Somasi, Somasi

Indarwati Aminuddin

Mon, 2 September 2002

KANTOR Pengacara Soekanto, Salim dan Rekan di Jalan Renggala II, lengang. Atmajaya Salim, kuasa hukum Akbar Tandjung muncul beberapa menit kemudian. Sosoknya tinggi besar.

KANTOR Pengacara Soekanto, Salim dan Rekan di Jalan Renggala II, lengang. Atmajaya Salim, kuasa hukum Akbar Tandjung muncul beberapa menit kemudian. Sosoknya tinggi besar.

“Persoalannya sudah selesai,” katanya.

Ia berbicara tentang buku Buloggate, yang ditulis Mad Ridwan dan Guntoro Soewarno. Keduanya jurnalis yang pernah bekerja di harian Republika dan kini mendirikan Indonesian Institute for Investigative Journalism atau biasa disingkat IIIJ.

Pertengahan Juli lalu, Salim diundang ke rumah Tandjung. Di situ sudah berkumpul lima pengacara Tandjung. Salim akrab dengannya sejak 1990 ketika jadi kuasa hukum keluarga besar Tandjung.

Mereka berbincang. Tandjung memperlihatkan buku dengan cover hijau setebal 200 halaman. Di situ wajahnya terpampang, masam dengan dahi berkerut, seakan penuh beban. Tandjung tak suka foto itu.

“Saya merasa disudutkan,” kata Salim mengutip keluhan Tandjung. “Saya sudah divonis bersalah,” ujar Tandjung lagi.

Salim dan rekan-rekannya mempelajari buku itu. Tak ada yang aneh. “Sebagian pernah dimuat media massa,” kata Salim. Mereka mengabaikan isi. Tapi, tidak untuk cover. “Ini merugikan klien kami. Mereka tidak minta izin untuk menjadikan foto Pak Tandjung itu sebagai cover,” katanya.

Tandjung dipotret saat sidang berlangsung. Dalam surat somasi, kuasa hukum Tandjung mencantumkan dua pasal yang bakal menjerat Mad Ridwan, Guntoro Soewarno, dan Guntur Subagja, yakni pasal 18 ayat 1 dan pasal 19 dari undang-undang hak cipta.

“Mereka melanggar hak cipta. Kalau tak menarik buku itu, sanksinya penjara tujuh tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta,” jelas Salim.

Penafsiran hak cipta memang beragam. Namun, dalam kasus ini, bukan Ridwan, Soewarno, dan Subagja yang memegang hak cipta itu. Dan mereka sudah membelinya dari Antara.

Respon penulis tergolong cepat. Tiga hari setelah somasi, mereka mengirim balasan yang intinya, foto itu sudah menjadi public domain, sering dipublikasikan media massa dan tak ada alasan politis di balik penerbitan buku bersampul Tandjung.

Alasan itu tidak memuaskan kuasa hukum Tandjung. Di sisi lain, isu politis menyebar cepat. Ada pengurus Partai Golongan Karya (Golkar) yang menilai penerbitan buku itu berkait erat dengan orang kuat di belakangan Republika, yaitu B.J. Habibie, presiden Indonesia ketiga. Mereka melihat riwayat hidup para penulis. Ketiganya diisukan menerima bayaran ratusan juta rupiah untuk menghancurkan karakter Tandjung. “Tuduhan ini yang aneh. Buku itu sudah ada sebelum Akbar disidang,” ujar Subagja.

Subagja satu-satunya yang masih bekerja untuk Republika. Saat isu bayaran dan Republika disebut terlibat dalam penyebaran buku itu, Subagja menerima teguran dari Republika.

Alasan public domain ditolak kuasa hukum Tandjung. Seminggu setelah itu, para penulis buku meminta maaf dan bersedia menarik buku itu. Surat permintaan maaf diterima kuasa hukum Tandjung. Mereka puas.

“Nah sekarang, terserah mereka kalau mau terbit kembali. Asal covernya ganti,” ujar Salim.

Sekretaris jenderal dewan pengurus Golkar, Bomer Pasaribu pernah bertemu Subagja. Pasaribu meminta Subagja dan kawan-kawan menarik buku itu. Pasaribu menduga, ada skenario menghancurkan karakter Tandjung lewat buku itu.

“Saya langsung bilang, tuduhan itu tak beralasan. Saya tak punya latar belakang politis apapun,” kata Subagja.

Pembicaraan pun berlanjut. Subagja meyakinkan Pasaribu kalau buku itu tak disponsori kelompok-kelompok anti-Golkar. Tapi semata-mata untuk memberikan informasi aktual pada masyarakat yang ingin tahu kasus itu.

Pasaribu melunak. “Buku itu bagus, sayangnya terbit di saat yang tidak tepat,” ujar Pasaribu pada Subagja. Buku ini berisi reportase Ridwan dan Soewarno selama empat bulan. Mereka berencana menerbitkan buku itu dalam tiga seri.

Seri kedua yang belum beredar berisi skandal politik Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang berupaya menggagalkan panitia khusus Buloggate hingga persidangan Tandjung. Seri ketiga tentang skandal keuangan Badan Urusan Logistik sejak Orde Baru hingga sekarang.

“Kami berupaya buku ini bisa terbit” harap Soewarno.

Pasaribu tidak yakin buku-buku itu bisa terbit dengan mudah. “Tidak segampang itu lho. Kami akan melihatnya dulu,” serunya dari balik telepon. Golkar dan kuasa hukum Tandjung yang jumlahnya dua belas orang juga akan terus memantau perkembangan terakhir. “Tapi akan diprioritaskan, mana yang disomasi dan kasus mana yang akan diteruskan,” ujar Pasaribu.

Wajah Tandjung memang laku keras dalam empat bulan terakhir ini. Tempo pernah memuat wajah Tandjung sebagai cover. Hidungnya panjang seperti Pinokio. Pengurus partai Golkar marah. Rakyat Merdeka mengutak-atik foto Tandjung. Jadilah Rakyat Merdeka dilaporkan ke polisi. Tuntutannya penistaan dan pencemaran nama baik.

“Tidak lama lagi mereka maju ke pengadilan,” ujar Salim.

TVRI hampir saja disomasi. Namun semuanya selesai setelah pembawa acara menyampaikan permohonan maaf empat kali berturut-turut dalam berita petang, pagi, dan berita malam. Ceritanya, saat Presiden Megawati Soekarnoputri membacakan laporan di sidang tahunan parlemen dan sampai pada alinea yang membahas korupsi, kolusi, dan nepotisme, TVRI menayangkan wajah Tandjung yang tengah disidang.

“Tayangan itu hambar kalau visualisasinya enggak ada. Makanya, saat Presiden melaporkan tentang pendidikan, inset yang muncul itu anak-anak sekolah. Lalu inset petani saat sambutan itu sampai pada bagian peningkatan pertanian,” jelas Yon Anwar, kepala Divisi II Siaran Nasional, Berita dan Informasi, TVRI.

Wajah Tandjung cuma muncul selintas. Pengurus Golkar menelepon. Pada hari itu juga TVRI menayangkan permohonan maaf. “Mohon maaf kalau visualisasi kami kurang pas dalam tayangan ini.”

Tapi pengurus Golkar tidak puas. Lima pengurus mendatangi TVRI. Sumita Tobing, direktur utama TVRI menerimanya. Pembicaraan berlangsung. Anwar ikut hadir di situ. Tobing cuma mengenal Yasril Anata Baharuddin dan Ibrahim Ambong. Ada yang menyeletuk, akan menyerbu TVRI bila tidak segera meminta maaf. Situasi panas. Tobing tersudutkan. Di hadapan pengurus Golkar itu ia menulis kalimat-kalimat permintaan maaf.

“Mereka yang mendiktekannya,” kata Tobing, “lalu harus dibacakan lima kali, tapi akhirnya cuma dibaca empat kali.”

Dalam berita petang, permohonan maaf itu pun muncul. “Kami mohon maaf atas penayangan Bapak Akbar Tandjung dalam pidato Megawati Soekarnoputri.”

Tobing prihatin. “Tapi biarlah masyarakat yang menilai,” katanya.

Anwar dan Tobing menilai tayangan itu layak naik. Meski diakui ada keterbatasan yang tak bisa dipungkiri. “Peralatan TVRI kan terbatas, jadi visualisasinya dipilih secara acak,” kata Tobing. *

kembali keatas

by:Indarwati Aminuddin