Sinetron Keadilan

A. Latief Siregar

Mon, 2 September 2002

RAPAT rutin redaksi SCTV berlangsung agak hangat suatu sore Mei lalu. Rosianna Silalahi, reporter sekaligus presenter SCTV, usul agar SCTV membantu video conference kesaksian mantan presiden B.J. Habibie langsung dari Hamburg, Jerman.

RAPAT rutin redaksi SCTV berlangsung agak hangat suatu sore Mei lalu. Rosianna Silalahi, reporter sekaligus presenter SCTV, usul agar SCTV membantu video conference kesaksian mantan presiden B.J. Habibie langsung dari Hamburg, Jerman. Ceritanya, Silalahi mendapat kabar bahwa hakim Lalu Mariyun menawarkan kesaksian Habibie dilakukan lewat video conference. Ide itu disampaikan Silalahi kepada Don Bosco Selamun, wakil pemimpin redaksi Liputan 6 SCTV. Don Bosco menyampaikannya pada pemimpin redaksi Karni Ilyas per telepon. Karni minta dibahas dulu di rapat redaksi. Hasilnya, dibawa ke rapat manajemen SCTV.

Lalu Mariyun adalah ketua majelis hakim persidangan korupsi dana Badan Urusan Logistik, dengan terdakwa mantan kepala Bulog Rahardi Ramelan. Kesaksian Habibie, yang jadi presiden saat dana Rp 63 milyar itu mengucur, amat diperlukan. Tapi Habibie tak bisa datang, karena menunggui istrinya, Hasri Ainun Habibie, yang berobat di Jerman.

Soal teknis bisa diatasi dengan mengirim seorang kru yang mahir mengoperasikan kamera sekaligus paham teknologi siaran langsung ke Jerman. Biaya keluar terutama untuk sewa satelit dan tiket Jakarta-Hamburg.

Persoalan lain menghadang. Masalah legalitas video conference belum final. Jaksa dan pengacara Ramelan menolak. Ahli hukum bersilang kata. Lewat diskusi dengan Mariyun, dijamin bahwa masalah hukum adalah urusan pengadilan. SCTV hanya fasilitator proses video conference sehingga sidang bisa berlangsung tanpa hambatan. Karena pembiayaan dilakukan SCTV, maka persoalan durasi jadi penting. Disepakati, persidangan akan makan waktu dua sampai 2,5 jam saja.

Pada 20 Juni SCTV menandatangani nota kesepakatan dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bahwa hak penyiaran eksklusif persidangan kesaksian Habibie ada di tangan SCTV. Tanggal sidang diputuskan 2 Juli 2002. Upacara penandatanganan dilakukan Mariyun dan Karni Ilyas. Acara ini juga disiarkan SCTV di program Liputan 6 Petang. “Kami siarkan sebagai promosi, karena terus-terang kami memang bangga,” kata Iskandar Siahaan, kepala penelitian dan pelatihan Liputan 6. Promosi juga dilakukan dengan beriklan di harian Kompas, dengan klaim sebagai persidangan video conference antar negara pertama di dunia.

Persidangan pun berlangsung mulus. Layaknya sidang biasa. Ada hakim, jaksa, pengacara, dan Rahardi Ramelan sebagai terdakwa. Saksinya, ya Habibie itu. Bedanya, Habibie tak duduk di depan majelis hakim, tapi diwakili layar televisi. Di Hamburg, Habibie yang mengenakan batik berwarna gelap dan kopiah, disumpah secara Islam. Peserta persidangan dan pemirsa SCTV di seluruh Indonesia menyaksikan sumpah dan kesaksian Habibie tersebut, dari pukul 14.30 sampai pukul 17.00.

SCTV membuka jalur interaktif, lewat SMS dan email. Tanggapan mengalir deras. Sejak persidangan dibuka sampai program Liputan 6 Petang usai, lebih 2.000 tanggapan masuk, kata Siahaan. Mayoritas mendukung langkah SCTV meski ada yang menuduh SCTV melakukan pembentukan opini dan mencederai kehormatan Ramelan. “Tidak apa-apa, sebab tafsir atas isi media, seperti buku teks yang terbuka,” kata Siahaan kepada saya ketika kami bertemu di sebuah café, di lantai dasar Gedung Mitra, tempat SCTV berkantor. Tanggapan lain datang dari Museum Rekor Indonesia dari Semarang. SCTV dihadiahi piagam jadi stasiun pertama di Indonesia yang mengadakan siaran persidangan menggunakan video conference.

Apakah kekhawatiran dituduh membentuk opini publik itu tak terpikir oleh SCTV? Siahaan mengatakan pemikiran itu ada juga, tapi ide mereka adalah berita. Layak beritalah yang jadi motif utama pengambilan keputusan menyiarkan video conference. Bagaimana pun Habibie adalah figur terkenal dan kasus Bulog kasus yang jadi perhatian publik.

SCTV memberikan perhatian serupa kepada kasus persidangan dengan terdakwa terkenal, seperti mantan Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung dan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra bungsu Presiden Soeharto. Ketika Tandjung mulai disidangkan 20 Maret lalu, SCTV menyiarkan secara langsung dari ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan melengkapinya dengan dua tamu di studio. Kekhawatiran dituduh menyetir opini publik membuat SCTV selektif memilih narasumber. “Tujuan kami adalah membuat terang, bukan mengomentari saja,” kata Siahaan.

Metro TV sejak awal sidang Akbar Tandjung juga belum pernah absen menyiarkan secara langsung yang dibahas bersama narasumber di studio. Tommy yang didakwa membunuh hakim Syafiuddin Kartasasmita dan memiliki senjata api dan bahan peledak juga selalu disiarkan langsung. Sejak awal sidang 20 Maret lalu sampai vonis 26 Juli, Metro TV rutin menyiarkan secara langsung. Bahkan pada saat pembacaan vonis Tommy, yang berlangsung dari pagi hingga pukul 20:00, seharian penuh isi siaran Metro TV hanya soal Tommy.

Persidangan terdakwa terkenal memang bisa jadi isu yang menarik. Hamid Awaluddin, dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang pernah jadi narasumber live event sidang Akbar Tandjung di Metro TV, menyatakan senang sekaligus miris. Senang, sebab siaran langsung dapat dijadikan peringatan kepada pejabat, supaya jangan korupsi. Miris, sebab liputan ini bisa menimbulkan kesan pada penonton yang awam hukum, bahwa orang yang duduk di bangku terdakwa, sudah pasti bersalah.

Frekuensi liputan yang tinggi dan intensif memang rawan terhadap kemungkinan trial by the press, penghakiman oleh media. Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja mengatakan trial by the press adalah membicarakan satu pihak secara bias, tak membeberkan semua fakta, tak berimbang. Akibatnya, terdakwa kehilangan hak mendapatkan peradilan yang bebas dan tak memihak, karena media massa telah “memvonisnya” bersalah, sebelum hakim memutuskan apa-apa. Salah bagi media, berbeda dengan salah dalam keputusan hakim.

PENGHUJUNG Juli lalu saya sempat mencegat Akbar Tandjung di kantornya di Senayan ketika ia akan melantik empat anggota parlemen pergantian antar waktu. Saya tanya apakah dia terganggu dengan siaran langsung televisi dari persidangan dirinya. Jawaban Tandjung datar. “Tidak apa-apa, saya tak terganggu. Sudah kenyataannya begitu, serahkan saja kepada aturan yang berlaku,” katanya.

“Apakah ada hak-hak pribadi yang hilang, atau malahan ingin menggunakan siaran langsung tersebut untuk menunjukkan pembelaan diri kepada masyarakat luas?” kejar saya.

“Tanpa ada televisi pun, besok saya akan menyampaikan pembelaan. Itu sudah menjadi hak saya.”

Esok harinya, Tandjung menyampaikan pembelaannya dan minta dibebaskan, karena tak bersalah dan tak berniat memperkaya diri. Sidang ini disiarkan langsung Metro TV. Tandjung menuding ada pembentukan opini publik, bahwa dirinya bersalah jauh sebelum tuntutan dibacakan hakim. Siaran langsung hari itu, tak sepanjang seperti sidang sebelumnya, saat tuntutan empat tahun dibacakan jaksa.

Masalah opini publik juga jadi soal besar bagi Tommy Soeharto. Salah satu alasan Tommy tak mengajukan banding adalah opini publik yang memvonisnya bersalah sebelum vonis dibacakan. “Pembentukan opini dilakukan secara sistematis, hingga kebencian kepada Tommy muncul, dan dia menjadi public enemy,” kata Muhammad Assegaf, salah seorang kuasa hukum Tommy, kepada saya.

Assegaf memberi contoh, sebuah majalah berita mingguan ternama, sampai empat kali menjadikan Tommy sebagai laporan kulit muka, tapi isinya tidak berimbang. Alasannya, pembelaan tak terpublikasikan seimbang dengan pernyataan yang menyalahkan Tommy. Assegaf juga mencatat, headline sebuah suratkabar sore terbitan Jakarta, sehari sebelum vonis dibacakan, yang memuat pernyataan bahwa Tommy harus dihukum berat. Assegaf, layaknya pengacara yang pandai meniti jerat hukum, menolak menyebutkan nama-nama media ini.

Menurut Assegaf, Tommy tak pernah menyatakan keberatan dengan pemberitaan televisi. “Cross examination yang disiarkan secara langsung Metro TV, merupakan suguhan yang sangat menarik. Menyodorkan fakta berimbang, antara tuduhan jaksa dengan pembelaan terdakwa,” sambung Assegaf. Assegaf juga melihat Metro TV terkadang mengundang narasumber yang sinis terhadap keluarga Soeharto. Assegaf tak menganggap itu hantaman buat kliennya. Narasumber yang bahasannya ilmiah pun sering hadir. “Narasumber beda-beda itu kan memperkaya wacana,” kata Assegaf.

Tak puas dengan Tandjung dan Assegaf, saya menemui Astraatmadja, di kantornya yang dipenuhi kliping dan buku-buku. Astraatmadja orang yang banyak mendapat laporan dan pertanyaan soal media Indonesia. “Sudah lama saya risau dengan keadaan ini. Ini kurang wajar, sebab ruang pengadilan mestinya agung dan khidmat,” kata Astraatmadja. Dia membandingkan dengan tata cara pengadilan negara-negara Barat. Hal yang dirisaukan Astraatmadja adalah lalu lalangnya pekerja pers, kilatan blitz, bahkan bunyi yang muncul saat kamera dikokang untuk mengambil gambar.

Dampak lainnya, merugikan keluarga terdakwa, dan timbulnya penafsiran macam-macam dari pemirsa buta hukum, terhadap adegan di ruang sidang. Astraatmadja mengusulkan pembatasan peliputan, dengan membuat aturan yang masuk akal, misalnya membuat balkon khusus wartawan. “Tapi ruang sidang kita juga nggak nyaman ya,” kata Astraatmadja, terbahak.

Di Amerika Serikat, tak semua negara bagian membolehkan kamera masuk ruang sidang. Indiana, Mississipi, Missouri, dan District of Columbia (DC), melarang sama sekali kamera masuk ruang sidang. Sebagian negara lainnya, menggunakan prasyarat tertentu. Menurut Ted White dalam buku Broadcasting, News Writing, Reporting, and Producing, ada beragam pembatasan, yang tergantung hakim, atau tergantung persetujuan seluruh elemen sidang, atau tergantung jenis kasus yang disidangkan. Di negara bagian South Carolina, sidang kasus pembunuhan tak boleh diliput, sebab dikhawatirkan menimbulkan opini publik, yang mempengaruhi juri. Ada yang mensyaratkan, tak boleh menyorot juri. Tujuannya meminimalisir intervensi terhadap hasil peradilan yang jujur.

Menurut American Journalism Review, majalah jurnalisme terbitan Universitas American, Maryland, Amerika Serikat belum memiliki konsensus yang tegas mengenai baik buruknya kamera masuk ruang sidang.

Di Amerika, ada televisi kabel khusus menyiarkan acara persidangan. Namanya Courtroom Televisi Network atau Court TV. Saluran yang mengudara sejak Juli 1991 itu dalam tiga bulan memukul peringkat CNN pada waktu serupa sore hari. Program yang membawanya banyak ditonton adalah persidangan seorang polisi kulit putih, Gary Spath, yang menembak remaja kulit hitam. Penembakan itu memicu kerusuhan rasial di New Jersey. Disusul persidangan William Kennedy Smith, jet-set dari klan Kennedy.

Pro-kontra kamera masuk ruang sidang di Amerika Serikat, mengalami puncaknya pada persidangan olahragawan AS terkenal, OJ Simpson, yang diadili karena tuduhan membunuh istrinya Nicole dan pacar istrinya. Simpson orang Amerika keturunan Afrika. Nicole kulit putih. Masalah rasa sangat peka di sana. Hakim yang memimpin sidang, mengizinkan kamera masuk, setelah berdiskusi dengan banyak ahli berbagai disiplin ilmu. Tapi setelah persidangan berlangsung, hakim sempat mengancam pelarangan kamera, karena sebuah stasiun televisi gencar memberitakan hasil tes DNA Simpson dan mengatakan darah Simpson terdapat pada baju korban. Hakim berpendapat, pemberitaan tersebut dapat merusak hak Simpson akan pengadilan yang fair. Alasan utama pelarangan adalah dampaknya pada proses persidangan. Kamera bisa merusak hak terdakwa untuk memperoleh peradilan yang fair.

Di Indonesia, pelibatan fakta lain di luar sidang, juga merupakan pelanggaran terhadap etika wartawan. Astraatmadja mencontohkan, melibatkan keluarga, sejawat, yang sebetulnya tak terkait dengan terdakwa, sehingga jadi perhatian publik. Tapi tak jarang, Krisnina Maharani Tandjung dan anak-anak pasangan Tandjung, muncul di tayangan televisi, mengatakan bahwa ayah dan suami mereka tak bersalah. Apalagi liputan terhadap Ardhya Pramesti Regita Cahyani, istri Tommy Soeharto. Setiap pemunculannya, perempuan wangi jelita itu, pasti dirubung oleh pers.

Selain sebagai materi penyiaran yang menarik, siaran persidangan juga jadi medium pendidikan hukum. Assegaf termasuk yang setuju. “Supaya masyarakat sadar, bahwa yang duduk di bangku tersangka belum tentu bersalah sampai divonis oleh hakim,” katanya. Kamera juga berfungsi memberi gambaran, bagaimana hukum dan aparat hukum bekerja. Kehadiran kamera di ruang sidang, berfungsi sebagai “polisi moral” supaya persidangan dijalankan secara fair, sebab berjuta pasang mata mengikuti dari tabung kaca.*

kembali keatas

by:A. Latief Siregar