SUATU hari pada 1995 Dahlan Iskan menemui Burhanuddin Muhammad Diah, atau akrab disapa B.M. Diah.

“Kalau soal uang saya lebih percaya pada arek Suroboyo ini.”

Kalimat ini meluncur dari mulut B.M. Diah, pendiri dan pemilik harian Merdeka, ketika berunding dengan Dahlan, chief executive officer PT Jawa Pos, ihwal rencana kerja sama antara Merdeka dan PT Jawa Pos.

Saat itu, Merdeka koran yang didirikan dan dibesarkan Diah, tengah sekarat. Mau terus hidup, utang menumpuk. Menerima kenyataan Merdeka harus mati rasanya tak mungkin. Bagi Diah, Merdeka sudah jadi bagian sejarah hidupnya. Bersama Merdeka, ia menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membangun republik yang masih bayi hingga beranjak dewasa. Tak ada keraguan untuk menghormati sumbangsih Diah bersama Merdeka, yang kemudian mengantar lelaki kelahiran Aceh ini memasuki wilayah kehidupan yang lain, sebagai politisi-cum-pengusaha.

Seiring kesibukan Diah sebagai duta besar Indonesia di beberapa negara, perhatiannya pada Merdeka kian berkurang. Kinerja Merdeka meredup, sisa-sisa kejayaannya sirna, yang tertinggal hanya cerita manis yang layak dibiografikan. Merdeka tak boleh mati, demikian tekad Diah. Tapi untuk kembali tegak dibutuhkan darah segar, yang mengerti seluk-beluk industri media.

Dahlan Iskan orang yang tepat. Di bawah bendera PT Jawa Pos, Dahlan sangat agresif mengembangkan sayap bisnisnya. Seperti tangan raja Midas, koran-koran yang sekarat kembali segar-bugar setelah disentuhnya. Demikianlah, setelah berulang kali bernegosiasi, kesepakatan dicapai. Manajemen Merdeka dikendalikan PT Jawa Pos.

Pertemuannya dengan Diah, menurut Dahlan yang saya wawancarai via telepon, suasananya berlangsung ramah. Aroma ketulusan memancar di sana. Bahkan di depan seluruh karyawan, Diah mengatakan kerja sama itu bukan masalah modal. “Kalau soal uang saya punya,” ujar Dahlan menirukan Diah.

Usai pertemuan bersejarah itu, pada 1995, Merdeka resmi bergabung dengan PT Jawa Pos. Pemimpin redaksinya Tribuana Said, salah seorang menantu Diah. Menurut Dahlan, saat itu dicapai kesepakatan masing-masing pihak menguasai saham sebesar 49 persen untuk penerbit dan 51 persen untuk percetakan.

Perlahan-lahan Merdeka kembali menampakkan geliat kehidupan. Dari perusahaan yang tadinya merugi dan berutang banyak, mereka mulai menuai laba. Pada 1997 sirkulasi Merdeka menembus angka 70 ribu eksemplar dan tampil dengan berita-berita yang keras, tegas, dan telanjang.

Kerja sama itu ternyata hanya seumur jagung. Setelah B.M. Diah wafat, perusahaan yang tengah berkembang pesat itu, mulai retak di sana-sini. Dalam bisnis, ketulusan memang hanya pemanis bibir, basa-basi pemikat jiwa, dan sekadar siasat untuk meraup keuntungan maksimal.

Dahlan menyimpulkan, ada dua sebab utama perpisahan itu. Pertama, masalah saham karyawan. Sebenarnya sejak awal sudah ada kesepakatan bahwa karyawan seperti termaktub dalam ketentuan pemerintah berhak memperoleh saham sebesar 20 persen. Hak karyawan ini urung diberikan lantaran ahli waris keluarga Diah tidak setuju.

“Kalau memang kita mau memberikan saham kepada karyawan, itu tidak dari masing-masing pihak,” ujar Dahlan menirukan ucapan ahli waris keluarga Diah.

Dahlan merasa hak karyawan itu harus segera diadakan lantaran jasa karyawan yang begitu besar dalam membesarkan Merdeka. “Kalau kami tidak memberikan saham kepada karyawan, lalu di mana lagi hati nurani?” ujarnya sengit.

Kedua, Dahlan tak membantah tampilan isi Merdeka yang main hantam sana hantam sini, membuat sebagian orang risih. “Ibu Diah sebagai orang Jawa, saya kira risih. Saya sendiri ikutan risih,” tambah Dahlan Iskan, mengacu pada Herawati Diah, istri B.M. Diah, yang juga dikenal sebagai wartawati jempolan.

Menurut Margiono, pemimpin umum dan pemimpin perusahaan Rakyat Merdeka, pertentangan yang berlarut-larut antara PT Jawa Pos dan keluarga Diah, memaksa mereka mengambil sikap. “Kami meninggalkan mereka semuanya dan seluruh karyawan bersepakat untuk mendirikan perusahaan baru,” ujarnya.

“Tapi Anda kan orang Jawa Pos yang ditugaskan di Merdeka?” tanya saya.

“Benar, tapi saya juga karyawan. Dan kami semua baik karyawan dan bukan karyawan, sepakat membubuhkan tanda tangan pernyataan keluar dari Merdeka,” jawab Margiono.

Dan itu bukan satu-satunya cerita. “Menurut kami sebenarnya perstiwa itu lebih tepat disebut kudeta,” ujar Woro Yudhi Anggraini dan Eka Chandrasari, mantan karyawan Rakyat Merdeka yang hengkang ke satunet.com.

Mengapa? “Karena setelah pindah ke Rakyat Merdeka, saya baru sadar bahwa saat itu saya sepertinya dimanfaatkan dalam konflik mereka,” tutur Woro Anggraini.

Eka Chandrasari menjelaskan waktu itu mereka diiming-imingi kenaikan tingkat kesejahteraan jika bergabung dengan manajemen baru yang hendak memisahkan diri dari Merdeka. Semula gaji di Merdeka maksimal Rp 600 ribu per bulan, jika keluar nantinya mereka akan mendapatkan gaji pokok Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu ditambah tunjangan prestasi.

Woro Anggraini menambahkan, saat itu mereka mendapatkan penjelasan bahwa masalah utama perpecahan menyangkut pembagian saham. Jawa Pos menghendaki agar saham dibagi 40:40 buat Merdeka dan Jawa Pos dan 20 persen jadi milik karyawan. Tapi Merdeka menghendaki pembagian saham itu 40:60 untuk Merdeka dan Jawa Pos. “Karena penjelasan itu kita pun kemudian pindah semua dengan jalan membubuhkan tanda tangan persetujuan,” ujar Anggraini.

Faktanya, sampai ia keluar pada 1999, statusnya masih pekerja kontrak dan belum memperoleh hak sebagai pemegang saham. “Mereka berhak memperoleh saham jika sudah lima tahun menjadi karyawan,” papar Dahlan Iskan.

Perselisihan itu terus berlarut-larut, sementara kinerja perusahaan tengah melesak, amar perpecahan akhirnya dibacakan. Pada April 1997, Merdeka resmi hilang dari pasaran. Tapi pada saat yang sama, para pembaca setia Merdeka tiba-tiba disuguhi media baru dengan nama Rakyat Merdeka dengan mempertahankan gaya dan penampilan Merdeka.

PROVOKATIF. “DPR sudah dibeli Golkar.” Kalimat itulah judul sebuah berita yang terpampang di halaman depan Rakyat Merdeka edisi 23 November 2001. Saya lantas membaca berita itu baris demi baris. Di benak ini spontan berhamburan segudang pertanyaan. Berapa besar jumlah uang yang dikeluarkan Golkar untuk membeli DPR? Siapa yang memberi dan menerima dana tersebut? Apakah transaksi terjadi secara langsung atau melalui rekening? Siapa yang menjadi saksinya dan di mana tempat transaksi itu berlangsung?

Astaga, sampai berita itu berakhir, saya tak menemukan jawabannya. Lalu dari siapa muncul kesimpulan DPR sudah dibeli Golkar? Bukan main, dahsyat! Judul itu ternyata kutipan langsung orasi mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia yang menggelar demonstrasi di depan gedung parlemen menuntut pembentukan panitia khusus kasus Bulog II pada 22 November 2001.

Kebiasaan mencantumkan judul yang berdasarkan omongan narasumber memang bukan barang baru. Menurut Eka Chandrasari, pernah ada judul yang dikutip dari omongan tukang bakso, “Gus Dur Sebaiknya Jadi Presiden Jawa Timur.”

Judul-judul berita yang bombastis, sensasional, bahkan provokatif memang jadi merek dagang Rakyat Merdeka.

“Akbar is Black”

“Fir’aun Baru Itu Bernama Bush”

“Kenapa Sih Kalian Jadi Pengecut”

“Gus Dur Sebaiknya Jadi Presiden Jawa Timur”

Rakyat Merdeka menjadikan judul sebagai dagangan utama, tak peduli apakah judul itu mencerminkan isi berita atau tidak. Bahkan judul yang berbau fitnah dibenarkan. Koran yang bernaung di bawah bendera PT Wahana Ekonomi Semesta ini memberi ruang yang sangat besar untuk judul berita.

“Menurut saya judul bombastis itu memang cara Rakyat Merdeka menjual produknya, mereka ingin beda. Memang tidak ada peraturan yang tertulis tapi itu sudah jadi budaya di sana,” ujar Chandrasari, tersenyum.

Masalahnya, menurut Chandrasari dan Anggraini, redaktur terkadang menentukan judul dan reporter disuruh menghubungi narasumber untuk mendukung judul yang sudah dibuat itu. “Saya pernah kena marah Salim Said, dan kemudian ia membanting teleponnya. Itu karena Salim merasa pertanyaan saya seperti mengarahkan beliau. Habis mau gimana lagi?” kenang Anggraini.

Tapi Putra Nababan, mantan redaktur pelaksana Rakyat Merdeka, kini jadi reporter Metro TV, membantahnya. Menurut Nababan, mereka sangat mementingkan isi berita, cover both sides dijaga seketat mungkin, bahkan harus ditambah dengan riset.

“Judul harus mencerminkan isi berita. Kalau asal main comot satu paragraf menurut saya itu kelewatan. Justru kami terus mengingatkan para reporter di lapangan agar jangan cepat merasa puas dengan hasil pekerjaannya, check and recheck lagi,” ujar Nababan.

Orang nomor satu Rakyat Merdeka Margiono tak membantah segala tudingan yang dialamatkan pada korannya. “Saya bilang judul atau berita kita bukan bombastis atau sensasional, tapi provokatif,” katanya pada saya.

Dengan bersemangat Margiono berargumentasi seputar latar belakang gaya berita yang digunakannya. “Kalau demokrasi itu dipahami sebagai ajang beda pendapat, boleh konflik, boleh beda aturan, maka Rakyat Merdeka mengambil porsi yang paling keras. Kalau ada konflik kita ambil konflik yang paling panas, kalau ada beda pendapat kita ambil beda pendapat yang paling tajam. Itu sesuai dengan moto kita: Apinya Demokrasi Indonesia,” ujar Margiono, seraya menambahkan posisi keras itu hanya ditujukan kepada penguasa, tidak rakyat kecil.

“Kami pro-rakyat dan tidak ingin berbeda dengan rakyat. Tapi pada penguasa kami beroposisi atau apalah namanya. Siapa pun penguasanya, apa itu Habibie, Gus Dur atau Mega atau penyelenggara negara yang lain seperti DPR, saya tidak peduli,” kata Margiono.

Karena pemberitaannya yang dinilai berani dan tajam dalam menghantam penguasa, terutama soal dwifungsi TNI, Partai Rakyat Demokratik, dalam ulang tahunnya yang kedua tahun 1999, menganugerahkan PRD Award pada Rakyat Merdeka.

Bagaimana tanggapan Dahlan Iskan? “Margiono tidak saja bisa membuat koran atau membesarkan koran. Saya anggap ia menemukan koran, seperti Harmoko menemukan Pos Kota, Goenawan Mohamad menemukan Tempo. Kalau Koran Tempo saya anggap tidak menemukan karena sama saja dengan yang lain.”

“Penemuan dalam hal apa?”

“Penemuan Margiono terutama dalam hal style. Di sini ia tak ada duanya,” ujar Dahlan.

“Tapi bagaimana dengan berita yang dinilai bombastis bahkan provokatif?”

“Wah itu urusan Margiono, saya nggak ikut-ikut,” tambah Dahlan Iskan.

SOAL tidak sinambungnya judul dengan isi berita, Margiono berkata, “Saya jualan koran, bukan menjual image.”

Membangun koran dengan cara dagang asongan menyebabkan kaidah-kaidah jurnalisme dilecehkan. Dalam kasus Rakyat Merdeka, jurnalisme tidak diabdikan untuk menyampaikan berita yang diupayakan sedekat mungkin dengan kebenaran. Berita diabdikan untuk menimbulkan sensasi, provokatif sehingga menarik minat orang untuk membaca.

Misalnya, pada edisi 23 November 2001, di halaman depan ditulis, “Inilah pentolan-pentolan rezim Orde Baru yang sudah dihukum, dan yang namanya sering/sedang disebut-sebut terkait kasus korupsi dan penyelewengan uang negara.”

Di bawah kalimat itu muncul nama sekaligus foto yang bisa menyesatkan pembaca karena tidak jelas antara fakta dan fiksi. Misalnya, nama dan foto mantan Presiden B.J. Habibie disandingkan dengan nama dan foto Ginandjar Kartasasmita, wakil ketua MPR, dan Bob Hasan, salah seorang kepercayaan mantan Presiden Soeharto.

Kenyataannya, Habibie belum pernah dihukum, sementara Kartasasmita pernah mendekam di rumah tahanan Kejaksaan Agung pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan Bob Hasan tengah mukim di Penjara Nusakambangan.

Dengan pemberitaan seperti itu, Rakyat Merdeka tak ubahnya selebaran dalam bentuknya yang lebih canggih.

“Selain provokasi, saya tak melihat ada sisi edukasinya di sana. Jika di bidang kriminal ada Pos Kota, maka Rakyat Merdeka itu mengambil bidang politik,” ujar Azas Tigor Nainggolan, aktivis Institut Sosial Jakarta yang rajin melakukan advokasi penggusuran tukang becak Jakarta.

“Saya pernah membeli Rakyat Merdeka karena headline-nya yang dahsyat. Tapi begitu membaca isinya saya kecewa karena tidak ada satu pun fakta yang menjelaskan headline itu. Headline itu pun hanya satu kutipan yang sudah diplesetkan,” kata Tino Saroengallo, produser film independen, sambil tertawa.

Danang Widoyoko, aktivis Indonesia Corruption Watch, termasuk pembaca setia Rakyat Merdeka. Menurut Danang, dalam hal pemberitaan korupsi, Rakyat Merdeka lebih galak ketimbang media lain.

Perkara menjual judul yang bombastis dan provokatif buntutnya memang dirasakan reporter di lapangan. Ratna Nuraini, reporter yang diberhentikan Rakyat Merdeka, mengatakan bagaimana dirinya sering risih bertemu dengan rekan-rekan wartawan media lain. Kalau ketemu di lapangan, rekan wartawannya sering bercanda, “Judulnya sudah ketemu belum?” kenang Ratna, yang kini jadi wartawan Media Indonesia.

Woro Anggraini punya pengalaman lain. Suatu ketika dia ditelepon mendiang Baharuddin Lopa, waktu itu menjabat sekretaris jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang marah-marah lantaran omongannya dipelintir. “Pak Lopa kemudian meminta agar dibuat bantahan terhadap berita itu di halaman satu. Bantahan itu pun didikte sendiri oleh Pak Lopa,” ujar Anggraini, tersipu malu.

Hal senada dirasakan Eka Chandrasari. Sebagai wartawan ekonomi, Chandrasari sering gusar karena beritanya dipleset-plesetkan seperti berita politik di halaman satu. “Saya sering protes karena ekonomi, faktanya jelas, tapi mereka bilang hal ini sudah biasa. Saya bilang harus pakai logika, nggak asal judul bombastis walau pun itu di halaman dalam. Saya mempertahankan itu tapi nggak bisa,” tuturnya.

APAPUN kritik yang dilayangkan ke Rakyat Merdeka, ia memang tampil beda dari yang lain. Tapi mengapa harus mengambil posisi yang paling keras sehingga sering mengabaikan kaidah-kadiah jurnalisme?

Kemungkinan ada dua jawaban. Pertama, seperti disampaikan Margiono, Rakyat Merdeka itu berpihak pada rakyat kecil. Dalam konteks ini, bahasa yang ditampilkan haruslah bahasa sehari-hari sehingga mudah dimengerti. “Kalau rakyat bilang Akbar itu pembohong, kita tulis seperti itu, tidak dikurangi dan tidak ditambahkan. Kalau mau halus-halus biar itu menjadi gaya media yang lain. Kita justru melihat bahwa selama ini suara rakyat kecil tidak mendapatkan porsi yang memadai di media,” ujar Margiono.

Bagi Arbi Sanit, komentator politik-cum-dosen Universitas Indonesia, bahasa yang digunakan Rakyat Merdeka itu kasar dan kurang beretika.

Tapi buat Teguh Susilo, dengan membaca Rakyat Merdeka ia justru menemukan tambahan pengetahuan tentang permasalahan politik. Teguh, sopir trailer Pelabuhan Tanjung Priok yang juga ketua Solidaritas Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (SBTPI), berlangganan Rakyat Merdeka lantaran isinya “berbobot” dan penuh nuansa politik yang sangat dibutuhkan rakyat. Menurutnya, hampir seluruh anggota SBTPI yang jumlahnya mencapai 4.000 orang membaca Rakyat Merdeka. “Pagi-pagi kita sudah rebutan membaca paling awal,” ujar Susilo.

Kedua, posisi bombastis dan provokatif itu diambil untuk memenangi persaingan di dalam pasar. Di tengah-tengah menjamurnya pertumbuhan pers, diperlukan kiat-kiat khusus untuk bertahan di medan persaingan yang ketat. Dalam kata-kata Putra Nababan, “Rakyat Merdeka bukanlah media yang dibangun dengan modal tak terbatas. Tidak ada investor besar dari luar yang mencurahkan uangnya. Kami membangunnya perlahan-lahan dari bawah.” Dan bagi Rakyat Merdeka, kiat khusus itu berupa bahasa yang provokatif.

Bagaimana hasilnya? Anggraini bercerita, ketika ia mulai bekerja di koran itu pada 1997, oplahnya baru sekitar 70 ribu eksemplar. Ketika ia keluar pada 1999, oplah meningkat jadi 150 ribu hingga 200 ribu eksemplar.

Menurut Margiono, kini setiap hari oplahnya antara 150 ribu sampai 170 ribu. “Kami termasuk yang tertinggi di Jakarta,” tuturnya.

Yang mengagumkan dan sekaligus mengharukan Margiono, para pembaca Rakyat Merdeka, umumnya membeli secara eceran. Mereka yang berlangganan sangat sedikit. “Jadi bisa dikatakan, kami hidup dari pembaca yang membeli eceran itu,” tambah Margiono. Dengan oplah sebesar itu, omzet Rakyat Merdeka per bulan antara Rp 4,5 miliar hingga Rp 5 miliar, belum termasuk iklan yang mencapai rata-rata Rp 800 juta per bulan. Margiono menambahkan dari omzet sebesar itu mereka sebenarnya sudah untung, sehingga pemasukan dari iklan merupakan pendapatan bersih.

Menurut Dahlan Iskan, Rakyat Merdeka jadi salah satu kelompok yang sukses dalam Jawa Pos News Network, menempati urutan ketujuh dari keseluruhan perusahaan.

DENGAN bersemangat Margiono berujar, “Kami ingin menjadi koran rakyat.”

Untuk mewujudkan ambisinya itu, pada September 2001 ia menggagas pembentukan Dewan Pembaca Rakyat Merdeka yang biasa disingkatnya DPR Merdeka. Gagasan itu tidak sekadar mengawang-awang. Margiono pun menyediakan rubrik satu halaman penuh sebagai tempat anggota DPR Merdeka menuliskan ide tertentu. Rubrik yang diberi nama DPR Merdeka Bicara, menempati halaman empat.

“Dengan adanya rubrik DPR Merdeka Bicara, maka rubrik Opini kami hapus,” ujar Margiono. Dalam rubrik itu, hanya mereka yang jadi anggota DPR Merdeka, yang tulisannya dimuat. Tujuan utama rubrik itu, selain untuk menampung opini dari anggota DPR Merdeka, juga menggugah mereka agar mampu berperan sebagai reporter Rakyat Merdeka.

Hal ini dibenarkan oleh Hamdan Ainie, direktur Tax Consultant Hamdan Ainie, salah seorang anggota DPR Merdeka.

“Coba Anda bayangkan, jika rakyat tidak hanya menjadi pembaca tapi sekaligus penyuplai berita. Kami akan menjadi koran dengan sumber berita paling besar,” tutur Margiono.

Lebih dari itu, dengan mengembangkan DPR Merdeka, mereka juga mendapatkan pembaca tetap yang potensial menjadi pelanggan. Gagasan itu tampaknya berjalan mulus. DPR Merdeka kini berkembang di 11 wilayah yang tersebar di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Lampung, dengan jumlah anggota mencapai 600 orang. Dari sekadar organisasi yang bercorak paguyuban, spontan, dan tak memiliki arah perjuangan, menuju organisasi yang sistematis dan programatik.

Dalam waktu singkat DPR Merdeka berproses menjadi organisasi yang bercorak patembayan. Karena organisasi ini terus berkembang, maka 20 Oktober 2001, di Hotel Usu Cisarua, Puncak, Bogor, Rakyat Merdeka menyelenggarakan kumpul bareng, yang mereka sebut silaturahmi nasional. Hasilnya, para anggota DPR Merdeka menyepakati pembentukan organisasi baru bernama Dewan Pemberdayaan Rakyat Merdeka yang juga disingkat DPR Merdeka. Hamdan Ainie sebagai ketua dan Sukarno Juri Budiono, sekretaris jenderal. Margiono duduk sebagai penasihat.

“Rakyat Merdeka itu induk semang kita, karena mereka yang menggagas dan mendirikannya,” tutur Hamdan Ainie.

Dalam pikiran Margiono, kesetiaan pembacanya tak hanya diikat dengan judul dan berita yang provokatif dan merakyat, tapi juga diorganisasikan dengan menggunakan prinsip kerja organisasi modern.

“Tapi kami bukan organisasi untuk demonstrasi. Anda lihat, kami datang dari latar belakang yang intelek,” ujar Ainie, menepis dugaan bahwa satu saat organisasi ini bisa menjadi kendaraan politik.

Langkah orisinal yang ditempuh Rakyat Merdeka jelas menyimpan sejumlah kontroversi. Ketika saya tanyakan apakah para anggota DPR Merdeka yang tulisannya dimuat di rubrik menulis DPR Merdeka Bicara mendapatkan imbalan? Baik Margiono maupun Ainie menjawab tidak. Ini berarti, Rakyat Merdeka tak saja meraup keuntungan dari pelanggan tetap tapi juga informasi gratis dan penulis gratis.

Kontroversi yang tak kalah hebatnya mengenai klaim keberpihakan kepada rakyat kecil sementara di belakangnya bersembunyi kepentingan untuk menggelembungkan pundi-pundi uang. Jika menggunakan bahasa yang bombastis dan provokatif, segmentasi pasar jadi jelas sehingga keuntungan pun berlipat ganda. Secara perlahan hal itu dibungkus dalam wacana yang populis: pro-rakyat.

Seperti yang dituturkan Azas Tigor Nainggolan, sebenarnya berita-berita Rakyat Merdeka pada esensinya tak mencerminkan aspirasi rakyat kecil. Misalnya, ketika ada penggusuran becak di Jakarta, hal ini tak jadi perhatian utama.

“Jadi yang dilakukan Rakyat Merdeka adalah membahasakan isu-isu politik elit ke dalam bahasa yang mudah dimengerti rakyat. Dan itu tidak sama dengan berpihak pada rakyat,” tambah Nainggolan.

Hal lain, yang dimaksud koran rakyat berarti rakyat mempunyai andil di dalam media tersebut, entah dalam bentuk kepemilikan saham atau yang lebih radikal, rakyat turut serta dalam perencanaan perusahaan. Masalah ini memang jadi ajang perdebatan yang belum tuntas. Karena itu, pemaknaan istilah koran rakyat tidak bisa diobral murahan.

Apakah rakyat tahu berapa besar omzet perusahaan secara transparan? Bagaimana proyeksi perusahaan ke depan? Margiono menjawab, “Kami tidak sampai ke sana. Yang kami lakukan adalah menyuarakan aspirasi rakyat terhadap penguasa.”

TANGANNYA tak pernah lepas dari sebatang rokok. Sesekali kepulan asap keluar dari bibir mungilnya. Ratna Nurnaini, memang terlihat gemas campur kesal. Ia keluar dari koran itu karena dipecat. “Bersama saya ada lima orang lagi yang kena pecat, dan kami bukan satu-satunya yang mengalami ini,” ujarnya.

Ratna Nurnaini berkisah pada 3 Juli 2001, ia bersama dengan lima temannya dipanggil menghadap kepala personalia PT Wahana Ekonomi Semesta, Yuwono. Dalam pertemuan itu, ternyata mereka disodori sepucuk surat pemutusan kontrak kerja.

“Saat itu kami tanya, mengapa kontrak kami diputus? Jawabannya sangat sederhana, berdasarkan evaluasi dewan redaksi ternyata kami dinilai tidak mampu memenuhi standar kerja yang telah ditetapkan,” ujar Ratna.

Karuan saja, pemecatan sepihak itu berbuntut panjang. Keenam reporter yang dipecat mengadukan kasusnya ke Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ratna merasa dilecehkan oleh alasan pemecatan itu. “Kita ini kurang apa, bekerja kayak mesin dengan gaji pas-pasan,” ujarnya kesal.

Seorang reporter Rakyat Merdeka, setiap harinya harus setor minimal tujuh sampai delapan berita, untuk bisa memenuhi standar yang ditetapkan redaksi. Dengan target seperti itu mereka harus bekerja keras sambil tersaruk-saruk.

“Karena itu dari segi kegigihan dan kerja keras, reporter Rakyat Merdeka tidak diragukan. Dan saya merasa mendapatkan pelajaran yang berharga,” ujar Ratna Nurnaini.

Masalahnya, kerja keras itu sepertinya tidak bernilai. Tak ada standar penilaian yang jelas mengenai kualitas sebuah berita. Menurut Chandrasari, ada kriteria berita baik atau tidak, misalnya A untuk kategori sangat baik, B kategori baik, C kategori sedang, dan D kategori kurang. “Tapi, aku pernah nanya bagaimana supaya berita kita dapat nilai A, kriterianya apa dan berita A itu seperti apa? Mereka tak bisa menjelaskan, padahal nilai A itu juga mempengaruhi karier,” tambah Chandrasari.

“Saya kira ini memang pola Jawa Pos, di mana rekrutmen sering sekali dilakukan selang tiga atau empat bulan, setelah itu dipecat tanpa standar penilaian yang transparan,” ujar Suwarjono, koordinator divisi serikat pekerja AJI Indonesia, yang menangani kasus itu.

Margiono menolak tudingan penilaian tidak transparan. Semuanya tertera dalam kontrak. Setiap bulan kinerjanya akan dievaluasi terutama soal disiplin, prestasi, dan produktivitas kerjanya. “Bahkan sebenarnya kami sudah hendak memutuskan kontrak sejak awal, tapi kami beritahu agar ia memperbaiki prestasinya. Itu artinya kami memberikan kesempatan padanya, tidak semena-mena,” tambah Margiono.

Masalahnya justru terletak pada kesepakatan kontrak kerja. Butir lima dari surat keputusan penetapan status honorer disebutkan, “Selama dalam status honorer, masing-masing pihak, baik calon karyawan maupun perusahaan, dapat melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa harus mempertimbangkan tenggang waktu dan ganti rugi apapun.” Dengan adanya klausul ini, maka tindakan pemecatan yang dilakukan terhadap Ratna dan kelima kawannya sah.

“Itu tidak benar,” ujar Asfinawati, pengacara publik LBH Jakarta yang menangani kasus itu. “Jika dilihat secara hukum, yakni peraturan menteri nomor 293 tahun 1993, maka pekerjaan jurnalis itu bukan sesuatu yang bisa dikontrak,” tambahnya.

Asfinawati mengatakan yang masuk dalam kategori bisa dikontrak itu pekerjaan yang limitatif sifatnya, sementara pekerjaan jurnalis itu selalu ada. Suwarjono menambahkan, kontrak kerja sebenarnya tidak bisa diperpanjang sampai dua kali. Jika masa kontrak pertama berakhir, maka hanya ada dua kemungkinan, kontraknya diputus atau diangkat sebagai karyawan tetap. “Dalam kasus teman-teman Rakyat Merdeka ini, perpanjangan kontraknya hingga berkali-kali,” tutur Suwarjono.

“Dari saya masuk tahun 1997 sampai keluar tahun 1999, status saya tetap pekerja kontrak,” ujar Anggraini.

KALAU demikian, mesti ada alasan lain di balik pola rekrutmen dan pemecatan yang dilakukan Rakyat Merdeka. Suwarjono berpendapat, jika dilihat dari standar gaji Rakyat Merdeka memang sangat rendah. Menyangkut penggajian ini, Putra Nababan mengatakan di Rakyat Merdeka dikenal dua sistem penggajian: gaji pokok yang dibayar setiap tanggal satu bulan berjalan dan tunjangan prestasi yang dibayar setiap pertengahan bulan. Besaran gaji pokok Rp 600 ribu, sedangkan tunjangan prestasi antara Rp 600 ribu hingga Rp 650 ribu.

“Kalau reporter itu berprestasi, maka tanggal satu ia menerima Rp 600 ribu, ditambah tunjangan prestasi setiap tanggal 15 sebesar Rp 600 ribu tapi lebih banyak Rp 500 ribu. Jadi per bulan ia menerima sekitar Rp 1,1 juta. Nggak terlalu jauh beda dengan koran-koran lain. Tujuannya memicu agar reporter bisa pas plafon Rp 600 ribu,” ujar Nababan.

Margiono membantah kalau kesejahteraan karyawan tidak diperhatikan. “Putra itu contohnya, walaupun ia masih muda tapi karena prestasinya baik, kami memberikan kesempatan untuk promosi. Bayangkan, umur 25 tahun ia sudah menjadi redaktur pelaksana dan satu dua tahun lagi, saya prediksi ia menjadi pemimpin redaksi. Gajinya pun tinggi, sekitar Rp 2 juta ditambah mobil,” ujarnya.

Ratna marah mendengarnya. Katanya, itu hanya berlaku di jajaran redaktur. Ratna meminta Margiono, melihat perlakuan calon reporter yang berjibaku memeras keringat untuk mendapatkan berita. “Kita yang selalu kena semprot narasumber dan diledekin teman-teman, gaji sebesar itu tak ada artinya,” ujar Ratna.

Karena itu penjelasan Suwarjono jadi logis, pola rekrutmen yang bisa dua-tiga kali dalam setahun, tujuannya untuk memperoleh calon reporter yang mau bekerja keras tapi tidak rewel jika digaji pas-pasan. Honor calon reporter nol tahun, berkisar antara Rp 400 ribu per bulan yang jika ditambah dengan tunjangan prestasi, masih di bawah angka Rp 1 juta. Tindakan pemecatan sepihak dengan demikian hanya dapat dipahami dari sudut pandang ini. “Kejadian seperti ini bukan sekali ini saja terjadi, sehingga saya pikir ini adalah bagian strategi dari Jawa Pos Group,” tambah Suwarjono.

Dahlan tak mau campur tangan. “Itu urusan Margiono dan mereka yang di Jakarta,” ujarnya.

Sebuah jawaban yang menelanjangi watak asli pedagang asongan: yang penting laris tanpa mengindahkan kualitas. *

by:Coen Husain Pontoh