Tempo Versus Lucas

Indarwati Aminuddin

Mon, 5 August 2002

PADA hari Kamis minggu ketiga bulan Juni lalu, di kantornya di lantai 14 Wisma Metropolitan I, di kawasan Sudirman, Jakarta, pengacara Lucas dari kantor hukum Lucas SH dan Partners, menerima surat permintaan wawancara dari majalah Tempo.

PADA hari Kamis minggu ketiga bulan Juni lalu, di kantornya di lantai 14 Wisma Metropolitan I, di kawasan Sudirman, Jakarta, pengacara Lucas dari kantor hukum Lucas SH dan Partners, menerima surat permintaan wawancara dari majalah Tempo. Hanya selembar dan isinya delapan pertanyaan tertutup, antara lain: Benarkah Lucas merekayasa transaksi fiktif penjualan 40 persen saham Dharmala kepada Harvest Hero International?

Di bagian akhir dari delapan pertanyaan itu, Lucas membaca satu alinea, “Sebagai pertimbangan, tenggat (deadline) kami pada hari Jumat 21 Juni 2002. Bila Bapak Lucas tidak berkenan memberi jawaban, kami menganggap semua informasi yang telah kami miliki adalah benar,” tulis Setiyardi, wartawan Tempo, yang menandatangani surat itu.

Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak.” Lawannya adalah pertanyaan terbuka yang dimulai dengan kata tanya, misalnya apa, di mana, dan sebagainya. Dalam bahasa jurnalistik, kata-kata itu dikenal dengan istilah “5W 1H” –why, what, who, where, when, how.

“Apa maksudnya ini?” Lucas menggumam.

Lucas seorang pengacara mantan kurator PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk. Lucas berumur 36 tahun. Lama di Sulawesi Selatan, membuat pria itu lancar berbahasa Makassar. Logatnya terbawa-bawa. Di Jakarta dia dikenal sering menangani kasus hukum niaga. Saat itu Lucas juga memegang dua lembar kertas fotokopi berisi term of reference (TOR) liputan Tempo. TOR merupakan lembar penugasan, yang lazim digunakan suratkabar, untuk panduan liputan.

Di lembar penugasan di antaranya tertulis:

Laput: Permainan Gondokusumo di balik skandal.

Angle: Bagaimana permainan keluarga Gondokusumo untuk tetap mengangkangi Dharmala? Benarkah Roman Gold Asset Ltd milik ipar Suyatno Gondokusumo?

Konfirmasi: Lucas: 0816754xxx atau 5261xxx atau Swandy Halim: 0816706xxx (karena ini maling licin dan lagi kalap gugat sana sini, tolong surat permohonan wawancara dikirim by hand ke kantornya dan pakai tanda terima yang diteken langsung oleh sekretaris pribadinya. Semua pembicaraan tolong direkam).

Malam hari, telepon Lucas berdering. Setiyardi minta kepastian wawancara.

“Maaf saya tak bisa, kecuali kalau Anda membawa pemimpin redaksi Anda ke sini,” jawab Lucas.

Pembicaraan telepon putus. Setiyardi pun menulis beritanya. Liputan seputar vonis pailit pengadilan niaga Jakarta terhadap PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia naik cetak dan terbit 24 Juni lalu. Banyak informasi menarik dalam laporan Tempo itu. Intinya, Tempo mengatakan Dharmala bermain curang dan ada kemungkinan menyuap hakim-hakim, sehingga Manulife Indonesia, anak sebuah perusahaan asuransi Kanada, bisa dinyatakan bangkrut karena gugatan Dharmala.

Profil Lucas dimuat singkat pada paragraf keenam: “Pengacara licin dari Wisma Metropolitan. Apakah uang yang bicara? Sayang Lucas tak mau menjawab. Pengacara keturunan Tionghoa ini cenderung menutup diri kepada wartawan.”

Komentar Lucas yang pedas juga dimuat, “Tak ada wawancara. Wartawan dibayar untuk menjelek-jelekkan saya.” Nama Setiyardi tertera di pojok berita itu. Setiyardi mengatakan ia sudah berkali-kali berupaya keras menghubungi Lucas.

Terbitnya laporan Tempo tak menyenangkan Lucas. Laporan itu seakan-akan menguatkan kecurigaannya bahwa Tempo sudah punya opini dan hasil wawancara dipakai memperkuat opini tersebut. Lucas juga membantah pernah dihubungi orang Tempo. Kuasa hukumnya, Marselina Simatupang dan Rahmayanti dari kantor Lucas SH dan Partners, mengirim surat keberatan. Berita itu dianggap merusak nama baiknya. Isi TOR disebut dalam surat Simatupang dan Rahmayanti. Setiyardi hanya memberi kesempatan sehari pada Lucas untuk menjawab suratnya karena tekanan deadline, seakan-akan hendak membalas, Simatupang dan Rahmayanti juga memberi deadline Tempo menjawab keberatan mereka sehari, selambat-lambatnya Rabu 26 Juni.

Bila tidak, Lucas memilih jalur hukum. Tapi ancaman itu tak ditanggapi Tempo. “Mereka benar-benar tak perduli. Surat itu bahkan tak dimuat di edisi berikutnya. Padahal, kami ini advokat, bekerja berdasarkan nama baik, kalau sudah rusak begini, siapa yang bertanggung jawab?” kata Lucas pada saya.

Pada 28 Juni Lucas melaporkan Tempo ke polisi. Lucas mengadukan Bambang Harymurti, pemimpin redaksi Tempo, dan Setiyardi, dengan perbuatan, “Fitnah, penistaan, pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.” Lucas juga mengadukan Palmer Situmorang, seorang pengacara, yang keterangannya dikutip Tempo, “Sepak terjangnya (Lucas) mencoreng citra korps pengacara.”

SUASANA heboh juga melanda kantor redaksi Tempo, sebuah bangunan rumah-toko empat lantai, di Jalan Proklamasi, Jakarta. Bambang Harymurti sedang ke luar kota. Menurut wakil pemimpin redaksi Toriq Hadad, surat Lucas itu bukan hak jawab karena Lucas menggunakan dua pengacara, bukan atas namanya pribadi. Toriq segera menunjuk Atmajaya Salim dan Bismo Brevianto dari kantor hukum Sukanto, Salim dan Rekan, sebagai pengacara mereka. Kegusaran juga terjadi. Bagaimana mungkin TOR bisa jatuh ke tangan Lucas? Bukankah TOR hanya untuk keperluan internal, redaktur dan wartawan?

Hadad minta redaksi memeriksa sistem intranet Tempo. Hadad kaget karena TOR itu bocor. TOR itu ditulis oleh Karaniya Dharmasaputra, redaktur yang bertanggungjawab atas liputan Setiyardi.

“Oleh siapa dan untuk apa?” kata Hadad.

Sejumlah kode komputer yang menghubungkan wartawan-redaktur dan masuk pada 19-20 Juni diperiksa. Beberapa laporan tentang Manulife diperiksa kembali. Setiyardi ditanyai, meski Hadad ragu. “Dia wartawan yang baik dan saya percaya padanya.”

Intranet Tempo cukup canggih untuk ukuran media Indonesia. Intranet ini sistemnya mirip dengan situs web internet cuma bersifat internal. Intranet tak bisa dibuka sembarangan, kecuali yang memiliki password masuk. Pada layar tercetak kata “confidental” hanya untuk kebutuhan internal redaksi.

Page pertama intranet ini jadi jalan untuk mengusulkan atau mengirim naskah dan foto. Untuk memasukkan usulan, tinggal mengklik kata “usulan” yang masuk dalam alur perencanaan. Format usulan sudah ada di layar berikutnya. Tinggal memasukkan outline, daftar narasumber dan hal lain yang dianggap penting. Selanjutnya, usulan dikirim dengan mengklik “perencanaan,” lalu layar berikutnya pun menampilkan perencanaan.

Tapi tak semua wartawan Tempo bisa memasuki alur “perencanaan” itu. Password mereka sifatnya bertingkat. Makin tinggi jabatan hirarki seseorang makin dalam kemampuannya masuk intranet. Makin rendah makin terbatas pula aksesnya. Klik-klik berikutnya tinggal diarahkan ke keranjang redaktur pelaksana, redaktur bahasa, redaktur kreatif, atau redaktur senior. Tulisan yang sudah masuk diurut.

Tulisan yang sudah diedit redaktur bisa dibaca kembali. Tapi sistem intranet tak memungkinkan wartawan mengacak, menambah tulisan, mengurangi atau membetulkan. Perbaikan kesalahan cuma bisa dilakukan melalui redaktur. Persoalan ini jadi rumit, karena biasanya keluhan penulis datang menjelang deadline atau bahkan ketika mesin sudah berjalan. Tempo pernah menghentikan mesin yang sudah mencetak majalah saat kekeliruan gambar terjadi.

Untuk kritik atau keluhan tinggal mengklik menu “otokritik.” Semua ditampilkan dalam satu layar. Ada yang mengeluh sumbernya tak dikutip, soal foto hingga klaim keuangan yang ruwet. Semua persoalan itu dibawa ke rapat, dan biasanya jadi seru karena persoalan kakus kotor dan mampet pun ikut dibahas.

TOR yang disebut-sebut bocor itu ada di sistem intranet itu. Berbagai data yang berkaitan dengan Manulife bahkan tinggal dijemput dengan mengklik bank data Tempo.

Karena ketatnya intranet itu, Hadad mengatakan pada saya, kertas yang disebut-sebut Lucas hanyalah rekayasa, yang tak bisa dibuktikan. “Formatnya mirip, tapi isinya beda. Tak ada penulisan assignment seperti itu di Tempo,” ujar Hadad.

Hadad menyangsikan kemungkinan bocor karena Lucas tak punya password Tempo. Kecuali ada orang suruhan Lucas, mungkin dibayar. “Tapi siapa?” katanya.

Lucas mengatakan pada saya bahwa ia memperoleh TOR itu dari Setiyardi.

Bagaimana reaksi Tempo terhadap gugatan Lucas? “Sekalian saja, ini jadi ajang bersih-bersih peradilan Indonesia. Makin seru dan akan makin banyak yang terkuak,” kata Hadad.

SEBAGIAN besar media Indonesia menampilkan vonis pailit Manulife. Majalah Forum Keadilan memuat berita itu dalam halaman ekonomi dan bisnisnya sejak November 2000. Harian Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, dan koran daerah yang punya rubrik nasional, menyajikan berita itu sebagai berita hangat.

Kompas menulisnya dengan judul “Rawa-rawa Hukum Indonesia” dan menyimpulkan kasus tersebut aneh. Sungguh tak masuk akal perusahaan asuransi sesehat Manulife, dengan 400 ribu nasabah, menguasai 10 persen pasar asuransi jiwa dan punya aset Rp 2 triliun, dinyatakan pailit hanya karena tak membayar dividen berikut bunga Rp 32,7 miliar pada PT Dharmala Sakti Sejahtera—bekas pemegang saham Manulife Indonesia. Kesimpulan tak masuk akal itu juga dilansir media lain dengan cara beragam, termasuk suratkabar internasional macam Asian Wall Street Journal dan International Herald Tribune.

Pengadilan niaga, seperti pengadilan lain di Indonesia, selalu menimbulkan syak wasangka. Kasus Manulife ini dianggap keputusan yang merusak kepercayaan investor international. Pemerintah Kanada mencecar Indonesia lewat pernyataan keras Menteri Luar Negeri Bill Graham, yang mengancam akan melakukan pembalasan atas vonis tersebut.

Besar kemungkinan, Indonesia makin terjepit bila Kanada menggunakan pengaruhnya untuk menekan Indonesia. Manulife bukan saja berdiri pada posisi yang secara legal lebih masuk akal tapi juga didukung pemerintahnya. Semua media, termasuk Tempo, sampai pada satu kesimpulan: tak ada kepastian hukum di Indonesia dan Lucas memanipulasi kelemahan sistem hukum Indonesia untuk keperluan kliennya.

Tapi Lucas juga tak sulit-sulit amat dihubungi media. Trans TV menayangkan kasus Manulife ini dengan komentar yang menarik: Benarkah Lucas berada di balik transaksi fiktif seperti yang dikatakan Maggie Hok Yu Lin?

Maggie Hok Yu Lin adalah pengusaha Hongkong yang mengakui Lucas membeli perusahaan kosong miliknya. Perusahaan itulah yang kelihatannya dipakai Lucas untuk melakukan transaksi saham-saham Manulife Indonesia.

Dalam liputan Trans TV, Lucas muncul dengan komentar panjang lebar, setelah gambar yang memperlihatkan gedung pengadilan niaga. Rambutnya sebahu. Kacamata berbias ungu, serasi dengan baju ungunya. Ia menjawab, “Itu tidak benar.” Ditambah penjelasan lain yang intinya membantah semua pemberitaan yang menyudutkan dirinya.

Hotma Sitompul, seorang pengacara Jakarta, muncul bergantian dengan Lucas. Ia berkomentar, ”Semua surat-surat itu ditujukan ke alamat kantor Metropolitan, tempat Lucas. Semua mengarah ke sana.”

Lucas mungkin tersudutkan. Banyak sumber Trans TV dan Tempo mengarahkan kesalahan itu kepada Lucas, termasuk Wilson Yip, Maggie Hok Yu Lin, Palmer Situmorang, dan petinggi-petinggi Manulife. Tak satu pun sumber yang dikutip media bicara positif tentang Lucas.

Tempo menilai laporannya lengkap dan seimbang. Namun, ada bagian terbaik yang disediakan Tempo untuk Lucas, bila ingin melunturkan tuduhan miring itu. Trans TV sudah melakukannya dengan menayangkan komentar Lucas. Tempo kesulitan, karena sebelum kasus Manulife, nama Lucas juga pernah terseret di berita lain dan muncul di Tempo. Lagi-lagi dengan posisi tidak menyenangkan. Mungkin pengalaman itu yang mendorong Lucas untuk tak menanggapi permintaan Setiyardi –ditambah pertanyaan tertutup dan TOR.

Tapi, tetap ada hak jawab untuk pengacara itu. “Sayangnya, dia tak bersedia. Padahal, setelah berita itu terbit pun, kami masih mencoba menghubungi Lucas lewat pengacaranya untuk memberi hak jawab,” kata Hadad.

Lucas merasa Tempo sengaja merusak kredibilitasnya dengan tuduhan “pengacara licin,” lalu memakai pernyataan pengacara Palmer Situmorang, yang dikutip Tempo mengatakan, “Sepak terjangnya mencoreng citra korps pengacara.”

“Padahal, saya adalah orang yang paling mudah ditemui, kok disebut menutup diri?” bantah Lucas.

“Lalu, Palmer malah menyatakan tidak pernah mengatakan itu pada Tempo, dari mana sumber mereka itu?” lanjutnya.

Tempo menggunakan orang lain untuk mendeskripsikan karakter Lucas. Secara umum laporan Tempo benar adanya. Tapi dalam jurnalisme, sering kali kesalahan yang kecil yang menyeret wartawan ke meja hijau. Misalnya bisa dipertanyakan seberapa jauh Situmorang mengenal Lucas? Apa relevansinya mengambil keterangan Situmorang? Berapa sering Situmorang berperkara dengan Lucas? Kalau ada perkara, bagaimana Situmorang menjaga independensinya terhadap Lucas?

“Karena tak semua orang yang berkomentar soal Lucas mau ditulis namanya. Sejauh ini, Palmer bahkan tak melakukan bantahan atas komentarnya,” jelas Hadad.

Hadad berpendapat pertanyaan tertutup, dengan penggunaan kata “benarkah” atau “apakah” dalam lembar pertanyaan Setiyardi, merupakan hal yang dibenarkan redaksi Tempo. Setiyardi tertekan deadline dan ia menguber Lucas empat hari sebelum deadline, lewat telepon, email bahkan surat yang tanda terimanya dikembalikan dengan tulisan tangan penjaga rumah Lucas, “Tidak mau tanda tangan, Waluyo.”

Laporan yang sudah ditulis Setiyardi diserahkan ke redaktur. Tak banyak perubahan berarti. Penggunaan kalimat “keturunan Tionghoa yang cenderung menutup diri kepada wartawan” asli dari Setiyardi. Tidak diedit.

“Dan saya yakin semua itu benar,” kata Setiyardi.

Akurat tak selalu benar. Lucas memang akurat digambarkan sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa, tapi Setiyardi salah menyebut ketionghoaan Lucas. Dalam terminologi jurnalisme Setiyardi disebut melakukan “negative profiling” atau pencitraan negataif. Lucas yang salah, tapi orang-orang Cina diikutsertakan.

Pada awal 1998 di Ambon ada sopir dan penumpang berkelahi soal ongkos. Media di sana memberikan profil si sopir dan si penumpang sebagai muslim dan kristiani. Apa hubungan agama mereka dengan perkelahian itu? Apa hubungan orang Tionghoa dengan Lucas? Sama sekali tak ada.

“Kode etik kita tidak menganjurkannya,” kata Atmakusumah Astratmadja dari Dewan Pers.

TODUNG Mulya Lubis, pengacara yang pernah menangani kasus Soeharto vs Time, punya pengalaman yang mungkin menarik bila kasus Lucas-versus-Tempo ini maju ke pengadilan. Saat sidang berlangsung, Lubis dicecar pertanyaan seputar penggunaan bahasa oleh Juan Felix Tampubolon, pengacara mantan presiden Soeharto.

Tampubolon mempermasalah majalah Time karena menggunakan kata “Inc.” untuk frase “Soeharto Inc.”

“Mereka bertanya, mana perusahaan Soeharto?” kata Lubis.

Tampubolon berpendapat kata “incorporation” secara hukum adalah bentuk perusahaan. Ini tuduhan yang salah dan tak mungkin dibuktikan Time. Namun Lubis berargumentasi, “incorporation” dalam bahasa jurnalistik adalah ungkapan umum yang berarti jaringan bisnis dalam pengaruh langsung atau tidak langsung Soeharto.

Sidang panjang diwarnai adu argumentasi itu berakhir dengan kemenangan Time. Lubis belajar banyak dari kasus itu.

Menurutnya Lucas menggunakan hak jawabnya. “Saya kira, hak jawab itu sudah cukup, kecuali kalau koran itu punya niat buruk atau jahat, tapi ini ‘kan tidak,” ujar Lubis.

Namun Lubis mengatakan, bila Lucas mempermasalahkan kata “licin,” Tempo harus siap beradu argumentasi. Begitu pula bila Lucas mempermasalahkan wartawan Tempo yang dinilai tak pernah mewawancarainya. “Mereka harus bisa membuktikan pernah menghubungi Lucas.”

Banyak hal bisa dijadikan perbedaan tafsir antara narasumber dan media. Konfirmasi misalnya. Bila sampai batas maksimal sumber penting dihubungi, entah lewat telepon, email, faksimile, dan surat, tapi tidak dibalas-balas, maka keputusan media dibenarkan bila menurunkan laporannya. “Tapi dengan keyakinan, ini berita publik, dan media tak punya niat jahat dalam publikasi itu,” kata Lubis.

Bila kasus Manulife tersebut terkait dengan peristiwa besar yang dibicarakan di mana-mana, menyangkut peradilan, nuansa publiknya kental, maka media tersebut harus bisa membuktikannya dengan fakta. “Dunia hukum kita ini compang-camping, bopeng, dan penuh borok, argumen ini yang harus dikembangkan para pengacara Tempo,” katanya.

KETIKA pemerintahan Presiden B.J. Habibie membebaskan suratkabar dari surat izin dan sensor, banyak pekerja media berharap inilah ujung dari kebebasan mereka. Media memang bebas. Wartawan bisa menulis apa saja. Tapi seringkali mereka lupa bahwa kebebasan itu justru menuntut tanggungjawab lebih besar dari diri mereka sendiri.

Bukan rahasia umum lagi bahwa banyak warga Indonesia merasa kurang suka dengan kinerja media di sini. Mereka dianggap “kebablasan” walau media berperan besar dalam memantau kekuasaan maupun memberikan informasi pada publik. Salah satu indikasi ketidakpuasan ini adalah meningkatnya gugatan hukum terhadap media.

Mantan presiden Abdurrahman Wahid melaporkan Kompas ke polisi karena pencemaran nama baik. Kompas mengutip sebuah sumber tanpa nama yang memberikan informasi keliru tentang Wahid. Maka Kompas pun digugat.

Pencemaran nama baik, fitnah, dan perbuatan tak menyenangkan adalah tiga pasal dalam hukum pidana yang mudah dipakai untuk menyeret wartawan ke pengadilan. Ancaman hukumannya pun beragam, mulai percobaan hingga tujuh tahun penjara. Pemimpin redaksi majalah Watch On Warkito Wahono yang diadukan istri mantan presiden Soekarno, Dewi Soekarnoputri, baru-baru ini diganjar setahun penjara.

Pasalnya, majalah Watch On mencetak ulang gambar-gambar semi telanjang Dewi dari buku Syuga. Ini masalah hak cipta berakhir di pengadilan.

“Padahal, selama ini tradisi menuliskan kutipan itu sudah dianggap memadai, eh ternyata tidak. Itu malah kena pasal melanggar hak cipta,” kata Astraatmadja.

Dewan Pers mengkaji ulang vonis itu, dan kembali tersadarkan bahwa memang secara legal tak cukup mencantumkan nama sumber dalam gambar yang dipakai. Tapi juga harus minta izin pada pemilik dan bahkan membayar untuk pemakaian gambar itu.

Lucas memandang Tempo mencemarkan nama baiknya dengan tulisan yang mencantumkan kata “pengacara licin”. Tempo memandang kata itu, lewat jawaban pengacara mereka, hanyalah metafora atau figuratif dalam bahasa jurnalistik, karenanya tak dapat disimpulkan fitnah ataupun merusak nama baik.

Aliansi Jurnalis Independen menunjukkan sikap positif terhadap upaya warga yang tak puas dengan pemberitaan pers untuk menempuh jalur hukum. Cara tersebut dinilai lebih baik ketimbang menyerang jurnalis atau merusak kantor.

Menurut Eko Maryadi dari Aliansi Jurnalis Independen, organisasi ini bersikap membela tabloid Kontan ketika digugat oleh PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Jamsostek merasa terganggu dengan berita Kontan edisi 21 Januari 2002 yang menyebutkan Jamsostek membeli saham Indosiar dan menempatkan dana tersebut di tiga bank swasta. Jamsostek mengadukan pemimpin redaksi Kontan A. Margana dan para wartawannya.

Tuntutan juga terjadi ketika pangkalan Angkatan Laut IV Makassar melancarkan somasi ke RCTI, Fajar, Suara Karya, dan Kompas. Somasi bermula dari hal sama. Gusar dan merasa nama baik dicemarkan setelah media menulis tentang pungutan liar yang dilakukan pangkalan militer itu terhadap para nelayan. Komandannya, Laksamana Muda TNI Masruchan mengatakan lewat telepon, “Tidak fair, tidak konfirmasi, dan sama sekali tidak benar.”

Ia mengundang wartawan Makassar untuk jumpa pers. Wartawan ditanyai. “Kok tidak konfirmasi?”katanya.

Luki Aulia, koresponden Kompas angkat suara, “Konfirmasinya ‘kan ada, Pak.”

Kompas, Suara Karya, dan RCTI sudah mewawancarai pejabat intelijen yang merangkap perwira penerangan pangkalan itu, Tubagus Rafiuddin, sebuah sumber yang relevan. Sebelumnya, mereka sempat mendatangi rumah Masruchan, tapi hanya penjaga rumahnya yang menerima mereka.

Berita Luki terbit di Kompas dengan judul, “Keluhkan Pungutan Liar, Nelayan Takalar Mogok Melaut.”

RCTI tak tahu saat somasi dilancarkan. Namun kepala hubungan masyarakat RCTI, Teguh Juwarno yakin, kalau disomasi RCTI mampu bertanggung jawab. Berita yang ditayangkan di Seputar Indonesia, 30 Juni 2002, sempat diedit tim koordinator daerah, Imam Wahyudi dan Bekti Nugroho. Imam ingin tahu lebih banyak. Ia menelepon Adam Suryadi Nur, yang biasa disapa Yadi.

“Yadi, gimana situasi terakhir nelayan?” Imam bertanya.

“Ini untuk up dating berita,” lanjutnya.

“Masih mogok, Mas,” jawab Yadi.

Bekti dan Imam menilai berita itu lengkap, “Cukup balance.”

Pada 30 Juni, pukul 15.00, tayangan itu naik di Seputar Indonesia. Banyak penonton di depan televisi, karena kebetulan menjelang final Piala Dunia, Brazil melawan Jerman.

Dalam kasus “pengacara licin,” Atmakusumah Astraatmadja berpendapat redaksi punya hak untuk meloloskan kata-kata metafora dan figuratif. “Kata-kata itu bisa keluar kalau redaksi yakin ada fakta sangat kuat,” kata Astraatmadja.

Prosedur hukum bisa ditempuh objek berita, tapi secara umum ini tak dianggap baik bagi pers. Ada jalur lain yang sebenarnya bisa berimbang dan damai. “Hak jawab,” kata Astraatmadja.

Sayangnya, hak jawab itu jadi suatu hal yang sulit karena narasumber tak lagi percaya pada media yang mencemarkan nama baiknya.

“Kadang ada juga yang menjawab, tapi pada saat bersamaan juga melapor ke polisi.”

Dewan Pers memantau sebagian besar persoalan tersebut. Ada prosedur lain yang lazim digunakan media negara-negara maju. Di sana kebanyakan media besar memiliki ombudsman. Ini lembaga pengontrol plus pengawas. “Kami cuma menganjurkan, tapi tidak semua media mau. Logikanya, membayar wartawannya saja sulit, gimana membayar ombudsman?” tanya Astraatmadja.

Ombudsman atau kurang lebih berarti perantara antara dua pihak, juga bisa menyelidiki keluhan pembaca serta menulis kolom secara teratur, mendorong perbaikan dari segi editorial, membantu mempromosikan loyalitas pembaca juga berfungsi mengurangi gugatan hukum pada suratkabarnya.

Toriq Hadad punya pendapat sendiri. “Masyarakat pembaca Tempo adalah ombudsman. Jadi, apapun kata mereka, keluhan atau bahkan kritik setajam apapun, tetap naik di Tempo,” katanya.

Hadad berharap pertemuan Tempo melawan Lucas di pengadilan kelak, akan jadi hadiah bagi warga negara Indonesia, “Nanti akan kelihatan dengan sendirinya, berapa banyak mafia-mafia peradilan di negara ini.”

Lucas kepada saya mengatakan, “Saya yakin menang. Fakta saya juga jelas. Kita lihat saja nanti.” *

kembali keatas

by:Indarwati Aminuddin