Lesley McCulloch Masuk ke Aceh

Chik Rini

Mon, 7 October 2002

RUANGAN yang tak begitu luas itu lumayan fasilitasnya. Ada pendingin udara, ada seperangkat kursi, dan ada tempat tidur dadakan. Itu bukan sel tahanan pengap dan bau.

RUANGAN yang tak begitu luas itu lumayan fasilitasnya. Ada pendingin udara, ada seperangkat kursi, dan ada tempat tidur dadakan. Itu bukan sel tahanan pengap dan bau. Itu ruang tahanan darurat untuk Lesley McCulloch dan Joy Lee Sadler –dua orang kulit putih yang ditangkap tentara Indonesia 11 September lalu di Kecamatan Keude Rundeng Aceh Selatan, sekitar 260 kilometer selatan Banda Aceh. Seminggu diinterogasi polisi, keduanya dipindahkan ke markas polisi Banda Aceh.

Bukan karena keduanya orang asing, polisi menempatkan mereka di ruangan khusus. Mereka tak bisa disatukan dengan para tahanan yang kebanyakan laki-laki. Tapi ruang tahanan ya ruang tahanan. McCulloch dan Sadler dinyatakan resmi sebagai tersangka oleh polisi pada 16 September lalu karena penyalahgunaan visa. Ancamannya, maksimal lima tahun penjara atau denda Rp 25 juta.

“Dalam visanya mereka tercatat sebagai turis. Namun kegiatannya dinilai sudah terlalu jauh,” kata wakil juru bicara operasi pemulihan keamanan Aceh Komisaris Polisi Taufik Sutiyono.

Secara hukum, warganegara asing, termasuk wartawan atau akademisi, harus mendapatkan izin khusus untuk masuk ke daerah bergolak macam Aceh.

Kuasa hukum mereka, Rufriadi dari Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh mengatakan, mereka pakai visa turis karena untuk mendapatkan visa untuk tugas kemanusiaan sulit didapat.

McCulloch warganegara Inggris, kelahiran Glasgow, Skotlandia, dengan status permanent resident di Australia. Maret lalu wajah dan namanya mulai dikenal di kalangan akademisi Indonesia ketika ia bicara di sebuah konferensi besar-besaran tentang Asia di Washington DC. McCulloch bicara soal Aceh di sebuah panel –dari ratusan panel diskusi yang ada—bersama nama-nama lama dalam lingkaran akademik macam Donald Emerson, Goenawan Mohamad, Ihsan Ali Fauzi dan sebagainya.

Dia pakar studi pertahanan. Pakar di sini maksudnya memang pakar. McCulloch pernah jadi dosen Universitas Tasmania dan sedang menulis buku tentang konflik Aceh. Kalau membaca laporan-laporannya untuk The Jakarta Post atau South China Morning Post, yang cukup sering dilakukannya, mungkin bisa dikatakan McCulloch adalah peneliti Barat yang kini paling getol bicara soal Aceh. Hatinya ada di Aceh. Simpatinya ada pada penderitaan orang Aceh. Tak mengherankan bila McCulloch melanggar aturan imigasi Indonesia, yang sejujurnya memang menyebalkan tapi mau bilang apa karena legal, untuk pergi ke kampung-kampung berbicara dengan orang-orang Aceh.

Sadler adalah pensiunan perawat dari Waterloo, Iowa, Amerika Serikat. Kabarnya, dia berminat mencari pekerjaan di Aceh untuk memberi perawatan kepada orang-orang sakit dan terluka di berbagai kamp pengungsian di Aceh. Dia juga membantu anak-anak Aceh yang sakit dan kurang gizi.

Tapi polisi curiga, keduanya melakukan kegiatan politik di Aceh. Sebelum ditangkap tentara, McCulloch dan Sadler ada di kecamatan Manggamat, Aceh Selatan. Di sana mereka masuk ke markas Gerakan Aceh Merdeka dan tinggal empat hari ditemani pemandunya Fitra bin M Amin, seorang mahasiswi Aceh. Mereka dituduh bicara dengan para gerilyawan dan memotret aktivitas mereka.

Sial bagi mereka. Dalam perjalanan pulang dari Manggamat mereka terjaring razia tentara di pos

militer kecamatan Keude Rundeng, Aceh Selatan. Tentara curiga ada orang asing berkeliaran di sana. Tentara menggeledah tas mereka. Di dalamnya ada catatan tentang aktivitas GAM (“Hanya catatan tentang penderitaan orang-orang Aceh,” kata mereka) dan foto-foto tentang ekses konflik bersenjata di Aceh. Polisi juga menyita rekaman kaset handycamp mereka. Yang memberatkan lagi tampaknya adalah sebuah catatan tentang bisnis ilegal tentara dan polisi Indonesia yang pernah ditulis McCulloch di Jerman pada 1999 dan ditemukan tentara di laptopnya. Maka tentara menahan mereka dan menyerahkan kepada polisi. Mereka resmi dijadikan tersangka, Fitra cuma sebagai saksi.

Sudah sejak ditangkap keduanya menghadapi interogasi aparat yang sangat melelahkan. Mereka juga dipukul dan diancam akan dibunuh dengan todongan senjata api. Sadler yang umurnya 57 tahun fisiknya tampak lebih payah dibanding McCulloch yang masih berumur 42 tahun. Wajah mereka terlihat kuyu saat tiba di Banda Aceh dengan pesawat.

Mereka diinterogasi polisi secara maraton. Selama diperiksa di Aceh Selatan mereka tidak diperbolehkan menghubungi keluarga dan keduataan besar negara mereka. Putra Sadler berhasil berjumpa sesaat dengan ibunya di bandar udara. Mereka berpelukan sambil menangis. Tapi polisi mengawal mereka secara ketat. Pihak konsulat Inggris dan kedutaan Amerika Serikat baru bertemu keduanya di markas polisi Banda Aceh.

Dari ruang tahanannya di Banda Aceh, McCulloch mengirim surat –lewat bantuan aktivis-aktivis Aceh yang membantu mereka dengan makanan dan bantuan hukum– yang menceritakan kesedihannya karena terisolasi dari dunia luar. Mereka tak bisa menghubungi langsung keluarga dan teman-temannya. Pembicaraan telepon mereka dengan diplomat Amerika dan Inggris juga sering diputus polisi. Polisi juga tidak menyediakan makan yang cukup. Tak ada koran yang bisa dibaca.

“Sejak tiba di Banda Aceh fisik kami sangat lelah ditambah dengan intimidasi dan tekanan polisi yang terus menerus,” tulis McCulloch dalam salah satu suratnya yang beredar di internet.

“Polisi mengatakan: kami memiliki dokumen-dokumen GAM, ini sama sekali salah, kami hanya punya cerita para korban konflik. Tapi mereka berusaha keras menemukan bukti yang lebih memberatkan,” kata mereka.

Polisi tampaknya tak akan mendeportasi McCulloch dan Sadler –seperti yang mereka lakukan terhadap Lawrence Lawson, seorang peneliti asal Australia yang memotret sejumlah aktivitas unjuk rasa mahasiswa di Banda Aceh Agustus kemarin dan juga wartawan Australia Lindsay

Murdoch yang menulis artikel tentang kekejaman tentara di Aceh. McCulloch dan Sadler tampaknya akan menghadapi persidangan yang melelahkan.*

kembali keatas

by:Chik Rini