Kartu Biru Made In Bandung

Asep Saefullah

Mon, 2 September 2002

SUATU Senin Juni lalu I Putu Nova, seorang reporter majalah Interaksi terbitan Bandung, mendatangi kantor Dinas Sosial Bandung. Ia hendak mewawancarai seorang pejabat di sana.

SUATU Senin Juni lalu I Putu Nova, seorang reporter majalah Interaksi terbitan Bandung, mendatangi kantor Dinas Sosial Bandung. Ia hendak mewawancarai seorang pejabat di sana. Tapi Putu Nova pusing tujuh keliling. Pasalnya, si pejabat yang dikenalnya itu tak mau diwawancarai dengan alasan harus ada pengantar dari Dinas Informasi dan Komunikasi kota Bandung. “Bukan saya tak mau diwawancarai, tapi nanti takut disalahkan,” kata Putu Nova yang menirukan ucapan si pejabat.

Sorenya, suasana ruang redaksi Interaksi jadi hangat dengan perbincangan masalah tersebut. Setelah tanya sana-sini. Aep Ahmad Sendjaja, pemimpin redaksi bulanan Interaksi, mendapat jawaban: Wartawan yang melakukan reportase di lingkungan kantor-kantor Bandung harus mengikuti aturan main tertentu. Dan aturan main itu merupakan hasil kesepakatan tim perumus yang berjumlah sembilan orang. Tujuh orang dari tim itu wartawan.

Kesembilan orang ini adalah Dudih Kamaludin, kepala Dinas Informasi dan Komunikasi pemerintah kota Bandung, yang bertindak sebagai ketua tim perumus. Sekretarisnya Dian Wardiana, dosen Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Anggotanya berasal dari kalangan wartawan: M.S. Ucok Tambunan (majalah Total), Martika Edison (tabloid Indonesia-Indonesia), Azmi Thalib Chaniago (tabloid Pasopati), Asep Budianto (tabloid Progresif), Sembiring (Rakyat Merdeka), Delly (Rase 102,3 FM) dan Dedy Suhaeri (Persatuan Wartawan Indonesia cabang Bandung).

Menurut Delly, tim perumus ini ditunjuk pada suatu lokakarya tentang tata tertib peliputan di lingkungan pemerintah Bandung pada 27 Mei lalu. Nama-nama perumus ini merupakan pilihan dari para peserta. “Saya sendiri diajukan oleh teman-teman dari Jurnal Lembaga Produksi Siaran PRSSNI daerah Jawa Barat dan dari radio Antasalam FM.”

Pada akhir Mei, tim perumus itu bekerja di aula Dinas Informasi dan Komunikasi. Hasilnya disebarluaskan kepada pemimpin redaksi media di kota Bandung dengan surat resmi pada 10 Juni 2002. Ada enam hasil kerja tim perumus itu. Pertama, wartawan yang meliput di lingkungan pemerintah kota Bandung wajib melaksanakan Kode Etik Wartawan Indonesia. Kedua, wartawan itu ditunjuk oleh pemimpin redaksi atau atasan langsung, maksimal dua orang untuk tiap media, cetak atau radio. Ketiga, selama meliput akan dilengkapi dengan identitas yang dikeluarkan oleh Dinas Informasi dan Komunikasi.

Keempat, apabila si reporter selama tiga bulan berturut-turut tak menunjukkan karya jurnalistiknya, kartu identitas akan dicabut. Kelima, apabila enam bulan berturut-turut medianya tak terbit, kartu identitasnya juga akan dicabut. Keenam, bagi wartawan yang insidental meliput di sana, akan diberikan tanda pengenal khusus. Untuk mendapatkan kartu identitas liputan yang berwana biru itu, wartawan harus menyerahkan foto berwarna ukuran 3 X 4 dua lembar.

Ketentuan-ketentuan ini menimbulkan kecurigaan. Rana Akbari, mantan koordinator liputan Surabaya Post, mengatakan, “Ketika wartawan harus menyerahkan karya jurnalistiknya, berarti pihak pemerintah kota Bandung memaksa wartawan tersebut untuk menulis tentang pemerintah kota. Dan tentunya berita yang ditulis pun harus baik. Kalau tulisannya jelek menurut versi mereka, akan dengan mudah mereka memanggil wartawan tersebut.”

Memang report. Tapi cobalah iseng-iseng pergi ke ruang hubungan masyarakat pemerintah Bandung. Begitu Anda masuk, Anda akan melihat papan rekapitulasi berita dari berbagai media. Di papan berwarna putih itu tercantum 49 nama media cetak dan enam radio. Papan itu merekap berita setiap media per bulannya. Nggak enaknya, menurut Deden, seorang reporter MQ FM, setiap berita yang masuk rekapitulasi mendapatkan kompensasi Rp 1.500.

Menurut Dudih Kamaludin, aturan main ini dibuat untuk membatasi ruang gerak wartawan bodrex. “Nah dengan diberikannya kartu identitas wartawan ini, kita akan kenal. Karena banyak sekali wartawan yang datang untuk meliput, tapi ujung-ujungnya duit.”

Dian Wardiana dari Universitas Padjajaran mengatakan, “Pihak pemerintah kota merasa sudah terganggu dengan penyelewengan-penyelewengan fungsi pers. Hal itu ditandai dengan banyaknya

wartawan bodrex.”

Bodrex memang masalah. Tapi peraturan ini bisa mempersulit kerja wartawan beneran. Jika Anda tak memegang kartu berwarna biru itu, Anda bakal ditolak wawancara oleh pejabat mana pun di Bandung. Namanya juga birokrat. Walikota, kepala dinas, camat, lurah, sekali pun, akan minta wartawan menunjukkan kartu biru.

Bobby Gunawan, koresponden Tempo News Room, mengatakan, “Bagi saya itu bukan upaya membatasi wartawan bodrex. Tapi upaya wartawan bodrex untuk membatasi gerak wartawan yang bekerja dengan menolak amplop.”

Hingga pertengahan Agustus lalu, tercatat 17 wartawan yang memegang kartu tersebut. Bagi wartawan yang tak memiliki kartu, harus meminjam tanda pengenal dengan jaminan kartu pers di ruang hubungan masyarakat.

Menurut Agus Raksiwi, reporter Bandung News Radio, aturan main bagi yang tak memiliki kartu itu memberatkan wartawan. "Jika saya harus wawancara kepala Dinas Pasar yang kantornya di Sederhana. Saya harus ke Balai Kota dulu, lalu ke Dinas Pasar. Padahal jarak kantor Dinas Pasar lebih dekat dari kantor saya yang ada di kawasan Dago.”*

kembali keatas

by:Asep Saefullah