jenis suratkabar beredar di Batavia (Jakarta). Suratkabar-suratkabar itu tidak terbit harian tapi seminggu sekali, dua minggu sekali, atau seminggu tiga kali. Baru belakangan terbit setiap hari yang dimulai oleh suratkabar Perniagaan. Terbatasnya sumber daya menjadi alasan utama. Di masa itu sebuah suratkabar ada yang dikerjakan kurang dari 10 orang.

Sirkulasi merupakan andalan utama bagi kelangsungan hidup suratkabar tersebut. Tapi sirkulasi sangat terbatas. De Locomotief misalnya, salah satu suratkabar terkemuka zaman itu, sirkulasinya hanya 25 ribu eksemplar, Soerabaiaasch Handelsblat 20 ribu eksemplar, Java Bode 18 ribu eksemplar. Suratkabar-suratkabar yang dikelola priyayi Jawa atau Melayu, misalnya Pemandangan, Pewarta Deli, atau Soeara Oemoem, oplahnya di bawah enam ribu. Lainnya masih di bawah 1.000 eksemplar.

Suratkabar-suratkabar ini umumnya terdiri dari empat halaman, kurang lebih seukuran tabloid zaman ini. Sebagian besar berisi pengumuman lelang, perjalanan kapal laut, lembaran negara yang berisi kebijakan pemerintah, dan informasi lainnya. Teknologi fotografi belum dipakai di kalangan suratkabar Hindia Belanda, maka sebagai ilustrasi, dipakai gambar-gambar dengan teknik etsa atau lithographi (Suratkabar Amerika Serikat mulai memakai foto ketika terjadi perang saudara pada pertengahan abad 19). Teknik etsa dapat menduplikasi gambar sampai ratusan dan telah lama dikenal di kalangan para pelukis Eropa yang datang ke Hindia Belanda, untuk merekam atau menggambar peta, alam, lingkungan dan kehidupan di daerah ini sejak abad ke 17.

Lewat suratkabar-suratkabar tua ini kita dapat melihat karya-karya C.W.M van de Velde, C.W. Mieling, Johan Nieuhoff, J.C. Rapard, J. Hondius, dan lainnya. Master gambar dibuat di atas lempengan logam, yang ditoreh dengan ujung besi yang tajam, sehingga menghasilkan sebuah gambar.

Suratkabar-suratkabar yang beredar masa itu terbagi dalam empat bahasa: Tionghoa-Melayu, Belanda, Jawa dan Arab. Ssuratkabar berbahasa Belanda dan Tionghoa-Melayu paling dominan. Edward C. Smith dalam buku A History of Newspaper Suppression in Indonesia, menulis bahwa perkembangan pers di sini dipetakan dalam tiga golongan: pers Belanda, pers Cina dan belakangan pers pribumi.

Tradisi suratkabar di Hindia Belanda dimulai sekitar 1615 di Batavia oleh orang Belanda. Gubernur Jendral Jan Pieterszon Coon memprakarsai suratkabar tulisan tangan Memorie der Nouvelles. Suratkabar atau entah apalah namanya ini, menyalin berita-berita yang didapatkan dari suratkabar-suratkabar negeri Belanda. Perkembangan lebih modern baru terjadi pada 14 Maret 1688, ketika pemerintah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menerbitkan suratkabar dengan teknologi cetak. VOC sangat berhati-hati. Mereka mengontrolnya dengan ketat, agar tak menabrak kepentingan bisnis dan monopoli rempah-rempah yang dilakukannya di Hindia Belanda. Suratkabar-suratkabar di masa awal ini lebih mirip sebagai laporan pemerintah, ketimbang mengikuti prinsip jurnalisme.

Perubahan politik pada 1811, ketika Inggris berhasil menaklukkan Prancis—ketika itu Belanda menjadi bagian dari kerajaan Prancis—membuat Inggris masuk ke wilayah jajahan Belanda. Dari Batavia mereka menerbitkan suratkabar Java Government Gazette, suratkabar berbahasa Inggris, yang isinya sangat berbeda dengan suratkabar-suratkabar sebelumnya. Di sini banyak orang bisa menyumbang tulisan. Isinya pun boleh kritik dan parodi terhadap pemerintah.

Pada Agustus 1816 Inggris mengembalikan kekuasaannya pada penguasa semula. Java Government Gazette pun tamat riwayatnya. Pada 20 Agustus 1816 Belanda menerbitkan Bataviasche Courant kemudian pada 1827 terbit pula Bataviasch Advertentieblad. Suratkabar Belanda paling lama bertahan adalah Javasche Courant (pertama terbit 1828 dan bertahan hingga 1942).

Dalam pelacakan antara 1900-1920 di Perpustakaan Nasional, saya tak menemukan dokumentasi Java Bode. Suratkabar ini terbit pertama kali 11 Agustus 1852 –salah satu suratkabar terbesar di zamannya. Kemungkinan besar, menurut Edward C. Smith, pada periode ini Java Bode mengalami kesulitan ekonomi.

Suratkabar berbahasa Tinghoa-Melayu adalah sisi lain yang memainkan peran penting dalam perkembangan pers dan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Tionghoa-Melayu, sering juga disebut Melayu-Rendah atau Melayu-Betawi, adalah istilah yang ditujukan pada kaum peranakan yang berbahasa Melayu dengan logat Cina. Mereka tak dapat berbahasa Belanda dan tapi juga tak fasih berbahasa Mandarin atau dialek Tio Ciu, Hakka, dan Hokkian –tiga etnik Tionghoa yang jumlahnya cukup besar di Indonesia. Wartawan-wartawan Tionghoa-Melayu terkenal termasuk Kwee Kek Beng, Kwee Hing Tjiat, Houw Tek Kong, dan Tjoe Bou San.

Beberapa suratkabar Tionghoa-Melayu adalah Sin Po, Perniagaan, Keng Po, Hong Po, Bin Seng, Kung Yen, Matahari dan Bintang Tiong Hoa. Menurut Soebagijo I.N., wartawan Antara yang banyak menulis sejarah pers Indonesia, suratkabar Tionghoa-Melayu ini punya hubungan luas dengan kaum pergerakan. W.R. Supratman, pecipta lagu Indonesia Raya, sempat bekerja sebagai wartawan Sin Po. Supratman pula yang melaporkan terjadinya Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 lewat Sin Po.

Sin Po terbit pertama kali 1910 dan mampu bertahan dibredel rezim Presiden Soekarno pada 2 April 1958. Keng Po bersama 14 suratkabar lainnya, termasuk Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, dibredel lebih awal pada 21 Februari 1958.

Di awal abad 20 tumbuh apa yang kita kenal dengan "pers perjuangan" yang dikelola oleh para aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dr. Wahidin Sudirohusodo umpamanya memimpin majalah Guru Desa, yang diterbitkan organisasi Boedi Oetomo. Majalah ini memuat berita tentang kemajuan pertanian, perdagangan dan kehidupan rakyat. Belakangan dr. Wahidin mengelola Retnodoemilah, suratkabar umum berbahasa Jawa, yang isinya antara lain menyangkut masalah sastra, sosial dan ekonomi. Suratkabar lainnya adalah Djawi Kando, Bromortani dan Darmo Kando, Oetoesan Melajoe.

Menurut SoebagijoI.N, suratkabar pertama yang sepenuhnya dimodali dan dipimpin orang Indonesia adalah Medan Prijaji, pemrakarsanya Raden Djokomono alias Raden Tirtohadisoerjo, mahasiswa Stovia yang jadi tokoh rekaan dalam tetralogi Pulau Buru karya novelis Pramoedya Ananta Toer. Tirtohadisoerjo pernah jadi redaktur Bintang Betawi dan Suluh Keadilan. Medan Prijaji pada 1910 menjadi harian. Mottonya “Orgaan boeat bangsa jang terperentah di Hindia Olanda. Tempat akan memboeka swaranja anak Hindia.”

Pada 1933, wartawan Saeroen, mendirikan suratkabar Pemandangan. Pernah menulis dalam suratkabar ini antara lain pemikir dan pemimpin pergerakan Indonesia seperti Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Natsir, Tjipto Mangunkusumo. Dr. Soetomo, Mohammad Husni Thamrin dan lainnya. Parada Harahap, seorang wartawan otodidak mendirikan Bintang Timoer, H.O.S Tjokroaminoto memimpin Oetoesan Hindia.

Umumnya suratkabar ini diterbitkan sebagai alat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka melakukan provokasi dan pembelaan terhadap penindasan rakyat setempat oleh penguasa Belanda. Pengalaman di lapangan selaku wartawan, memperkaya empati para aktivis itu terhadap nasib orang banyak. Dalam buku Sekilas Perjuangan Suratkabar, tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro mengatakan dia mengenal dunia pergerakan kerakyatan, yang berkaitan dengan masalah sosial politik, justru dari dunia pers. Ia salah seorang redaktur suratkabar Kaoem Moeda dan Bintang Betawi.

Bagaimana kehidupan pers masa kini dan ancaman yang akan terus dihadapi wartawan? Nampaknya akan terus pasang surut. Dari sejarah pers ini kita belajar bahwa pemerintah atau penguasa yang salah takkan pernah menginginkan hadirnya pers yang benar. Pameran suratkabar ini salah satu tempat belajarnya.*

kembali keatas

by:Asikin Hasan