Suara Konglomerat

Eriyanto

Mon, 2 December 2002

PERTENGAHAN 1980-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi, pabrik dibangun di mana-mana. Pengusaha lahir, baik dari usaha sendiri maupun kedekatan dengan penguasa. Waktu itu muncul istilah konglomerat

PERTENGAHAN 1980-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi, pabrik dibangun di mana-mana. Pengusaha lahir, baik dari usaha sendiri maupun kedekatan dengan penguasa. Waktu itu muncul istilah konglomerat—pengusaha yang menguasai banyak bidang usaha.

Satu di antara konglomerat itu Sukamdani Sahid Gitosardjono. Ia mulai bisnisnya dengan percetakan kecil NV Harapan Masa pada 1955. Ia menjalankan dua mesin handpress, di rumah sederhana di pinggir Jalan Sudirman. Usaha itu ternyata berhasil. Dua puluh tahun berselang, mesin cetak tangan berganti dengan mesin-mesin offset yang mampu mencetak jutaan eksemplar buku. Ia tertarik masuk ke usaha lain. Pada 1974 Sukamdani membangun Hotel Sahid, setinggi 17 tingkat dengan kapasitas 514 kamar. Ia juga membeli bank, asuransi, pabrik soda abu dan amonium chloride. Ia bukan hanya berhasil meraup uang, tapi juga jabatan politis. Sejak 1982, ia terpilih sebagai ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin), sebuah wadah para pengusaha, dua periode berturut-turut.

Dalam autobiografinya yang ditulis 1989, Wirausaha Mengabdi Pembangunan, Sukamdani menceritakan bahwa pada 1985, di tengah suksesnya, ia masih memikirkan satu impiannya: mempunyai suratkabar. Ia merasa punya koneksi bagus. Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Soekarno, orang yang mengurus izin suratkabar, adalah temannya saat revolusi di Solo. Menteri Penerangan Harmoko juga kenalannya asal Solo.

Koneksi tak jadi soal, tapi permasalahan justru pada modal. Membuat suratkabar dibutuhkan modal besar. Sukamdani tak sanggup sendirian. “Saya mengajak Ciputra, Anthony Salim, dan Eric Samola untuk bersama-sama mendirikan suratkabar ekonomi. Mereka setuju,” katanya.

Ketiga orang itu pengusaha besar. Ciputra adalah bos PT Pembangunan Jaya, Metropolitan Group, dan Ciputra Group, yang memiliki lebih dari 70 perusahaan, terutama sektor perumahan, perkantoran, tempat hiburan, sampai sarana perbelanjaan. Ia sering dijuluki raja properti. Usaha Ciputra juga merambah ke hotel, perakitan komputer, sampai bank.

Anthony Salim adalah chief executive officer kelompok Salim. Saat itu, kelompok Salim menguasai lebih dari 400 perusahaan yang bergerak dari hulu sampai hilir, dari terigu sampai mi kering, dari bank sampai mobil. Kerajaan bisnis Salim membentang dari Indonesia sampai Jerman. Kantor perwakilannya berderet dari Filipina hingga Nigeria.

Eric Samola adalah eksekutif di PT Pembangunan Jaya. Ia salah satu kepercayaan Ciputra dalam berbagai proyek pembangunan perumahan. Samola mewakili Ciputra menjadi presiden direktur PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) dan PT Jawa Pos (penerbit harian Jawa Pos).

Kerja sama Sukamdani dengan Ciputra dan Anthony Salim bukan yang pertama. Mereka sebelumnya membentuk kongsi lewat PT Tridaya Manunggal Perkasa Semen yang bergerak di bidang industri semen.

Kongsi empat orang ini mendirikan PT Jurnalindo Aksara Grafika untuk menerbitkan harian Bisnis Indonesia. Saham Sukamdani 20 persen, Salim 20 persen, Ciputra 10 persen, dan Samola 10 persen. Sisa saham diberikan pada koperasi karyawan dan upeti untuk keluarga Menteri Penerangan Harmoko, masing-masing 20 persen.

Anthony Salim memberi kuasa kepada Soebronto Laras sebagai wakilnya. Soebronto saat itu presiden direktur Indomobil, sayap otomotif kerajaan bisnis Salim. Eric Samola, meski mewakili Ciputra, juga memiliki saham sendiri. Ini juga dilakukan Samola di PT Graffiti Pres, selain wakil Pembangunan Jaya, ia pribadi juga sebagai pemodal. Sukamdani turun tangan sendiri jadi pemimpin umum Bisnis Indonesia.

MASUKNYA pengusaha besar ke dalam bisnis media Indonesia bukan gejala baru. Menurut Christianto Wibisono dari Pusat Data Bisnis Indonesia, semuanya berawal dari proteksi apa yang dulu disebut sebagai Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers, biasa disingkat SIUPP.

“SIUPP yang sebelumnya gratis dan murah, sejak 1985 sudah tidak dikeluarkan lagi oleh Departemen Penerangan. Akibatnya harganya mahal. Hanya pengusaha besar yang bisa masuk dalam industri ini,” kata Wibisono dalam kolom majalah Tempo15 Februari 1992.

Kelompok Summa masuk ke majalah Editor. Kelompok Bakrie di belakang Pelita. Kelompok bisnis Ika Muda mengambil alih harian Berita Buana. Mungkin yang berbeda dengan harian Bisnis Indonesia, Sukamdani dan kawan-kawan bukan hanya setor modal tapi juga mengelola surakabar ini –beda dengan Editor, Berita Buana, atau Pelita.

Dari keempatnya, Eric Samola yang paling mengerti bisnis media. Samola pun ditugasi mempersiapkan Bisnis Indonesia sampai terbit perdana. Langkah pertama Samola adalah merekrut orang. Pilihan Samola untuk menyunting suratkabar ini jatuh kepada Amir Daud dan Lukman Setiawan untuk mengelola bagian usaha. Dua orang ini kenalan Samola. Setiawan penanggung jawab pengembangan majalah Tempo. Amir Daud pernah jadi redaktur pelaksana majalah Tempo. Saat Samola jadi direktur utama PT Bina Media Tenggara, penerbit harian The Jakarta Post, Samola juga menarik Amir Daud sebagai redaktur pelaksana.

“Saat itu saya sebetulnya mau pensiun dan konsentrasi menjadi pengajar. Samola membujuk saya agar mau menjadi pemimpin redaksi Bisnis Indonesia. Saya tertantang untuk menangani suratkabar ekonomi ini,” kata Daud pada saya.

Amir Daud pun mulai berburu wartawan. Ia mengajak Abdullah Alamudi, rekannya selama di Tempo dan The Jakarta Post, untuk ikutan. Beberapa wartawan ikut bergabung, misalnya Ery Soedewo dan Mansur Amin. Amir Daud juga memasang iklan di harian Sinar Harapan dan Kompas, mencari redaktur, reporter, fotografer, tata muka, dan tenaga nonredaksi.

Awal Agustus 1985, mereka yang lolos seleksi mulai menjalani masa orientasi dan pembekalan di kantor redaksi Bisnis Indonesia: Jalan Kramat V/8, Jakarta Pusat. Tempat ini semula bengkel reparasi mesin jahit Singer dan disewa Bisnis untuk lima tahun. Sebagian besar yang bekerja tenaga muda yang baru lulus kuliah.

Mereka mulai membuat dummy. Pada 18 Agustus 1985, di tengah-tengah giatnya berlatih, rombongan ini dikejutkan oleh peredaran perdana Harian Ekonomi Neraca, yang liputannya juga berfokus masalah ekonomi bisnis. Sebulan sesudahnya, keluar harian Jayakarta format baru yang juga mempunyai fokus liputan ekonomi bisnis. Di Kramat tak ada yang mengira kalau dua harian itu bisa terbit mendahului Bisnis Indonesia.

Menurut Amir Daud, pemilik saham memang memberitahu kalau selain Bisnis Indonesia ada dua suratkabar lain yang juga mengurus izin terbit untuk harian ekonomi. Pada 1983-1984, Departemen Penerangan memang memperlonggar pemberian surat izin untuk pendirian suratkabar ekonomi. Untuk harian umum, tak dikeluarkan izin baru, karena jumlahnya cukup banyak dan yang sudah ada perlu perlindungan. Di Jakarta saat itu ada 21 harian umum plus 60 majalah.

Tapi SIUPP untuk suratkabar ekonomi diperlonggar, menyusul pembredelan Jurnal Ekuin Maret 1982. Jurnal Ekuin baru terbit pada 29 April 1981. Sirkulasinya 15 ribu eksemplar. Isinya tentang dunia usaha dan bisnis. Tapi jahatnya, menjelang ulang tahunnya yang kedua, suratkabar ini dibredel Departemen Penerangan. Alasannya, sebuah berita tentang patokan harga ekspor minyak Indonesia, yang katanya tak untuk disiarkan, muncul di harian itu pada terbitan Maret.

Harian Ekonomi Neraca dipimpin Zulharmans, seorang wartawan yang cukup terkenal, yagn jadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia saat itu. Neraca membidik pasar yang sebelumnya ditempati oleh Jurnal Ekuin. Hanya saja Neraca melebarkannya dengan menyertakan usaha kecil dan menengah.

Jayakarta didirikan Komando Daerah Militer V Jakarta Raya sejak 1966 tapi sempat dihentikan penerbitannya karena mengubah susunan personalia tanpa memberitahu Departemen Penerangan. Akhir Agustus 1985, Jayakarta terbit kembali dengan format baru: suratkabar ekonomi.

Saat itu, menurut Amir Daud, ada keraguan kalau-kalau izin Bisnis Indonesia tidak keluar. Saat tengah mempersiapkan dummy edisi 4 Desember 1985, mereka diberitahu Sukamdani kalau izin Bisnis Indonesia sudah turun. Sepuluh hari kemudian, 14 Desember 1985, edisi perdana Bisnis Indonesia terbit.

BISNIS Indonesia awal banyak diwarnai Amir Daud. Halaman pertama misalnya, tak dijejali banyak berita, ditulis sekali selesai, tanpa sambungan ke halaman lain. Ini ciri khas Amir Daud. Laporan yang ada hubungannya dengan suatu berita halaman satu, ditempatkan di halaman lain. Foto yang terkait suatu berita juga ditempatkan di halaman berbeda. Pendek kata ringkas, sederhana, dan mudah dipegang. Di halaman pertama juga terdapat rubrik Jagad Aneh –berisi beberapa berita ringan yang segar dan mengundang senyum. Dua formula ini juga dipakai harian The Jakarta Post. Bisnis Indonesia juga menampilkan harga barang berbagai jenis, tarif hotel, bursa efek, kurs konversi rupiah, tingkat suku bunga, jadwal penerbangan pesawat terbang, kapal laut, dan kereta api.

Amir Daud punya pengalaman panjang dengan media internasional. Dia pernah bekerja untuk majalah Time, kantor berita Agence France Presse, maupun Associated Press, sehingga pemahamannya terhadap isu-isu internasional juga membuat Bisnis terkesan kosmopolitan. Ini beda dengan Neraca dan Jayakarta. Bisnis banyak menampilkan berita internasional di halaman pertama. Peristiwa dan perusahaan internasional juga mendapat liputan luas. Liputan internasional ini bukan hanya melulu soal ekonomi tapi juga politik. Harian Ekonomi Neraca banyak mengupas soal usaha kecil dan menengah nasional serta berbagai kebijakan pemerintah. Jayakarta, meski mengklaim diri suratkabar ekonomi, di edisi awal justru banyak menampilkan politik nasional dan kriminalitas.

Menurut Amir Daud, pilihan ini diambilnya karena pembaca Bisnis dari kalangan pengusaha. “Kalangan penguasa yang dibidik Bisnis Indonesia adalah orang yang sibuk, dan mengikuti berita internasional. Mereka terbiasa juga membaca suratkabar-suratkabar asing, karena itu Bisnis Indonesia menampilkan berita-berita internasional yang mempunyai kaitan dengan dunia usaha di Indonesia,” katanya.

Bisnis mulanya dicetak 60 ribu eksemplar. Selama dua minggu suratkabar ini dibagikan gratis ke berbagai titik-titik bisnis strategis: bank, kantor pemerintahan, dan usaha lain. Gustaf, yang saat itu menjabat sebagai koordinator umum dan distribusi, menceritakan bagaimana tiap pagi ia membundel Bisnis Indonesia dan membagikannya ke tiap bank. “Satu bank atau kantor bisa dapat 50 sampai 100 suratkabar,” katanya.

Strategi ini dipilih untuk menjaring pelanggan. Bulan berikutnya, kebijakan pemberian suratkabar gratis ini dikurangi, meski porsinya tetap besar. Kebijakan ini ternyata tak banyak menolong. Sirkulasi Bisnis tetap rendah. Setelah setahun terbit, mereka terus menangguk kerugian.

Pemegang saham saat itu mulai tak sabar dengan perkembangan Bisnis Indonesia. Apalagi, target awalnya terlalu muluk: dalam tempo satu tahun harus balik modal. Amir Daud, dipanggil beberapa kali oleh Sukamdani untuk menjelaskan perkembangan Bisnis Indonesia. Pemegang saham, kata Amir, banyak menyalahkan redaksi yang tak bisa menjual berita.

Amir Daud wartawan yang tangguh dan punya jam terbang tinggi. Ia membedakan secara tegas mana bagian dan tanggung jawab redaksi dan mana bagian usaha. Terkadang, bagian usaha menilai sikap Amir Daud ini terlalu kaku dan tidak fleksibel. Amir tetap berpegang pada pendiriannya. “Ini suratkabar bisnis, sumber berita kita adalah pengusaha, yang kita liput juga dunia usaha. Sangat mungkin terjadi conflict of interest. Karena itu perlu ada pembedaan yang tegas antara sisi redaksi dan usaha,” katanya.

Salah satu keputusan Amir Daud yang dianggap kontroversial adalah soal iklan kuping. Ini iklan yang ditempatkan di pojok, kiri dan kanan, umumnya bagian atas halaman pertama suratkabar. Bagian iklan memberitahu kalau ada pemasang iklan yang berminat memasang iklan kuping. Amir Daud menolak. Alasannya iklan tersebut menganggu. “Saat itu iklan kuping tidak biasa, dan bisa menganggu kenikmatan orang membaca.”

Amir Daud juga tidak menyukai iklan yang berada di tengah tulisan, misalnya ditempatkan di tengah halaman, dikenal sebagai “island advertisement.” Baginya, harus jelas mana tempat iklan dan mana berita. Ia juga sangat keras anti berita berbau iklan. Ia melarang wartawannya meliput peristiwa yang bisa diposisikan sebagai iklan. Berita soal peluncuran produk, misalnya, bukannya tak diberitakan, tapi ditempatkan secara proporsional. Amir Daud juga tidak suka pengulangan. Kalau memberitakan suatu produk atau perusahaan, ia melarang penyebutan produk itu lebih dari dua kali dalam satu tulisan. Penyebutan berkali-kali tersebut, menurutnya, selain tak efisien dalam berbahasa juga bisa timbul kesan jadi iklan terselubung.

Prinsip Amir Daud ini dianggap kaku oleh manajemen perusahaan. Menurut Banjar Chaeruddin, saat itu reporter baru Bisnis Indonesia, pihak perusahaan ingin lebih fleksibel dalam memberitakan perusahaan atau produk. “Gampangnya, berbau iklan sedikit tidak apa-apa,” kata Chaeruddin.

Di redaksi, kebijakan Amir Daud juga menimbulkan gerutuan. Dia sangat peka soal bahasa. Ia selalu mengkritik soal pemakaian ejaan, penulisan nama, tanda baca, juga efisiensi bahasa. Banyak wartawan muda, yang mungkin belum tahu banyak suka-duka jurnalisme, menganggap Amir Daud hanya mengurusi soal bahasa, bukan substansi berita.

Ada juga kebijakan redaksi yang lebih tak disukai wartawan yaitu soal perputaran wartawan (rolling). Dia menginginkan wartawannya tahu banyak soal. Tujuannya, kalau terjadi sesuatu, seperti wartawan pindah ke tempat lain, redaksi bisa selalu siap mengganti posisi yang lowong. Wartawan yang sudah senior dan menjadi penangung jawab rubrik Transportasi misalnya, bisa dipindah dan jadi reporter rubrik Koperasi.

Amir Daud konsisten menjadikan Bisnis Indonesia sebagai suratkabar bermutu. Meski sirkulasi dan iklan belum menunjukkan kemajuan berarti, ia tak tergoda untuk mengubah gaya pemberitaan Bisnis Indonesia, dengan berita yang sensasional. “Bisnis media memang bisnis jangka panjang. Tidak bisa dilihat hasilnya dalam satu dua tahun,” katanya.

Enam bulan setelah Bisnis Indonesia terbit, suratkabar ini mempunyai saingan satu lagi. Namanya Prioritas, yang didirikan oleh Surya Paloh, seorang pengusaha asal Medan, yang sebelumnya bergerak di bidang makanan rantangan (catering). Prioritas memakai huruf-huruf cetak yang mencolok ukurannya, tata letak berwarna, dan isinya terkesan meledak-ledak. Isinya banyak menyingkap korupsi, dengan bahasa yang langsung, dan sesekali kritik pedas. Ini sesuatu yang tak lazim pada masa Orde Baru. Gaya Prioritas juga berbalikan dengan Bisnis Indonesia yang lebih memilih tampilan dingin—baik huruf dan tata letak maupun gaya penulisannya.

Pada 9 Juni 1987, atas undangan Keindanren, kamar dagang Jepang, wartawan Bisnis Indonesia Indra Sjarifuddin berkunjung ke Jepang bersama wartawan Tempo, Prioritas, Kompas, dan The Jakarta Post. Mereka mengunjungi perusahaan-perusahaan raksasa di Jepang. Di sela kunjungan, rombongan wartawan itu juga menemui dan mewawancarai Dutabesar Indonesia Wijogo Atmodarminto. Dalam wawancara itu, Atmodarminto banyak mengkritik kelambanan pejabat Indonesia dalam menggaet investor Jepang, padahal banyak pengusaha Jepang ingin menanamkan uangnya di Indonesia.

Sjarifuddin tak menulis komentar itu. Bisnis Indonesia lebih memilih hati-hati dan cenderung menghindari berita yang bisa memancing kemarahan pihak lain. Wartawan Prioritas menulis besar-besar wawancara itu dengan judul, “Wijogo Kritik BKPM.” Berita Prioritas itu menjadi salah satu alasan Departemen Penerangan membredel Prioritas beberapa bulan sesudahnya.

Tiga tahun memimpin Bisnis Indonesia, Amir Daud mendapat banyak permintaan dari pemegang saham, mulai dari agar suratkabar lebih laku hingga tekanan untuk memuat atau menolak berita tertentu. Tekanan-tekanan itu menguat. Pemilik saham tak sabar dengan Bisnis yang dinilai tak berkembang dari sudut ekonomi. Amir Daud merasa tak punya banyak pilihan dan memilih mundur. Dia menjadi instruktur wartawan di Lembaga Pers Dr. Soetomo hingga sekarang.

POSISI pemimpin redaksi dirangkap Sukamdani Sahid Gitosardjono –orang yang punya latar belakang 180 derajad berbeda dengan Amir Daud. Sukamdani tak bisa melakukan reportase dan tak bisa menulis. Maka urusan redaksi sehari-hari diserahkan kepada wakil pemimpin redaksi Ery Soedewo dan redaktur pelaksana Banjar Chaeruddin. Periode pergantian ini merupakan masa genting pertama Bisnis Indonesia. Sirkulasi tak kunjung naik, iklan masih seret, dan repotnya lagi, beberapa wartawan Bisnis pindah kerja.

Saat itu Surya Paloh, setelah Prioritas dibredel pemerintah, mendirikan harian Media Indonesia, dan 15 wartawan Bisnis pindah ke sana dengan penghasilan lebih baik. Beberapa wartawan lain pindah ke majalah Warta Ekonomi. “Di mata wartawan saat itu, Bisnis Indonesia tidak punya masa depan, tinggal menunggu hari kematiannya,” kata Chaeruddin.

Redaksi berpikir keras terutama bagaimana membuat Bisnis Indonesia berbeda dengan suratkabar ekonomi lain. “Saat itu kami berpikir harus ada liputan yang khas Bisnis Indonesia dan tidak dipunyai oleh suratkabar bisnis lain. Hanya dengan itu Bisnis Indonesia bisa bertahan. Tetapi apa?” kata Chaeruddin. Dalam benak redaktur Bisnis Indonesia saat itu semua liputan ekonomi bisnis sudah diliput dari soal bank, jasa, transportasi, pertanian, sampai koperasi. Di tengah kebuntuan, Eric Samola memberi ide. Samola menyarankan agar Bisnis Indonesia memfokuskan liputan soal bursa saham. Berita ini tidak banyak diliput bahkan dihindari suratkabar ekonomi saat itu.

Ide Samola semula dianggap aneh. Bursa saham masih baru, aktivitas menarik uang lewat pasar modal juga masih dianggap tidak lazim. Pasar modal sampai 1988, berjalan sangat lamban. Jumlah emiten yang tercatat di bursa sampai 1988 baru mencapai 24 perusahaan. Bursa Efek Jakarta, satu-satunya pasar bursa saat itu, diwarnai suasana sepi, baik dari segi penawaran saham (emiten) maupun penawaran (investor). Nilai transaksi rata-rata harian di bursa mencapai Rp 284,9 juta antara 1977-1988, atau sekitar 9.500 saham tiap hari. Bursa saham di Indonesia bahkan salah satu yang paling sepi di Asia Tenggara saat itu.

Pada titik ini Bisnis Indonesia menghadirkan berita-berita saham. Sejak awal 1988, indeks harga saham yang semula di halaman dalam, ditempatkan di halaman pertama. Profil perusahaan yang akan go public ditempatkan juga di halaman muka. Berita soal perusahaan yang sehat atau perusahaan yang akan mencatatkan diri di bursa juga mendapat tempat luas, kalau perlu dengan foto di halaman muka. Aktivitas di lantai bursa, meski sepi, juga diberitakan.

“Saat itu kalau bertemu dengan wartawan lain, saya selalu diledekin, perusahaan apa lagi yang akan dimuat oleh Bisnis Indonesia. Berita-berita soal bursa saham oleh teman-teman wartawan lain juga disebut bukan berita tetapi humas,” kata Chaeruddin.

Kalau dibilang aneh, menurut Chaeruddin, karena di saat suratkabar ekonomi lain menulis soal perdagangan, fluktuasi harga sayur, Bisnis Indonesia menulis soal fluktuasi harga saham. Sempat ada keraguan di kalangan redaksi, apakah pilihan pemberitaan itu tidak membuat Bisnis Indonesia makin terperosok lebih dalam. Samola dalam suatu rapat, meyakinkan agar berita soal saham ini tetap dikedepankan oleh Bisnis Indonesia. Menurut Chaeruddin, Samola pernah menyatakan ia mendapat informasi dari pejabat keuangan dan moneter kalau bursa saham Indonesia akan bangkit tidak lama lagi, dan akan ada kebijakan untuk mendinamiskan pasar modal.

Intuisi ini ternyata benar. Akhir 1988, tiba-tiba saja ada perubahan drastis dalam kehidupan pasar modal di Indonesia. Oktober 1988, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), sebuah lembaga yang bertanggung jawab mengawasi pasar modal, dipegang oleh Marzuki Usman. Ia ekonom yang bersemangat. Di tangannya berbagai perubahan penting dilakukan. Marzuki aktif mensosialisasikan ide pasar modal ke berbagai perusahaan.

Di tahun-tahun itu, untuk mengimbangi ketergantungan pada ekspor minyak dan gas, pemerintah mengeluarkan berbagai paket deregulasi yang dikenal sebagai paket Desember 1987, paket Oktober 1988, dan paket Desember 1988.

Dalam deregu;aso Oktober 1987, pemerintah membuka pintu bagi masuknya investor asing. Perusahaan yang ingin mencatatkan saham juga dipermudah persyaratannya dengan mencabut kewajiban laba 10 persen selama dua tahun sebelumnya. Prosedur proses emisi saham disederhanakan melalui satu pintu. Dalam paket Oktober 1988, ditetapkan pajak yang sama bagi deviden dan deposito yakni sebesar 15 persen, yang diproyeksikan dapat mendorong orang untuk menanam saham. Paket Desember 1988 memberi kelonggaran bagi investor asing untuk menguasai saham perusahaan yang go public hingga 49 persen.

Berbagai kebijakan itu membuat pasar saham booming terutama antara 1988-1990. Berbagai perusahaan mencatatkan dirinya di bursa saham. Bahkan ada anggapan, perusahaan baru sehat kalau sudah go public. Investor juga mulai demam membeli saham. Begitu besarnya pertumbuhan tersebut, sampai majalah Time edisi 12 Juni 1990, pernah menobatkan Bursa Efek Jakarta sebagai salah satu bursa efek yang paling cepat berkembang di dunia. Sampai 1990 misalnya, dalam hanya jangka waktu dua tahun, nilai rata-rata transaksi harian mencapai Rp 34,4 miliar. Jumlah perusahaan yang mencatatkan sahamnya di pasar modal telah mencapai 114 dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp 15 triliun. Atau hanya dalam jangka waktu dua tahun telah terjadi lonjakan hingga 400 persen.

Perubahan momentum itu dinikmati betul oleh Bisnis Indonesia. “Pasar saham masih relatif baru. Orang butuh panduan menafsirkan harga saham. Orang juga membutuhkan informasi mengenai kondisi perusahaan, kinerja produk, laporan keuangan, dan proyeksi prospek saham. Bisnis Indonesia yang sudah memberitakan jauh sebelum demam bursa saham, tiba-tiba menjadi panduan utama baik bagi perusahaan maupun masyarakat,” kata Chaeruddin.

Saham dan pasar modal saat itu masih barang baru. Wartawan Bisnis Indonesia, kenang Ery Soedewo, belajar sendiri mengenai istilah-istilah dalam dunia saham yang masih asing. Sering kali diwarnai kesalahan fatal. Security house, sebuah istilah dalam dunia saham yang artinya pialang saham, pernah diterjemahkan sebagai “rumah jaga monyet.” Bull market, untuk menyebut pasar saham yang lagi ramai, diterjemahkan sebagai “sapi masuk bursa.” Saat itu belum banyak protes yang dialamatkan ke Bisnis Indonesia.

Ery Soedewo, yang saat itu wakil pemimpin redaksi, menceritakan di mana-mana orang membawa Bisnis Indonesia. Perubahan ini diikuti oleh Neraca. Tapi terlambat. Orang sudah memposisikan suratkabar Bisnis Indonesia sebagai suratkabar bursa. “Pilihan memberitakan bursa saham saat itu memang gambling. Di saat kondisi Bisnis Indonesia sedang merugi, kami mengambil pilihan yang tidak biasa. Untungnya sesuai dengan momentun. Kalau misalnya bursa saham di akhir 1990-an tersebut tidak bangkit, Bisnis Indonesia mungkin sudah bangkrut dan mati,” kata Soedewo.

Naiknya pasar modal itu bukan hanya membuat Bisnis Indonesia mendapat tempat di dunia bisnis, tapi juga pundi-pundi uangnya mengalir deras. Apa pasal? Dalam Undang-undang Pasar Modal tahun 1985 disebutkan, perusahaan yang mencatatkan diri di bursa saham wajib membuat laporan rutin dan berkala, meliputi laporan keuangan dan laporan kejadian penting di perusahaan (seperti rencana rapat umum pemegang saham atau perubahan susunan direksi). Dari berbagai laporan tersebut, ada tiga laporan yang “wajib” dimuat di suratkabar dalam bentuk iklan yakni laporan keuangan tahunan, laporan keuangan tengah tahunan, dan rencana rapat umum pemegang saham. Itu masih diembel-embeli dengan ketentuan, iklan itu harus dimuat minimal dua kali di suratkabar dengan jangkauan luas.

Perusahaan minimal mengiklankan kondisi perusahaannya sebanyak tiga kali masing-masing di dua suratkabar. Ini kondisi minimal, karena ada juga perusahaan yang melaporkan kondisi keuangan triwulanan. Ini juga belum termasuk laporan ringkas prospektus bagi perusahaan yang akan go public. Kalau angka 1990 diambil patokan, sebanyak 114 perusahaan publik, berarti minimal ada 684 iklan yang pasti ada sepanjang tahun. Posisi Bisnis Indonesia diuntungkan, karena perusahaan umumnya mengiklankan diri di dua suratkabar: suratkabar umum dan ekonomi. Bisnis Indonesia menjadi pilihan utama untuk suratkabar ekonomi. Kalau Bisnis Indonesia bisa menghambil setengahnya saja dari pasar minimal yang sudah pasti ada, berarti tiap tahun paling tidak ada 342 iklan yang tersedia.

“Saat itu, iklan mengalir deras. Bahkan tanpa dicari, iklan sudah datang sendiri,” kata Soedewo. Bisnis Indonesia yang hampir saja diambang kebangkrutan, tiba-tiba meraih keuntungan yang menakjubkan.

Angka-angka ini bisa berbicara sendiri. Sampai akhir 1987, atau dua tahun kelahiran Bisnis Indonesia, menurut data dari PT Surindo Utama, sebuah perusahaan riset media, iklan yang berhasil didapat Bisnis Indonesia selama satu tahun mencapai Rp 2,7 miliar. Atau sekitar 2,5 persen dari total iklan untuk media cetak sepanjang 1987 yang mencapai Rp 109,3 miliar. Bandingkan misalnya dengan Kompas, yang di tahun sama mendapatkan iklan sebesar Rp 34,4 miliar.

Momentum naiknya pasar saham mengubah angka-angka itu. Pada 1990 iklan yang berhasil didapat Bisnis Indonesia mencapai Rp 14,1 miliar atau sekitar 5,5 persen dari total budget iklan media cetak harian yang mencapai Rp 255,6 miliar. Dalam jangka waktu tiga tahun, perolehan iklan Bisnis Indonesia melonjak lebih dari lima kali lipat. Dari total seluruh media harian, perolehan iklan Bisnis Indonesia tiba-tiba meroket di urutan empat besar (di bawah Kompas, Suara Pembaruan, dan Jawa Pos). Padahal akhir 1987, posisi Bisnis Indonesia baru berada di posisi 10 dari total suratkabar harian.

14 DESEMBER 1989. Bisnis Indonesia genap berusia empat tahun. Pesta digelar di Hotel Sahid. Iringan musik Ireng Maulana menambah meriahnya pesta. Tokoh pengusaha seperti Probosutedjo, Edi Kowara, dan Rosita Noor datang. Dalam acara itu Sukamdani, pemimpin umum sekaligus pemimpin redaksi Bisnis Indonesia, dengan bangga mengatakan korannya ini sudah balik modal, bahkan sudah untung. Titik balik modal ini memang terlambat tiga tahun ketimbang yang direncanakan sebelumnya, satu tahun sudah balik modal.

Kalau dikatakan terlambat sebenarnya tidak tepat juga. Selama tiga tahun, Bisnis Indonesia selalu merugi. Baru pada tahun keempat, ia memperoleh keuntungan. Pendapatan iklan pada 1989, menurut catatan PT Surindo Utama, mencapai Rp 6,1 miliar. Data PT Surindo Utama ini hanya mencatat perolehan iklan bersih, sebelum dikurangi dengan rabat ke biro iklan. Kalau diambil angka rabat maksimal 40 persen, pendapatan iklan Bisnis Indonesia mencapai Rp 3,7 miliar. Pendapatan dari iklan ini sudah bisa menutup ongkos produksi yang saat itu mencapai Rp 2 miliar per tahun. Ini belum termasuk pendapatan dari sirkulasi yang terjual. Keuntungan itu tidak terlepas dari limpahan rezeki iklan dari perusahaan yang go public di bursa saham.

Formula keuntungan sepanjang 1988 itu yang dipertahankan terus oleh Bisnis Indonesia terutama di bawah Sukamdani. Liputan saham yang menjadi ciri khas Bisnis Indonesia dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Bisnis Indonesia bukan hanya mencantumkan indeks harga saham dan analisis naik turunnya harga saham, tapi juga memuat formulir pembelian saham. Data dan profil perusahaan juga mendapat liputan yang luas di Bisnis Indonesia.

Halaman-halaman Bisnis Indonesia dipenuhi dengan berita soal perusahaan, terutama perusahaan yang akan go public. Foto halaman depan Bisnis Indonesia dipenuhi oleh perusahaan yang berhasil. Perusahaan yang meluncurkan produk baru, atau ekspor produk diberitakan secara luas. Pengusaha yang mendapat penghargaan misalnya mendapat liputan yang panjang. Semua yang disajikan Bisnis Indonesia adalah kisah sukses pengusaha.

Menurut Banjar Chaeruddin, pada 1990 Bisnis Indonesia berorientasi murni pada pengusaha. “Karena pengusaha adalah pasar dan pembaca Bisnis Indonesia, maka berita-berita Bisnis Indonesia juga berisi tentang dunia pengusaha. Liputan Bisnis Indonesia juga bergeser menjadi sangat mikro, tentang perusahaan, tentang produk, dan sebagainya,” kata Chaeruddin.

Liputan soal perusahaan yang meluncurkan produk tertentu, tentang perusahaan yang ekspor barang tertentu dan sebagainya, mendapat liputan luas. Menurut Ery Soedewo, pengusaha menjadi titik sentral liputan, juga tokoh bisnis. Kalau sebelumnya pejabat pemerintah yang banyak dimintai komentar dalam Bisnis Indonesia pengusaha yang dijadikan sumber utama dalam liputan. “Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tertentu, kita wawancara dengan pengusaha bagaimana mereka merespon kebijakan tersebut. Kita lebih banyak memberi tempat kepada suara dan kepentingan pengusaha,” kata Soedewo.

Ini yang membedakan Bisnis Indonesia di bawah Sukamdani dengan Amir Daud. Bisnis Indonesia di tangan Amir Daud banyak berisikan berita ekonomi makro, liputan kondisi politik domestik, dan internasional. Menurut Amir Daud, liputan semacam itu perlu sebagai panduan bagi para pengusaha dalam mengambil keputusan bisnis. Sejak 1990-an, halaman internasional makin dikurangi. Berita-berita politik juga dikurangi. Halaman-halaman Bisnis Indonesia penuh dengan laporan soal teknis dan kejadian mikro ekonomi.

Tidak mengherankan jika muncul komentar kalau Bisnis Indonesia menjadi suara dan corong pengusaha. “Memang saat itu Bisnis Indonesia menjadi suara pengusaha. Tidak ada media yang menyuarakan kepentingan pengusaha,” kata Chaeruddin.

Bisnis Indonesia berusaha membuat citra Bisnis Indonesia sebagai suratkabar bisnis dan pengusaha. Awal 1990, misalnya harga eceran suratkabar Bisnis Indonesia dijual per eksemplar Rp 500. Dengan tebal 12 halaman, harga suratkabar ini yang paling mahal saat itu. Kompas dan suratkabar umum lain dijual eceran dengan harga Rp 300. Citra sebagai suratkabar mahal dan eksklusif justru ingin ditanamkan oleh Bisnis Indonesia. Shirato Sjafei, pemimpin perusahaan Bisnis Indonesia, di majalah Tempo edisi 30 Desember 1989, mengatakan, “Kenaikan harga itu ternyata tidak membuat oplah turun, mereka yang langganan juga tidak protes dengan kenaikan harga tersebut.”

Kebutuhan para pengusaha juga dipenuhi oleh Bisnis Indonesia. Selain harga saham, nilai kurs rupiah, harga mata uang, dan emas juga diberitakan. Indeks saham di negara lain juga dicantumkan. Jadwal penerbangam, kereta api, maupun jadwal bongkar muat di pelabuhan juga diberitakan oleh Bisnis Indonesia. Bisnis Indonesia bukan hanya memberi tempat yang luas bagi pengusaha, tetapi juga memberitakan pengusaha dengan positif. Hanya perusahaan yang berhasil yang mendapat liputan, sementara pengusaha yang korup tidak diberitakan.

SETELAH empat tahun jabatan pemimpin redaksi dipegang Sukamdani pada 1993, Ery Soedewo yang sebelumnya wakil pemimpin redaksi naik menjadi pemimpin redaksi. Soedewo mantan wartawan Jurnal Ekuin. Tidak banyak hal yang diubah dari gaya pemberitaan Bisnis Indonesia. Soedewo mempertahankan resep Bisnis Indonesia, lewat pemberitaan yang tidak menohok dan memuji pengusaha.

Soedewo merangkul pengusaha dan menempatkan Bisnis Indonesia sebagai mitra bisnis mereka. “Kami datang ke pengusaha dan menanyakan kepada mereka program dan produk apa yang mereka hasilkan. Misalnya, bank mempunyai program undian berhadiah atau tengah menaikkan bunga deposito, Bisnis Indonesia berinisiatif memberitakannya. Suratkabar lain mungkin tidak memberitakannya,” katanya.

Pola pemberitaan itu, menurut Soedewo, membuat berita Bisnis Indonesia seperti ajang promosi bagi perusahaan. Menurut Soedewo, saat itu posisi Bisnis Indonesia sulit. Pemberitaan yang buruk mengenai perusahaan tertentu bisa berpengaruh terhadap harga saham perusahaan bersangkutan. “Karena itu Bisnis Indonesia lebih memilih gaya pemberitaan yang santun, tidak meledak-ledak, dan konstruktif,” kata Soedewo. Gaya pemberitaan semacam itu, bisa menyenangkan pengusaha yang akan mengeluarkan uang dalam bentuk iklan di Bisnis Indonesia.

Menurut Soedewo, pemodal Bisnis Indonesia tidak ingin gaya yang sudah terbukti memberikan keuntungan tersebut diubah. Saat itu sudah mulai terpikirkan membuat liputan yang lebih mendalam dan merancang database perusahaan atau data ekonomi. Meski pemodal pengusaha besar, ternyata bukan jaminan aliran dana lancar. “Mereka itu pelit kalau sudah berurusan dengan uang. Mereka menganggap bisnis suratkabar seperti bisnis barang lain, sekali dibuat langsung untung. Ketika saya mengatakan untuk liputan tertentu membutuhkan tambahan dana, uang yang dijanjikan tidak keluar. Yang ada malah berbagai target dan tekanan yang harus dipenuhi oleh redaksi,” kata Soedewo.

Pemodal, menurut Soedewo, sering juga memberikan tekanan pada redaksi agar tidak memberitakan peristiwa tertentu. Terutama yang berkaitan dengan usaha dan bisnis mereka.

Tekanan yang dimaksud Soedewo ini misalnya terjadi pada 1991. Pada 29 Agustus, menjelang hari ulang tahun PT Pembangunan Jaya yang ke-30, ketika proyek perkantoran Slipi tengah digarap, enam buruh di bawah mandor Jaya Konstruksi yang sedang bekerja tewas tertimpa stager. Ketika itu opini publik melontarkan kecaman dan meminta agar Jaya Konstruksi diajukan ke pengadilan. Peristiwa itu akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan. Bisnis Indonesia absen, tidak memberitakan peristiwa tersebut. Hal yang sama terjadi ketika Ciputra membangun proyek kontroversialnya, pembangunan kawasan perumahan di Pantai Indah Kapuk. Pada 1994, Ciputra merampungkan pembangunan lapangan golf di areal Pantai Indah Kapuk, sebagian perumahan dan waduk penampung air. Sejak 1993, Pantai Indah Kapuk juga memasang beton pemecah ombak. Bisnis Indonesia tidak memberitakan protes masyarakat terhadap beton tersebut yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di muara kanal Cengkareng.

Tapi di tahun yang sama, Bisnis Indonesia memberitakan pemberhentian Ciputra dari manajemen Pondok Indah Golf. Berita itu membuat Ciputra marah. Menurut Soedewo, saat itu ia dipanggil Ciputra dan dimarahi karena memuat berita yang seharusnya tidak dimuat.

Soedewo hanya menjabat pemimpin redaksi selama satu tahun. Mei 1994, ia dipaksa turun oleh karyawan. Ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi, banyak wartawan yang tidak suka dengan gaya kepemimpinan Soedewo yang dinilai otoriter. Hasudungan Sirait, mantan redaktur Bisnis Indonesia, menceritakan Soedewo banyak berubah setelah menjabat pemimpin redaksi. “Sebelum menjadi pemimpin redaksi, Soedewo orang yang menyenangkan, hangat, dan dekat dengan wartawan. Setelah menjadi pemimpin redaksi, ia suka main perintah, angkuh, dan menjaga jarak dengan wartawan,” kata Sirait.

Sikap yang paling tidak disukai karyawan, menurut Sirait, kebiasaan Soedewo main ancam. “Kalau ada wartawan yang tidak bagus kerjanya, bukan ditegur, tetapi diancam untuk dipecat. Suasana kantor menjadi tidak nyaman,” katanya.

Bersama dengan Meirizal Zulkarnaen, dan beberapa wartawan lain, Sirait membuat mosi tidak percaya atas kepemimpinan Soedewo. Saat itu terkumpul 200 tanda tangan yang tidak menyetujui kepemimpinan Soedewo. Direksi semula menyarankan agar karyawan berunding dulu dengan Soedewo. Karyawan menolak. Satu minggu setelah surat mosi tidak percaya itu, direksi memberhentikan Soedewo dari jabatan pemimpin redaksi.

Begitu mudahnya Soedewo diturunkan? Ketika saya konfirmasikan ke Soedewo, ia tidak percaya pemberhentian dirinya semata karena mosi tidak percaya karyawan. “Saat itu memang ada mosi tidak percaya kepada saya. Tetapi saya yakin, ada yang menggerakkan, dan bukan murni keinginan karyawan. Ada pemegang saham yang tidak suka dengan saya,” katanya.

Menurut Soedewo, ada klik-klik di tubuh Bisnis Indonesia. “Saya sering dikatakan sebagai orangnya Eric Samola. Ada pemegang saham lain yang tidak setuju dengan saya dan Samola. Mosi tidak percaya itu dipakai sebagai alasan untuk menurunkan saya,” katanya. Soedewo sempat tidak terima dengan pemberhentian dirinya. Ia membuat surat protes ke berbagai lembaga dari Persatuan Wartawan Indonesia, Serikat Penerbit Suratkabar, hingga Departemen Tenaga Kerja. Ia juga bolos kantor sampai satu tahun. Ketidakhadirannya di kantor justru dijadikan alasan direksi untuk memberhentikan Soedewo dari Bisnis Indonesia. Soedewo sempat melaporkan Bisnis Indonesia ke Departemen Tenaga Kerja, sebelum ia akhirnya memilih mengundurkan diri.

PENGGANTI Soedewo adalah Banjar Chaeruddin. Ia sosok yang disukai karyawan. Orangnya mudah bergaul, dan dekat dengan karyawan. Di bawah Chaeruddin, gaya pemberitaan Bisnis Indonesia juga tidak berubah. Saat itu bahkan dipopulerkan istilah “jurnalisme pertemanan.” Saya sempat bertanya kepada Chaeruddin asal muasal gaya jurnalisme ini. “Saya tidak tahu, kapan dan dari mana istilah tersebut lahir. Ini sebuah kultural yang terbentuk begitu saja oleh suasana di Bisnis Indonesia. Pengusaha dipandang sebagai teman, karenanya pemberitaan tidak meledak-ledak, kalaupun kritik diberikan, selalu dengan nada konstruktif tidak menghina atau melecehkan pengusaha,” kata Chaeruddin.

Meski tidak menjadi aturan resmi, gaya ini menjadi prosedur baku penulisan di Bisnis Indonesia. Dalam sebuah buku panduan internal mengenai laik muat di Bisnis Indonesia yang dibuat pada 1994, disebutkan: pemberitaan harus bersifat optimistik, tidak bersifat pesimistik. Soal prosedur penulisan, dalam buku panduan yang sama, disebutkan tulisan tidak menyinggung perasaan pejabat, golongan, pengusaha, dan sebaliknya bisa menarik simpati mereka. Item kelima dalam panduan tersebut juga menyatakan, pemberitaan harus memperhatikan imbauan pemerintah/instansi pemerintah.

Secara umum bila buku panduan tersebut dibuka, terlihat jelas sikap yang dibawa Bisnis Indonesia tidak bersifat konfrontatif terhadap pengusaha. Bahkan diusahakan agar pemberitaan tidak menyinggung perasaan pengusaha dan pejabat pemerintah.

Bagaimana gaya ini diterapkan bisa dilihat dalam pemberitaan Bisnis Indonesia soal proyek mobil nasional, milik Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto. Kasus ini dimulai dari keluarnya Intruksi Presiden nomor 2/1996 yang diumumkan 29 Februari 1996. Dalam Intruksi Presiden tersebut disebutkan, pemerintah akan mengondisikan proyek mobil nasional, di antaranya dengan pembebasan pajak masuk dan pajak barang mewah kepada PT Timor Putera Nusantara (PT TPN). Pembebasan diberikan selama tiga tahun, dan dalam jangka waktu itu PT TPN harus menjalankan program pembangunan komponen secara bertahap. Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Yang pro mengatakan ini kesempatan untuk mendapatkan harga mobil yang murah, sementara yang kontra menyatakan kebijakan ini diskriminatif karena hanya diberikan pada satu perusahaan.

Kasus ini menarik karena bersinggungan langsung dengan Bisnis Indonesia. Kebijakan itu jelas merugikan Indomobil, salah satu agen pemegang merek mobil. Kebijakan mobil murah itu bisa menggerogoti pasar mobil yang diageni dan dirakit oleh Indomobil. Indomobil dimiliki oleh Anthony Salim, dengan presiden direktur Soebronto Laras, yang juga pemegang saham di Bisnis Indonesia. Soebronto juga presiden komisaris di PT Jurnalindo Aksara Grafika, penerbit Bisnis Indonesia.

Dari Februari sampai April, tidak ada pemberitaan Bisnis Indonesia yang kritis terhadap mobil nasional. Dalam terbitan 27 Februari misalnya, Bisnis Indonesia menulis berita berjudul, “Selamat Datang Sedan Murah.” Isinya tentang kebutuhan akan mobil murah yang sudah mendesak, dan keluarnya kebijakan mengenai mobil nasional itu sudah ditunggu masyarakat. Selama bulan Maret, Bisnis Indonesia malah memberitakan mobil nasional dengan nama Timor itu layaknya sebuah iklan. Banyak diberitakan dari soal sambutan masyarakat yang tinggi, sampai sambutan pemerintah daerah dan pengusaha yang akan membeli dan menjadi agen mobil Timor. Bisnis Indonesia tidak mengungkit kekecewaan para agen pemegang merek yang bisa terdesak dengan kehadiran mobil Timor. Pada 17 dan 18 Mei, Bisnis Indonesia memberitakan soal dukungan Astra dan Indomobil terhadap kehadiran mobil Timor. Astra dan Indomobil diberitakan siap secepatnya merakit mobil Timor. Sebelumnya, 1 April, diberitakan kedua mitra tersebut tidak sabar berpartisipasi dalam proyek mobil nasional.

Padahal kebijakan mobil nasional ini menimbulkan banyak protes dan kecaman. Dari soal diskriminatif karena hanya menyertakan satu perusahaan. Kerugian pemerintah akibat pembebasan bea masuk dan pajak barang mewah yang saat itu ditaksir sampai Rp 4 triliun. Sampai isu kolusi dan antiperdagangan bebas. Berbagai kecaman itu diberitakan oleh Bisnis Indonesia dengan nada yang konstruktif, dan tidak menusuk langsung, dan selalu diembel-embeli kesan yang optimistik. Pada 11 September misalnya, Bisnis Indonesia menurunkan berita berjudul “Dampak Isu Mobil nasional hanya Sesaat.” Isinya tentang beberapa kritikan pada proyek mobil nasional yang monopolistik. Tetapi di akhir berita dikatakan, isu dan tudingan itu hanya sesaat, yang lebih penting, kepentingan nasional dan jangka panjang yang lebih besar.

Gaya liputan semacam ini dipertahankan Bisnis Indonesia sampai 1998. Justru dengan liputan semacam ini Bisnis Indonesia bisa sukses, paling tidak sukses secara komersial. Iklan terus mengalir. Sirkulasi Bisnis Indonesia memang tidak pernah beranjak dari angka 30 ribu eksemplar. Atau kalau mengikuti data AC Nielsen, pembaca (readership) Bisnis Indonesia tidak beranjak dari angka 120-150 ribu orang. Bandingkan dengan pembaca Pos Kota yang rata-rata 2,5 juta orang atau Kompas yang mencapai 1,5 juta orang. Sebagian besar, 95 persen, sirkulasi Bisnis Indonesia tersebut dibaca oleh pembaca langganan, sisanya lewat eceran.

Sejak 1992, perolehan iklan Bisnis Indonesia berada di peringkat tiga besar untuk media cetak (di bawah Kompas, dan Jawa Pos). Bahkan sejak 1997, perolehan iklan Bisnis Indonesia berada di posisi dua besar, di bawah harian Kompas. Pada 1997 misalnya perolehan iklan Bisnis Indonesia mencapai Rp 98,7 miliar atau menguasai 6,4 persen dari seluruh total budget iklan media cetak pada 1997 yang mencapai Rp 1,5 triliun. Pada 1998, Bisnis Indonesia juga berada di posisi dua besar perolehan iklan terbanyak menurut survei AC Nielsen, di bawah Kompas. Perolehan iklan Bisnis Indonesia pada 1998 mencapai 59,6 miliar atau 6,2 persen dari total budget iklan media cetak pada 1998 yang mencapai 956, 3 miliar. Dibandingkan dengan harian Neraca, perolehan iklan Bisnis Indonesia ini jauh lebih besar. Pada 1998 misalnya, perolehan iklan Neraca hanya mencapai Rp 9,3 miliar.

PENGHASILAN Bisnis Indonesia yang besar, berimbas juga kepada kesejahteraan karyawan Bisnis Indonesia. Karyawan Bisnis Indonesia identik dengan kemakmuran, apalagi kalau dibandingkan dengan media lain. Tiap tahun, karyawan Bisnis Indonesia memperoleh 16 gaji. Perhitungannya, gaji 12 bulan, tunjangan hari raya (Idul Fitri dan Natal) yang dihitung dua kali gaji dan dua gaji bonus tiap tiga bulan sekali. Ada juga tunjangan yang meliputi perumahan dan kendaraan.

Selain gaji dan tunjangan, karyawan Bisnis Indonesia juga mendapatkan deviden yang dibagi per tahun. Perolehan deviden ini karena kepemilikan saham karyawan di PT Jurnalindo Aksara Grafika (JAG) penerbit Bisnis Indonesia. Koperasi karyawan ini sebetulnya yang paling modern di perusahaan pers di Indonesia. Pembentukan koperasi ini dilakukan sesuai aturan Peraturan Menteri Penerangan nomor 01/PER/MENPEN/1984, pasal 16. Di sana disebutkan, perusahaan media diwajibkan memberikan saham kolektif yang besarnya 20 persen kepada karyawan. Ide memberikan saham ke koperasi ini datang dari Eric Samola. Ia sudah menerapkan penyertaan saham untuk karyawan ini di majalah Tempo.

PT Jurnalindo Aksara Grafikamengalokasikan saham 20 persen untuk karyawan. Saham ini dikelola oleh Koperasi PT Jurnalindo Aksara Grafika (Koparjag). Meski menguasai saham, koperasi bukan menyetor sejumlah uang pada perusahaan, karena saham yang dipunyai adalah saham kosong, bukan saham atas nama. Nilai 20 persen saham itu ditalangi dulu oleh pemegang saham lain, dan diperhitungkan sebagai utang. Kalau perusahaan untung, deviden untuk koperasi tidak dibagikan tapi dipakai untuk membayar utang. Koperasi sudah lunas dan bisa membayar deviden ketika Bisnis Indonesia memasuki tahun kesepuluh.

Dengan penguasaan saham sebesar 20 persen ini, karyawan bukan hanya mendapat deviden tapi juga dapat duduk di komisaris sebagai pemegang saham. Pemilikan saham sebesar ini sama dengan pemegang saham lain.

Kesejahteraan identik dengan kemapanan. Gaji cukup, kesejahteraan bagus, dan jaminan yang bagus. Lalu muncul tuduhan, bahkan dari mantan wartawannya sendiri, Bisnis Indonesia bukan hanya tidak kritis terhadap konglomerat tapi juga sering memanfaatkan bisnis dengan pengusaha yang menjadi sumber beritanya. “Ngapain harus kritis, kalau dengan berita yang biasa-biasa saja bisa untung, iklan masuk, dan tidak punya musuh dengan pengusaha,” kata Meirizal Zulkarnaen, mantan redaktur Bisnis Indonesia.

Kiat tidak bermusuhan dengan pengusaha ini yang diam-diam menjadi jurus Bisnis Indonesia selama puluhan tahun. Laporan selalu berisi keberhasilan perusahaan. Kalaupun ada kritik, harus melewati suara orang lain, misalnya pejabat. Tidak mengherankan jika banyak sekali berita Bisnis Indonesia berupa talking news. “Kalau pejabat pemerintah sudah menyatakan perusahaan A bersalah, barulah Bisnis Indonesia memuatnya,” sambung Zulkarnaen. Pola pemberitaan semacam itu tidak pernah dipersoalkan, selama sirkulasi tetap bagus, iklan tetap mengalir.

Kemapanan itu yang menjelaskan kenapa tingkat perpindahan wartawan di Bisnis Indonesia terhitung kecil. Jarang ada wartawan yang pindah atau dibajak ke suratkabar lain. Dengan tingkat kesejahteraan dan gaji yang mencukupi, sulit bagi wartawan Bisnis Indonesia pindah ke suratkabar lain. Kemapanan itu, sempat terusik pada 1994, masa ketika muncul perlawanan terhadap kekuasan Soeharto. Meirizal Zulkarnaen dan Hasudungan Sirait, terlibat aktif dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka berdua bukan hanya aktif, tapi juga pendiri AJI, sebuah organisasi jurnalis yang di masa Orde Baru menjadi saingan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Masa itu, ada edaran dari PWI agar media membersihkan diri dari orang-orang AJI. Surat keputusan pengangkatan Banjar Chaeruddin sebagai pemimpin redaksi dari PWI sempat tidak keluar karena PWI memandang ada orang AJI di Bisnis Indonesia. Chaeruddin membujuk agar Zulkarnaen dan Sirait keluar dari AJI. Chaeruddin juga menyarankan agar mereka berdua menulis surat pernyataan keluar bohong-bohongan, agar PWI percaya tidak ada orang AJI di Bisnis Indonesia. Mereka berdua menolak. Sirait sempat dipindahkan ke bagian penelitian dan pengembangan. Sebelum pindah, ia diminta menangani edisi Minggu yang tidak berkaitan dengan berita ekonomi politik. Akhirnya mereka berdua memutuskan berhenti dari Bisnis Indonesia. “Tetapi diam-diam ada banyak wartawan yang bersimpati, meskipun tidak diungkapkan langsung,” kata Sirait.

Keluar dari Bisnis Indonesia, Sirait dan Zulkarnaen sempat masuk di Neraca, harian ekonomi saingan terdekat Bisnis Indonesia. Saat itu di Neraca ada perubahan yang menjanjikan. Abdul Latif, pengusaha kaya pemilik Pasaraya dan Sarinah, akan masuk ke Neraca. Masmimar Mangiang, dosen di Universitas Indonesia, dan lama menjadi editor jurnal Prisma, masuk dan menjabat sebagai pemimpin redaksi. “Itu salah satu alasan saya masuk Neraca. Ada tantangan baru setelah lama di Bisnis Indonesia. Selain saat itu ada janji dari manajemen baru akan dana dana segar untuk pengembangan Neraca,” kata Sirait.

Angin perubahan di Neraca itu terdengar juga di Slipi, kantor Bisnis Indonesia. Ada beberapa wartawan Bisnis Indonesia yang sudah bosan ingin pindah ke harian Neraca. Hasudungan menghitung, saat itu paling tidak ada 15 wartawan Bisnis Indonesia yang tertarik bergabung dengan Neraca. Tapi Neraca tidak sigap. Dana pengembangan yang dijanjikan tidak segera turun. Sementara berita adanya tawaran dari Neraca itu sempat membuat panik jajaran direksi Bisnis Indonesia. “Saya dengar mereka yang akan pindah, ditanya satu per satu. Mereka yang potensial pindah, langsung mendapat kenaikan gaji dan posisi,” kata Meirizal. Ke-15 wartawan itu akhirnya tidak jadi pindah ke Neraca.

SETELAH tahun keempat, Bisnis Indonesia telah mencapai titik impas, dari tahun ke tahun terus mencetak keuntungan. Meski sirkulasi Bisnis Indonesia tidak pernah melebihi 30 ribu eksemplar dan sebagian besar disebarkan di Jakarta, iklan terus berkembang. Perolehan iklan Bisnis Indonesia bahkan sejak 1997, nomor dua setelah Kompas, dengan perolehan di tas Rp 60 miliar. Perolehan iklan yang besar ini tentu saja bisa mencetak keuntungan yang berarti bagi Bisnis Indonesia. Bisnis Indonesia juga tumbuh menjadi unit usaha yang sehat: kecil, ramping, fokus, dan menguntungkan.

Tapi kenapa Bisnis Indonesia tidak tumbuh menjadi kelompok penerbitan yang besar? Kenapa Bisnis Indonesia tidak bisa tumbuh seperti Kelompok Kompas Gramedia, Kelompok Jawa Pos, atau Kelompok Media Indonesia? Ketiga kelompok penerbitan ini telah tumbuh menjadi gurita bisnis di semua lini media dari radio, televisi, media sejenis, sampai suratkabar di daerah. Lukman Setiawan, wakil pemimpin usaha yang saya wawancarai lewat telepon, menjawab singkat, karena visi Bisnis Indonesia sejak lama selalu konservatif dalam ekspansi pasar.

Bukan berarti ekspansi pasar ini tidak pernah dilakukan Bisnis Indonesia. 18 Desember 1992 misalnya, Bisnis Indonesia meluncurkan majalah ekonomi berbahasa Inggris, Indonesia Business Weekly. Majalah ini semula diidealkan sebagai majalah ekonomi dengan pasar Asia Tenggara. Terbit tiap minggu, dengan ketebalan 48 halaman, majalah ini mengupas berbagai persoalan aktual tiap minggu. Diterbitkan dengan modal awal 500 juta, semuanya diambil dari modal Bisnis Indonesia. Tapi majalah ini hanya bertahan dua tahun, sebelum akhirnya ditutup.

Eksperimen lain yang gagal adalah suratkabar berbahasa mandarin Indonesia Shang Bao. Suratkabar berbahasa mandarin ini diterbitkan PT Aksara Warta Mandarin, terbit perdana 17 April 2000. Suratkabar ini dibentuk untuk menangkap pasar pengusaha Cina di Indonesia. Semua saham dikuasai PT JAG, penerbit Bisnis Indonesia. Tapi dalam tempo setahun, suratkabar ini terus menderita kerugian. Awal tahun ini, PT Jurnalindo Aksara Grafikamelepas 75 persen kepemilikan sahamnya, dan dibeli Sjamsul Nursalim, pemilik kelompok bisnis Gajah Tunggal. Bisnis Indonesia hanya menguasai sisa saham. “Bisnis Indonesia tidak sabar dalam mengelola bisnis suratkabar ini. Pinginnya langsung untung. Padahal butuh waktu untuk bisa berhasil di pasaran,” kata Cyrillus I. Kerong, pemimpin redaksi Indonesia Shang Bao. Kerong adalah orang Bisnis Indonesia yang ditugaskan mengelola Indonesia Shang Bao.

Unit usaha yang berhasil hanyalah Solo Pos yang didirikan September 1997 lewat PT Aksara Solo Pos. Dalam tempo satu tahun, Solo Pos bisa mencapai titik impas, dan hingga sekarang juga menjadi unit usaha yang menguntungkan dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Keberhasilan suratkabar ini, menurut Bambang Natur Rahadi, pemimpin perusahaan Solo Pos tahun 1997, banyak dibantu oleh momentum. “Penerbitan awal, suratkabar ini hanya dicetak lima ribu eksemplar. Tidak diduga, Mei 1998, menjelang kejatuhan Soeharto, Solo menjadi kota yang paling dahsyat amuk massanya. Peristiwa itu diberitakan besar-besaran oleh Solo Pos. Pemberitaan ini ternyata meningkatkan oplah hingga 40 ribu eksemplar,” katanya.

Ketika kerusuhan mereda, Solo Pos menjadi bacaan utama masyarakat Solo. Ini keberhasilan tersendiri, mengingat persaingan pasar sengit antara Suara Merdeka, Bernas, Kedaulatan Rakyat, dan Jawa Pos untuk memperebutkan pasar Solo. Keberhasilan Solo Pos, hampir meniru keberhasilan saudara kandungnya, Bisnis Indonesia. Suratkabar hadir di saat momentum yang tepat, dan setelah momentum itu lewat tetap bisa mengikat pembaca untuk tidak beralih ke suratkabar lain.

Di luar ketiga media tadi, Bisnis Indonesia sebenarnya mempunyai beberapa rencana. Banjar Chaeruddin yang pernah menjadi tim pengembangan bisnis, mengusulkan agar Bisnis Indonesia mempunyai suratkabar satelit di beberapa daerah. Bambang Natur Rahadi juga pernah membuat usulan untuk membuat suratkabar di daeah dengan Solo Pos sebagai basisnya. Pasar yang masih terbuka adalah daerah di pesisir utara Jawa. Tapi usulan tersebut belum terlaksana. “Manajemen Bisnis Indonesia memang hati-hati untuk diversifikasi dan ekspansi pasar,” kata Rahadi.

Bisnis Indonesia sangat unik dalam komposisi kepemilikan saham. Tidak ada saham mayoritas di Bisnis Indonesia. Pemegang saham berbagi rata penguasaan sahamnya antara 10 sampai 20 persen. Tidak seperti Kompas yang identik dengan Jakob Oetama, Jawa Pos dengan Dahlan Iskan, atau Media Indonesia dengan Surya Paloh, di Bisnis Indonesia tidak demikian. Bisnis Indonesia dikuasai oleh banyak orang.

Tidak ada saham mayoritas. Kepemilikan saham yang beragam ini, menurut Bambang Natur Rahadi, menguntungkan karena antara pemilik saham satu tidak bisa mendekte pemilik saham yang lain. “Keputusan menjadi lebih demokratis karena tidak satu suara,” kata Rahadi.

Tapi tidak ada saham mayoritas ini membuat keputusan menjadi sulit dilakukan. Keputusan bisnis menjadi sangat hati-hati karena harus disetujui oleh banyak pemilik saham lain. Soal pengembangan media ini misalnya, antara Ciputra, Soebronto, dan Sukamdani mempunyai visi yang berbeda. Ciputra setuju dengan pembangunan suratkabar satelit karena momentumnya tepat. Soebronto tidak setuju, harus fokus pada Bisnis Indonesia saja. Sementara Sukamdani setuju dengan pembangunan suratkabar di daerah asal perhitungannya masak.

Antara pemegang saham satu dan pemegang saham lain, bisa saling berbeda pendapat. Banjar Chaeruddin memberi contoh soal pembangunan mesin cetak. Sampai pada 2001, Bisnis Indonesia masih mencetak suratkabar di PT Temprint karena tidak mempunyai mesin cetak sendiri. Sejak Bisnis Indonesia memasuki usia kelima, sudah ada usulan untuk membangun mesin cetak sendiri. Usulan ini selalu mentok. Manurut Chaeruddin, Ciputra setuju dengan usulan membangun mesin cetak, selain menghemat biaya bisa dijadikan unit usaha sendiri dengan menerima order cetak dari media lain. Soebronto Laras tidak setuju, lebih suka fokus dalam penerbitan. Sementara Sukamdani, berada di tengah-tengah, setuju asalkan perencanaannya matang.

Percetakan ini baru bisa direalisasikan lima tahun lalu, dan baru awal Oktober ini bisa berproduksi. Lambannya pembangunan mesin cetak ini ada cerita tersendiri. Antarpemegang saham, menurut sebuah sumber, mempunyai kepentingan yang berbeda dalam pengadaan dan bangunan mesin cetak. Ciputra mengusulkan tanah di daerah Meruya, yang notabene milik perusahaanya. Setelah disurvei, ternyata tidak bagus, daerahnya berair. Sukamdani juga menawarkan tanah miliknya di daerah Pulogadung. Kompromi akhirnya terjadi setelah mendapatkan tanah bagus, dan bukan milik tiga pemegang saham itu.

Pembangunan gedung Bisnis Indonesia yang megah berlantai 12 di daerah Slipi juga menimbulkan kontroversi dan saling ketidaksetujuan antarpemegang saham. Ciputra mengusulkan agar Bisnis Indonesia membangun gedung, yang bisa disewakan. Menurut Chaeruddin, Soebronto, dan Sukamdani tidak setuju dengan pembangunan gedung megah tersebut. Mereka lebih suka Bisnis Indonesia membeli rumah sederhana yang cukup untuk keperluan redaksi dan usaha Bisnis Indonesia. Di tahun kelima tersebut, Bisnis Indonesia memang sudah mencetak keuntungan, tapi tidak cukup untuk membangun sebuah gedung megah.

Pembangunan gedung itu akhirnya dilakukan pada 1992, lewat PT Wisma Jaya Artek dengan persentase kepemilikan saham berbagi rata antara PT Jurnalindo Aksara Grafikadan PT Pembangunan Jaya milik Ciputra. Dana yang dipakai PT JAG, utangan dari Bank Panin.

Langkah pemegang saham ini tidak selamanya diamini oleh karyawan. Meirizal Zulkarnaen, mantan wartawan Bisnis Indonesia, mengatakan sering kali pemegang saham memanfaatkan Bisnis Indonesia untuk kepentingan pribadi. Caranya dengan menggandeng Bisnis Indonesia untuk melakukan pembangunan dengan bekerja sama dengan perusaahan milik pemegang saham.

TAHUN 1998 adalah masa paling sulit bagi Bisnis Indonesia. Perolehan iklan melorot tajam. Kalau 1997, menurut data dari AC Nielsen, Bisnis bisa mengantongi Rp 98,7 miliar, pada 1998 turun menjadi Rp 59,6 miliar.

Tapi yang lebih penting, tahun itu memang perekonomian Indoensia hampir mati. Dunia usaha yang sebelumnya diliput secara manis oleh Bisnis Indonesia, sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada lagi kisah manis dari dunia usaha, terutama konglomerat. Selama bertahun-tahun dunia konglomerat diberitakan secara positif. Seakan tidak ada masalah. Hasudungan Sirait, mantan redaktur Bisnis Indonesia, bahkan mengatakan krisis dan kebangkrutan ekonomi disumbang oleh pemberitaan Bisnis Indonesia.

“Selama puluhan tahun, Bisnis Indonesia tidak mengingatkan ada yang salah dengan dunia usaha Indonesia. Banyak pengusaha yang korup, dan itu hilang oleh pemberitaan yang penuh dengan kisah sukes dan keberhasilan,” katanya.

Sejak 1998, yang terjadi sebaliknya, perusahaan besar tidak mempunyai pondasi yang kuat, ketika krisis ekonomi menghantam, satu demi satu berguguran. Tidak ada lagi cerita sukses para konglomerat, yang ada justru perusahaan yang menderita utang besar, dan dikejar-kejar untuk melunasi utangnya.

Perubahan itu memaksa Bisnis Indonesia berubah. Pemberitaan tidak lagi bermanis-manis dengan pengusaha, tapi berubah menjadi kritis. Bisnis Indonesia edisi 13 Januari 1998 misalnya, secara kritis menyoroti kesulitan likuiditas kelompok usaha di Indonesia, dari Kelompok Astra, Mulia sampai Bakrie. Bisnis Indonesia menulis lemahnya fondasi perusahaan-perusahan besar di Indonesia yang mengandalkan diri pada hutang. Edisi 15 Agustus 1998, Bisnis Indonesia juga menulis secara kritis soal utang perusahaan swasta. Bisnis Indonesia juga meminta perusahaan swasta agar akomodatif terhadap program Indra (Indonesian Debt Restructuring Agency), sebuah skema penyelesaian utang swasta.

Selain berita yang lebih kritis, Bisnis Indonesia memosisikan kembali bentuk hubungannya dengan pengusaha. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh Bisnis Indonesia menghadapi situasi yang berubah tersebut. Soal iklan advertorial, misalnya. Iklan semacam itu selama ini ditulis oleh wartawan, Bagian usaha yang mencarikan iklan, dan bagian redaksi yang menulis iklannya.

“Selama ini kebanyakan iklan advertorial yang menulis adalah wartawan. Pertimbangannya, wartawan bisa nulis. Disamping itu mereka mempunyai informasi yang tidak diketahui oleh bagian iklan atau usaha,” kata Ahmad Djauhar, pemimpin redaksi Bisnis Indonesia.

Tapi menyerahkan penulisan iklan pada redaksi mencampuradukkan antara bagian usaha dan redaksi. Advertorial (gabungan antara advertisement dan editorial) adalah iklan yang ditulis seperti layaknya sebuah berita. Di sana ada teks, foto, sering kali dilengkapi dengan wawancara, kutipan, dan data-data tertentu. Jika pembaca tidak awas, advertorial bisa dikira sebuah berita. Beberapa suratkabar elit seperti Wall Street Journal atau The New York Times, mengharamkan iklan advertorial ini. Pertimbangannya, iklan semacam ini bisa mengacaukan pembaca mana iklan dan mana berita. Tidak semua suratkabar memang bisa meniru prinsip Wall Street Journal atau The New York Times. Suratkabar lain, menghalalkan advertorial, tapi dengan persyaratan yang ketat. Misalnya desain dan bentuk huruf advertorial dibuat berbeda dengan bentuk dan jenis huruf berita. Di antara advertorial dan berita itu juga diberi garis pembatas, sering disebut garis pagar api. Iklan advertorial itu, karena menjadi wilayah bagian usaha, ditulis dan dikerjakan oleh bagian iklan.

Di Bisnis Indonesia, iklan advertorial ini, materinya selain berasal dari biro iklan, tidak jarang ditulis sendiri oleh wartawannya. Tidak ada pembatasan yang tegas antara bagian redaksi dan bagian usaha. Rapat-rapat redaksi seringkali juga dihadiri oleh bagian usaha.

Pekerjaan rumah yang lain soal kedekatan wartawan dengan pengusaha. Menurut Meirizal Zulkarnaen, mantan redaktur Bisnis Indonesia, berita Bisnis Indonesia tidak bisa kritis kepada pengusaha karena banyak wartawan yang dekat pengusaha, bahkan menjalin hubungan bisnis. “Memang tidak semua wartawan Bisnis Indonesia. Tapi ada beberapa wartawan yang memanfaatkan kedekatan dengan narasumber itu untuk bisnis. Modus operandinya macam-macam. Misalnya ada wartawan yang biasa meliput soal tekstil. Ia mendapat jatah kuota tekstil. Kuota itu bisa dijual ke pengusaha dan mendapatkan uang,” katanya.

Soal wartawan yang berbisnis ini, kebijakan Bisnis Indonesia sendiri sangat tegas. Bisnis Indonesia tidak segan mengeluarkan karyawan kalau mengambil keuntungan pribadi ketika meliput peristiwa. “ Persoalannya, selama ini tidak ketahuan ada tidak adanya wartawan yang berbisnis dengan memanfaatkan kedekatan dengan narasumber. Tetapi antarwartawan sudah tahu sama tahu, kalau si A dekat dengan pengusaha tertentu, atau si B dekat dengan pejabat tertentu,” sambung Meirizal.

Kemungkinan itu bisa terjadi karena sistem perputaran wartawan tidak berjalan bagus di Bisnis Indonesia. Wartawan yang bertugas di PT Telkom misalnya, bisa selama bertahun-tahun ngepos di tempat itu. Atau wartawan yang ngepos di departemen perhubungan, tidak diganti-ganti. “Sistem rolling tidak bagus di Bisnis Indonesia. Tetapi alasan kenapa rolling tidak bagus karena topik yang diulas oleh Bisnis Indonesia sendiri sangat spesifik. Orang yang sudah paham betul dengan satu masalah dekat dengan narasumber, kalau tiba-tiba dipindahkan ke tempat lain agak sayang juga. Karena itu berarti harus memulai dari nol. Ini yang membedakan Bisnis dengan suratkabar lain,” kata Ahmad Djauhar, pemimpin redaksi Bisnis Indonesia.

Sjarifuddin, yang menjadi pemimpin redaksi pada 2001, berkomentar singkat. “Saya sadar banyak wartawan yang sudah mapan, dan sering kali memanfaatklan hubungan dengan narasumber untuk keuntungan pribadi. Saya memberantasnya dengan contoh. Selama saya menjabat pemimpin redaksi dan hingga kini, saya tidak punya pekerjaan lain selain wartawan Bisnis Indonesia,” katanya.

Di masa Sjarifuddin ada satu wartawan yang diberhentikan karena dianggap bekerja di tempat lain dan memanfaatkan posisinya sebagai wartawan, yakni Karidun Pardosi. Ia wartawan yang biasa meliput pertelekomunikasian. Tulisannya banyak mengulas soal telekomunikasi dan teknologi informasi. Pardosi juga beberapa kali memenangi lomba penulisan artikel soal telekomunikasi.

Peristiwanya terjadi Desember 2001. Pardosi dimintai bantuan rekannya di PT Lumbung, sebuah biro iklan, untuk meminta sebuah iklan kemitraan dari PT Telkom dividi multimedia. Pardosi, karena hampir tiga tahun meliput di PT Telkom, kenal dengan beberapa orang PT Telkom. Surat penawaran iklan itu, dengan kop PT Lumbung, ditandatangani oleh Pardosi. Sebagai imbalan, Pardosi mendapat fee sebesar Rp 4 juta. Bukti iklan dan pembayaran itu, oleh PT Telkom selain dikirim ke PT Lumbung, ditembuskan juga ke Bisnis Indonesia. Di kantor pun geger, ia dituduh memanfaatkan posisi wartawan untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Pardosi diberhentikan dari Bisnis Indonesia karena dianggap kesalahannya besar. Pardosi sempat menuntut Bisnis Indonesia ke pengadilan, tetapi Juli 2002 ia memilih mengundurkan diri dari Bisnis Indonesia. Pardosi menilai keputusan Bisnis Indonesia itu tidak adil. “Nilai uang saya terima hanya Rp 4 juta. Padahal saya tahu ada beberapa wartawan lain yang melakukan hal sama, tetapi tidak diapa-apakan. Wartawan Bisnis Indonesia banyak juga yang berbisnis, hanya mereka pintar sehingga tidak ketahuan,” katanya.

DI SAAT Bisnis Indonesia tengah melakukan konsolidasi, ada persoalan rumit yang mengakibatkan konflik internal dalam tubuh Bisnis Indonesia. Konflik itu dimulai dari soal saham. Setelah Soeharto jatuh Mei 1998, berbagai media mempertanyakan saham yang dipunyai Harmoko. Selama menjabat menteri penerangan selama tiga periode (1983-1997), Harmoko memiliki banyak saham di perusahaan media, baik atas namanya sendiri atau nama orang lain. Majalah Tajuk edisi 11 Juni 1998 mencatat, sampai 1998, saham Harmoko di berbagai media berjumlah 36, yang meliputi cetak, radio dan televisi. Besar sahamnya merata dari yang terkecil 5 persen di SCTV dan The Jakarta Post hingga 50 persen di harian Surya. Saham-saham itu diperoleh tanpa menyetor modal, selain atas namanya sendiri juga diatasnamakan pada orang lain.

Di Bisnis Indonesia, Harmoko mempunyai saham 20 persen atas nama istrinya, Sri Rodhiyati. Koperasi Karyawan PT Jurnalindo Aksara Grafika (Kopkarjag), Juni 1998, meminta agar saham itu diserahkan seluruhnya kepada karyawan melalui Kopkarjag. Ketua Kopkarjag saat itu, Firdaus Baderi, meminta agar saham itu seluruhnya dihibahkan. “Saham keluarga Harmoko di Bisnis Indonesia adalah saham kosong, jadi tidak pakai penyertaan modal. Sudah sepatutnya kalau saham itu dihibahkan, bukan dijual,” kata Baderi.

Rodhiyati akhirnya memang menyerahkan saham ke Bisnis Indonesia. Persoalannya, mau dikemanakan saham 20 persen tersebut? Siapa yang berhak menerima saham tersebut? Pemegang saham mayoritas (Sukamdani, Ciputra, dan Soebronto) menginginkan agar saham tersebut dibagi merata pada tiga pemegang saham mayoritas. Usul ini tentu saja tidak disetujui oleh karyawan. Mereka meminta agar saham tersebut diberikan kepada karyawan seluruhnya. Kalau soal saham ini menjadi pemicu sengketa karena berurusan dengan deviden. Deviden Bisnis Indonesia per tahun bisa mencapai 10 miliar, berarti saham Harmoko ini bernilai Rp 2 miliar per tahun.

Jalan tengah diambil Sukamdani. Ia mengatakan mendapatkan mandat dari Rodhiyati agar menuntaskan pembagian saham 20 persen tersebut. Sukamdani melontarkan ide agar saham 20 persen tersebut dibagi secara merata agar semua pihak yang berjasa dalam perkembangan Bisnis Indonesia bisa menikmati saham hibah tersebut. Menurut Baderi, saat itu Sukamdani mengusulkan agar saham 20 persen tersebut dipecah menjadi tiga bagian: 10 persen untuk Kopkarjag, 5 persen untuk pendiri (Sukamdani, Ciputra, dan Soebronto), dan 5 persen untuk karyawan yang berjasa.

Usul ini tidak disetujui oleh karyawan, terutama lewat Kopkarjag. Akhir Juni terjadi penggantian ketua Kopkarjag, dari Baderi ke Budi Wiyono. Ia reporter yang biasa meliput soal kepabean, peti kemas dengan wilayah liputan di Priok. Wiyono mempersoalkan soal surat mandat tersebut. Wiyono sempat menanyakan kepada Harmoko langsung, dan oleh Poniman, ajudan Harmoko, dikatakan kalau surat itu telah dikirim ke Bisnis Indonesia. “Isi surat tersebut, keluarga Harmoko menyerahkan saham kepada karyawan. Ini terjadi karena Harmoko ingin istirahat dan tidak ingin mendapat protes lagi dari karyawan,” kata Wiyono.

Jadi mana yang benar: Harmoko memberikan mandat kepada Sukamdani atau Harmoko menyerahkan saham itu ke karyawan?

“Puncak masalah ini karena surat Harmoko ke Bisnis Indonesia sampai saat ini tidak ditemukan. Akibatnya orang menafsirkan penyerahan saham itu sesuai dengan keinginannya. Ini persis kayak Supersemar,“ kata Wiyono. Supersemar yang disamakan Wiyono dengan surat Harmoko itu adalah Surat Perintah Sebelas Maret yang diberikan Soekarno kepada Soeharto, dan dipakai sebagai alat oleh Soeharto untuk melakukan langkah politik pada 1965. Sampai saat ini dokumen asli Supersemar tersebut belum ditemukan.

Rapat umum pemegang saham PT Jurnalindo Aksara Grafikadilakukan 31 Juli 1998. Dalam rapat itu, sempat terjadi cek-cok soal pembagian saham. Wiyono bahkan sempat melontarkan ide agar rapat menghadirkan Dyah Harmoko supaya ketahuan benar sebenarnya apa yang diinginkan oleh keluarga Harmoko. Usul ini, menurut Wiyono, tidak disetujui oleh sebagian besar peserta rapat. Alasannya, saham itu telah diserahkan pada Bisnis Indonesia, dan menjadi wewenang Bisnis Indonesia pula untuk mengelola mau dikemanakan dan diapakan saham tersebut.

Di kalangan pemegang saham, juga tidak ada kesepakatan mengenai pemberian saham untuk karyawan berjasa tersebut. Sukamdani setuju, kalau saham itu dibagi. Soebronto Laras tidak setuju, dan lebih memilih kalau saham tersebut dimasukkan sebagai modal awal perusahaan. Sementara Ciputra, setuju dibagikan. Setelah melalui perdebatan sengit, formulasi Sukamdani yang disetujui dalam rapat. Komposisi saham Bisnis Indonesia, setelah penyerahan saham keluarga Harmoko, lalu menjadi sebagai berikut: Kopkarjag (29,61 persen), Sukamdani (10,49 persen), Yuliah Sukamdani (10,42 persen), Nyonya Erick Samola (10,42 persen), Ciputra (10,39 persen), Soebronto Laras (20,85 persen), Shirato Sjafei (1 persen), Lukman Setiawan (2 persen), dan karyawan yang berjasa (4,82 persen). Pemberian saham untuk karyawan yang berjasa, adalah ide Sukamdani untuk memberi penghargaan kepada karyawan yang telah ikut membangun Bisnis Indonesia. Dalam komposisi saham terbaru, karyawan lewat koperasi memiliki saham terbesar.

Rapat itu tidak menentukan siapa yang dimaksud dengan karyawan yang berjasa. Kontroversi dan kemelut baru terjadi saat Sukamdani mengumumkan karyawan yang berjasa dan berhak mendapat saham tersebut. Ada 13 nama karyawan yang berjasa versi Sukamdani, masing-masing: Banjar Chaeruddin (mantan pemimpin redaksi), Sjarifuddin (mantan pemimpin redaksi), Effendi Aboed (wartawan), Cyrillus Kerong (wartawan), Hilda Sabri (wartawan), Heri Suhendra (wartawan), Imam Bahtera (wartawan), Jacobus Blikololong (wartawan), Firdaus Baderi (wartawan), Dani H. So’oed (wartawan), Warsiman (pegawai), Rachmat Gazali (pracetak), dan Nur Hidayat (kepala biro direksi PT JAG).

Karyawan lain mempertanyakan kriteria sehingga 13 orang tersebut dianggap berjasa. Mulai muncul ketidakpuasan di antara karyawan lain, yang disampaikan baik secara langsung dan terang-terangan maupun sembunyi. Karyawan yang merasa bekerja lebih lama dibanding 13 nama tadi, tidak suka namanya tidak masuk. Cyrillus I. Kerong, satu dari 13 orang yang dianggap berjasa oleh Sukamdani, menyatakan ia dan nama lain tidak tahu kalau dianggap berhak menerima saham “Saya sama sekali tidak ikut campur tangan dalam penyusunan nama. Bahkan saya kaget ketika nama saya masuk,” kata Kerong.

Menurut Kerong, Sukamdani semula tidak menyebut nama, ia hanya membuat daftar orang-orang yang dianggap sebagai perintis Bisnis Indonesia. Seleksi pertama didasarkan atas lama kerja, lalu dedikasi dan kualitas kerja, setelah dipilih keluarlah 13 nama tadi.

Koperasi karyawan meminta agar saham itu diserahkan saja pada koperasi. Protes dan gugatan ini semula membuat anggota kelompok 13 terpecah. Ada yang menginginkan agar saham untuk karyawan berjasa itu diserahkan saja pada koperasi ketimbang terus-menerus diributkan. Tapi ada yang ngotot agar saham itu tidak usah diserahkan. Pemberian saham itu hak mereka, dan tidak ada hak koperasi untuk meminta kembali saham tersebut. “Kalau ada yang meminta saham untuk 13 orang ini, seharusnya bukan kepada kami. Kami tidak meminta, tetapi diberi. Pertanyaan itu harusnya diajukan kepada Sukamdani,” kata Kerong.

Kerong juga menyesalkan kenapa protes terjadi setelah rapat pemegang saham. “Bagi saya sikap koperasi itu kekanak-kanakan. Kalau mereka tidak setuju dengan pembagian saham itu, harusnya mereka fight saat rapat pemegang saham. Bukan dengan terus menerus meributkan setelah rapat selesai,” kata Kerong.

Endy Subiantoro, ketua koperasi menyatakan, yang mereka persoalkan kenapa proses penentuan nama tidak melibatkan karyawan. “Soal saham untuk mereka yang dianggap berjasa memang sudah diputuskan dalam rapat. Dan itu legal. Tetapi kita hanya menyesalkan kenapa tidak mengajak karyawan saat memutuskan siapa yang bisa menerima siapa yang tidak,” katanya.

Jalan tengah dikemukakan Banjar Chaeruddin. Ia mengusulkan agar saham yang semula disediakan untuk karyawan berjasa tersebut dilebur menjadi yayasan. Usul ini disetujui oleh 13 orang itu, maka terbentuklah Yayasan Pendidikan Bisnis Indonesia. Yayasan ini menampung ke-13 nama tadi. Deviden yang diterima per tahun masuk lewat yayasan terlebih dahulu. Setelah dipotong 10 persen untuk administrasi, dibagi merata kepada 13 orang itu. Soal saham ini menjadi duri dalam daging dalam lingkungan internal Bisnis Indonesia.

KEJATUHAN dunia usaha pasca-1998 itu juga dialami Ciputra, Anthony Salim, dan Sukamdani Sahid Gitosardjono, tiga pengusaha besar yang ikut memodali Bisnis Indonesia. Awal kejatuhan, dimulai dari krisis ekonomi. Harga dolar melonjak, suku bunga bank naik, akibatnya utang dan cicilan bank membengkak. Proyek yang sudah direncanakn harus dihentikan, atau utang lebih menggunung.

Penarikan dana besar-besaran dari masyarakat di awal krisis, lima tahun silam, membuat bank-bank kelimpungan. Bank yang dipunyai Ciputra, Sukamdani, dan Salim termasuk yang juga kelimpungan. Untuk menyelamatkan bank dari kehancuran, Bank Indonesia mengeluarkan kas bon dalam bentuk bantuan likuiditas. Tidak semua bank selamat, ada di antaranya yang harus ditutup. Bank Ciputra diharuskan membayar Rp 70 miliar pada pemerintah. Tapi Ciputra memilih menutup banknya. Bank milik Sukamdani, Sahid Gajah Perkasa, hasil kongsinya dengan Sjamsul Nursalim, tidak bisa menyetor kewajiban sebesar Rp 233 miliar. Sementara Salim harus mengembalikan dana talangan pemerintah untuk menyelamatkan Bank Central Asia sebesar Rp 48 trilIun. Salim harus mengagunkan ratusan perusahaan guna melunasi hutang.

Bisnis Indonesia barangkali hanya secuil saja dari gurita bisnis Ciputra, Anthony Salim, dan Sukamdani. Baik Ciputra, Anthony Salim, maupun Sukamdani juga memegang porsi yang tidak mayoritas di Bisnis Indonesia, rata-rata hanya sebesar 20 persen. Bisa dipastikan, Bisnis Indonesia tidak menyumbang penghasilan yang terbesar dari pundi-pundi uang ketiga pengusaha tersebut. Lihat misalnya Indofood Sukses Makmur, yang dalam setahun saja, menurut majalah Tempo edisi 16 Januari 2000, bisa mencetak keuntungan sampai Rp 3 triliun.

Tapi, Bisnis Indonesia, meski berada dalam krisis tetap dalam kondisi sehat. Penghasilan iklan Bisnis Indonesia tidak melorot, tetap kedua terbesar di bawah Kompas. Keuntungan barangkali turun tapi tetap pasti begitu pun dengan deviden. Ciputra, Salim, dan Sukamdani mempunyai perusahaan dengan aset yang jauh lebih besar dari Bisnis Indonesia, tapi banyak yang tidak menguntungkan bahkan di antaranya merugi. Bisnis Indonesia, meski kecil tapi memberikan jaminan keuntungan dan deviden yang pasti.

Posisi Bisnis Indonesia yang semula tidak dipandang penting, lalu menjadi aset yang berharga baik oleh Ciputra, Sukamdani, maupun kelompok Salim. Budi Wiyono, menceritakan, sebelum krisis 1998, pemegang saham sama sekali tidak turut campur soal manajemen. “Praktis hanya Sukamdani saja yang aktif, mungkin karena ia menganggap Bisnis Indonesia adalah cita-cita lama dia. Sementara Ciputra dan Soebronto jarang datang, paling saat rapat umum pemegang saham setahun sekali saja, mereka datang. Urusan teknis sehari-hari termasuk orang-orang yang memimpin Bisnis Indonesia, tidak menjadi perhatian mereka. Setelah krisis ekonomi, Ciputra maupun Soebronto ikut aktif menempatkan orangnya, dan mengendalikan perusahaan. Ciputra, Soebronto, dan Sukamdani mulai tampak tidak kompak dalam mengambil keputusan,” kata Wiyono.

Aktifnya kembali pemegang saham dalam Bisnis Indonesia membuat persoalan pembagian saham karyawan menjadi lebih rumit. Pembentukan yayasan ini ternyata tidak menyelesaikan konflik internal di kalangan karyawan Bisnis Indonesia. Karyawan terutama yang muda tetap menginginkan agar tidak ada diskriminasi.

Suara kemudian terbelah. Ada karyawan yang setuju dan ada yang tidak setuju. Persoalan saham ini menjadi duri dalam daging perkembangan Bisnis Indonesia. Tiap menjelang rapat umum pemegang saham, soal saham yayasan itu terus menerus diungkit.

Gonjang-ganjing saham, menurut Budi Wiyono, muaranya pada perebutan pengaruh di Bisnis Indonesia. “Subronto Laras yang tidak setuju dengan pembagian saham, mendekati karyawan yang mempunyai sikap hampir sama,” kata Wiyono.

Tidak ada saham mayoritas di Bisnis Indonesia. Pemegang saham di Bisnis Indonesia hampir merata rata-rata 20 persen. Artinya, posisi Sukamdani, Ciputra, dan Soebronto Laras secara umum sama. Kesepakatan umum di PT JAG, keputusan baru bisa dilakukan kalau tercapai kata bulat 75 persen. Posisi karyawan yang memiliki 30 persen saham, kemudian menjadi penting di mata pemilik modal. Rencana usaha dari pemilik, baru berhasil kalau bisa menggandeng koperasi.

Budi Wiyono yang saat itu menjadi ketua koperasi, sekaligus komisaris PT Jurnalindo Aksara Grafikamengatakan setiap saat ia dilobi oleh pemilik ketika akan mengambil keputusan. Satu saat bertemu Sukamdani, di saat lain bertemu Ciputra, di saat lain lagi bertemu Soebronto Laras. “Ini baru terjadi setelah tahun 1998. Bisnis Indonesia di mata pemilik menjadi aset yang penting. Sebelum tahun 1998, pemilik jarang intervensi langsung dalam pengambilan keputusan-keputusan manajemen perusahaan” kata Wiyono. Menurut Wiyono, setelah 1998, Sukamdani, Ciputra, dan Soebronto mulai aktif masuk dan menempatkan wakil-wakilnya dalam perusahaan dan berebut pengaruh dalam perusahaan.

Wiyono mengimbangi posisinya dengan penampilan seperti layaknya seorang bos. Ke mana-mana pakai jas, rapi, dan rambut selalu licin. Ke kantor ia gonta-ganti mobil mewah, dari BMW sampai Chevrolet. Penampilan ini mengundang cibiran karyawan lain. Isu yang beredar, Wiyono melakukan korupsi dan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Isu lain, Wiyono telah dibeli oleh salah seorang pemegang saham Bisnis Indonesia.

“Saya tidak melakukan korupsi apapun seperti yang dituduhkan. Soal penampilan, karena saya berhadapan dan bernegosiasi dengan bos, saya juga harus berpenampilan seperti bos. Bertemu dengan Sukakamdani, Ciputra, dan Soebronto, masak pakai mobil Mitsubishi tua,” katanya. Soal mobil mewah, Wiyono mengatakan, itu milik saudaranya yang dipinjam sementara.

Di masa Wiyono, koperasi karyawan menjalankan peran politik yang penting. Kalau sebelumnya koperasi hanya mengurusi pembagian saham, di masanya ia ingin koperasi menjalankan peran lebih besar. “Karena koperasi pemegang saham terbesar, sudah semestinya setiap keputusan harus menyertakan koperasi. Saya harus tahu bagaimana perusahaan ini dijalankan dengan benar atau tidak,” katanya. Posisi ini justru sering menjadi sasaran kritik orang padanya. Ia kerap dituduh memanfaatkan koperasi untuk tujuan pribadi.

Semestinya, Wiyono menjabat ketua koperasi hingga 2004. Tapi karyawan lain memprotes dan melakukan rapat luar biasa untuk mencopot Wiyono. “Saya dicopot karena ada pemegang saham yakni yang tidak suka dengan kehadiran saya, karena bisa mengancam posisinya,” katanya.

Dalam forum itu, Wiyono membuat buku putih yang berisi tentang berbagai kecurangan dan korupsi yang terjadi di tubuh Bisnis Indonesia. Wiyono menyatakan bahwa Bisnis Indonesia hanya menjadi tambang keruk dari para pemegang saham. Buku itu dicetak 300 eksemplar dan dibagikan kepada semua karyawan. Direksi menganggap tindakan Wiyono membuat buku putih dengan membeberkan persoalan internal kantor sebagai kesalahan. Ia diberi peringatan. Sebulan kemudian, Wiyono mengundurkan diri dari Bisnis Indonesia.

Pengganti Wiyono adalah Endy Subiantoro. Wiyono menyebut Endy kubu atau orang yang dekat Soebronto Laras. “Setelah saya, koperasi banyak dekat dengan kubu Soebronto,“ kata Wiyono. Ketika hal ini saya tanyakan kepada Subiantoro, ia menolak disebut dekat Soebronto Laras.

Tapi kelompok 13 yang saya wawancarai hampir semuanya menyebut koperasi di bawah Endy Subiantoro dekat dengan Soebronto. Bisnis Indonesia lantas terlihat ada dua kubu. Kubu kelompok 13 yang dekat Sukamdani dan koperasi yang dekat Soebronto.

April 2002, direksi PT Jurnalindo Aksara Grafikamengumumkan restrukturisasi dalam tubuh Bisnis Indonesia. Direksi mengumumkan muka-muka baru dalam jajaran redaksi dan perusahaan Bisnis Indonesia. Mereka Ahmad Djauhar (pemimpin redaksi), Iman Suparto (wakil pemimpin redaksi), dan I Wayan Maryasa (wakil pemimpin redaksi). Di bagian perusahaan, ada Bambang Natur Rahadi yang menempati posisi baru sebagai manajer produksi.

Restrukturisasi ini menimpa pejabat lama di Bisnis Indonesia. Sjarifuddin yang menempati posisi pemimpin redaksi kurang dari satu tahun, diposisikan sebagai ketua penelitian dan pengembangan, Efendi Abud yang sebelumnya wakil pemimpin redaksi menempati posisi baru sebagai direktur keuangan dan akunting di PT Aksara Grafika Pratama, perusahaan baru di bidang percetakan. Bersama Efendi, di perusahaan baru tersebut ada Imam Bahtera (mantan kepala bidang redaksi), Lahyanto Nadie (mantan wartawan), dan Iqomaddin (mantan kepala bidang teknologi). Firdaus Baderi yang semula kepala penelitian dan pengembangan, diposisikan sebagai redaktur senior. Bersama Baderi, Cyrillus Kerong, yang sebelumnya wakil pemimpin redaksi.

Pergantian pimpinan tersebut sontak membuat persoalan pembagian saham yang sempat mereda, kembali hangat karena mereka yang diganti adalah yang masuk dalam kelompok 13. “Dugaan saya restrukturisasi ini memang berhubungan dengan soal saham karyawan,” kata Kerong.

Ketua koperasi Endy Subiantoro menampik tuduhan itu. “Tidak benar ada pembersihan. Ide ini sudah dipikirkan komisaris PT Jurnalindo Aksara Grafikasejak Agustus 2001. Kita sempat mengadakan beberapa kali rapat, dan baru pada April lalu, pergantian itu bisa dilakukan. Ini bukan kemauan koperasi, tetapi keputusan dari anggota komisaris. Setiap komisaris mengusulkan nama, terjadi tarik ulur, sampai muncul nama-nama baru tersebut,” katanya.

Anggota komisaris yang dimaksud para pemegang saham PT JAG, yaitu Endy Subiantoro mewakili koperasi, Soebronto Laras, Sukamdani, Ciputra, dan Dorothea Samola, istri almarhum Eric Samola.

Alasan restrukturisasi ini, menurut Subiantoro, kebutuhan melakukan penyegaran. “Sudah saatnya anak muda yang sekarang memimpin Bisnis Indonesia. Bisnis Indonesia menghadapi tantangan baru. Mereka yang sudah senior juga tidak kita turunkan, tetapi kita alihkan ke anak-anak perusahaan atau unit usaha di lingkungan Bisnis Indonesia,” kata Subiantoro. Restrukturisasi itu, sambung Subiantoro, juga berkaitan dengan kompetensi, menempatkan orang sesuai dengan kemampuannya.

Tiga bulan sebelum restrukturisasi, Bisnis Indonesia memang mengundang Hay Group, sebuah lembaga konsultan pengembangan sumber daya manusia, untuk membuat penilaian atas semua kinerja karyawan Bisnis Indonesia. Hasil penilaian Hay Group itu, dijadikan salah satu dasar direksi.

Alasan itu tidak disetujui Kerong. “Kalau dibilang mereka yang diganti terlalu tua tidak juga. Kalau dibilang mereka tidak kompeten, berdasarkan apa mereka dianggap tidak kompeten,” kata Kerong. Apapun alasannya, konflik ini menunjukkan kekuatan yang terfragmentasi dalam tubuh Bisnis Indonesia.

14 DESEMBER 2002, Bisnis Indonesia genap berusia 17 tahun. Ulang tahun ini masih diwarnai dengan persoalan saham dan restrukturisasi yang belum selesai. Bisnis Indonesia juga belum bisa mengatasi kesenjangan antara generasi pertama Bisnis Indonesia yang terdiri dari wartawan yang membangun Bisnis Indonesia dari nol, dengan generasi baru yang datang saat Bisnis Indonesia sudah untung. Bisnis Indonesia saat ini dipimpin orang-orang muda yang berumur 40-an tahun. Ada yang berubah dari penampilan Bisnis Indonesia sejak 14 Agustus lalu. Halaman diperbanyak, diterbitkan tiga bagian. Bagian pertama, membahas soal makro ekonomi politik, perdagangan dan jasa, bisnis menengah kecil. Bagian kedua mengulas pergerakan pasar modal, bisnis keuangan, dan perdagangan komoditas. Bagian ketiga mengulas perkembangan bisnis teknologi informasi dan manufaktur.

Menurut Ahmad Djauhar, pemimpin redaksi Bisnis Indonesia, itu dilakukan karena perubahan pasar yang ingin dibidik Bisnis Indonesia. Kalau dulu, liputan diarahkan kepada pemilik (owner) perusahaan, saat ini liputan dibidikan kepada profesional pelaku bisnis. “Kita memberi ruang yang lebih besar kepada para profesional, manajer, dan memberi informasi kepada mereka apa yang harus dilakukan dalam bisnis yang sedang berubah,” katanya.

Rubrikasi juga lebih diperluas. Kalau sebelumnya banyak memberi informasi pada dunia saham dan pasar bursa, sekarang membuka pasar lain. Bisnis Indonesia harus melakukan itu kalau tidak mau terjerumus. Pasar sudah makin berubah, dengan munculnya harian Investor Indonesia, yang khusus mengulas dunia saham.

Di sisi perusahaan, Bisnis Indonesia mempunyai impian lain. Seperti dikatakan Bambang Natur Rahadi, direktur produksi Bisnis Indonesia, ada rencana untuk membangun suratkabar di daerah. Setelah percetakan berhasil dibangun, ada kesempatan untuk mencoba investasi dengan merambah media lain. Sejarah yang akan membuktikan apakah Bisnis Indonesia bisa bertahan di tengah situasi bisnis yang sudah berubah.*

kembali keatas

by:Eriyanto