Warna-Warni Sidang Amandemen

Agus Sudibyo

Mon, 2 September 2002

AGUSTUS lalu pintu masuk gedung parlemen di Senayan bukan sekadar semarak oleh demonstrasi. Di sana memang tiap hari ada aksi, dari mahasiswa hingga ibu-ibu, dari yang bersurban hingga yang telanjang dada.

AGUSTUS lalu pintu masuk gedung parlemen di Senayan bukan sekadar semarak oleh demonstrasi. Di sana memang tiap hari ada aksi, dari mahasiswa hingga ibu-ibu, dari yang bersurban hingga yang telanjang dada. Ada juga kuda polisi, helikopter Super Puma, dan panser ringan komando Scout. Ini bikin suasana tegang walau ternyata semuanya damai.

Ketegangan hanya lewat spanduk. Memang adu spanduk benaran. Pagar kawat batas jalan tol depan gedung itu dipenuhi spanduk berbagai ukuran, warna, dan corak. Maka meluncurlah spanduk, “Syariat Islam, Siapa Takut!” atau “Tegakkan Syariat Islam, Lupakan Yang Lain.” Segar, lucu, komunikatif, tapi bukan baru-baru amat. Yang pertama menirukan jingle iklan sampo Clear “Ketombe siapa takut?” Yang kedua jingle iklan sabun cuci Daia,“Pakai Daia lupakan yang lain.”

Spanduk dari pendukung syariat Islam, tak hanya mengambil popularitas sabun cuci atau sampo, tapi juga jargon khas kalangan kiri, sehingga muncul spanduk berbunyi, “Islam Bersatu Tak Bisa Dikalahkan.” Ada juga spanduk funky berbunyi, “Why Not The Best? Yess … Syariat Islam!”

Tapi namanya juga orang, ada spanduk yang bikin panas telinga: “Haram Dukung Partai Yang Tak Perjuangkan Syari’at Islam” atau spanduk dari Hizbut Thahir Indonesia “Allah mewajibkan kita menerapkan syariat Islam.” Namun secara umum, spanduk-spanduk kelompok Islam ini relatif ngepop dan gaul.

Bandingkan dengan spanduk organisasi yang menuntut amandemen UUD 1945 dan pembentukan Komisi Konstitusi: “Tolak Amandemen: Goblok, Dungu, O’on! Pengkhianat …,” “Kontra Amandemen: Kolot, Otaknya Cetek,” “Menolak Amandemen: Pengkhianat Bangsa.”

Bisakah pesan-pesan politik macam itu, sebagian milik organisasi nonpemerintah, mendapatkan simpati publik?

Spanduk, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun ini membuktikan, semakin lazim jadi medium untuk menyampaikan pesan kepada publik, entah pesan politik, kemanusiaan, komersial atau lainnya. Spanduk bisa formal dan kaku. Spanduk juga bisa akrab jenaka.

Ada tiga isu besar yang mendominasi isi ratusan spanduk selama sidang MPR ini—diletakkan di depan dan belakang Senayan maupun di jembatan-jembatan penyeberangan sepanjang jalan tol dalam kota Jakarta. Pertama, perlu-tidaknya syariat Islam masuk dalam UUD 1945. Kedua, pembentukan Komisi Konstitusi. Ketiga, penghapusan utusan golongan dan perubahan status utusan daerah, yang praktis kurang tersuarakan.

Tak berarti semua isu besar dispandukkan. Amandemen tahun ini juga melibatkan isu pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, penghapusan kata “pribumi” maupun dihilangkannya kursi militer dan polisi, setelah 30 tahun dapat gratisan, dari parlemen. Semuanya isu strategis walau tanpa spanduk.

Polisi tak mau ketinggalan. Warna spanduknya kuning dan coklat, khas warna polisi. Kesannya kaku dan isinya: “Polisi Siap Mengamankan Unjuk Rasa Yang Telah Memberitahukan Sesuai Ketentuan UU No. 9 1998.” Panjang dan tak komunikatif. Struktur kalimatnya membingungkan. Tak jelas, siapa yang harus memberitahukan dan kepada siapa diberitahukan? Atau coba baca ini: “Biasakan Berdialog Dalam Menghadapi Konflik” atau “Reformasi Jangan Dikotori Dengan Pelanggaran Hukum.”

Ada juga pesan-pesan politik khas Orde Baru, yang melambung tinggi, seperti billboard milik Lembaga Informasi Nasional: “Dengan Semangat Persatuan dan Kesatuan, Kita Sukseskan Sidang Tahunan MPR 2002.” Billboard ukuran jumbo itu terpancang di halaman depan gedung parlemen.

Keunikan perang spanduk tak berhenti di sini. Ada yang memanfaatkan momentum ini untuk menyampaikan pesan yang sangat detail. Solidaritas Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Islam Bahagia Jakarta misalnya, memajang spanduk berukuran besar berbunyi: “Kami Minta MPR/DPR Mengadili Kepsek Haripomo Sebagai Pelaku Kejahatan Seksual di Sekolah Kami!”

Hebat sekali jika Amien Rais, ketua MPR, dan kawan-kawannya sampai harus mengurusi persoalan kepala sekolah. Itulah, namanya juga demokrasi.

Terlepas dari keunikan-keunikan, perang spanduk juga cukup mengejutkan. Ada spanduk-spanduk yang melawan syariat Islam dalam konstitusi. Misalnya: “Suka sama suka dirajam mati, pantaskah?” atau “Pencuri dipotong tangan, pantaskah?”

Spanduknya boleh kencang, tapi sidang 11 hari itu berjalan damai. Mereka yang minta syariat Islam masuk konstitusi, terutama dari Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan, dengan gentle tak ngotot dan membuat deadlock. Mungkin orang sudah belajar dari kekeliruan Indonesia 1950-an ketika demokrasi parlementer dibuat deadlock dan buntutnya militer menekan Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Kata “pribumi” juga ditiadakan pada detik terakhir, secara resmi juga menghilangkan rasialisme anti-Cina di Indonesia.

Tak keliru bila Amien Rais, termasuk orang yang sabar memimpin rapat-rapat di sini, mengatakan, “Amendemen pertama hingga keempat UUD 1945 sudah disahkan. Ini merupakan satu langkah raksasa.”

Yang terakhir ini bukan isi spanduk, tapi wawancara Amien dengan Antara. Ini merupakan satu langkah raksasa. Kalimatnya boleh juga tuh.*

kembali keatas

by:Agus Sudibyo