Debat Bhatara Siwa

Ni Luh Dian Purwati

Mon, 4 November 2002

INI terjadi jauh sebelum bom Bali. Ceritanya, I Made Sarjana, seorang lelaki Bali, membuka tempat pengobatan spiritual di Denpasar.

INI terjadi jauh sebelum bom Bali. Ceritanya, I Made Sarjana, seorang lelaki Bali, membuka tempat pengobatan spiritual di Denpasar. Tempat itu diberi nama Istana Kerajaan Swarga Mayapada Pusat Agama Hindu Dunia. Sarjana mengatakan dirinya telah ditasbihkan oleh Ida Hyang Widhi dengan gelar Ida Hyang Maha Suci. Ia mengatakan punya pengikut sekitar 2.700 orang Bali. Mereka adalah orang-orang yang berhasil ia sembuhkan dan percaya ia wakil Tuhan.

Kejadian ini menarik tabloid Bali Aga, yang memang rutin menulis isu pengobatan spiritual, perguruan tenaga dalam, pendek kata, isu mistis dan pura keramat. Awal Agustus, terbitlah tulisan satu halaman berjudul, “Memusnahkan Ida Bhatara Dalem” dan subjudul, “Ida Hyang Maha Suci Hadir Menggantikan Bhatara Siwa.”

Ini judul yang cukup berani. Bhatara Siwa dipercaya umat Hindu sebagai satu di antara tiga dewa yang memiliki kekuatan supranatural tertinggi. Siwa mengembalikan apa yang ada di alam ini ke asalnya yaitu kosong. Itulah yang menyebabkan Siwa diidentikkan dengan dewa pemusnah.

Laporan Bali Aga itu, kalau diterjemahkan ke bahasa sehari-hari, kurang lebih mengatakan I Made Sarjana berhasil membunuh Tuhan. Kontroversial. Beberapa orang menganggap Sarjana melecehkan simbol-simbol suci agama Hindu. Puncaknya, 9 Agustus lalu, “istana” tersebut diserang dan dirusak orang-orang yang menamakan diri Kelompok Masyarakat Peduli Agama Hindu (KMPAH). Untunglah, polisi bekerja melindungi Made Sarjana.

Dua hari berikutnya, KMPAH mengadukan kasus ini ke kejaksaan. Tuntutannya, pelecehan agama. Keesokan harinya, kelompok itu melanjutkan perjalanan mereka ke parlemen dan kantor mingguan Bali Aga. Tabloid ini dianggap menurunkan berita yang melecehkan agama Hindu, meresahkan masyarakat dan tak memenuhi Kode Etik Wartawan Indonesia.

Pasek Suardika dari Bali Aga menawarkan kompromi. Hak jawab, hak koreksi, mengajukan persoalan ini secara hukum, dan boikot Bali Aga. Tawaran yang sudah lumayan sebenarnya karena Suardika mengaku kalau dirinya salah.

Rudi Artawan dari KMPAH tetap menuntut Bali Aga minta maaf pada “umat Hindu … kami tidak mau tahu soal hukum. Kalau tidak mau memenuhi tuntutan kami, jangan salahkan kalau (ada) kejadian di sini.” Rudi mengancam akan membawa orang 200 kali lebih banyak.

Pasek keder juga. Dia khawatir keselamatan stafnya, “Maklum, siang-siang hanya ada staf perempuan saja di kantor.”

Ribut-ribut ini mengundang Made Nariana, salah seorang tokoh Persatuan Wartawan Indonesia cabang Bali, menyatakan Bali Aga melanggar hukum. Wartawan harus menghormati “norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat.”

Pasek Suardika membantah tuduhan Nariana. Pasek menuduh teguran itu bias dari rivalitas dua harian besar Bali. Mingguan Bali Aga adalah anak perusahaan harian Nusa, yang gencar dengan slogan, “Harian terbesar di Bali saat ini.” Sedangkan Nariana, redaktur pelaksana harian Denpasar Pos, milik harian Bali Post, suratkabar tertua Bali.

“Kalau rujukan mereka undang-undang dan kode etik, saya juga akan merujuk pada peraturan yang sama,” kata Pasek. Ia mengatakan Bali Aga justru melakukan kontrol sosial. Pasek tak sependapat dengan praktek pengobatan I Made Sarjana. “Kami justru membantu, lalu kenapa kami diserang?” kata Pasek.

Rudi Artawan membantah mengancam Pasek ataupun Bali Aga. Rudi pun mengadukan Pasek ke polisi dengan tuduhan, membuat perasaan tidak enak.

Isu ini tambah rumit lagi ketika Goes Arya dari Sandhi Murti, perguruan tenaga dalam yang mendominasi KMPAH, juga melaporkan Bali Aga ke polisi Denpasar. Tuduhannya, Bali Aga menyinggung dan membuat perasaan tak enak. Goes Arya merujuk pada UU Pers 1999. Goes Arya cukup mengerti jurnalisme karena ia mantan wartawan Bali Post dan kini bekerja untuk Bali TV –televisi lokal milik Bali Post.

Persoalan ini belum juga selesai. Wartawan lain juga ikut bingung. Ada yang bilang tak ada yang ganjil dengan laporan Bali Aga, selain sensasional, laporan itu semata-mata sosok I Made Sarjana. Putu Wirata dari Aliansi Jurnalis Independen berpendapat laporan Bali Aga memang faktual, tapi ini soal agama, soal paling peka. “Sepintas memang tidak ada salahnya. Namun kalau diperhatikan dengan cermat, maka akan kentara bahwa berita itu dimuat dengan tidak hati-hati,” ujar Putu Wirata.

Metode crosscheck bagaimana? Bagaimana caranya kita melakukan crosscheck dengan Bhatara Siwa? Bukankah kita tak bisa bertanya langsung, apakah betul ia dikalahkan I Made Sarjana? Putu memberikan jawaban logis. Tak mungkin bertanya pada Bhatara Siwa, tapi Pasek bisa bertanya pada ahli tafsir agama. “Tidak ada salahnya menyisipkan box kecil yang berisi komentar pakar.”

Di kantornya Pasek berdecak. “Itulah salahnya orang-orang. Membaca hanya sepotong-sepotong,” ujarnya. Bali Aga telah melakukannya. Di halaman tiga ada sebuah artikel berjudul, “Ratu Gede Mas Macaling.” Ini tentang Tuhan dan kekuasaanya. Menurut Pasek, Ratu Gede Mas Macaling, yang juga merupakan perwujudan Siwa, sudah membuat seimbang laporannya.

Pasek juga merasa orang Bali, setidaknya desa adat Panjer tempatnya bermukim, tak tersinggung. Dia tak pernah ditegur perangkat desa. Kalau pun orang desa betul tersinggung, sudah sejak lama kantornya hancur.

Pasek merasa benar. Ia tak mengindahkan tuntutan KMPAH. Belakangan tuntutan mereka bukan hanya berita tentang I Made Sarjana, tapi sudah mengarah ke redaksi Bali Aga. “Bahkan ada yang minta salah satu rubrik dihilangkan. Lalu ada juga yang coba menentukan narasumber, dan lainnya. Saya tidak akan melayani itu. Ini adalah kebijakan redaksi,” katanya.

Permasalahan kepercayaan memang sulit diselesaikan. Sementara orang ribut mencaci Sarjana, para pengikutnya justru mengelu-elukannya. Mungkinkah semua sengketa ini mereda bersama dengan meledaknya Sari Club dan Paddy’s Club di Pantai Kuta?*

kembali keatas

by:Ni Luh Dian Purwati