Rorimpandey dari Sinar Harapan

Farida Indriastuti

Mon, 2 December 2002

SALAH seorang penerbit suratkabar Indonesia, Hendrikus Gerardus Rorimpandey, meninggal dunia 15 November lalu di sebuah rumah sakit Jakarta karena penyakit asma dan jantung, meninggalkan istri dan enam anak, serta harian Sinar Harapan

SALAH seorang penerbit suratkabar Indonesia, Hendrikus Gerardus Rorimpandey, meninggal dunia 15 November lalu di sebuah rumah sakit Jakarta karena penyakit asma dan jantung, meninggalkan istri dan enam anak, serta harian Sinar Harapan yang diterbitkannya kembali setelah dibredel selama 15 tahun.

Rorimpandey meninggal dalam usia 80 tahun. Istrinya, Martha Fransisca Magdalena Pietersz, serta keenam anak mereka, yang berusia antara 39 hingga 51 tahun, memakamkan ayah mereka di pemakaman Pondok Rangoon, Jakarta.

“Papa, asmanya sering kambuh,” kata Rani Amengku, putri keempat Rorimpandey. Penyakit ini diderita Rorimpandey menahun bahkan sebelum dilakukan operasi jantung pada 1984. Sejak pensiun, menurut Rani, ayahnya mengisi hari-hari dengan bercanda dengan anak-cucu, menonton televisi, dan sesekali menerima kunjungan kerabat atau teman dekat.

Dia mengatakan, “Papa memang pindah ke Cimelati, Sukabumi, karena rumah kami di Jakarta sedang direnovasi. Itu semua kami lakukan untuk menjaga kesehatannya. Kebetulan kami di sana mempunyai villa keluarga. Di sana pun Papa tidak melakukan aktivitas apa-apa, hanya jalan-jalan.”

Kamis 14 November lalu, Rorimpandey pergi ke Wisma Pacet di Cianjur, sebuah villa milik PT Sinar Kasih, penerbit Suara Pembaruan, dan pulang petang hari dalam keadaan pucat dan merasa kurang sehat. “Kami menyangka beliau masuk angin karena perjalanan jauh atau pengaruh AC mobil. Malam harinya Papa mulai sulit bernapas. Kami membawanya ke rumah sakit,” kata Rani.

Salah seorang sahabat Rorimpandey, Aristides Katoppo, kini pemimpin umum harian Sinar Harapan, mengatakan dia sempat menengok seniornya itu di ruang gawat darurat rumah sakit Medistra, Jakarta. “Kondisinya sangat kritis antara sadar dan tidak sadar,” kata Katoppo. “Sewaktu dalam perjalanan pulang, handphone saya berdering. Saya terkejut Pak Rorim telah tiada,” katanya.

Rorimpandey muda menyelesaikan pendidikan dasar di Sulawesi Utara dan melanjutkan studi di Jakarta. Zaman revolusi kemerdekaan, Rorimpandey bergabung dengan organisasi milisi dan sempat bergabung dengan Divisi Siliwangi dengan pangkat letnan satu.

Usai revolusi dia melanjutkan studi di Universitas Indonesia. Tapi tak selesai dan mulai bekerja sebagai wartawan. Pada 1961 Rorimpandey mendirikan harian sore Sinar Harapan bersama JCT Simorangkir, Subagyo P.R dan lainnya. Suratkabar ini didirikan orang-orang Kristen Protestan tapi kebijakan redaksionalnya sekuler. Sinar Harapan adalah nama pilihan Rorimpandey sendiri.

Dia jadi pemimpin umum sejak 1961 hingga suratkabar itu dibredel rezim Orde Baru pada 9 Oktober 1986. “Rorim marah sekali mendengar Sinar Harapan dibredel,” kata Jaap Gerungan, salah seorang koleganya.

Dalam sebuah wawancara, Rorimpandey mengatakan, “Saya masih ingat ketika hari terakhir koran ini tutup.” Waktu itu dia menerima telepon dari Direktur Jenderal Penerbitan Pers dan Grafika Sukarno dari Departemen Penerangan. Sukarno mengatakan Sinar Harapan supaya esok hari tak terbit lagi.

Manajemen Sinar Harapan mengupayakan bisa terbit lagi dan mengirim surat kepada Presiden Soeharto. Hasilnya nihil. Mereka resah karena ada ratusan karyawan yang bergabung di sana, baik dari Sinar Harapan, percetakan PT Sinar Kasih, dan anak-anak perusahaan mereka.

Menurut Sinar Harapan bulan lalu, manajemen mengupayakan dua skenario. Pertama, mereka hendak mencari izin terbit baru dan menerbitkan suratkabar dengan nama baru. Kedua, memenuhi undangan pengusaha Sudwikatmono, yang juga saudara tiri Soeharto, yang konon bersedia membantu menerbitkan Sinar Harapan. Pembicaraan berlangsung malam hari di rumah Sudwikatmono di kawasan Permata Hijau, Jakarta.

Rorimpandey ditemani Soedarjo, seorang mitra kerjanya. Sudwikatmono dilaporkan mengatakan, “SH boleh terbit kembali, Pak Rorim tetap pimpinan umum, asal sebagian saham kami miliki.”

Rorimpandey terdiam. Soedarjo menjawab, „Ya kami menerima.Tapi kami tanya Pak Rorim.”

Rorimpandey mengatakan, “Saya menolak. Alasan saya, Pak Dwi, tak bisa saya mengajak Anda untuk membagi dividen atau bersama dalam mengambil satu keputusan penting dan kita bersama berdoa. Saya takut mengajak Bapak. Tapi silahkan tanya pada komisaris yang lain, direksi dan pemegang saham. Saya tidak punya saham terbesar di sini.”

Hasil pembicaraan dengan Sudwikatmono ini disampaikan kepada Radius Prawiro, seorang ekonom sekaligus pembantu dekat Soeharto, yang kebetulan dekat dengan kalangan Kristen Protestan. Radius melakukan pengecekan. Hasilnya, Soeharto tak setuju Sinar Harapan terbit lagi.

Pengecekan juga dilakukan Rorimpandey melalui keponakannya, RAJ Lumenta, direktur utama PT Garuda Indonesia, yang kawan akrab Benny Moerdani, salah seorang jenderal berkuasa dan dekat dengan Soeharto.

Benny dilaporkan menjawab, ”Kalau mau terbitkan koran baru cobalah. Tapi saya tak punya harapan bahwa itu bisa diterbitkan. Jual es teler sajalah. Atau mereka juga bisa mulai dengan assembling mobil, ya apa saja.“

Rorimpandey dan kawan-kawan, tentu saja tak mahir jualan es teler, sehingga akhirnya memutuskan minta surat izin terbit baru dan mengeluarkan harian Suara Pembaruan. Rorimpandey masuk dalam jajaran dewan komisaris PT Media Interaksi Utama, antara 1987 dan 1998, yang menerbitkan Pembaruan.

Rorimpandey dikenal sebagai pribadi hangat. Joesoef Isak, satu dari tiga serangkat PT Hasta Mitra, menulis bahwa Pramoedya Ananta Toer, Hasyim Rachman, dan dirinya, selalu bisa datang pada Rorimpandey untuk pinjam uang guna melunasi ongkos cetak. Pinjaman tanpa bunga, tanpa batas waktu. “Kembalikan saja kalau kalian sudah kaya!” kata Rorimpandey ditirukan Joesoef.

Goenawan Mohamad dari Tempo mengatakan ketika dia dan kawan-kawannya mendirikan Tempo pada 1971, dia minta nasehat pada Rorimpandey. Nasehatnya sederhana. Suratkabar harus membangun organisasi. “Itu yang saya lakukan di Tempo,” kata Goenawan.

Nasehat itu mungkin muncul karena Sinar Harapan dikenal sebagai institusi media yang sarat perkelahian internal yang kompleks. Mula-mula antar pribadi tapi acapkali merembet ke garis etnik: Manado, Batak, dan Jawa. Rorimpandey relatif bersih dari rivalitas yang menjengkelkan itu tapi problem itu memang berat.

Pasca kejatuhan Presiden Soeharto Mei 1998, kebebasan pers dan persaingan internal mendorong sebagian wartawan Suara Pembaruan, menerbitkan kembali Sinar Harapan. “Perpecahan” mungkin kata yang kurang tepat –karena Rorimpandey misalnya memiliki saham baik Sinar Harapan maupun Pembaruan—tapi kata “perceraian,” setidaknya perceraian yang baik-baik, memang terjadi. Kedua suratkabar ini kini bersaing dalam pasar harian sore Jakarta.

Sinar Harapan pasca-Soeharto terbit lagi pada 2 Juli 2001. Rorimpandey bersemangat dan antusias menyambut lahirnya harian sore ini. “Saya orang yang paling senang, paling gembira. Saya suruh Nico (Sompotan, menantu Rorimpandey) dan Bara (Katoppo) siapkan terbitkan kembali koran ini. Saya sangat berterimakasih kepada Aristides Katoppo mau jadi pemimpin umum dan pemimpin redaksi.”

Rorimpandey ingin Sinar Harapan direhabilitasi dan identitasnya jadi baik kembali. “Rezim Soeharto telah merampas hak hidup dan identitas kami,” kata Rorimpandey.

Ada keinginan Rorimpandey yang belum terwujud. Dia ingin menerbitkan majalah khusus orang lanjut usia. Dia beranggapan orang tua macam dirinya, sulit sekali menghadapi usia lanjut tanpa aktivitas. “Persoalan itulah yang mendasari Papa untuk menerbitkan majalah khusus lansir,” kata Rani Amengku.

Cita-cita itu belum kesampaian. Kini tak ada lagi nama Hendrikus Gerardus Rorimpandey. Wartawan Indonesia pun kehilangan seorang pribadi hangat dan penuh semangat. Seperti sepenggal kata perpisahan yang ditulis Joesoef Isak, “Selamat jalan Bung Rorim!”*

kembali keatas

by:Farida Indriastuti