Seniman Senen

Sobron Aidit

Mon, 4 November 2002

SAYA mendapat sepucuk surat dari Jakarta pada 1984. Isinya guntingan harian Sinar Harapan. Di situ terpampang sebuah foto sejumlah orang, cukup jelas.

SAYA mendapat sepucuk surat dari Jakarta pada 1984. Isinya guntingan harian Sinar Harapan. Di situ terpampang sebuah foto sejumlah orang, cukup jelas. Rd. Lingga Wisjnuwardana, seorang teman, mengirimkannya untuk saya. Dia ingin mengingatkan saya, bahwa dalam foto itu terekam orang-orang yang dulu mendirikan Seniman Senen. Ada Piet Pello, fotografer. Ada Wim Umboh, sutradara yang masa itu bekerja penuh buat Golden Arrow, sebuah studio tua di Senen, Jakarta Pusat. Ada penyair S.M. Ardan dan saya sendiri.

Rd. Lingga seorang jurnalis, penulis, sutradara, dan produser. Ia turut mendirikan Persatuan Pers Film Indonesia bersama saya dan beberapa teman lainnya, seperti Bus Bustami dari majalah Aneka, Junus Lubis dari Harian Pemuda, dan Gayus Siagian, wartawan-cum-sastrawan. Gayus inilah yang pertama kali mencetuskan julukan Paus Sastra untuk H.B. Jassin, kritikus sastra terkemuka di Indonesia.

Seniman Senen! Nama ini cukup terkenal pada masanya. Tapi kalau orang bertanya bagaimana struktur organisasinya dan di mana kantornya, nah, ini sulit dijawab. Kenapa sulit? Wong pengurusnya saja tak ada. Sistem keorganisasiannya tak ada. Mana mungkin ada kantornya. Tapi kalau menyebut nama Seniman Senen, orang pasti tahu. O si Anu, si Anu. Kalau seseorang datang ke "markas Seniman Senen," akan ada suara, "O, dia sudah masuk orang kita rupanya, ya?" Di mana itu markasnya? Antara Bundaran Kramat dan Senen. Di sepanjang jalan dan lorong tempat orang-orang berjualan. Di tempat banyak kios majalah, warung, dan kafe buat main catur berjejer. Di tempat penuh orang Batak dan juga segala bangsa berkumpul.

Dalam sebuah warung, restoran merangkap kafe, bernama "Tjauw An," terkadang kami duduk, lalu dengan suara lantang menyeru, "Keh, kopi! … (lalu suara yang ini direndahkan) … setengah, ya." Artinya, minta kopi tapi hanya setengahnya, sebab nggak cukup duitnya.

Kami menyebutkan kelompok kami dengan SS, kependekan dari Seniman Senen. Kelompok SS ini terdiri dari berbagai jenis seniman, seperti penyair, sastrawan, perupa (pelukis), pemain drama, pekerja film -dan bintangnya malah. Para penulis resensi bahkan produser film, dan wartawan yang seabrek-abrek juga nimbrung.

Sampai sekarang saya masih merasa heran. Kenapa ya ketika itu, kami kok bisa bersatu begitu rupa? Ketika itu tak pernah terpikir untuk menggolong-golongkan orang, macam dia itu Lembaga Kebudayaan Rakyat, dia itu Lembaga Kebudayaan Nasional, dia itu Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia, atau apa saja yang kemudian jor-joran mengikuti organisasi atau partai induknya. Siapa sebenarnya payung kami ketika itu? Secara konkret, memang tak ada. Tapi kalau rapat, minta ampun, nggak tanggung-tanggung! Kami sering rapat gabungan di daerah Taman Suropati, di rumah walikota Jakarta Raya Sudiro. Kami bersatu di bawah bendera MSDR alias Masyarakat Seniman Jakarta Raya.

Djamaluddin Malik yang produser dan pemilik studio Perseroan Artis Republik Indonesia itu, tak jarang ada di tengah kami. Sulit dibayangkan kalau saya juga punya trio dengan sastrawan Ramadhan K.H. dan Nugroho Notosusanto. Yang terakhir itu minta ampun anti komunisnya. Dia jenderal, juga penulis sejarah. Tapi ketika itu saya sering datang bahkan makan segala di rumah Notosusanto.

Yang dari film? Ada tiga sutradara tingkat nasional yang sering datang dan bergaul dengan kami, yakni Wim Umboh, Sjumandjaja (Mandjoi), dan Arifin C. Noer. Ketiganya sudah meninggal.

Rendra Karno, Sukarno M. Noor, Zainal Abidin, Ermina Zaenah, Aminah Tjendrakasih dan ibunya, Mak Wok (Wolly Sutinah), dan W.D. Mochtar seringkali berada di tengah kami. Kami juga tahu sampai ke soal remeh-temeh tentang mereka, seperti dulu ada bintang film cantik bernama Shagniarty, yang tahu-tahu berubah nama jadi Farida Arriyani. Dulu kami mengenal Marie yang sering menyanyi, tiba-tiba namanya berubah jadi Mieke Wijaya. Dulu sih namanya Lience Tambayong, eh lalu berubah jadi Rima Melati, yang kini dikenal sebagai pengusaha restoran. Semua perubahan ini sesuai dengan tuntutan keprofesian mereka.

Suatu kali dalam kunjungannya ke Paris, teman saya Wim Umboh, bercerita, "Eh, Bron (begitu saya biasa disapa), kamu masih ingat nggak sama Harmoko?"

"Ya, kenapa pula rupanya?"

"Dia ‘kan dulu sama-sama kita ‘kan? Di Senen, sering ke kita ‘kan?"

"Lah, iya. Kenapa?"

"Eh, kamu, kenapa-kenapa! Dia ‘kan sudah menteri. Dan dekat Istana. Jangan main-main lho, Seniman Senen satu itu terangkat begitu tinggi. Dari yang dulu dengan kita, kini seorang menteri lho, Bron."

"Sudahlah Wim, emang udah rezeki dialah itu," kata saya.

Harmoko kami kenal sebagai wartawan sekaligus karikaturis. Tapi tak ada di antara kami yang menyangka kalau pada akhirnya dia beberapa kali jadi menteri penerangan dan dekat dengan lingkungan Istana. Wahai, teman kami yang dijuluki orang Hari-hari Omong Kosong, kok sekarang ini nggak ada suaranya, ya?

Ketika di Paris, Wim Umboh menginap di rumah saya beberapa hari. Tapi tiba-tiba dia pindah tempat. Belakangan barulah saya tahu, dia merasa tak tentram di rumah saya. Takut ketahuan Kedutaan Besar Republik Indonesia Paris! Ketika itu kekuasaan dan kejayaan rezim Orde Baru yang berporos pada Soeharto dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sedang kuat-kuatnya. Maka mengertilah saya kenapa Wim Umboh seperti terbirit-birit menghindar. Apalagi saat itu dia dengan rombongannya sedang syuting film yang berjudul Secawan Anggur Kebimbangan.

Dari kalangan seni rupa, pelukis-perupa Mas Djon alias S. Sudjojono sering ngumpul bersama kami, juga Trisno Sumardjo. Gilanya lagi, dua pelukis ini pernah saling hantam, berpolemik di suratkabar Mimbar Indonesia. Eh, tahu-tahu berdua pula mereka minum kopi bersama.

Hal ini mungkin hanya ada dan terjadi di "zamannya SS dulu." Di antara kami tak ada saling benci, marahan, atau saling mendelik atau melotot kalau bertemu.

Teman-teman dari Yogyakarta maupun Solo, seperti W.S. Rendra atau D.S. Muljanto, akan selalu menyempatkan diri ke markas Seniman Senen. Satu hari saja tak bertemu, kami merasa ada yang kurang, ada rasa kehilangan.

Saya masih ingat, waktu itu masanya boom sastra. Banyak majalah yang terbit, bertabur-biar, baik yang bermutu maupun yang bermodal nekat. Rentangnya, antara awal 1950-an sampai beberapa tahun setelah itu. Kini semua hanya tinggal sejarah.

Sejak 1993 sampai 2001 kemarin, saya selalu ingin tahu di mana markas Seniman Senen kami dulu. Sulit dibayangkan. Semua sudah berubah. Sampai-sampai kami pun sudah berubah banyak.*

kembali keatas

by:Sobron Aidit