Debat Agus Dwikarna

Syamsiar.S Laeke

Mon, 4 November 2002

SUATU siang di sudut kota Makassar, Tamsil Linrung tampak duduk gelisah dengan wajah kuyu. “Apa SCTV dan Indosiar sudah datang?” tanyanya pada Iswari al Farisi.

SUATU siang di sudut kota Makassar, Tamsil Linrung tampak duduk gelisah dengan wajah kuyu. “Apa SCTV dan Indosiar sudah datang?” tanyanya pada Iswari al Farisi.

“Belum daeng (kakak),” jawab al Farisi. Tamsil berdiri. Berjalan mondar-mandir. Tangannya menggenggam erat telepon seluler. Sebagian wartawan yang ikut menunggu ikut gelisah.

Tamsil dan al Farisi sama-sama aktivis Komite Penegak Syariat Islam (KPSI). Mereka mengadakan sebuah jumpa pers 24 September lalu di rumah kerabat al Farisi bernama Agus Dwikarna —warga Indonesia yang dihukum 10 tahun penjara di Manila karena memiliki bahan peledak secara illegal dan dituduh terlibat jaringan terorisme al Qaeda.

Tamsil ditangkap bersama Agus dan Jamal Balfas, 13 Maret lalu, di bandar udara Manila, karena di salah satu tas mereka ditemukan bahan peledak. Tamsil dan Jamal dibebaskan April lalu karena terbukti tak terlibat.

Tiba-tiba al Farisi berteriak, ”SCTV dan Indosiar sudah datang.” Tamsil tersenyum lega. Dia memang ingin memberi penjelasan pada wartawan, terutama televisi, tentang perkembangan kasus Agus Dwikarna. Caranya, Tamsil akan menghubungi Agus lewat telepon dan wartawan boleh tanya langsung.

Para wartawan pun duduk di ruang tamu ukuran 20 meter persegi. Tak banyak hiasan di ruang itu. Hanya seperangkap sofa warna coklat muda dan hiasan kaligrafi. Tamsil mengambil posisi menghadap ke pintu. Suasana hening sejenak. Tamsil memencet nomor. Tak lama berselang, hubungan telepon dengan Agus tersambung.

“Saya sudah kirim uang ke Western Union Bank . Mungkin dua hari lagi sampai,” kata Tamsil, membuka pembicaraan dengan Agus. Tamsil memang rutin mengirimkan uang untuk membayar keperluan Agus Dwikarna di Manila –membayar pengacara, membeli makan dan sebagainya.

Lho tertuduh teroris kok gampang berhubungan lewat telepon? Pemerintah Filipina, kata Tamsil, memang memberikan keleluasaan bagi Agus menerima telepon dari keluarganya.

“Di sini banyak wartawan yang ingin berbicara dengan Antum (Anda). Mereka ingin tahu perkembangan terakhir persidangan,” kata Tamsil, mempersilahkan wartawan bicara langsung dengan Agus Dwikarna.

Pepih Nugraha, koresponden Kompas, mengambil telepon seluler dari tangan Tamsil, “Bagaimana kabarnya Pak?”

“Alhamdulillah sehat walafiat,” jawab Agus.

“Bagaimana perkembangan sidangnya Pak?”

“Saya divonis 10 tahun satu hari. Saya sangat mengharapkan bantuan pemerintah untuk membebaskan saya,”

“Bagaimana soal pertukaran tahanan?

“Saya tidak terlalu perduli saya apa yang digunakan untuk membebaskan saya. Apakah itu pertukaran tahanan, ekstradisi, atau apa pun yang penting saya bebas,” jelas Agus

Tapi isu terpenting dari pertemuan pers jarak jauh itu tampaknya pernyataan Agus bahwa tak benar kesaksian Tamsil Linrung telah memberatkan dirinya di pengadilan Manila. Ini merupakan bantahan Agus terhadap berita Fajar, suratkabar Makassar, yang mengutip pernyataan Abraham Samad, seorang pengacara KPSI.

Menurut Abraham, Tamsil tak mau bersaksi kalau dia melihat polisi memasukkan bahan peledak C-4 ke dalam tas Agus Dwikarna di bandar udara Manila. Padahal Tamsil selalu mengatakan kejadian itu di media Indonesia. Dia selalu cerita melihat bahan peledak dimasukkan ke tas. “Harusnya Pak Tamsil menceritakan itu. Karena itu akan menolong Pak Agus. Minimal meringankan hukumannya,” tegas Abraham.

Tamsil membantah, “Bagaimana saya menceritakan hal itu sedang polisi yang memasukkannya tidak ada di ruang sidang.” Beda pendapat ini membuat hubungan Tamsil dan Abraham kurang nyaman. Tamsil tampaknya membela diri dengan mengadakan pertemuan pers di rumah Agus Dwikarna. Pemilihan rumah ini bisa bukan kebetulan semata. Kesan yang hendak dimunculkan kepada wartawan adalah Tamsil punya hubungan dekat dengan Agus Dwikarna.

Tamsil menyalahkan beratnya vonis Agus, bukan karena kesaksiannya, tapi pada media Barat. Saat vonis dibacakan, CNN mengaitkan keterlibatan Agus dengan aksi pemboman kedutaan Filipina di Jakarta. Saat putusan banding dijatuhkan, majalah Time menyebutkan keterkaitan Agus dengan Omar al Faruq, warga Kuwait, yang dituduh CIA sebagai wakil al Qaeda di Asia Tenggara. Al Faruq ditangkap di Bogor Juni lalu dan hingga kini diinterogasi di pangkalan militer Amerika di Bagram, Afghanistan.

“Pemberitaan tersebut jelas mempengaruhi subjektivitas hakim,” keluh Tamsil.

Tapi ketidakcocokan kedua kolega Agus ini ditanggapi dingin oleh keluarga Agus. “Masalah ini tidak serius. Hanya kurang komunikasi. Mereka memang tidak begitu akrab,” jelas Iswari al Farisi.

Istri Agus, Suryani, mengatakan lima anaknya masih kecil sehingga kurang tahu persis soal abah mereka. Kecuali Akhmad Ikramuddin yang kini duduk di bangku SMP Islam Wardah Islamiyah. Akhmad. Dia pernah tanya, “Abah ditangkap ya?”

Suryani menenangkan anaknya, “Abahmu difitnah orang.”

Suryani mengatakan pada wartawan dia bersyukur opini simpati yang dibentuk wartawan Indonesia membantu ia dan anak-anaknya tabah. Tapi, kadang masih ada yang membuatnya terpuruk dalam kesedihan.

Suatu ketika anak pertamanya, Uswatun Hasana yang bersekolah di Pesantren Ummul Mu’minin menangis histeris. Uswatun melihat berita penangkapan abahnya di halaman pertama Fajar. Seorang loper menjajakan koran itu tepat di kaca mobil saat Uswa hendak pulang ke pesantren. Suryani cuma mengelus dada.

“Kak Agus memang sangat dekat dengan anak-anak. Bila pulang malam, ia langsung masuk kamar dan mencium mereka satu persatu,” kata Suryani.

Tapi Tamsil mengatakan masih ada harapan. Polisi yang disebut-sebut memasukkan bahan peledak dalam tas Agus bersedia memberikan kesaksian dalam sidang banding. Namun, Tamsil tidak mau menyebut namanya. Nanti malah menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Tamsil.

Kesediaan polisi itu akan dijadikan bargaining position dengan pemerintah Filipina. Menurut Tamsil, polisi itu akan membongkar semua rekayasa di pengadilan Filipina. “Ini akan menampar wajah pemerintahan Filipina,” serunya.

Tapi Abraham Samad, yang bikin pertemuan pers segera sesudah Tamsil Linrung, di kantor biro Kompas Makassar, meragukan keterangan ini. “Mana ada yang mau merelakan jabatannya. Apalagi dia bukan orang Indonesia. Tapi kalau yang dikatakan Pak Tamsil itu benar, syukurlah. Itu akan sangat membantu Pak Agus. Intinya kan membebaskan Pak Agus,” katanya datar.

Abraham juga tak setuju dengan ide pertukaran tahanan. Itu sama halnya dengan mengakui semua tuduhan yang diberikan pemerintah Filipina pada Agus. “Coba kalau Pak Agus ditukar dengan pencopet. Apa mau Pak Agus disamakan dengan pencopet?” kata Abraham sengit.

“Itu sama dengan bunuh diri,” kata Abraham.

Di rumah Suryani ikut merasa bersalah dengan perselisihan Tamsil-Abraham. Tapi dia tak mau berkomentar. Dia lebih baik menunggu Agus bebas. “Saya akan membuatkan bapak kue Barongko kalau bebas nanti,” katanya tersenyum.

Barongko adalah penganan dari pisang yang dihaluskan lalu dicampur dengan gula pasir, tepung, santan dan telur. Adonan itu dibungkus daun pisang yang kedua sisinya ditusuk lidi. Suryani menjadikan keterampilan itu sumber pendapatan keluarga. Sehari-hari Suryani bersama 10 karyawannya membuat 100 toples kue yang dititip di 700 toko.

“Keuntungannya lumayan,” kata Suryani.*

kembali keatas

by:Syamsiar.S Laeke