Akurasi Informasi

M. Said Budairy

Mon, 4 November 2002

SEMBILAN bulan yang lalu Persatuan Wartawan Indonesia memperingati Hari Pers Nasional. Hari peringatan jatuh pada 9 Februari, bertepatan dengan lahirnya organisasi itu pada l946.

SEMBILAN bulan yang lalu Persatuan Wartawan Indonesia memperingati Hari Pers Nasional. Hari peringatan jatuh pada 9 Februari, bertepatan dengan lahirnya organisasi itu pada l946. Dan dalam kesempatan seperti itu lazim dimanfaatkan untuk menggeladahi tubuh sendiri, melakukan introspeksi dan dengan cermat mendengar kritik dan masukan pihak lain.

Sebuah catatan berisi koleksi kritik publik dan pemerintah terhadap pers, dalam rangka memperingati hari pers itu, disajikan harian Kompas melalui tajuk rencana. Salah satu bagian kritik tersebut ialah, penilaian bahwa media massa umumnya, tidak atau kurang melakukan verifikasi, check dan recheck. Dengan kelemahan cara kerja semacam itu, bukan saja ketidaksamaan yang acapkali terjadi dalam pemberitaan, tapi juga informasi sepihak yang tak lengkap. Informasi yang potensial merugikan publik karena beritanya tak benar dan bisa merugikan pihak yang diberitakan.

Verifikasi merupakan syarat kerja wartawan profesional. Tanpa verifikasi, kerja media yang secara obyektif berkejaran dengan waktu akan serampangan. Kelengkapan, otentitas, akurasi informasi dipertaruhkan.

Pers kita pernah lama terkungkung. Kini telah bebas, berkat gerakan reformasi sejak Mei 1998. Dalam mewujudkan kebebasan pers, kita menyadari adanya tanggung jawab sosial. Maka untuk menjamin tetap tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat, ditetapkan suatu landasan moral profesi yang menjadi pedoman operasional. Dengan mematuhi pedoman tersebut diharapkan dapat menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Di antara substansi landasan moral profesi yang disebut kode etik itu ialah, “Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, tidak mencampurkan fakta dengan opini, dan selalu meneliti kebenaran informasi.”

KETIKA terjadi peristiwa besar seperti ledakan bom di Legian, Bali, cukup menarik memperhatikan bagaimana sebagian wartawan kita melakukan tugas profesinya.

Saya mengangkat kasus pemberitaan media dotcom, detikcom. Semata-mata mengkaji aspek jurnalistiknya. Lepas dari setuju atau tidak setuju kepada substansi pernyataan, lepas dari senang atau tidak suka, kepada tokoh yang diberitakan.

Penulis beritanya Gita Fadjar P Mega. Judul beritanya: “Akhirnya, Hamzah Haz Akui Ada Terorisme di Indonesia.” Disiarkan detikcom 14 Oktober 2002, sore hari.

Lead beritanya, “Hamzah Haz berubah 180 derajat. Ini soal keyakinannya tentang terorisme di negeri ini. Kalau dulu ngotot 100% tak ada teroris, bahkan berani pasang badan, kini dia harus mengubah keyakinannya.”

Berita selanjutnya tertulis sebagai berikut:

Bom Bali memaksa Hamzah mengakui bahwa terorisme itu ada di Indonesia. “Ini adalah

tindakan teroris,” tuduh Hamzah.

Lho, kalau begitu, Anda mengakui teroris ada dong? Atas pertanyaan ini, Hamzah pintar berdalih. “Kalau teroris, sudah lama ada,” jawab Wapres Hamzah usai rapat kabinet lengkap mendadak di Gedung Utama Setneg, Jl.Veteran, Jakarta Pusat, Senin (14/10/2002).

Lho, dulu kok tidak mengakui ada teroris? Untuk pertanyaan ini, Hamzah masih bisa ngeles. “Cuma sampai saat ini belum ada yang terkait dengan Islam radikal seperti Abu Bakar Ba’asyir, Ja’far Umar Thalib, Habib Rizieq,” kilah Hamzah.

“Belum ada jaringan-jaringan itu (Abu Bakar Ba’asyir dkk-red) yang terkait dengan (peledakan-peledakan) yang lalu,”Hamzah menandaskan alasannya.

Bagaimana dengan adanya tuduhan bahwa bom Bali adalah hasil rekayasa Amerika Serikat? “Pasti ada rekayasa, tapi tidak tahu dari mana,”jawab Hamzah.

Setelah mengakui bahwa terorisme itu ada, Hamzah mengancam para teroris dengan hukuman berat. “Siapa saja yang melakukan teror, entah rakyat kecil, pejabat, ataupun ulama, tidak akan dilindungi dan tidak ada kebal hukum,” demikian Hamzah.

Seperti diketahui, selama ini Hamzah dikenal sebagai petinggi negara yang enggan mengakui terorisme ada di Indonesia. Bahkan jika ada teroris di Indonesia, Hamzah rela ditangkap lebih dulu sebelum teroris itu dibekuk.

Sekarang, pasang badan lagi tidak, Pak Hamzah?

Berita tersebut campur aduk antara fakta dan opini reporternya. Begitu rupa campur aduknya, sampai-sampai pada baris terakhir berita tersebut mirip penutup surat yang butuh jawaban, “Sekarang, pasang badan lagi tidak Pak Hamzah?” Pencampuran fakta dan opini dalam suatu berita melanggar kode etik wartawan.

Berita tersebut dirujukkan kepada berita lain yang disiarkan detikcom enam bulan sebelumnya, mengenai kunjungan Wakil Presiden Hamzah Haz ke pesantren Al-Mukmin, di desa Ngruki, kabupaten Sukoharjo. Judul berita detikcom tanggal 29 Mei 2002 itu, “Hamzah: Mau Tangkap Teroris, Tangkap Dulu Saya.” Penulisnya Muchus Budi R.

Lead beritanya: “Wakil presiden Hamzah Haz kembali menegaskan keyakinannya bahwa tidak ada teroris ataupun jaringan terorisme di Indonesia. Karena itu, dia akan membela tokoh-tokoh yang selama ini dituding sebagai tokoh teroris di Indonesia. Bahkan ia memasang badan jika ada yang ingin menangkap teroris, harus menangkap dia lebih dulu.”

Lead yang menyebutkan Hamzah Haz menyatakan jika ada yang mau menangkap teroris, harus menangkap dia lebih dulu, tidak pernah dikemukakan, tersurat maupun tersirat, karena kebetulan saya juga mendengar langsung pidato Hamzah tersebut. Juga dapat dicocokkan dengan hasil liputan wartawan Kompas.

Laporan wartawan Kompas, dua alinea pertama dari delapan alinea, sebagai berikut:

Wakil Presiden Hamzah Haz hari Rabu (29/5) melakukan kunjungan ke Pondok Pesantren Al Mukmin di desa Ngruki, Kabupaten Sukohardjo, yang katanya merupakan pemenuhan “janji”-nya kepada KH Abu Bakar Ba’asyir bahwa ia akan melihat langsung pesantren tersebut. Kedatangannya ini sekaligus dimaksudkan untuk memastikan sinyalemen terkaitnya pesantren ini dengan jaringan Al Qaedah, yang dituding masyarakat internasional sebagai menggerakkan terorisme.

“Saya hanya ingin jaminan (isu jaringan Al Qaidah) itu benar atau tidak. Kalau tidak, insyaallah akan saya bela. Tetapi, kalau (ternyata) jaringan itu ada, maka sayalah yang pertama-tama memerintahkan tangkap. Kalau mau tangkap, padahal tidak terbukti ada, maka tangkap saya dahulu, jangan kiainya,” ujar Hamzah Haz, yang begitu tiba di Pondok Ngruki pukul 14.15 langsung menyampaikan pidato di atas mimbar. Tak ada pertemuan khusus Wapres dan pengasuh pondok seperti KH Abu Bakar Ba’asyir, baik sewaktu tiba maupun saat pulang.”

Jika dikaji lebih rinci, berita detikcom yang ditulis Muchus Budi R, keterangan pada judul dan lead beritanya berbeda dengan isi badan berita. Entah persis seperti itu aslinya, atau berubah karena terkena sentuhan pada tahap editing.

Bagian berikutnya berita detikcom tersebut sebagai berikut:

“Saya sudah bicara dengan yang dianggap teroris itu. Saya bertemu dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Ustadz Ja’far Umar Thalib dan Habib Rizieq. Kiai bertiga ini bertemu di rumah saya, saya ajak omong-omong dua bulan lalu. Saya katakan bahwa di Indonesia ini sekarang ada isu ada jaringan Al-Qaeda kaitannya dengan tokoh-tokoh yang dianggap keras ini," lanjut Hamzah.

“Waktu itu,” tutur Hamzah,” Abu Bakar Ba’asyir meminta agar dirinya melihat langsung Pondok Al-Mukmin,, tempat Ba’asyir tinggal dan mengasuh hampir dua ribu santri. Karenanya, kedatangannya ke Pondok Al-Mukmin ini adalah memenuhi undangan Ba’asyir melihat secara langsung meskipun sebelum menjadi wakil presiden Hamzah juga pernah datang ke pondok tersebut.

"Saya datang ini hanya melihat ada tidak (terorisme) itu. Kalau tidak ada insya Allah saya bela. Tapi kalau ada jaringan (terorisme) itu, jangan orang lain yang memerintahkan, tapi saya dulu yang memerintahkan untuk menangkap. Tidak ada terorisme. Tidak ada teroris di sini, kalau mau nangkap, tangkap saya dulu," tegasnya.

"Kapolri juga sudah menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada jaringan teroris. Bank Indonesia juga sudah mengecek bahwa ternyata tidak ada aliran dana dari luar negeri yang mengalir ke Pondok (Al-Mukmin) Ngruki," lanjutnya.

Hamzah menegaskan bahwa pondok-pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam adalah merupakan simbol Islam di tanah air. Karena itu tidak boleh ada orang lain yang mencitrakan bahwa pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam sebagai sarang atau menciptakan jaringan teroris.

"Kita herus menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Pondok Ngruki harus mampu mengirimkan dai-dai ke luar negeri, termasuk ke Eropa dan Amerika, biar mereka tahu bahwa Pondok Ngruki bukan pondok yang melahirkan teroris, tapi benar-benar da’i yang dikeluarkannya," tandas ketua umum PPP tersebut.

Kepada wartawan Hamzah Haz menegaskan, kunjungannya ke pondok yang sedang menjadi perhatian dunia itu hanyalah silaturahmi saja. Tidak ada agenda atau tujuan khusus dalam kunjungan tersebut selain ukhuwah sesama muslim.

Sedangkan Abu Bakar Ba’asyir saat ditemui mengatakan, kunjungan Hamzah Haz itu dimaksudkan untuk menetralisasi opini dan tudingan yang selama ini diarahkan ke Pondok Al-Mukmin sebagai pondok yang mencetak kader-kader garis keras, bahkan disebut-sebut sebagai pondok pencetak teroris.

KASUS lain menyangkut sumber berita anonim. Koran Tempo edisi 16 Oktober 2002 menyiarkan berita berjudul “Kabinet Diminta Kompak Atasi Teror.” Alinea ketiga berita tersebut tertulis, “Hamzah marah karena Yudhoyono mempersoalkan pernyataannya di media bahwa aparat keamanan hanya NATO (no action talk only) alias tidak berbuat apa-apa sehingga Indonesia kebobolan aksi teror. Di sidang ini pula Hamzah mendesak agar Presiden Megawati mencopot Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono. Tapi Megawati yang memimpin sidang menolak.” Koran Tempo menyebut sumber beritanya seorang bekas pejabat intelijen.

Penerbitan hari berikutnya, 17 Oktober 2002, Koran Tempo melaporkan keterangan langsung Wakil Presiden Hamzah Haz. Beritanya, “Di Surabaya Wakil Presiden Hamzah Haz membantah terjadi perpecahan dalam kabinet. Dia menegaskan bahwa, ia tidak pernah meminta Presiden Megawati mencopot Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono seperti diberitakan pers.”

Jelas ada perbedaan diametral antara dua berita tersebut. Pada edisi 17 Oktober itu, Koran Tempo selain menyiarkan keterangan Hamzah, di bawahnya persis menyiarkan ulang keterangan dari sumber anonim yang isinya bertentangan itu.

Maka menurut saya, patut diperbincangkan, bagaimana seharusnya mengelola berita simpang siur seperti itu? Dari sumber anonim, diberitakan seseorang minta Hendropriyono dicopot? Sedangkan orangnya langsung membantah, tidak pernah meminta agar Presiden Megawati mencopot Hendropriyono seperti diberitakan Koran Tempo?

Kesan saya, Koran Tempo menyerahkan kepada pembacanya mau mempercayai berita yang mana. Mempercayai berita yang bersumber anonim atau pernyataan bersumber pihak yang bersangkutan langsung. Padahal, landasan moral profesi mengharuskan wartawan menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Bukan untuk menebak-nebak mana yang benar mana yang salah.

Menyajikan berita berdasar keterangan sumber berita yang tidak disebut nama orangnya, kesahihannya menjadi tanggungjawab redaksi. Dari pada redaksi dianggap mengada-ada untuk suatu kepentingan tertentu, agaknya perlu ada sikap jika ternyata berita bersumber anonim itu salah. Mungkin perlu dipertimbangkan, bahwa kewajiban melindungi sumber berita yang tidak mau disebut jelas nama/identitasnya hanya berlaku jika beritanya benar, tidak disangkal oleh pihak yang bersangkutan langsung.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy