SAYA datang ke Banda Aceh Mei lalu untuk sebuah riset tentang bagaimana para aktivis Aceh menangani masalah hak asasi manusia. Riset ini dilakukan oleh Institut Studi Arus Informasi, sebuah organisasi Jakarta, bekerjasama dengan SAREC, sebuah lembaga riset Swedia, di bawah supervisi dua profesor: Olle Törnquist dari Universitas Oslo dan Arief Budiman dari Universitas Melbourne. Seorang konsultan kami menganjurkan kami menyoroti apa yang dikerjakan People Crisis Center (PCC). Organisasi nonpemerintah ini mengkonsentrasikan diri pada masalah pengungsian Aceh –sebuah isu yang tenggelam oleh berita-berita pengungsian dari Maluku atau Kalimantan Tengah maupun perang propaganda antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengenai isu “separatisme” dan “kemerdekaan Aceh.”

Ada tiga hal yang menarik dari isu pengungsian Aceh selama empat tahun terakhir ini. Pertama, dari kuantitasnya, jumlah pengungsian internal di Aceh tak kalah besar dibandingkan yang pernah terjadi di wilayah-wilayah konflik lain seperti Maluku, Timor-Timur, dan Kalimantan. Dibandingkan pengungsian dari Kalimantan, akibat kerusuhan Dayak-Madura pada Februari 2001, yang mencapai sekitar 180 ribu jiwa, atau yang terjadi di Timor Timur pasca jajak-pendapat pada 1999 yang mencapai sekitar 250 ribu jiwa; pengungsian di Aceh jauh lebih kolosal karena mencapai sekitar 500 ribu jiwa. Gelombang pengungsian ini tak berlangsung sesingkat yang terjadi di Kalimantan atau Timor Timur. Mirip Maluku, gelombang pengungsian Aceh berlangsung lebih lama, sama-sama sejak 1999. Baik pengungsi Maluku dan Aceh muncul dari konflik berkepanjangan yang gagal ditangani pemerintah.

Aspek kedua yang menarik dari penelitian mengenai pungungsian di Aceh, adalah karena inilah satu-satunya fenomena pengungsian yang paling tidak diminati oleh lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan. Entah mengapa mereka lebih enggan terjun ke Aceh ketimbang Maluku atau Timor Timur? Ditambah oleh faktor ketidakpedulian pemerintah provinsi sendiri yang selalu berusaha mengusir mereka untuk kembali ke desa-desa, sempurnalah kiranya penderitaan para pengungsi itu. Mereka terlunta-lunta di kampung halamannya sendiri, tanpa bantuan, tanpa perhatian, tanpa peliputan.

Mereka bukan saja tidak memenuhi syarat yang diperlukan untuk dimasukkan dalam kategori dan definisi legal sebagai refugee karena untuk keluar provinsi pun seluruh jalannya telah dicegat, apalagi untuk keluar negeri; bahkan untuk dikategorikan sebagai internal displaced persons (IDP) pun mereka terlalu tersembunyi untuk terlihat. Mungkin memang harus ada definisi baru untuk mereka sebagai hidden IDP, atau isolated IDP – suatu pengertian baru yang bisa diusulkan di kalangan NGO internasional yang sedang memperjuangkan isu IDP diangkat sebagai subjek perlindungan hukum internasional, sebagaimana yang telah diperoleh untuk status refugee. Kenyataan mengenai pengisolasian dan penyembunyian inilah yang selama ini tampaknya menyebabkan orang luar Aceh tidak menganggap serius kasus mereka, karena hampir semua pihak, terutama TNI dan pemerintah provinsi, memang secara gigih menutup-nutupi masalah ini.

Ketiga, tak kalah menarik dari kedua aspek di atas adalah bagaimana kalangan NGO di Aceh sendiri terlibat dalam advokasi masalah-masalah pengungsian. Topik inilah yang sejak awal menjadi fokus riset saya, yaitu untuk melihat peranan para aktifis organisasi nonpemerintah menangani isu itu, menyiasati tantangan-tantangan dan problem-problem yang dihadapi, dan menggarap isu tersebut untuk agenda yang lebih luas – taruhlah misalnya seperti isu perlindungan human rights.

Dengan rencana seperti ini saya merasa pekerjaan riset kali ini tidak terlalu rumit. Saya merencanakan untuk langsung menuliskan laporan di lapangan, tidak perlu menundanya untuk ditulis di Jakarta. Gambaran mengenai sistematika dan plot laporan juga sudah bisa dibayangkan. Sebuah tulisan sekitar 20 halaman akan saya kerjakan pada dua hari terakhir dari jatah waktu seminggu yang tersedia di Banda Aceh. Ini pekerjaan yang tidak terlalu sulit. Setelah itu saya bisa santai, dan berniat pergi ke Sabang sebelum pulang.

Selama seharian pada hari pertama itu saya hanya habiskan waktu di hotel, membaca bahan-bahan dan merencanakan beberapa pertanyaan untuk wawancara. Tidak ada kesan khusus yang menonjol dari pemandangan kota Banda Aceh yang saya lihat dari balik kaca mobil yang mengantarkan saya dalam perjalanan dari bandara Blang Bintang ke hotel Kuala Tripa di tengah kota. Yang saya catat sebagai sedikit keganjilan adalah melihat beberapa orang berpakaian sipil mondar-mandir membawa senjata laras panjang sejenis bedil di bandara.

Semula sopir yang mengantarkan saya menjelaskan bahwa mereka ini adalah para TPO (tenaga pembantu operasi) yang direkrut dari kalangan sipil oleh aparat keamanan resmi. Saya telan saja informasi itu tanpa referensi apapun. Sebab sejak di Jakarta saya sudah mendengar banyak orang sipil memang bekerja dalam operasi-operasi TNI. Masyarakat Aceh menyebut para TPO itu cuak, sebuah istilah pejoratif untuk mengidentifikasi intel swasta bayaran. Tetapi mereka bukan sekadar intel. Dalam bahasa Aceh sendiri, cuak ternyata berarti “pengkhianat.” Sebagian mereka ternyata memang mantan anggota GAM yang kemudian ditangkap, disiksa, dicuci-otak, dan berganti majikan. Dalam berbagai kasus, mereka juga berfungsi menjadi penyiksa dan pembunuh mantan rekan-rekannya; dan mereka dibayar untuk itu.

Tetapi informasi mengenai adanya cuak di bandara yang berkeliaran dengan mencangklong bedil itu ternyata merupakan informasi palsu. Seorang wartawati Aceh yang saya kenal kemudian menertawakan saya karena saya dianggap dibohongi sopir. Memang tidak ada kerugian apapun dalam kebohongan seperti itu. Tetapi gambaran dramatis yang ingin dikesankan sang sopir telah menimbulkan versi tertentu mengenai situasi keamanan yang berbeda dari versi menurut wartawati. Dalam versi wartawati, para pencangklong bedil itu adalah anggota Brimob yang berpakaian sipil. Apapun versinya, kesan mengenai orang-orang berpakaian sipil pencangklong senjata, sebagian berambut gondrong, rata-rata berusia 20an, dengan tatapan mata menyelidik itu, mulai menciptakan suasana yang mencekam. Inilah suasana Aceh yang pertama-tama saya rasakan.

Di hotel yang saya tempati, saya juga merasakan beberapa suasana tidak lazim. Saya melihat misalnya banyak mobil dengan plat CD, sekitar enam atau tujuh, hampir semuanya berlambang HDC (Henry Dunant Center). Para staf HDC yang juga tinggal di hotel itu ternyata sudah menginap di sana beberapa minggu. Setiap hari mereka tampaknya pergi keliling Aceh. Dengan gagalnya skenario humanitarian pause (Jeda Kemanusiaan) sebagai hasil perundingan RI dan GAM persis dua tahun lalu yang disponsori oleh lembaga kemanusiaan itu, saya tidak tahu untuk apa mereka masih di Aceh. Juga dengan kewenangan yang terbatas sekadar sebagai fasilitator rujuk, dan yang hingga sekarang belum juga mempunyai status sebagai meditor dengan kewenangan legal yang diakui secara internasional, kehadiran mereka dalam waktu panjang di Banda Aceh memang menimbulkan pertanyaan. Apakah ada skenario lain yang sedang mereka rancang?

Setidaknya bagi saya sendiri kehadiran mereka bisa meningkatkan rasa aman, khususnya di hotel. Banda Aceh memiliki beberapa hotel berbintang seperti Kuala Tripa. Tetapi Kuala Tripa telah lama dikenal sebagai memiliki aura khusus sebagai zona netral. Ada wilayah yang terlindungi oleh semacam kekebalan diplomatik di tempat itu. Beberapa pejabat setempat, termasuk yang berseragam militer – sebagian juga dari Jakarta – pun tak jarang keluar masuk di tempat ini. Dan jika mereka berpapasan dengan beberapa tokoh GAM yang juga telah lama menginap di hotel itu, seperti Ambi Hamdani atau Kamaruzaman, mereka tak jarang berjabat-tangan dan bertegur sapa. Kedua pihak yang sedang bertikai itu juga beberapa kali terlibat dalam pembicaraan dengan beberapa staf HDC, bilateral atau multilateral. Tak jelas apa saja yang mereka bicarakan.

Belakangan saya baru mengetahui bahwa kehadiran HDC di Banda Aceh memang dilatarbelakangi oleh misi pendamaian. Latar belakang ini saya baca dari dokumen yang diberikan seorang teman Aceh saya yang baru, yang berisi pernyataan bersama antara Pemerintah RI yang diwakili Dubes S. Wiryono dan Pimpinan GAM yang diwakili Dr Zaini Abdullah. Dokumen komunike itu sendiri ditulis dan ditandatangani di Swiss 10 Mei 2002, berisi dua hal penting: (1) sebuah skenario penyelesaian damai yang didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan apa yang disebut all inclusive dialogue, sebuah dialog yang akan dilandaskan pada penerimaan UU NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) oleh kedua belah pihak; dan (2) persetujuan kedua belah pihak untuk melaksanakan penghentian permusuhan dalam waktu secepat-cepatnya untuk dilaksanakannya butir kesepakatan pertama.

Memang tidak persis seperti itu redaksi komunike yang tertulis dalam dokumen tersebut. Tetapi intinya, persis seperti yang juga pernah dirumuskan dalam berbagai kesepakatan sebelumnya baik melalui skenario Jeda Kemanusiaan I maupun II, atau melalui skenario “moratorium” dan kesepakatan-kesepakatan gencatan senjata lain yang menyertainya, kesepakatan kali inipun sesungguhnya merupakan upaya diplomatik yang serius untuk penyelesaian damai dengan melibatkan HDC.

Upaya-upaya penghentian permusuhan antara pemerintah RI dan GAM memang sudah berkali-kali dilakukan oleh kedua belah pihak sejak Mei 2000 hingga Februari 2002. Di atas kertas, rumusan kesepakatan-kesepakatan itu hampir semuanya baik dan indah didengar. Tapi entah kenapa, di lapangan semuanya selalu berantakan. Perang antara TNI/Polri dan GAM terus berlanjut.

Saya terpaksa mempelajari semua dokumen lain yang secara keseluruhan menceritakan upaya-upaya diplomasi damai yang selalu gagal itu. Instink politik saya mengatakan ada missing-link yang harus ditemukan sebagai penyebab kenapa kegagalan demi kegagalan terus menerus berulang. Selama missing-link itu belum ditemukan, saya yakin kegagalan akan kembali terulang dalam upaya terakhir melalui AID (all inclusive dialogue) yang disepakati 10 Mei lalu itu.

Pengetahuan tentang perang Aceh dan bagaimana sikap RI maupun GAM mengenai berbagai isu di sekitar konflik tersebut mulai membuka mata saya. Saya mulai merasa gamang karena apa yang akan saya teliti tentang fenomena pengungsian itu sama sekali tidak bisa dilihat sebagai gejala yang terpisah dari proses kekerasan akibat perang. Sejak semula saya memang memiliki asumsi dan hipotesis semacam itu. Tetapi kini saya ingin melihat bagaimana asumsi-asumsi dan hipotesis-hipotesis itu bekerja pada tingkat yang empiris, bukan teoretis, dan bagaimana ia harus dilihat di dalam suatu konteks khusus yang berlangsung di Aceh. Saya mulai berusaha mempersiapkan diri untuk memahami makna riel gejala pengungsian sebagai ekses kekerasan bersenjata. Saya ingin mempertajam pengertian ini melalui wawancara dengan para aktifis yang terlibat dalam isu itu besok pagi.

Dengan kesadaran ini, saya mulai membaca ulang data-data penting yang bisa mempertajam pengetahuan mengenai informasi latar belakang. Sambil mencermati kembali peta dan data-data demografis, juga mengamati beberapa tabloid dan koran lokal yang banyak mengungkap isu-isu administratif dan pemerintahan Provinsi Aceh yang sejak awal 2001 telah memperoleh status otonomi sebagai Nanggroe (negara), saya semakin menyadari bahwa sebenarnya tidak ada perubahan berarti dalam sistem penyelenggaraan kekuasaan di Aceh.

Memang, Syariah Islam mulai diterapkan dalam skenario UU No. 18/2001mengenai Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kini DPRD sedang menyusun berbagai macam qanun (semacam Perda) mengenai berbagai program dan proyek yang berbasis pada syariah Islam itu. Tetapi perdebatan yang berlangsung tampaknya hanya berkisar pada soal-soal teknis fiqhiyah, dan sama sekali tidak menyentuh sisi-sisinya yang substansial untuk menjadikannya sebagai ilham reinventing government, atau penegakan keadilan transisional di tingkat lokal, misalnya. Jangan mengharap gagasan-gagasan seperti itu muncul dari para politisi yang duduk di DPRD NAD itu karena sebagian mereka ternyata adalah para pemain lama yang sedang berganti baju. Syariah Islam tampaknya sekadar menjadi simbol kosong di tengah-tengah praktek pemerintahan yang anti-populis dan korup. Dengan dana pendapatan daerah yang membengkak menjadi lebih dari Rp. 2,15 trilyun dari bagi hasil tambang migas, yang merupakan 70% dari pendapatan total tahun ini, di tangan para birokrat tanpa visi dan para politisi gold-digger yang hanya memburu kepentingan pribadi atau kelompok, saya membayangkan bahwa NAD hanya akan menjadi ajang perebutan kekuasaan dan kekayaan. Proses ini tampaknya terefleksikan dengan jelas dalam pemberitaan sehari-hari pers lokal.

Di luar semua proses itu, Aceh tetap saja seperti wilayah-wilayah Indonesia lain di mana sektor pemerintahannya terlalu rentan untuk sepenuhnya dikendalikan sipil. Pemekaran wilayah Aceh yang semula hanya terdiri dari 13 pemda tingkat II menjadi 19 pemerintahan kabupaten dan pemerintahan kota, dengan sekitar 400an kecamatan, segera diikuti oleh pembentukan Kodam baru awal Februari lalu. Ditopang oleh dua Korem yang sejak masa DOM menjadi basis operasi militer yang efektif dan agresif, yakni Korem Lilawangsa di Lhokseumawe dan Korem Teuku Umar di Banda Aceh, pembentukan Kodam baru itu juga berarti proliferasi aparat militer organik. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa pembentukan Kodam Iskandarmuda di Aceh sebenarnya dimaksud untuk dua tujuan: mengontrol dan membayang-bayangi pemerintahan sipil; serta melanjutkan misi penumpasan GBPK (Gerakan Bersenjata Pengacau Keamanan) – salah satu sebutan yang digunakan TNI untuk GAM.

Operasi penumpasan itu sendiri sebenarnya sudah dilakukan sejak 1989, di bawah nama sandi “Operasi Jaring Merah.” Sejak itu DOM (daerah operasi militer) diberlakukan di Aceh. Melalui operasi selama 9 tahun lamanya, Aceh mengalami masa represi yang menimbulkan penderitaan luas di kalangan masyarakat sipil. Dengan dalih memburu pasukan GAM yang dituduh disembunyikan penduduk, masyarakat sipil seringkali diperlakukan sebagai musuh. Operasi itu pada kenyataannya juga dimaksudkan untuk meredam kemarahan yang sudah lama meluas di kalangan masyarakat Aceh akibat beroperasinya industri-industri pertambangan besar asing – Exxon Mobil, PT Arun, PT Aceh Asean Fertiliser, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Kertas Kraft Aceh – khususnya yang dibangun di Aceh Utara dan Aceh Timur sejak 1970an dan 1980an. Masyarakat melihat pabrik-pabrik itu dibangun hanya untuk menyedot kekayaan Aceh tanpa sedikit pun dibagi untuk kesejahteraan setempat.

Setidaknya tercatat 8.708 kasus pelanggaran HAK ASASI MANUSIA berat terjadi selama masa operasi antara 1989-1998 itu. Kasus-kasus itu meliputi pembunuhan atas penduduk sipil (1.321), di luar pembunuhan pasukan TNI (5) dan pasukan GAM (8); penghilangan orang (1.958), penyiksaan (3.430), perkosaan (128) dan pelecehan seksual (81), penjarahan harta benda penduduk (160), serta pembakaran bangunan, khususnya rumah-rumah penduduk (638), dan pengungsian (850). Dari data ini, 16.375 anak menjadi yatim karena orang tuanya hilang atau dibunuh.

Inilah data yang nyaris sudah saya hafal sebagai statistik di luar kepala. Data-data itu juga dikutip oleh berbagai laporan tahunan lembaga-lembaga HAK ASASI MANUSIA internasional seperti Human Rights Watch, Amnesty International, Tapol, maupun International Commission of Jurists. Data itu memang baru diungkap jauh setelah peristiwa-peristiwanya sendiri terjadi, yakni berdasarkan laporan korban dan keluarganya serta investigasi, termasuk yang dilakukan oleh tim investigasi pemerintah yang dibentuk Pemda Aceh pada Desember 1998. Data-data itu mulai terpublikasi setelah Suharto lengser, dan setelah Habibie minta maaf di depan rakyat Aceh Agustus 1998 yang diikuti oleh perintah kepada Pangab Jenderal Wiranto untuk mencabut DOM. Ketika itu pula Habibie juga berjanji akan menindak para pelaku pelanggar HAK ASASI MANUSIA melalui proses hukum dengan seadil-adilnya.

Diyakini jumlah kasus sesungguhnya jauh lebih besar dari angka-angka itu, mengingat banyak kasus yang berlangsung selama sekitar sepuluh tahun itu sudah dihilangkan barang bukti maupun saksinya. Munarman, mantan Koordinator Kontras, misalnya pernah memperkirakan jumlah 35 ribu kasus kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi selama masa DOM, meski ia mengakui perkiraan itu belum didukung oleh investigasi lapangan. Perkiraan Munarman ini tentu saja menjadikan DOM meraih rekor kedua tertinggi jika dibandingkan dengan jumlah korban yang diakibatkan Perang Atjeh pertama di zaman kolonial, yakni sekitar 70 ribu orang tewas, selama tahun 1873-1914.

Melihat banyaknya kasus itu, sungguh harus sangat disangsikan bahwa janji pemerintah untuk menindak para pelakunya secara hukum benar-benar bisa dilaksanakan. Janji itu sejak semula adalah janji kosong belaka. Siapa yang tidak tahu bagaimana pengadilan Indonesia bekerja, bagaimana para jenderal akan bereaksi, dan bagaimana penegakan keadilan selama ini selalu saja kandas oleh trik, tekanan, atau korupsi, atau gabungan ketiganya? Baik Habibie maupun Wiranto sesungguhnya hanya menipu diri mereka sendiri.

Ada juga banyak kejanggalan ketika saya membaca data-data pelanggaran HAK ASASI MANUSIA yang terjadi di Aceh baik selama masa DOM maupun sesudahnya. Ini terutama berkenaan dengan proporsi antara jumlah pasukan (combatant) yang tewas pada kedua belah pihak dibandingkan dengan jumlah korban tewas di kalangan sipil (non-combatant). Dari data yang ada sejauh ini, jumlah korban GAM yang tewas selama masa DOM hanya 8 orang, sementara di pihak aparat keamanan pemerintah 5 orang. Dibandingkan itu, penduduk sipil yang tewas mencapai 1.321 orang.

Sementara itu dari data yang berhasil dikumpulkan pada masa pasca-DOM, khususnya antara Agustus 1998 hingga April 2002, tercatat korban pasukan GAM tewas sebanyak 234 dan di pihak aparat TNI/Polri 404. Selama periode itu pula, korban yang tewas di pihak penduduk sipil mencapai 2.593 orang (versi lain menyebut 2.511 orang). Ini belum lagi ditambah dengan korban penyiksaan, penahanan, pemerkosaan, pembakaran bangunan-bangunan milik penduduk, dan pengungsian-pengungsian yang terjadi akibat teror perang.

Data-data ini tentu saja menimbulkan pertanyaan berkenaan dengan misi perang yang dilancarkan oleh Jakarta. Fakta sejauh ini menunjukkan bahwa operasi penumpasan GAM sesungguhnya telah gagal, dan hanya menghasilkan penderitaan di kalangan sipil Aceh. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi hingga sekarang?

Secara resmi pemerintah menggelar operasi militer selama masa DOM dengan misi menumpas Gerakan Aceh Merdeka. GAM sendiri sebenarnya sudah mulai melancarkan berbagai aksinya sejak 1976. Pada 1977 pemerintah melancarkan operasi yang sangat gencar untuk menumpas gerakan perlawanan yang semula berbasis di daerah Pidie itu. Banyak pasukan GAM tertangkap atau mati. Bahkan pada 1979, pemimpin GAM, Teuku Hassan di Tiro, melarikan diri ke luar negeri dan memimpin perlawanannya dari pengungsian. GAM mulai mengalami internasionalisasi di bawah nama ASNLF (Acheh Sumatra National Liberation Front). Sejak itu perlawanan GAM di Aceh menjadi pasif.

Tetapi gerakan ini muncul lagi pada akhir 1980an dengan basis yang mulai meluas hingga ke Aceh Utara dan Aceh Timur. Sasaran-sasaran operasi gerilya GAM terutama dilancarkan ke arah aparat keamanan, yakni pos-pos tentara dan polisi. Pemerintah sendiri ketika itu cenderung menutup-nutupi perlawanan GAM ini dengan menyatakan bahwa mereka hanyalah kelompok-kelompok kriminal yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan ganja. Kapuspen ABRI, Brigjen Nurhadi, ketika itu menyangkal bahwa gerakan itu mempunyai latar belakang politik, dan menyebut mereka sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), atau GPL (Gerombolan Pengacau Liar), atau paling jauh: GPLHT (Gerombolan Pengacau Liar Hassan Tiro).

Namun demikian, anehnya, Jakarta mulai mengirimkan pasukan-pasukan non-organik dalam jumlah yang besar: 5.000 pada 1989, dan 6.000 pada 1990. Tidak diketahui persis berapa lagi jumlah pasukan BKO yang ditempatkan di Aceh setelah periode tahun 1990 itu. Yang bisa dipastikan adalah bahwa para pasukan non-organik itu berasal dari berbagai kesatuan, seperti Kopassus, Kodam Siliwangi, Kodam Brawijaya, Arhanud (Medan), Linud (Medan), Kostrad, Marinir, dan Brimob. Komposisi semacam ini jelas merupakan komposisi yang lengkap untuk sebuah operasi perang yang besar.

Tetapi untuk apakah pengiriman pasukan sebesar itu jika hanya dimaksudkan untuk menumpas suatu “gerombolan kriminal”? Mengapa GAM yang diidentifikasi hanya memiliki kekuatan 200an pasukan bersenjata tak pernah bisa ditumpas selama operasi DOM itu? Apa yang terjadi selama hampir satu dasawarsa itu jika justru hanya menyebabkan matinya ribuan warga masyarakat Aceh? Jika pemerintah memang menganggap misi pengiriman belasan ribu pasukannya itu untuk mempertahankan Aceh dari rongrongan pemberontakan, mengapa yang terjadi justru timbulnya antipati kepada aparat keamanan RI akibat kekerasan dan berbagai macam kejahatan HAK ASASI MANUSIA yang mereka lakukan? Benarkah “perang” ini memang sungguh-sungguh ditujukan untuk menumpas GAM? Atau menumpas Aceh? Atau justru untuk memelihara – jika bukan malah membesarkan – GAM demi menciptakan instabilitas permanen di Aceh? Bukankah instabilitas Aceh merupakan suatu komoditi politik yang bisa dijual oleh militer dalam rangka bargaining – khususnya dengan setiap pemerintahan sipil pasca Orde Baru? Siapa sajakah faksi-faksi militer dan politik di Jakarta yang paling banyak mengambil keuntungan dari kebijakan perang ini?

Terus terang, saya sendiri terkejut dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Sudah lama sebenarnya saya menyimpan tanda tanya mengenai berbagai kejanggalan menyangkut kebijakan Jakarta terhadap Aceh. Namun tanda tanya itu tidak pernah sempat saya telusuri jawabannya secara mendalam, termasuk mengenai “kebaikan hati” Jakarta memberikan status kepada Aceh sebagai “negara Islam.” Bukankah istilah Nanggroe Aceh Darussalam itu sama artinya dengan “negara Aceh negara Islam”? Ada tipu muslihat apa sesungguhnya di balik semua ini? Bukankah predikat “Islam” itu hanya akan diperlakukan sebagai sandera ideologis dalam suatu pertarungan politik riel kalangan elite di Jakarta yang sesungguhnya hanya berkepentingan pada aset ekonomi Aceh yang memang berlimpah ruah itu?

Mata yang mulai mengantuk membuat saya makin tidak mampu lagi mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang semakin berat ini. Saya mulai sangsi pada diri sendiri apakah riset saya akan menjadi sesederhana seperti yang saya bayangkan semula? Kompleksitas masalah Aceh mulai membuat saya ragu untuk melanjutkan penelitian ini. Mulai terpikir perlunya suatu rencana riset baru yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kompleks itu. Tetapi siapa sesungguhnya organisasi nonpemerintah di Jakarta yang peduli pada masalah-masalah Aceh dewasa ini?

Rabu pagi, sekitar pukul 10.00, ditemani Andi Firdaus dari LBH Banda Aceh, mantan aktifis SMUR (Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat), saya berangkat meninggalkan hotel. Sesuai rencana, hari pertama ini akan saya gunakan untuk menguber responden di PCC (People Crisis Center) yang selama ini berkutat mengurusi masalah pengungsian.

Sebelum berangkat, ketika sarapan pagi, secara kebetulan saya bertemu kenalan lama, seorang dosen Fakultas Hukum di Unsyiah, Syaifuddin Bantasyam, yang selama ini juga aktif melakukan investigasi kasus-kasus HAK ASASI MANUSIA di Aceh. Ketika itu saya baru tahu bahwa lembaganya, FP-HAM Aceh (Forum Peduli HAM Aceh) telah berubah menjadi yayasan, Yayasan Peduli HAM. Dia sendiri adalah Direktur Eksekutifnya.

Obrolan dengan Syaifuddin seakan-akan memberikan kepada saya bekal dalam memahami peta organisasi nonpemerintah di Banda Aceh. Ia menceritakan bahwa sejak masa reformasi, masyarakat sipil di Aceh, khususnya di Banda Aceh, mulai digairahkan oleh munculnya organisasi-organisasi non-pemerintah baru berjumlah puluhan yang semakin menyemarakkan kehidupan politik Aceh. Data-data mengenai jumlah organisasi nonpemerintah baru itu memang baru belakangan saya ketahui melalui dokumen-dokumen yang diberikan oleh Muhammad Saleh, seorang Presidium SIRA, yang saya wawancarai beberapa hari kemudian.

Obrolan saya dengan Syaifuddin lebih bersifat umum menyangkut terjadinya beberapa perkembangan baru dalam politik organisasi nonpemerintah di Aceh. Menurut Syaifuddin, meskipun dewasa ini terjadi proliferasi perkembangan jumlah organisasi nonpemerintah, namun di antara mereka sendiri terjadi perbedaan pandangan yang sulit dipertemukan untuk menggalang kerjasama dalam lima isu penting berikut: (1) strategi pengembangan civil-society; (2) penanganan kasus-kasus HAM; (3) strategi demokrastisasi; (4) sikap menyangkut politik otonomi pemerintah daerah dalam skenario NAD; dan (5) sikap terhadap kebijakan pemerintah pusat pada umumnya mengenai Aceh.

Ketika itu saya sendiri berpikir bahwa perbedaan pandangan seperti itu tidak hanya terjadi di kalangan organisasi nonpemerintah Aceh, di mana-manapun begitu. Dan bagi Aceh dalam tahap perkembangannya yang sekarang, hal itu juga bisa dimaklumi karena inilah tahap formatif yang sangat dinamis sehingga suasana cair justru harus dipertahankan. Apa yang justru hendak saya tambahkan adalah isu penting lain mengenai bagaimana sikap sebagian besar organisasi nonpemerintah itu mengenai isu kemerdekaan Aceh atau yang sejenisnya, termasuk menyangkut gerakan perlawanan yang dilancarkan oleh GAM. Penjelasan tidak sempat diberikan oleh kenalan lama itu karena dia sendiri kemudian harus menyelesaikan acaranya sendiri.

Pertemuan dengan Syaifuddin Bantasyam telah menimbulkan agenda baru untuk memahami lebih dalam peta politik organisasi nonpemerintah di Aceh. Sejauh yang saya pelajari kemudian, pada tahun-tahun sebelum perubahan akibat reformasi terjadi, isu tradisional organisasi nonpemerintah Aceh terutama berkisar pada masalah-masalah HAM, misalnya seperti yang digarap oleh LBH Banda Aceh, Kontras Aceh, Koalisi NGO-HAM, maupun FP-HAK ASASI MANUSIA sendiri. Tetapi selama beberapa tahun belakangan ini diversifikasi ke isu-isu lainnya juga terjadi dengan munculnya para aktifis baru yang sedang berusaha mencari ruang baru dalam peta politik masyarakat sipil Aceh.

Para aktifis organisasi nonpemerintah baru itu kini bisa dikatakan mulai “menyaingi” organisasi nonpemerintah-organisasi nonpemerintah non-HAK ASASI MANUSIA dari generasi sebelumnya seperti Cordova (Otto Syamsuddin Ishak), atau SIRA (Muhammad Nazar), atau Flower (Suraiya Kamaruzzaman). Sekarang di Banda Aceh kita bisa menyaksikan organisasi nonpemerintah-organisasi nonpemerintah baru, yang sebagian didirikan oleh generasi yang lebih muda, dengan nama-nama seperti ini: SAMAK (Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi), ORPAD (Organisasi Perempuan Demokratik), Forum Rakyat, IPAR (Ikatan Pemuda Aceh Raya), Perempuan Merdeka, PERAK (Penyambung Aspirasi untuk Keadilan), SPURA (Solidaritas Perempuan untuk Rakyat Aceh), JAMAK (Jaringan Aksi Masyarakat untuk Keadilan), CFW (Ceasefire Watch), GISA (Gerakan Intelektual Seluruh Aceh), dan lain-lain.

Di kalangan mahasiswa, selain organisasi-organisasi intra-kampus, muncul pula gejala di mana para aktifisnya mulai mengembangkan basis yang lebih luas baik antar kampus maupun ke luar kampus, termasuk melibatkan pemuda dan pelajar; juga dengan meluaskan basisnya di wilayah kabupaten di tingkat yang lebih lokal. KARMA (Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh), FORSIMA (Forum Koordinasi Mahasiswa Aceh), FARMIDIA (Front Aksi Reformasi Mahasiwa Islam Daerah Istimewa Aceh), KMPAN (Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara), KAGEMPAR (Koalisi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Utara), JEUMPA MIRAH (Front Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jeumpa), SOMAKA (Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat untuk Konflik Aceh), IPELMABAR (Ikatan Pemuda dan Mahasiswa Aceh Barat), IPPAT (Ikatan Pemuda dan Pelajar Aceh Timur), KAMPI (Koalisi Aksi Mahasiswa Pidie), atau FOMAPAK (Front Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan), adalah sebagian contohnya.

Para aktifis mahasiswa yang mengkonsentrasikan diri pada advokasi korban pelanggaran HAK ASASI MANUSIA juga cukup menonjol. Di antaranya yang terpenting adalah PEMRAKA (Peduli Mahasiswa dan Rakyat keu Aceh), PCC (People Crisis Center), dan SPKP-HAM (Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM). Di samping itu terdapat juga jumlah yang cukup besar sukarelawan mahasiswa yang secara individual bekerja membantu pos-pos bantuan hukum yang tersebar di seluruh wilayah Aceh yang menjadi jaringan Koalisi NGO-HAM. Para aktifis mahasiswa sukarelawan itu umumnya mempunyai jaringan luas di daerah-daerah, khususnya karena mereka sendiri sebelumnya memang menjadi aktifis di daerah asalnya sebelum melanjutkan kuliah ke Banda Aceh.

PEMRAKA sendiri misalnya pertama kali didirikan sebagai jaringan seperti itu, khusus untuk membantu para pengungsi. Seperti diceritakan oleh Asnawi, Koordinator PEMRAKA yang saya wawancarai belakangan, advokasi pada para pengungsi itu berjalan sekitar setengah tahun sejak didirikannya pada April 1999. Tetapi belakangan PEMRAKA kemudian mengalihkan perhatiannya pada penanganan medis korban kekerasan. Konsentrasi pada penanganan medis ini dilakukan sejak September 1999 ketika mereka mengadakan kesepakatan dengan PCC untuk berbagi tugas.

PCC memang jauh lebih dulu menggarap pengungsi, yaitu sejak Januari 1999. Seperti PEMRAKA, para pengurus PCC sebagian besar juga terdiri dari kalangan mahasiswa. Mereka pada mulanya tergabung dalam SMUR (Solidaritas Mahasiwa untuk Rakyat) yang berbasis di Banda Aceh. Ketika di SMUR akhirnya terjadi perselisihan menyangkut ideologi dan strategi gerakan sehingga menimbulkan perpecahan pada pertengahan 2000, para aktifis PCC akhirnya bergabung dengan Forum Rakyat, yang merupakan pecahan SMUR itu. Di dalam Forum Rakyat itu pulalah, dibentuk suatu organ lain yang juga mengurusi advokasi korban kekerasan, yakni SPKP-HAM.

SPKP-HAM, PEMRAKA maupun PCC sering terlibat dalam kerjasama di lapangan. Para aktifis ketiga lembaga inilah yang hingga sekarang menjadi ujung tombak kegiatan mahasiswa pembela HAK ASASI MANUSIA di tingkat lapangan. Dari merekalah kemudian saya mendengar banyak sekali pengalaman langsung mengenai apa yang terjadi di pedalaman Aceh.

DI kantor PCC saya ditemui oleh hampir semua pengurusnya yang pada hari itu ada di tempat, antara lain Iman Sentosa, Kepala Divisi Internal Organisasi; Rismawati, Kepala Divisi Perempuan; Hermanto, Kepala Divisi Informasi/Dokumentasi; dan Iin Harhas, Pelaksana Koordinator Harian PCC. Semua mereka masih muda, di bawah 30an. Kecuali Iin yang sudah lulus dari Fakultas Ekonomi Unsyiah, pengurus lainnya masih mahasiswa.

Rupanya pemandangan ini membuktikan kesan saya sebelumnya mengenai munculnya generasi baru organisasi nonpemerintah Aceh yang berasal dari kalangan muda. Meskipun masih muda, mereka memegang posisi-posisi penting dalam organisasi. Saya membuktikan ini setelah bertemu dengan beberapa aktifis, misalnya seperti yang ada di Kontras, LBH, Forum Rakyat, SIRA, ACSTF (Aceh Civil Society Task Force), Sangkakala, PEMRAKA, SPKP-HAM, atau di Koalisi NGO-HAM. Inilah fenomena yang mengingatkan saya pula pada salah satu tulisan Otto Syamsuddin Ishak (November, 2001, h. xxxi) bahwa dewasa ini, “Aceh mengalami booming aksi moral masyarakat sipil yang dibantu kaum muda.”

Saya tak lagi perlu berbasa-basi setelah mereka menunjukkan sikap bersahabat. Pembicaraan mulai menjadi akrab dan berbagai informasi serta data yang saya butuhkan segera dibeberkan. Berikut ini adalah beberapa fragmen yang diceritakan mengenai peristiwa-peristiwa yang melatar-belakangi didirikannya PCC. Untuk keperluan akurasi, beberapa detail dari fragmen-fragmen yang diceritakan secara lisan itu kemudian saya rekonstruksi ulang dengan rujukan pada sumber-sumber dokumenter lainnya, antara lain seperti yang dikutip dalam referensi.

Pada 3-4 Januari 1999 terjadi kerusuhan di Pusong, Aceh Utara, yang melibatkan bentrokan antara penduduk dan aparat keamanan. Menurut Kolonel Jhony Wahab, Komandan Korem di Lhoksumawe ketika itu, kerusuhan itu dipicu oleh provokasi Ahmad Kandang yang dituduh sebagai aktifis GAM. Bentrokan ini menimbulkan korban 9 orang tewas di tempat dan 22 orang luka-luka. Jumlah korban tewas menjadi 17 orang setelah 8 di antara 22 orang yang luka-luka itu wafat kemudian di rumah sakit (Reuters, 5 Januari 1999; The Jakarta Post, 6 Januari 1999).

Menurut investigasi yang dilakukan oleh sekitar 20 mahasiswa yang dilakukan beberapa hari kemudian, penduduk Pusong pada Minggu pagi, 3 Januari, itu berkumpul di masjid untuk shalat Subuh seperti biasa. Setelah shalat, sebagian besar jamaah masih tinggal di tempat. Tiba-tiba, seseorang yang tidak dikenal oleh penduduk memegang mikrofon dan mengatakan kepada jamaah bahwa mereka harus berkumpul lagi setelah shalat Ashar (sekitar pukul 16.30) untuk berangkat bersama-sama ke rumah Bupati Aceh Utara dan berdemonstrasi di sana. Dia kemudian melanjutkan dengan meneriakkan slogan-slogan yang menyerang pemerintah. Kepala desa dan imam masjid merasa takut untuk mencegah masyarakat mengikuti imbauan itu karena sebelumnya mereka pernah diancam akan dibunuh. Setelah Ashar, para provokator itu datang kembali dan memimpin kerumunan berangkat ke rumah Bupati. Teriakan-teriakan “Aceh Merdeka” juga mulai terdengar. Begitu massa mendekati rumah Bupati, aparat keamanan mengepung mereka dan mulai memberondongkan tembakan secara membabi buta. Sembilan orang tewas seketika. (Serambi Indonesia Online, 8 Januari 1999).

Iman Sentosa, Kepala Divisi Internal Organisasi PCC, adalah salah satu dari delegasi mahasiswa dari Banda Aceh yang menjadi anggota tim investigasi. Ia mengatakan kepada saya bahwa setelah laporan investigasi ditulis, pada Kamis, 7 Januari, mereka datang ke rumah Bupati untuk membacakan hasil-hasil investigasi dan memprotes apa yang disebut “Operasi Wibawa” yang digelar oleh pihak aparat keamanan di Lhokseumawe. Mereka menilai operasi untuk menguber Ahmad Kandang seperti yang dikatakan pihak keamanan itu telah membuat masyarakat dicekam ketakutan. Kendati demikian, menurut Iman, Bupati tidak menanggapi protes itu dengan alasan bahwa operasi itu merupakan wewenang Korem.

Sebelumnya, Senin pagi, 4 Januari 1999, pukul 5.00, sebuah satuan militer memang dikabarkan melakukan penyisiran untuk mencari Ahmad Kandang dan mengepung rumahnya. Dalam penguberan itu mereka menangkap 15 orang pengikut Ahmad Kandang. Para saksi yang melihat kejadian itu mengatakan bahwa aparat keamanan melepaskan serangkaian tembakan peringatan untuk membubarkan kerumunan terdiri dari ratusan orang yang sedang berkumpul di sekitar rumah Ahmad Kandang. Ahmad Kandang sendiri tidak ditemukan. (Reuters, 5 Januari 1999).

Kisah penguberan Ahmad Kandang sendiri sesungguhnya sudah lama diliputi misteri. Nama Ahmad Kandang pertama kali muncul dalam berita mengenai penurunan bendera-bendera merah putih oleh segerombolan massa di desa Syamtalira, kecamatan Bayu, Aceh Utara, 2 November 1998. Massa yang dipimpin Kandang ini juga dikabarkan membakar stasiun RRI di Lhokseumawe pada 15 November 1998. Dalam kejadian itu 60an orang ditangkap, tetapi Ahmad Kandang sendiri dibiarkan lolos. (Laporan Human Rights Watch, “Events in Lhokseumawe, August 1998 – April 1999”).

Sementara itu Yacob Hamzah, Direktur LBH Iskandar Muda, mengatakan kepada Associate France Press (7 Januari 1999), bahwa operasi perburuan Ahmad Kandang juga dilakukan hingga ke desa-desa di sekitar Lhokseumawe. Seperti dilaporkan The Jakarta Post (6 Januari 1999), dalam rangkaian operasi militer Senin pagi di Blang Kandang, Simpang Kramat, dan desa-desa lainnya di kecamatan Pusong aparat militer menangkap 158 orang yang dituduh sebagai para pengikut Ahmad Kandang. (Versi AFP menyebutkan 170 orang). “Ada Laporan bahwa dua anak kecil tewas tertembak di Simpang Kibre, sekitar 20 km sebelah barat Lhokseumawe,” kata Hamzah. (AFP, 7 Januari 1999).

Kota Lhokseumawe sendiri tegang hingga beberapa hari kemudian. Ada sekitar 700 pasukan ditempatkan di seluruh penjuru kota. “Mereka menyemut banyak sekali di seluruh penjuru kota,” kata Yacob Hamzah. (AFP, 7 Januari 1999). Jika di kawasan kota saja masyarakat dicekam ketakutan, apalagi di daerah pedesaan. The Jakarta Post melaporkan bahwa di daerah-daerah pedesaan di kecamatan-kecamatan Samudra, Merah Mulia, Matang Kuli, dan Simpang Kramat, dilakukan juga operasi-operasi seperti di Simpang Kibre di mana aparat keamanan melakukan penyisiran, pengepungan, penangkapan, penyiksaan dan penembakan kepada penduduk sipil. Sedikitnya ada 7 orang tewas dalam serangkaian operasi ke gampong-gampong di sekitar Lhoksuemawe selama beberapa hari pada minggu pertama Januari itu. (The Jakarta Post, 6 Januari 1999).

Dalam situasi seperti inilah, Iman Sentosa dan para aktifis mahasiswa dari Banda Aceh yang sedang berkunjung ke Lhokseumawe, berinisiatif membantu para penduduk desa yang mulai berbondong-bondong meninggalkan desanya akibat operasi-operasi militer itu. Terjadi kontak-kontak telepon antara para mahasiswa yang sedang di lapangan dengan rekan-rekan lainnya yang masih tinggal di Banda Aceh. Para aktifis mahasiswa di Banda Aceh itulah yang kemudian mengkoordinasikan kegiatan pertolongan, mengumpulkan dana, dan mengirimkan tenaga evakuasi dan bantuan makanan ke Aceh Utara. “PCC (People Crisis Center) didirikan pada 6 Januari 1999 di tengah-tengah terjadinya gelombang pengungsian yang cukup besar dari Aceh Utara itu,” kata Iin Harhas, Pelaksana Koordinator Harian PCC.

Sementara itu beberapa hari setelah Peristiwa Pusong, pada 9 Januari, operasi ke desa Kandang dilakukan kembali. Kali ini operasi yang melibatkan 4 kompi (1 kompi terdiri dari sekitar 100-150 pasukan – AEP) itu menyebabkan 2 warga tewas, satu di antaranya perempuan, 40 orang warga ditangkap, dan rumah orang tua Ahmad Kandang dibakar. Ahmad Kandang sendiri tetap tidak ditemukan. Ke-40 orang yang ditangkap itu akhirnya digelandang ke kota Lhokseumawe, dan disekap di dalam Gedung KNPI yang terletak satu kompleks dengan Markas Korem Lilawangsa. Di dalam gedung mereka disiksa oleh sekitar 50an orang aparat. Begitu dahsyatnya penyiksaan yang berlangsung dari pagi hingga malam itu sehingga 5 orang akhirnya tewas dan 23 lainnya luka parah. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa kekerasan pertama terbesar setelah DOM. Tampak bahwa aparat keamanan memang hendak menunjukkan peristiwa itu kepada masyarakat luas. (Otto Syamsuddin Ishak, September 2001, h. 9-10)

Diketahui kemudian bahwa operasi-operasi militer di bawah nama sandi “Operasi Wibawa” itu tidak hanya dilakukan di Aceh Utara. Dengan alasan untuk mencari para pengikut GAM, operasi-operasi militer juga dilanjutkan di Pidie, Aceh Timur, dan Aceh Jeumpa. Menurut penjelasan para pengurus PCC, dalam operasi-operasi pencarian itu, mereka keluar masuk ke permukiman-permukiman penduduk di kawasan pedesaan. Mereka menggeledah KTP dari rumah ke rumah. Mereka juga memaksa penduduk keluar untuk berkumpul di halaman terbuka selama berjam-jam di bawah todongan senjata. Banyak insiden kekerasan terjadi pada saat-saat apel seperti itu. Tak jarang pula, penggeledahan yang dilakukan di rumah-rumah penduduk dengan alasan untuk mencari senjata yang disimpan, menyebabkan harta milik seperti perhiasan emas, uang, arloji, dan barang-barang berharga lainnya, hilang dicuri. Dalam kasus-kasus lainnya, pengepungan, penggeledehan, dan penggerebekan rumah-rumah penduduk itu dilanjutkan dengan pembakaran. Pembakaran rumah-rumah, bahkan pembakaran desa-desa, bukan peristiwa yang jarang terjadi di Aceh.

HAMPIR-HAMPIR saya tidak bisa bernafas mendengarkan cerita-cerita para aktifis PCC itu. Melalui berbagai macam operasi yang terus saja digelar sampai ke pelosok-pelosok pedesaan, teror terhadap penduduk mulai menimbulkan kepanikan. Situasi inilah yang akhirnya menimbulkan berbagai gelombang pengungsian. Data PCC memperlihatkan bahwa gelombang pengungsian besar-besaran memang terjadi sejak periode 1999, yakni sebanyak 83.682 kepala keluarga atau 334.727 jiwa. Pada tahun 2000 gelombang pengungsian masih juga tinggi, mencapai 34.450 kk (138.872 jiwa); pada 2001 mulai menyurut menjadi 6.250 kk (27.578 jiwa); dan hingga periode April tahun ini, berjumlah 3.147 kk (15.321 jiwa).

Tabel 1: Gelombang Pengungsian di Aceh, Januari 1999 – April 2002

Asal Daerah

1999

2000

2001

2002

(hingga April)

KK

Jiwa

KK

Jiwa

KK

Jiwa

KK

Jiwa

Aceh Timur

5.571

22.284

9.340

37.360

2.414

9.655

961

3.843

Aceh Utara

16.450

65.799

8.124

32.496

1.207

4.843

104

416

Aceh Jeumpa

11.663

46.653

73

291

142

570

Pidie

42.197

168.789

5.019

20.075

338

1.354

62

250

Aceh Selatan

94

376

6.309

25.235

Aceh Barat

2.757

11.026

1.025

4.900

1.047

4.188

560

2.242

Aceh Tengah

1.012

4.321

860

5.980

130

520

Aceh Besar

1.200

4.800

3.548

14.194

242

988

Perbatasan Sumut-Aceh

3.750

15.000

Jumlah

83.682

334.727

34.450

138.872

6.250

27.578

3.147

15.321


Dari data selama periode 1999, terlihat bahwa pengungsian dari Kabupaten Pidie mencapai jumlah terbesar yakni 42.197 kk atau 168.789 jiwa, disusul dari Aceh Utara yang mencapai 16.450 kk atau 65.799 jiwa, Aceh Jeumpa (11.663 kk atau 46.653 jiwa), Aceh Timur (5.571 kk atau 22.284 jiwa), Aceh Besar (3.750 kk atau 4.800 jiwa), dan Aceh Selatan (94 kk atau 376 jiwa). Terlihat dari data periode 1999 ini bahwa tidak ada pengungsian dari daerah Aceh Tengah, tetapi terdapat jumlah cukup besar pengungsian warga penduduk non-Aceh dari perbatasan Sumatra-Utara dan Aceh. Tampak bahwa ini menunjukkan ekses operasi-operasi militer yang dilakukan di Aceh mempengaruhi pula warga non Aceh yang tinggal di wilayah perbatasan.

Tingginya gelombang pengungsian yang terjadi selama periode 1999 dan 2000 memperlihatkan bahwa ekses kekerasan yang ditimbulkan oleh operasi-operasi militer itu memang paling dirasakan selama dua periode itu. Menurut PCC, selama periode dua tahun itu, gelombang pengungsian juga relatif lebih mudah didata karena para pengungsi menempati kamp-kamp pengungsian yang disediakan oleh para relawan dan sebagian oleh dinas-dinas pemerintah setempat. Tetapi sejak pertengahan kedua tahun 2000, ketika para pengungsi juga mulai diintimidasi oleh aparat keamanan serta tak jarang pula dipaksa kembali ke desa-desa mereka oleh aparat pemerintah –sehingga mereka tidak mungkin lagi tinggal di kamp-kamp yang mencolok perhatian umum – keberadaan mereka mulai sulit dilacak dan didata.

Sejak pertengahan kedua tahun 2000 keadaan pengungi memang semakin memprihatinkan. Mereka yang mempunyai keluarga di sepanjang jalur pengungsian yang mereka lewati akhirnya memang menetap sementara di rumah-rumah saudara atau kerabatnya. Bagi yang tidak mempunyai keluarga atau kerabat, mereka terpaksa harus berlindung ke hutan untuk menghindari kejaran aparat militer atau pengusiran aparat pemerintah. Banyak kejadian tragis yang diceritakan dari pengalaman para pengungsi seperti ini. Misalnya serombongan pengungsi berjumlah sekitar 50an keluarga (sekitar 200an jiwa) dari desa Pakat Jroh dan Pamue di Aceh Tengah tersesat di hutan dalam perjalanan menuju kota Takengon, ibukota Aceh Tengah. Menempuh perjalanan sulit tanpa bekal, di perjalanan mereka hanya makan hati-pisang. Akibatnya banyak anak-anak dan orang tua yang meninggal karena kelaparan. Mereka baru ditemukan 28 hari kemudian dalam perjalanan menuju arah yang salah: ke Aceh Utara. Tetapi sesampai di Aceh Utara, Pemda setempat mengusir mereka untuk kembali ke Aceh Tengah. Peristiwa ini terjadi sekitar akhir tahun 2000.

Ada juga cerita lain mengenai gelombang pengungsi berjumlah sekitar 1.000 keluarga dari berbagai desa di kecamatan Geulumpang III, Pidie, yaitu dari Cot Baroh, Cot Tunong, dan Krueng Njong. Mereka telah menempuh perjalanan sepanjang puluhan kilometer untuk menuju Sigli. Tetapi ketika sampai di Teupin Raya, dan menginap di sebuah masjid terbesar di kota kecamatan itu, mereka diintimidasi oleh aparat keamanan di sana dan dituduh sebagai GAM. Rombongan itu akhirnya terpencar-pencar; sebagian pulang kembali, sebagian pergi ke tempat lain, sebagiannya lagi ditampung oleh posko-posko pengungsi yang dibangun oleh kelompok-kelompok mahasiswa dan organisasi nonpemerintah di Teupin Raya. Ini terjadi pada sekitar akhir Maret 1999.

Sebuah peristiwa sedih lainnya menimpa ribuan keluarga pengungsi lain dari desa-desa Tengse, Keumala, Tiro, dan Kotabakti. Selama sekitar 8 bulan mereka pergi dari satu tempat ke tempat lain, dari kamp pengungsian satu ke kamp lainnya. Mereka akhirnya terdampar di Banda Aceh. Sebagian mereka diusir kembali; dan sebagian besar lainnya menjadi pengemis terselubung.

Data PCC lebih jauh juga memperlihatkan bahwa dari 29 kasus gelombang pengungsian sejak Januari 2001 hingga April 2002, melibatkan lebih dari 43 ribu keluarga, terklasifikasi setidaknya tiga alasan yang melatar belakangi terjadinya pengungsian. Pertama, tiga belas kasus menyebutkan alasan karena rumah-rumah mereka dibakar dan tidak bisa lagi ditempati. Pembakaran dilakukan baik oleh aparat keamanan maupun oleh kelompok-kelompok milisi. Yang menarik adalah tidak ada disebutkan bahwa pembakaran-pembakaran itu dilakukan oleh GAM. Tetapi umumnya mereka mengakui pembakaran-pembakaran itu dilakukan setelah di desa mereka terjadi kontak senjata antara aparat keamanan dan pasukan bersenjata GAM. Dari ke-13 kasus itu, 8 di antaranya dilakukan oleh aparat keamanan, dan 5 kasus lainnya dilakukan berbagai kelompok milisi. Kasus-kasus seperti ini misalnya menimpa rombongan pengungsi dari desa-desa Alur Rangan dan Geulumpang Payong (kec. Rantau Selamat, Aceh Timur) pada 1 Januari dan 3 Maret 2001; juga dari Dusun MP7 (Nursalam, Aceh Timur) pada 5 Agustus 2001; atau dari desa Kuala Idie atau dari Ulee Jalan dan Pulau Panyang (Peusangan, Bireun, Aceh Jeumpa) pada 12 Januari 2002.

Alasan terbesar kedua adalah karena penduduk merasa tidak aman. Delapan kasus gelombang pengungsian yang dilatarbelakangi alasan ini menyebutkan beberapa sebab, antara lain tidak bisa lagi berkebun atau bertani, merasa selalu waswas karena keamanan sangat rawan, juga karena takut di desanya banyak ditemukan mayat-mayat tidak dikenal. Kasus-kasus seperti ini misalnya ditemukan pada para pengungsi yang berasal dari Sarahmane dan Lhok Sandeng (Meureudu, Pidie) yang melakukan pengungsian pada Juli 2001; juga dari Buket Nibong, Buket Jrat (Manyang, Aceh Utara) pada 24 Mei 2001; atau pada para pengungsi dari Gampong Pameu, Aceh Tengah, yang lari dari desa mereka pada November 2001; atau pada para pengungsi dari Jiem-Jiem, Abah Lueng, dan Aki Nangeuh di Aceh Tengah (28 Februari 2002)

Alasan ketiga adalah karena merasa takut karena seringnya mereka mengalami berbagai macam intimidasi oleh aparat keamanan; juga karena rumah-rumah mereka ditembaki; atau karena di kampung mereka sering terjadi berbagai macam insiden kekerasan. Alasan-alasan ini muncul pada 8 kasus pengungsian yang berasal dari desa Aleu Mirah dan Seunebok Bayu (Indra Makmur, Aceh Timur), tempat dari mana 124 kk mengungsi pada 10 dan 14 April 2001; dan juga menjadi alasan para pengungsi yang berasal dari permukiman-permukiman UPT, SPI, SPII, dan SPIII (Aceh Barat). Perlu dicatat bahwa kawasan-kawasan permukiman ini sebagian dihuni oleh para transmigran asal Jawa. Alasan seperti itu juga menjadi sebab larinya para penduduk desa dari Aceh Tengah yang mengungsi ke desa-desa Seumirah, Krueng Tuan, Batee Leusong, Batee Pila, dan Aleu Dua di Aceh Utara pada 21 Desember 2001; juga menjadi alasan para pengungsi yang berasal dari desa Buket Makarti, Tanah Luas (Lhokseumawe, Aceh Utara) yang lari pada 28 April 2002.

MEMPEROLEH data-data seperti ini tiba-tiba saya merasa ingin mengunjungi dan melihat seluruh pelosok Aceh. Ada tiga dorongan besar yang ketika itu saya rasakan. Pertama untuk melihat langsung kondisi pengungsi; kedua memahami lebih jauh sebab-sebab dan dimensi-dimensi kekerasan yang menyebabkan tingginya arus ketakutan masyarakat untuk melakukan pengungsian; dan ketiga melakukan sebisa mungkin kontak-kontak untuk menghubungkan teman-teman di PCC ini dengan jaringan organisasi nonpemerintah di Jakarta yang juga mengurusi masalah-masalah pengungsian.

Secara spontan, untuk mersepons dorongan terakhir itu saya kemudian menceritakan tentang sebuah organisasi nonpemerintah di Jakarta, Yayasan Nurani Dunia, yang setahu saya memang memfokuskan kegiatannya untuk isu pengungsian ini. Saya sendiri belum tahu persis apakah Yayasan itu sudah mempunyai program untuk Aceh; atau apakah mereka juga mengidap dampak dari politik isolasionis terhadap Aceh sehingga tidak mempunyai cukup pengetahuan untuk melakukan sesuatu. Terlepas dari dugaan itu saya sendiri bertekad untuk menjajagi kemungkinan menarik perhatian Yayasan Nurani Dunia kepada Aceh.

Mengenai keinginan untuk melihat kondisi pengungsi, saya beruntung karena kemudian diajak untuk mengunjungi sebagian pengungsi yang baru saja tiba di kampus Unsyiah beberapa hari sebelumnya. Singkatnya kami kemudian berangkat ke sana. Ada perasaan tercekat selama sekitar satu jam ketika saya melihat langsung kondisi sekitar 30an keluarga yang sebagian besar terdiri dari perempuan, orang-orang tua, dan anak-anak balita itu. Selama ini saya hanya melihat kaum pengungsi dari foto-foto di koran atau majalah, atau melalui televisi. Di kamar kerja saya di rumah, saya bahkan menempel sebuah foto seorang gadis pengungsi Afghanistan yang saya gunting dari majalah National Geographic beberapa tahun lalu. Foto itu sangat mengesankan saya karena mampu menyimpan refleksi penderitaan seorang perempuan akibat kemelut perang yang sangat mungkin tidak dipahaminya sama sekali. Dengan tatapan matanya yang tajam, ekspresi aneh dari gadis bermata hijau itu selalu membuat saya terkesima pada sejenis penderitaan yang dibungkam … penderitaan pengungsi.

Kini di depan mata saya ada puluhan pengungsi riel dari bangsa sendiri. Perhatian utama saya adalah pada anak-anak mereka. Melihat tubuh dan pakaian mereka yang kotor, menangkap sinarmata mereka yang kosong, badan yang rapuh dan lemah karena kekurangan makanan; di tengah-tengah udara yang gerah dan penuh debu itu, saya begitu tersentak ketika menyadari bahwa mereka telah kehilangan masa kininya sebagai kanak-kanak, sekaligus kehilangan masa depannya karena terenggut kekejaman sebuah peristiwa politik yang juga sama sekali tidak dipahaminya. Saya juga melihat ibu-ibu mereka yang hanya duduk-diam di lantai yang kotor dan berdebu di salah satu ruangan lantai bawah kompleks masjid kampus itu. Mereka tak bisa lagi menjawab di mana gerangan para suaminya. Sudah lebih dari setengah tahun mereka menempuh rute pengungsian masing-masing, karena keberadaan para lelaki yang masih di bawah 60an tahun bisa mendatangkan kecurigaan aparat keamanan di tengah jalan. Itu sebabnya rombongan-rombongan pengungsi selalu saja terdiri dari sebagian besar perempuan dan anak-anaknya, disertai orang-orang tua yang tidak bisa lagi diandalkan tenaganya.

Saya sama sekali tidak mampu mengajukan pertanyaan apapun, bahkan kepada salah seorang di antara mereka, sekadar misalnya untuk berbasa-basi. Apa yang harus ditanyakan mengenai penderitaan mereka dalam perjalanan selama enam bulan dari desa ke desa, melewati hutan, tanpa makanan, diusir dari tempat yang satu ke tempat lainnya, dan senantiasan harus menghadapi ketakutan ketika diinterogasi dan dinista setiap melewati pos-pos keamanan? Apakah pertanyaan mengenai kisah-kisah mereka itu cukup bermoral untuk diajukan? Apakah saya perlu menanyakan nama dan umur mereka? Apakah nama dan umur mereka masih cukup berarti bagi mereka sendiri? Atau asal-usul dan tempat tinggal mereka semula? Untuk apa saya menanyakan hal-hal yang bagi mereka sudah harus dilupakan menjadi kenangan buruk itu? Atau pantaskah saya menanyakan bagaimana semua ini bisa terjadi? Atau nasib mereka selanjutnya di masa depan? Bukankah pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya menunjukkan kebebalan dan ketidakpekaan penanyanya belaka?

Akhirnya, dengan menahan rasa marah dan duka, saya hanya mendengarkan bagaimana mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan Rismawati, Iin, dan Andi – sebagian dengan bahasa Aceh yang tidak saya mengerti. Apa yang hingga sekarang masih saya ingat adalah ekspresi dan nada suara mereka yang getir ketika mengucapkan kalimat-kalimat tertentu … kalimat-kalimat yang sering kali tidak bisa mereka selesaikan sendiri karena keburu terputus oleh isak-tangis. Apa yang juga masih terbayang dalam ingatan saya adalah bagaimana anak-anak mereka yang remaja hanya bisa tercenung mencermati kalimat-kalimat ibu mereka. Ketika itulah saya tidak bisa menyembunyikan diri lagi bahwa mata saya sudah merambang. Ya Allah … apakah Engkau pernah mendengarkan rintihan mereka? Kepada siapakah sesungguhnya Engkau berpihak?

DI KAMAR hotel, setelah pertemuan dengan para pengungsi itu, saya tidak mampu lagi mengerjakan apapun. Perasaan saya gelisah. Setelah saya pamit duluan meninggalkan teman-teman PCC di kompleks masjid kampus itu, saya memang sempat mampir ke Komnas HAM Banda Aceh, dan juga menemui responden penting lainnya di LBH, Tarmizi MSI. Atas rekomendasi Andi Firdaus, pemandu saya, saya memang diminta untuk menanyakan beberapa hal berkenaan dengan situasi gerakan mahasiswa dan organisasi nonpemerintah yang ada di Aceh dewasa ini. Pertanyaan penting dan sangat relevan dengan penelitian saya.

Tetapi masih terpengaruh oleh suasana di pengungsian itu, saya tetap tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan penjelasan-penjelasannya. Tarmizi sendiri adalah Ketua Bidang Hubungan Organisasi di LBH Banda Aceh. Dia juga pernah menjadi Sekjen SMUR (Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat) yang dikenal berorientasi “kiri,” dan dinilai oleh banyak aktifis Aceh sendiri sebagai mempunyai hubungan dengan PRD. Kini, setelah SMUR pecah, bersama teman-teman lainnya ia mendirikan Forum Rakyat (FR) dan menjadi Ketua Komite Pusat Organisasi FR, yaitu organ ekskutif pecahan SMUR itu.

Pandangan-pandangan Tarmizi mengilhami saya untuk membuat sebuah tulisan lain mengenai beberapa aspek gerakan masyarakat sipil Aceh dalam situasi kemelut pasca-DOM sekarang. Dengan pikiran ini, saya mulai menyusun strategi untuk menguber sumber-sumber informasi dan responden-responden yang relevan dengan topik baru itu. Saya kemudian memutuskan untuk membuat catatan terpisah …. Dan Tarmizi adalah sumber pertama dari rencana ini.

Setelah selesai wawancara dengannya saya diajak menonton rekaman video Kongres I Forum Rakyat selama sekitar 2 jam. Terkesan oleh rekaman Kongres yang dihadiri oleh 300an peserta dari berbagai elemen masyarakat itu, saya makin yakin bahwa topik baru mengenai kebangkitan masyarakat sipil Aceh memang penting ditulis. Salah satu signifikansinya adalah untuk menunjukkan bahwa di tengah-tengah perang propaganda antara RI dan GAM, orang luar perlu mendengar suara pihak lain – pihak yang selama ini lebih dilihat sebagai korban atau calon korban potensial dari perang yang sudah amat berkepanjangan itu. Bagaimana sikap mereka, apa yang tengah mereka lakukan, strategi perjuangan damai seperti apa yang sedang mereka usahakan; singkatnya jenis solidaritas dan partisipasi sipil seperti apa yang sedang mereka rajut, harus dipresentasikan secara lebih proporsional. Masyarakat Aceh tidak boleh lagi diisolasi melalui skenario perang yang tidak pernah mereka rancang sendiri. Mereka harus mulai didengarkan dan dipahami, di luar stigmatisasi yang selama ini diciptakan bahwa semua mereka hanya GAM pasif belaka.

MASIH dibayang-bayangi oleh keingintahuan mengenai berbagai macam operasi militer pasca-DOM yang membuat masyarakat ketakutan, secara khusus saya kemudian mulai mengumpulkan berbagai data mengenai berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi sejak 1999.

Data-data pertama kali saya peroleh dari para pengurus Kontras ketika saya mengunjungi mereka keesokan harinya, juga dari teman-teman lain di SIRA (Sentral Informasi Refrendum Aceh), serta dari Koalisi NGO-HAM. Mereka itu saya temui selama dua hari penuh, dilanjutkan dengan diskusi-diskusi panjang di kantor mereka atau di hotel tempat saya menginap. Saya tidak mengalami kesulitan apapun dalam pengumpulan data-data ini karena praktis mereka sendiri sudah memiliki data-base masing-masing. Bahkan mereka juga berjanji akan mengirimkan update-nya setiap bulan. Tiga lembaga yang saya datangi itu memang dikenal telah lama melakukan investigasi dan membuat laporan kasus-kasus pelanggaran HAM, bahkan sejak masa DOM. Mereka juga memberikan kepada saya kronologi atas beberapa kasus; data-data mengenai korban; informasi-informasi mengenai jumlah dan jenis berbagai satuan-satuan milisi bikinan aparat keamanan; foto-foto; juga sebaran pos-pos keamanan militer ataupun polisi, organik maupun non-organik, yang tersebar di seluruh Aceh hasil investigasi mereka; serta – ini yang menakjubkan – sebuah peta yang menggambarkan troop deployment di wilayah Aceh Utara, sebuah wilayah industri di mana berdiri pabrik-pabrik besar milik Amerika dan Jepang.

Saya membutuhkan seharian penuh untuk membaca dan mempelajari seluruh data sekunder ini. Pada saat itulah saya sadar bahwa peneliti manapun yang datang ke Aceh akan merasa lebih efektif bekerja karena tersedianya data sekunder yang sudah “siap-saji” ini. Ini juga yang menyebabkan banyak organisasi internasional seperti Human Rights Watch atau Amnesty International atau TAPOL selalu dengan cepat membuat laporan-laporan mereka mengenai situasi Aceh. Mereka selalu dikirimi updated data mengenai kasus-kasus mutakhir yang terjadi.

Selama membaca dan mempelajari data-data itu, terngiang-ngiang di telinga saya apa yang dikatakan oleh Zairi Karnaini dan Asiah dari Kontras Aceh maupun oleh Muhammad Saleh dan Faisal Ridha dari SIRA, bahwa data-data itu baru sebagian kecil dari yang seharusnya mereka serahkan. Mereka mengatakan belum semua data berhasil diperoleh secara lengkap dan disistematisasi dengan baik. Muhammad Saleh misalnya bahkan mengatakan bahwa jika Jakarta hanya memiliki beberapa peristiwa pelanggaran HAK ASASI MANUSIA berat dalam skala sebesar kasus-kasus Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi I dan II, maka Aceh mempunyai sekitar 40an kasus seperti itu yang terjadi hanya dalam rentang waktu kurang dari empat tahun, sejak 1999. Inipun belum termasuk yang bisa dilacak dari periode DOM.

Ketika saya mendengar ucapan itu, saya merasakan adanya nada propaganda di dalamnya. Tetapi setelah dengan cukup cermat mempelajari data-datanya, saya menjadi terbeliak dan membenarkannya. Data-data lain yang belakangan juga saya dapatkan di Jakarta, termasuk wawancara dengan Otto Syamsuddin Ishak, seorang aktifis Aceh yang hijrah ke Jakarta karena berkali-kali diancam pembunuhan dan kini berada di bawah proteksi Human Rights Watch, semakin membuat saya yakin bahwa apa yang terjadi di Aceh selama empat belas tahun terakhir ini sungguh merupakan rangkaian tragedi tanpa akhir. Berikut ini adalah sebuah tabulasi peristiwa-peristiwa pelanggaran HAK ASASI MANUSIA berat dengan skala yang bisa dianggap besar, yang terjadi sejak Januari 1999.

Tabel 2: Sebagian dari 40an Peristiwa Berdarah di Aceh, Januari 1999 – Maret 2002

Peristiwa

Tempat dan Tanggal Kejadian

Jumlah Korban. Dekripsi Singkat Peristiwa

Sumber Informasi Dokumenter dan Kesaksian (antara lain)

Peristiwa Pusong

Pusong, Aceh Utara, 3 – 4 Januari 1999

17 tewas, 14 luka-luka. Penembakan membabi buta terhadap massa yang berdemo di depan rumah bupati Aceh Utara.

The Jakarta Post, AFP, Reuters, Serambi Indonesia, Surat TAPOL kepada Komisi Tinggi PBB mengenai HAM, 5 Januari 1999

Perburuan Ahmad Kandang

Blang Kandang, Simpang Kramat, Simpang Kkibre, Mirah Mulai,  Matangkuli (Aceh Utara), 4 – 9 Januari

9 tewas, 158 orang ditangkap. Pemburuan ke rumah-rumah penduduk secara brutal disertai penyiksaan dan penembakan

The Jakarta Post, Reuters, Serambi Indonesia

Penyiksaan di Gedung KNPI

Lhokseumawe, Aceh Utara, 9 Januari 1999

40 orang disekap selama 3 hari dan disiksa, 5 orang tewas. Penyekapan bahkan sudah berlangsung 3 hari sebelumnya. Penyiksaan dilakukan oleh lebih dari 50 pasukan

Human Right Watch 1999 World Report: Indonesia Chapter. Beberapa fragmen juga diceritakan dalam Otto Syamsuddin Ishak (September, 2001)

Peritiwa Idi Cut

Meunasah Blang, Idi Cut, Aceh Timur, 3 – 4 Februari 1999

7 tewas seketika, 74 orang luka, 56 ditahan.  Penembakan membabi buta terhadap sekitar 12 ribu jamaah pengajian pada dini hari; korban mati dan pingsan yang diangkut sebuah truk dibuang ke sungai Arakundo

Otto Syamsuddin Ishak,  Peritiwa Idi Cut Aceh: Dari Tragedi ke Impunitas, Cordova, ICCO, dan LSPP, Jakarta,  September, 2001; Human Right Watch 1999 World Report: Indonesia Chapter; wawancara dengan Husni (saksi mata), penduduk Keudu Blang, Idie Rayeuk, Aceh Timur (Banda Aceh, 24 Mei 2002)

Kunjungan Habibie

Banda Aceh, 26 Maret 1999

130 orang luka-luka mata kena semprotan gas air mata dan pukulan rotan polisi

Wawancara dengan Sri Wahyuni (korban), wartawan tabloid Media Kutaraja (25 Mei 2002)

Periatiwa Pulo Rungkom

(?)

Penggranatan ke Detasemen Rudal 001. Versi militer menyebut dilakukan oleh GAM. Tetapi banyak saksi mata menyebut dilakukan oleh para pasukan yang stress.

Empat contoh di antara 27 berita kekerasan  selama Mei hingga Juli 1999 yang disiarkan media massa (a.l.: Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan) yang kemudian dianalisis oleh Eriyanto (Pantau edisi No. 6, Oktober-November 1999)

Peristiwa Alue Nireh

Peureulak, Aceh Timur, tgl: (?)

Penembakan membabi buta oleh TNI yang menyangka truknya ditembak GAM, padahal hanya karena ban meletus; menyebabkan 5 orang penduduk tewas

Peristiwa Peudada

Peudada, Bireun, Aceh Jeumpa, tgl: (?)

Beberapa tenaga medis tewas karena dijadikan perisai dalam konflik bersenjata antara TNI-GAM. Hingga sekarang jumlah korban tidak diketahuipersis.

Peristiwa Rheng Kreung

Aceh Timur (?), tgl: (?)

5 prajurit tewas akibat granat yang meledak sendiri. Versi militer menyebutkan penggranatan dilakukan GAM

Tragedi Simpang KKA

Kreung Geukuh, Aceh Utara, 3 Mei 1999

46 orang tewas, 156 luka-luka. Penembakan membabi buta terhadap massa yang sedang berkumpul di jalan raya. Peristiwa itu diabadikan oleh RCTI yang meliput langsung dan disiarkan pada 4 Mei 1999

Chik-Rini, “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft,” (Pantau, Mei 2002); HRW, “Indonesia: The May 3, 1999 Killings in Aceh,” dalam Human Right Watch 1999 World Report: Indonesia Chapter

Pembantaian Bantaqiah

Beutung Ateuh, Aceh Barat, 23 Juli 1999

57 tewas, beberapa mayat lain yang dibuang belum semuanya ditemukan. Pembantaian dilakukan di pesantren yang menjadi tempat tinggal Tengku Bantaqiah dan para santrinya.

Dyah Rahmany P, Matinya Bantaqiah: Menguak Tragedi Beutong Ateuh, Cordova, ICCO, dan LSPP, Jakarta  Agustus, 2001

Pencegatan, penembakan, peyiksaa, pembantaian masyarakat dalam perjalanan menjelang dan setelah mengikuti SIRA RAKAN (Sidang Rakyat Aceh untuk Perdamaian) yang diadakan di Banda Aceh pada 10 November 2000

Lampulo, Pidie, 7 November 2000

Sekitar 45 kapal boat ditembaki, jumlah tewas tidak diketahui, banyak mayat hilang karena hanyut, beberapa orang luka-luka

Sebagian contoh dari 35 kasus yang terjadi di seluruh wilayah kabupaten Aceh, sebagaimana ditabulasi oleh SIRA; juga dalam tabulasi data yang disusun Kontras Aceh

Simpang Mamplam, Tanah Luas, Aceh Utara, 8 November 2000

150an orang disiksa oleh Brimob; kendaraannya dirusak

Bireun, Aceh Jeumpa, 8 November 2000

50 ribu massa yang berasal dari Geulanggang, Samalanga, Jeunib, dibubarkan dengan tembakan, disuruh pulang, ditembak, 5 tewas, 62 luka-luka

Gunung Kleng, Kaway XVI, Aceh Barat, 8 November 2000

300 bus yang membawa massa dari bebrebagai desa di kecamatan Jeuram, Kuala, dan Beutong diserbu oleh 400 personil tentara. Sebagian bus dirusak

Labuhan Haji, Aceh Selatan, 8 November 2000

Penghadangan konvoi puluhan sepeda motor, 20 sepeda motor ditahan, miinta tebusan Rp 500 ribu per motor

Meulaboh, Aceh Barat, 8 November 2000

Pencegatan bus yang membawa masyarakat dari Meulaboh, 2 orang tewas ditembak, puluhan ditahan

Simpang Kuala, Idie Cut, Aceh Timur, 8 Nov 2000

Penghadangan dan penembakan massa, 10 orang tewas

Ulee Glee, Pidie, 8-9 November 2000

Penghadangan dan penembakan masyarakat di depan Mapolsek Ulee Glee, 30 orang tewas, lebih dari 100 luka-luka; 11 mayat dibiarkan tergeletak di jalanan hingga dua hari, masyarakat dilarang mengevakuasi

Juga didasarkan pada wawancara dengan Sri Wahyuni (saksi mata), redaktur tabloid Media Kutaraja, Banda Aceh, 24 Mei 2002

Kasus Kluet Utara I

Desa Silolo dan Krueng Kalee, Kluet Utara, Aceh Selatan, 27 Desember 2000

Operasi ke desa-desa oleh Brimob, penyisiran, penyiksaan dan penembakan, menyebabkan 5 orang tewas

Laporan dari Pos Bantuan Hukum dan HAM Aceh Selatan, Koalisi NGO HAM Aceh, 8 Januari 2001

Kasus Kluet Utara II

Desa Simpang Empat, Kota Fajar, Kluet Utara, Aceh Selatan, 29 Desember 2000

3 orang diculik satuan Brimob dari Tapaktuan, mayatnya ditemukan satu jam kemudian di desa Rasian, Kluet Utara

Laporan FPPM (Forum Peduli Pemuda Mahasiswa) Aceh Selatan, 4 Januari 2001

Kasus Kluet Selatan

Dusun Payalaba, desa Sapik, Kluet Selatan, Aceh Selatan, 1 Maret 2001

Penembakan seorang wargadi desa Sapik; penculikan atas 5 warga lainnya dari dusun Paya laba dan Pulo Ie, Kluet Selatan. Rangkaian kejadian ini dilakukan ketika diadakan opersi  Brimob BKO, Aceh Selatan

Laporan Pos Bantuan Hukum dan HAM Aceh Selatan, dan Yayan Gampong Hutan Lestari, 3 Maret 2001

Pembantaian di Bumi Flora

Aceh Timur, 9 Agustus 2001

31 orang, termasuk anak kecil, tewas; 7 orang  lainnya luka-luka. Penembakan dan penyiksaan dilakukan di kompleks perumahan karyawan PT Bumi Flora

Human Rights Wtach, “The Killing at Bumi Flora.”

Kasus Simpang Ulim

Di beberapa desa di  Kuala Simpang Ulim, Aceh Timur, 10 – 16 Maret 2002

25 orang orang tewas, 74 unit rumah dibakar oleh aparat keamanan

Laporan Investigasi SIRA, 22 Maret 2002

Diolah dari berbagai sumber

HINGGA sekarang saya terus mencari, mengumpulkan, dan membacai berbagai laporan dan dokumen mengenai berbagai peristiwa yang menimpa penduduk sipil Aceh sejak periode 1999. Mungkin untuk selama beberapa bulan mendatang ini saya akan menjadi spesialis Aceh pasca-DOM. Ada beberapa temuan sementara yang bisa saya simpulkan dari kajian singkat mengenai situasi Aceh selama masa tersebut.

Pada masa DOM yang berlangsung sekitar 9 tahun sejak 1989 – 1998, ada empat kali operasi militer hanya dengan satu nama sandi, “Operasi Jaring Merah.” Operasi-operasi tersebut dikendalikan sepenuhnya oleh komando militer dari Jakarta dengan jumlah pasukan non-organik (BKO – bawah kendali operasi) mencapai 12 ribu pasukan dari berbagai satuan. Pada masa pasca-DOM, setelah secara resmi status operasi militer dicabut sejak 7 Agustus 1998, pengendalian dilakukan oleh komandan kepolisian organik, meski operasinya di tingkat lapangan dilakukan oleh satuan-satuan militer non-organik dari bebagai angkatan. Selama masa pasca-DOM, telah dilakukan 8 kali operasi-operasi keamanan seperti itu dengan nama sandi yang berbeda-beda: (1) Operasi Wibawa [Januari – April 1999]; (2) Operasi Sadar Rencong I [Mei 1999 – Januari 2000]; (3) Operasi Sadar Rencong II [Februari – Mei 2000]; (4) Operasi Cinta Meunasah I [Juni – September 2000]; (5) Operasi Cinta Meunasah II [September 2000 – Februari 2001]; (6) OPKH (Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum) I [Februari – Agustus 2001]; (7) OPKH II [September 2001 – Februari 2002]; dan (8) OPKH III [Maret 2002 – sekarang].

Apa yang paling dikenal selama masa Operasi Wibawa adalah munculnya satuan-satuan Pasukan Pengendali Rusuh Massa (PPRM) untuk melindas berbagai macam demonstrasi anti-militer yang marak dalam suasana euforia reformasi. Satuan-satuan PPRM ini pada kenyataannya banyak melakukan pemburuan terhadap penduduk sipil yang dicurigai sebagai pengikut GAM hingga ke desa-desa. Selama masa operasi ini terjadi tiga peristiwa pelanggaran HAK ASASI MANUSIA berat dalam skala besar, yakni di Pusong (Aceh Utara) pada 3 Januari 1999; penyiksaan massal di Gedung KNPI (Lhokseumawe) pada 9 Januari 1999; dan pembantaian di Idi Cut (Aceh Timur) pada 4 Februari 1999. Sejak dilakukannya operasi ini, mulai terjadi gelombang pengungsian besar-besaran karena efek teror yang dihasilkannya. Secara sinis Operasi Wibawa kemudian mendapatkan terjemahan rielnya sebagai Operasi “Wiranto Bantai Warga Aceh.”

Pemburuan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap terlibat GAM semakin diintensifkan sejak diberlakukannya Operasi Sadar Rencong yang menggantikan Operasi Wibawa. Dalam operasi ini tampaknya ada desain untuk melancarkan operasi ke seluruh Aceh. Pembakaran desa-desa mulai dilakukan di berbagai wilayah dalam periode ini. Pada masa ini pulalah peristiwa pembantaian besar dilakukan di Simpang KKA (dekat Lhokseumawe) pada 3 Mei 1999, dan di pesantren Tengku Bantaqiah di Beutong Ateuh (Aceh Barat). Diduga selama operasi ini tentara-tentara BKO dikirim kembali ke Aceh dalam jumlah yang besar. Pengiriman ulang pasukan-pasukan non-organik dilakukan untuk mengantisipasi menguatnya gerakan masyarakat untuk menuntut referendum yang meledak di Banda Aceh pada 8 November 1999. Operasi Sadar Rencong berakhir Mei 2000.

Selama periode Juni hingga September 2000, Jakarta tampaknya mulai mengubah kebijakannya. Perundingan dengan GAM mulai dilakukan. Tetapi selama diberlakukannya Jeda Kemanusiaan yang dilakukan dua tahap (2 Juni – 2 September 2000, dan 15 September 2000 – 15 Januari 2001) itu, yang dilanjutkan pula dengan kesepakatan penghentian kekerasan yang disebut masa Moratorium (15 Januari – 15 Februari 2001), situasi tetap tidak berubah. Operasi-operasi kekerasan yang dilakukan oleh militer pada kenyataannya terus berlangsung, dan bentrokan senjata antara pasukan TNI dengan GAM masih tejadi di mana-mana. Kesepakatan Jeda Kemanusiaan I & II, dan Moratorium tampaknya hanya merupakan kesapakatan para diplomat sipil. Di lapangan, operasi-operasi teror yang menimbulkan banyak korban terus berlangsung baik yang terjadi selama masa OCM I maupun OCM II. OCM yang semula merupakan singkatan indah dari “Operasi Cinta Meunasah,” berubah menjadi “Operasi Cincang Mahasiswa” atau “Operasi Campak Mayat.” Selama dua kali masa OCM itu, gerakan-gerakan mahasiswa mulai dikucilkan dan ditindas, khususnya di kalangan aktifis pro-referendum. Pembantaian penduduk sipil di Ulee Glee (Pidie) dalam perjalanan menuju Banda Aceh untuk mengikuti Sidang SIRA-RAKAN pada awal November 2000, juga penculikan dan penangkapan para aktifis SIRA, merupakan sebagian contohnya.

Bahkan pada masa ini pulalah mulai terjadi penyingkiran terhadap tokoh-tokoh kritis di kalangan pemuka masyarakat sipil. Pembunuhan terhadap seorang anggota MPR asal Aceh, Nasirudin Daud, pada Januari 2000, serta pembunuhan Rektor IAIN, Prof. Dr. Sofwan Idries yang terjadi sekitar September 2000, berlangsung pada masa ini. Sebagai catatan, pada masa-masa berikutnya, operasi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap kritis menjadi kejadian yang semakin lazim. Peristiwa-peristiwa itu antara lain menimpa Rektor Unsyiah, Prof Dr Dayan Daud yang tewas dibunuh pada September 2001; begitu pula terhadap mantan Ketua DPRD, seorang tokoh militer yang dikenal sangat dekat dengan masyarakat Aceh, Mayjen (Purn.) T. Johan, juga pada waktu yang hampir bersamaan; menyusul kemudian pembunuhan terhadap anggota DPRD I dari Fraksi PPP, Zaini Sulaiman, pada akhir 2001.

Peristiwa-peristiwa seperti itu juga dibarengi dengan pembunuhan atau setidaknya penghilangan tokoh-tokoh organisasi nonpemerintah dan para aktifis kemanusiaan, misalnya seperti yang menimpa tiga orang aktifis PEMRAKA pada Januari 2000; juga pembunuhan seorang aktifis Aceh yang mendidirikan International Forum for Aceh di New York, Jafar Siddiq Hamzah, Agustus 2000; juga atas tiga orang aktifis RATA (Rehabilitation Action for Torture) pada Desember 2000. Pembunuhan juga tak tanggung-tanggung menimpa seorang pengacara dari Koalisi NGO HAM, Sufrin Sulaiman pada Maret 2001; juga yang lebih menggemparkan atas seorang aktifis SIRA, Tengku Kamal yang bahkan ditunjuk oleh Henry Dunant Center sebagai anggota Tim Monitoring Jeda Kemanusiaan. Kasus-kasus seperti ini jelas merupakan semacam teror tersendiri terhadap masyarakat sipil, dan dimaksudkan untuk menumpas cara-cara damai dan demokratis yang mereka upayakan.

Diberlakukannya Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2001 yang dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah Aceh bukan sekadar melalui pendekatan keamanan mulai diberlakukan atas inisiatif Gus Dur sejak awal 2001. Ketika Gus Dur lengser pada Agustus 2001, Megawati melanjutkan kebijakan ini dengan dikeluarkannya Inpres No. 7/2001 dan Inpres No. 1/2002. Tetapi yang terjadi di lapangan sama saja. Dialog dan rekonsilasi dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat, dua kata kunci yang ditekankan di dalam ketiga Inpres itu, tetap saja tidak bisa menciptakan perbaikan situasi. Begitu pula program rehabilitasi sosial, ekonomi, politik, dan hukum di dalam kerangka yang disebut sebagai “langkah terpadu dan komprehensif” untuk meningkatkan keamanan, percepatan pembangunan ekonomi, serta peningkatan kesejahteraan rakyat (sebagaimana terbaca pada diktum 1-4 Inpres No. 1/2002), hanya omong kosong besar belaka. Pada kenyataannya diktum-diktum indah 1-4 itu selalu saja di-bypass oleh diktum kelima yang memberikan tekanan pada kebijakan keamanan baik melalui operasi militer maupun polisionil untuk “mengatasi dan menanggulangi gerakan separatis bersenjata dengan sasaran terpilih.” Diktum kelima ini pulalah yang tampaknya memberikan basis legal pada TNI untuk menggelar operasi-operasi militer. Sebuah represi lama dengan baju baru.

Akibatnya, selama masa operasi yang disebut “Pemulihan Ketertiban dan Hukum” yang didasarkan pada ketiga Inpres itu, pasukan TNI non-organik justru makin banyak dikirim ke Aceh. Kapuspen TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, pernah mengumumkan dalam pidato pelantikannya beberapa bulan lalu bahwa di Aceh kini ditempatkan 32 ribu pasukan TNI. Jumlah ini mengejutkan karena bahkan selama masa DOM saja, Jakarta hanya menempatkan 12 ribu pasukan ABRI – jumlah yang sejauh ini dikemukakan secara resmi oleh para petinggi militer. Secara kelembagaan peningkatan jumlah pasukan TNI menjadi dasar bagi Jakarta untuk membentuk Kodam Iskandarmuda di Banda Aceh pada Februari 2002 lalu, sebuah kebijakan yang kabarnya disokong sepenuhnya oleh Megawati. Kendati demikian, jumlah sesungguhnya pasukan TNI dari berbagai kesatuan yang kini ditugaskan di Aceh, baik yang organik maupun BKO (non-organik), menurut perkiraan para aktifis organisasi nonpemerintah, berjumlah tidak kurang dari 50 ribu pasukan. Muhammad Saleh, salah seorang Presidium SIRA, bahkan memperkirakan sekitar 70an ribu.

Alangkah sulit untuk tidak berburuk sangka ketika melihat fakta bahwa peningkatan eskalasi TNI yang berlangsung pada masa pasca-DOM itu ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah korban yang jatuh di kalangan penduduk sipil. Banyak data yang saya pelajari membuktikan itu. Klasifikasi terhadap data yang dihimpun oleh AACP (Allied Acehnese Civilian for Peace) – sebuah koalisi organisasi nonpemerintah yang terdiri 55 organisasi – untuk hanya melihat empat jenis pelanggaran HAK ASASI MANUSIA berat terhadap penduduk sipil (pembunuhan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penghilangan orang, penyiksaan, dan perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan), menghasilkan gambaran bahwa selama periode pasca-DOM (Agustus 1998) hingga April 2002, telah terjadi 6.949 kasus pelanggaran HAK ASASI MANUSIA berat. Jumlah ini lebih kecil jika dibandingkan dengan data base yang dihimpun bersama oleh Kontras Aceh, Koalisi NGO-HAM, dan LBH Banda Aceh, yang menyebutkan angka lebih tinggi, yakni 7.491 kasus. Perlu diingat bahwa kedua data itu mendeteksi peristiwa yang hanya belangsung selama kurang dari empat tahun. Pada masa DOM yang masa berlakunya lebih lama, yakni 9 tahun, jumlah kasusnya malah lebih sedikit, yakni 6.910 kasus.

Tabel 3: Empat Jenis Kasus Pelanggaran HAK ASASI MANUSIA Berat, Masa DOM vs Pasca-DOM

Jenis Kasus Pelanggaran HAM berat yang Menimpa Penduduk Sipil

Masa DOM

(1989–Agustus 1998)

Pasca-DOM (Agustus 1998 – April 2002)

Versi AACP

Versi Koalisi NGO-HAM, LBH, Kontras

Extra-judicial killings

1.321

2.593

2.511

Arbitrary Detention

1.470

1.552

Disappearance

1.958

420

439

Torture

3.430

2.427

2.969

Rape/Sexual Harassement

201

39

20

Jumlah

6.910

6.949

7.491

Diolah dari sumber data AACP, Koalisi NGO-HAM, dan Kontras

Data-data di atas tentu saja belum mencakup bentuk-bentuk kekerasan lain yang selama ini seringkali menyertai setiap operasi militer di Aceh. Bentuk-bentuk kekerasan lain itu misalnya adalah perampasan, perampokan, dan penjarahan harta benda penduduk; pembakaran rumah-rumah dan bangunan-bangunan publik lainnya; begitu juga efek-efek berikutnya seperti munculnya gelombang-gelombang pengungsian, hilangnya mata pencaharian penduduk, terlantarnya pendidikan anak-anak, meluasnya ketakutan kolektif, dan hancurnya harga diri dan martabat masyarakat Aceh.

Seminggu lamanya saya berada di Banda Aceh. Tetapi data-data yang saya pelajari membuat saya seolah-olah telah pergi ke hampir seluruh wilayah Aceh. Selama seminggu itu pula saya banyak bertemu dengan orang Aceh, khususnya dari lingkungan para aktifis organisasi nonpemerintah. Saya juga sempat pula berbicang-bincang dengan beberapa orang dari jenis yang lainnya, seperti dosen, mahasiswa, dan juga wartawan. Singkatnya saya bertemu dengan orang-orang Aceh yang tinggal di Aceh. Saya sendiri punya banyak teman Aceh tetapi tidak tinggal di Aceh. “Itu perbedaan yang besar sekali,” kata Muhammad Nasir, koresponden SCTV di Lhokseumawe, yang saya temui di lobi hotel secara kebetulan. Nasir adalah satu di antara “orang Aceh yang tinggal di Aceh” yang saya maksudkan itu.

Dalam perbincangan yang semula hanya bersifat basa-basi, kami akhirnya terlibat dalam obrolan panjang hingga dini hari. Kami merasa heran juga mengapa perkenalan pertama ini langsung membuat kami jadi akrab. Ia menceritakan pengalamannya sebagai wartawan yang seringkali meliput peristiwa-peristiwa kekerasan di Aceh, khususnya di Aceh Utara, tempat intensitas konflik antara TNI dan GAM termasuk yang paling tinggi. Sayang sekali beberapa ceritanya itu tidak bisa diungkapkan di sini karena dia sendiri menyatakannya sebagai off the record, dan hanya ingin diceritakannya secara pribadi. “Ini menyangkut keselamatan saya,” katanya.

Salah satu cerita yang dianggapnya on the record dan boleh dikutip adalah mengenai liputannya yang juga pernah disiarkan sebagai reportase feature di SCTV beberapa tahun yang lalu tentang pos-pos keamanan di sepanjang jalan yang menghubungkan antara Lhokseumawe dan Medan, khususnya yang melintasi Kabupaten Aceh Timur. Di jalan lintas provinsi itu terdapat sekitar 90an pos keamanan yang berjejer membentang sepanjang 200an kilometer – sebuah jalur yang memang dikenal rawan. Saya menduga Nasir akan bercerita tentang operasi-operasi militer yang sadis sebagaimana cerita-cerita sebelumnya.

“Tidak. Ini adalah cerita mengenai bisnis keamanan,” kata Nasir. Setiap mobil angkutan barang yang melintasi jalur itu, katanya, selalu harus menyiapkan sekitar Rp 1 hingga 2 juta untuk bisa sampai ke Sumatra Utara. Uang sejumlah itu akan dipakai untuk membayar aparat keamanan yang mencegatnya di setiap pos. Setiap mobil, di setiap pos, rata-rata harus membayar antara Rp 10 – 20 ribu. “Itu tarif siang hari dengan standar harga tahun 1999,” kata Nasir membikin saya penasaran. Di malam hari, para sopir harus menyiapkan uang lebih banyak, sekitar Rp 30 – 50 ribu per pos. Total biayanya adalah antara Rp 2,5 hingga 5 juta untuk sampai ke perbatasan Sumatra Utara.

Kendati demikian tidak untuk semua jenis angkutan diterapkan harga yang sama. Menurut Nasir ada beberapa jenis truk barang yang tarifnya begitu tinggi, misalnya karena mengangkut 7 ton udang dengan nilai total antara Rp 35 hingga 50 juta. Untuk jenis truk-truk barang seperti itu, “biaya-lewat” per posnya adalah sekitar Rp 100 ribu. “Ini memang bisnis yang menggiurkan,” kata Nasir seraya mengingatkan bahwa setiap hari rata-rata lewat sekitar 200an truk angkutan barang seperti itu. Dalam kalkulasinya sendiri ia pernah memperkirakan bahwa setiap pos mempunyai pendapatan per hari rata-rata antara Rp 2 hingga 10 juta. Menurutnya jumlah itu merupakan perhitungan minimal. “Sebab ada bulan-bulan tertentu ketika jumlah truk barang yang lewat bisa mencapai lebih dari 400an.” Menurut Nasir pada masa-masa panen seperti ini biasanya para pasukan itu menjadi sangat ramah, tidak segalak biasanya. Saya tersenyum mendengar kalimat penutup ceritanya itu.

Hasil investigasi Nasir mengenai “bisnis keamanan” ini pernah ditayangkan SCTV pada tahun 2000. Dia sendiri lupa kapan persisnya penayangan pertama dilakukan, lagi pula setelah itu menurutnya SCTV beberapa kali menyiarkan fragmen-fragmen rekamannya itu untuk gambar-gambar ilustrasi yang disisipkan dalam berita mengenai Aceh. Bagi Nasir sendiri, pengalaman investigasi itu pernah membuatnya merasa ketakutan karena setelah itu ia kemudian menerima beberapa kali telepon gelap yang berisi ancaman-ancaman. Ancaman-ancaman telepon semacam itu memang bukan hanya untuk penyiaran beritanya mengenai cerita di atas. Beberapa hasil investigasinya juga pernah membuat seorang pejabat militer setingkat Korem yang dia kenal akrab menjadi marah akibat ditegur seorang jenderal dari Jakarta setelah melihat beberapa laporan Nasir yang ditayangkan SCTV. Nasir sendiri menyadari arti kemarahan itu sehingga selama beberapa bulan ia pernah harus “tiarap” dan tidak berani membuat laporan-laporan yang dianggap sensitif. Sayang sekali bagian tentang ini termasuk pesan off the record-nya sehingga tidak bisa diceritakan ulang. Saya menghormati hak untuk menjaga keselamatan profesinya itu.

Bagi saya sendiri, Nasir adalah sejenis wartawan yang langka dibandingkan wartawan-wartawan lain di Aceh yang hanya duduk di belakang meja menunggu berita yang masuk atau sekadar mencari konfirmasi kepada kedua sumber, pejabat TNI atau jurubicara GAM. Sudah lama memang para wartawan di Aceh dikeluhkan karena tidak berani melakukan investigasi-investigasi langsung atas berita-berita yang disiarkannya. Seorang kawan menilai pola umum pemberitaan koran lokal Aceh sebagai “koran pantun,” karena hanya menyiarkan statemen dan kontra-statemen – bak pantun-berbalas-pantun – antara TNI dan GAM, atau sebaliknya. Hampir setiap hari koran lokal Aceh digunakan sebagai perang statemen antara kedua belah pihak. Dalam keadaan seperti ini, koran lokal Aceh kemudian berubah menjadi corong propaganda yang melayani dua kepentingan. Gambaran mengenai Aceh kemudian seolah-olah hanya terdiri dari dua kutub itu saja. Sulit menemukan adanya wacana lain yang mempunyai suara berbeda. Kendatipun wacana itu diperdengarkan dengan keras, misalnya oleh kalangan organisasi nonpemerintah.

Koran lokal di Aceh seringkali memang menempatkan organisasi nonpemerintah sebagai kepanjangan aspirasi GAM. Dalam peta pemberitaan menyangkut isu-isu Aceh, sikap organisasi nonpemerintah dianggap lebih pro-GAM daripada pro-RI. Pemetaan semacam ini menyebabkan munculnya ketegangan antara wartawan dan para aktifis organisasi nonpemerintah. Para aktifis organisasi nonpemerintah seringkali mendesak para wartawan melakukan investigasi langsung menyangkut berita-berita kekerasan dan menyiarkannya secara independen di luar politik pemberitaan yang bergaya “pantun” itu. Para wartawan di pihak lain mengecam sikap organisasi nonpemerintah itu sebagai sikap sok heroik dan tidak memahami kesulitan-kesulitan yang dialaminya; dan bahkan kemudian mencurigai beberapa kalangan organisasi nonpemerintah sebagai sekadar menyuarakan propaganda GAM. Ketegangan semacam ini hingga sekarang masih terus berlangsung. Ini yang menyebabkan investigasi-invetigasi yang dilakukan organisasi nonpemerintah lebih sering muncul dalam media massa asing ketimbang media lokal.

Dalam pola hubungan yang tidak harmonis antara wartawan dan aktifis organisasi nonpemerintah inilah, peranan investigasi-investigasi Nasir harus dilihat sebagai jenis pekerjaan yang bisa merujukkan dua profesi itu. Nasir mempunyai keuntungan tertentu untuk peranan seperti ini. Pekerjaannya sebagai reporter televisi yang lebih menyajikan data visual-faktual, tidaklah seperti pekerjaan redaktur media-cetak yang lebih rentan terhadap data verbal-literal. Ia juga tidak bekerja untuk media massa lokal, dan karena itu audiensnya juga bukan sekadar audiens lokal. Berbeda dengan redaktur koran lokal, seorang reporter televisi nasional lebih melayani audiens nasional ketimbang harus mempertimbangkan otoritas-otoritas lokal. Tetapi lebih dari semuanya itu keuntungan Nasir yang terbesar adalah inisiatif-insiatifnya untuk membuat liputan-liputan investigatif tentang peristiwa-peristiwa Aceh sendiri sebagai peristiwa nasional, bukan sekadar sebagai peristiwa lokal.

Objektivitas pekerjaan investigasi jurnalistik jelas penting dirujuk sebagai standar acuan dalam pekerjaan pengumpulan data yang menjadi prioritas organisasi nonpemerintah. Namun demikian agenda politik pemihakan untuk advokasi tidak perlu mesti harus dinilai negatif sebagai propaganda politik. Dalam suasana konflik yang intens seperti di Aceh, merujukkan dua sifat pekerjaan ini memang tidak selalu mudah. Objektivitas pekerjaan jurnalistik sering terperangkap ke dalam sikap netral yang bersifat a-politik, sementara advokasi dan pemihakan yang berkomitmen seringkali pula dianggap sebagai sikap partisan untuk membela salah satu pihak.

Tetapi di tangan Nasir, “konflik” semacam ini tidak pernah menyentuhnya. Ia menceritakan secara visual-faktual apa yang dilihatnya. Alangkahnya banyaknya dimensi-dimensi peristiwa Aceh bisa terungkap jika peranan media massa lokal berhasil mengungkap seperti yang berhasil diungkap melalui investigasi-investigasi semacam itu. Investigasi-investigasi seperti itu pulalah yang sebenarnya juga dilakukan oleh kalangan organisasi nonpemerintah.

Sumber-sumber saya sebelumnya di Kontras juga cukup banyak memberi ilustrasi mengenai kasus-kasus serupa seperti yang diceritakan Nasir menyangkut liputan tentang pos-pos keamanan itu. Ini misalnya tentang “pengutipan” yang dilakukan aparat keamanan terhadap para nelayan di tempat-tempat pendaratan ikan (TPI) di pelabuhan-pelabuhan Lampulo (Banda Aceh), Laweung (Pidie), Idie (Aceh Timur), Pusong (Aceh Utara), Susoh (Aceh Barat Daya), atau Labuhan Haji (Aceh Selatan). Jumlah “kutipan” kepada setiap nelayan itu pun tergantung dari jumlah ikan yang dibawanya. Satu tong ikan misalnya dikenai tarif antara Rp 200 hingga 300 ribu. Dalam kasus mereka menolak membayar pungutan itu, seperti yang pernah terjadi di Susoh dan Laweung, perahu-perahu mereka dibakar. Mereka tinggal pilih: bakar atau bayar. Jika tidak memilih keduanya, mereka terpaksa harus mencari tempat pendaratan lain.

Pasukan-pasukan lain yang bertugas di sekitar hutan, lain lagi ceritanya. Sumber “sabetan” mereka adalah pohon-pohon besar milik penduduk yang setiap saat harus direlakan untuk ditebang untuk mereka jual secara glondongan. Rata-rata setiap pohon akan dibeli oleh pabrik kayu seharga Rp 2 – 3 juta. Para pemilik pohon biasanya hanya mendapat bagian sekitar Rp 500 ribu per pohon, atau tidak sama sekali.

Cerita lain adalah mengenai satuan-satuan yang ditempatkan di kompleks-kompleks industri seperti di Exxon, Arun, PIM, atau KKA – semuanya di Aceh Utara. Sebuah laporan yang saya baca dari publikasi TAPOL menyebutkan bahwa khususnya di “proyek-proyek vital” itu ditempatkan satuan-satuan pasukan yang lebih elit, misalnya seperti Kopassus, Kostrad, dan Marinir. Menurut laporan itu, sekurang-kurangnya ada 10 ribu pasukan ditempatkan di 77 lokasi. Para pasukan ini biasanya juga menerima “uang makan” Rp 60 ribu per hari untuk tingkat prajurit, jauh melebihi gaji bulanan resminya yang hanya sekitar Rp 650 ribu.

Menurut Tempo Interaktif (21 November 2000), sebagaimana dikutip sebuah laporan lain yang ditulis George Junus Aditjondro, setiap bulan Exxon Mobil mengeluarkan biaya medekati angka Rp 5 milyar untuk dana operasional tentara dan polisi yang bertugas di Aceh. Dana ini meliputi uang saku prajurit, fasilitas transportasi, kantor, barak, telepon, mess, dan lain-lain. Tentu jumlah itu tidak seberapa dibandingkan yang diperoleh perusahaan migas raksasa itu sebagai pendapatan bersih yang mencapai AS $ 17,7 milyar per tahun. (Aditjondro, 2001).

KETIKA tulisan ini mendekati alinea-alinea terakhirnya, saya melihat berita di televisi bahwa Presiden Megawati baru saja meresmikan Monumen Seroja untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur di Timor Timur. Para pahlawan yang ingin dikenang melalui monumen itu adalah pasukan-pasukan TNI yang tewas ketika melaksanakan “Operasi Seroja.” Jasad para pahlawan itu terlanjur dikuburkan di Timor Timur, dan tetap akan di sana. Megawati tampak menahan tangis ketika mengucapkan pidato peresmian itu. Suasana upacara menjadi hening. Para janda pahlawan meneteskan air mata.

Seperti halnya Timor Timur, Aceh adalah medan perang bagi prajurit-prajurit TNI. Negara akan menjadikan para prajurit yang mati di dua medan laga itu sebagai pahlawan. Tetapi orang Aceh mempunyai lelucon mengenai para prajurit TNI – sebuah lelucon yang secara otentik menjadi pengalaman mereka yang riel. “Mereka datang ke sini dengan M-16, dan pulangnya membawa 16-M,” kata mereka. Mungkin ini adalah lelucon yang keterlaluan. Para jenderal fasis bisa jadi akan marah besar mendengarkan lelucon yang sarkas itu.

Saya tidak tahu kapan Presiden Megawati akan meresmikan “Monumen Sadar Rencong,” atau “Monumen Cinta Meunasah,” misalnya, untuk mengenang para pahlawan yang gugur ketika menjalankan operasi-operasi dengan nama-nama itu di Aceh. Sekarang ini Aceh, tidak seperti Timor Timur, belum lepas dari Indonesia. Mungkin karena itu monumen-monumen tersebut tidak akan pernah dibangun di manapun. Panglima TNI yang baru, Jenderal Endriartono Sutarto, begitu juga Kepala Staf AD yang baru, Jenderal Ryamizard Ryacudu, sudah menyatakan tekad untuk mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, termasuk Aceh, tentu saja.

Tekad seperti ini tampaknya menyiratkan suatu rencana besar agar perang di Aceh dilanjutkan, dengan cara yang lebih efektif, dengan semangat yang lebih nasionalistik, dan dengan dana yang lebih besar. Sebuah berita lain yang saya baca belakangan, TNI telah mengajukan anggaran mencapai 1 trilyun rupiah untuk membiayai operasi-operasi kemananan. Permintaan itu diajukan akhir Juni lalu (Republika, 29 Juni 2002). Bagi Jakarta, Aceh terlalu penting untuk dilepaskan. Lepasnya Aceh betul-betul akan mengguncang konsep kebangsaan Indonesia. Tetapi yang lebih penting – atau tepatnya yang lebih fungsional – dari semua itu, seperti dikatakan sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch, bagi Jakarta wilayah ini sungguh-sungguh memiliki nilai vital baik dalam arti politis, strategis, maupun ekonomis. Di bawah Megawati, yang senantiasa melihat konsep persatuan Indonesia secara sangat mitis, upaya mempertahankan wilayah Aceh tampaknya akan dilakukan dengan mempertaruhkan apa saja. Perang hanya merupakan kelanjutan dari pandangannya yang mitis itu.

Bagi Aceh sendiri, ini adalah pengalaman perangnya yang keempat, setelah dalam “Prang Atjeh” yang pertama mereka berhadapan dengan Belanda (1873 – 1914), kemudian mengalami “Perang Cumbok” pada 1940-an akibat ketegangan antara kaum agamawan dengan kaum ulebalang, dan belakangan terlibat dalam DI/TII (1953 – 1964) yang dianggap sebagai ungkapan perlawanan Daud Beureuh kepada Sukarno. Tetapi benarkah perang yang dilancarkan TNI sejak masa DOM hingga sekarang, sungguh-sungguh merupakan perangnya masyarakat Aceh? Mengapa masyarakat Aceh terus saja dipojokkan, difait-acomply, diGAM-GAMkan, dicolok-colok dan diprovokasi untuk melakukan perang?

Saya sendiri berpandangan, kekuatan-kekuatan masyarakat sipil di Aceh sekarang lebih menginginkan cara-cara penyelesaian yang lebih beradab dan demokratis ketimbang melalui perang. Mereka tidak pernah menginginkan sebuah peperangan yang kotor, yang biadab, yang tidak bermartabat, sebagaimana yang sejauh ini sudah mereka saksikan sendiri.*

by:AE Priyono