Mengenang Hatta

John Nedy S.

Mon, 5 August 2002

DI PASAR Bawah Bukittinggi, Adams Robert, seorang warga Virginia, Amerika Serikat sedang bingung. Ia terus membolak-balik buku panduan wisata yang dibelinya di bandar udara Soekarno Hatta,

DI PASAR Bawah Bukittinggi, Adams Robert, seorang warga Virginia, Amerika Serikat sedang bingung. Ia terus membolak-balik buku panduan wisata yang dibelinya di bandar udara Soekarno Hatta, Jakarta. Robert sedang mencari alamat rumah kelahiran Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan dan wakil presiden pertama Republik Indonesia.

Pria ini sering berkunjung ke makam George Washington, presiden pertama Amerika Serikat, di kawasan Mount Vernon, Virginia. Rumah Washington besar sekali dan masih utuh, termasuk kamar budaknya. Pengelola rumah mempertahankan pohon yang tumbuh di halaman, dapur asli, kamar tempat Washington mulai pingsan juga ranjang kematiannya.

Kini Robert ingin melihat peninggalan yang sama dari tokoh Indonesia sekaliber Hatta.

“Hei ….” sekonyong-konyong ia memanggil remaja yang sedang menunggu angkutan umum, berseragam putih-biru.

“Siapa nama kamu?” tanya Robert, dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.

“Anto, Sir.”

“Kamu orang bisa bantu ai. Ai mau … ke sini,” katanya, sambil menunjuk lokasi rumah kelahiran Bung Hatta.

Anto terlihat berpikir keras, tapi kemudian menjawab “tidak tahu” sambil memutar badan, lalu pergi.

Si bule kecewa, tapi tak berlangsung lama. Seorang pengendara motor menunjukkan arah dan kendaraan yang harus ia tumpangi untuk mencapai rumah tersebut.

“You naik saja mobil ini, turun di pasa Banto. Dari sana cukup jalan kaki. Rumah ini tidak jauh dari sana.”

“What this pasa Banto?”

“Sorry, pasa itu artinya pasar. Namanya pasar Banto.”

Robert bukan peneliti atau sejarawan, hanya pelancong biasa yang tengah mengisi masa liburnya. Saya bertemu dia saat berkunjung ke rumah Bung Hatta.

RUMAH kelahiran Hatta berdiri di atas lahan seluas satu hektar, terletak di kawasan padat, 500 meter dari pasar Banto. Posisinya tak seberapa jauh dari Jam Gadang yang menjadi maskot kota Bukittinggi.

Dari arah terminal Aua Tajungkang, bila tak jeli menengok ke kiri jalan, niscaya rumah ini akan terlewati. Bangunan berlantai dua, berdinding kayu, dan beratap seng ini tak mencolok mata. Kecuali papan nama yang dipasang di pintu muka, tak ada isyarat lain. Rumah tersebut seakan tenggelam oleh rumah-rumah dan toko megah di sekitarnya.

Yayasan Pendidikan Bung Hatta, lembaga yang juga mengelola Universitas Bung Hatta, telah merenovasi rumah ini. Yayasan tersebut didirikan sejumlah orang, antara lain Hasan Basri Durin—mantan gubernur Sumatra Barat, walikota Padang Zuiyen Rais, dan Alfian Lains, rektor Universitas Andalas.

Upaya ini tak mulus pada awalnya, karena lahan tempat rumah itu berdiri sudah hak milik orang lain. “Kita harus membayar ganti rugi demi keperluan ini,” tutur Jufri, walikota Bukittinggi pada saya. Pemerintah kota Bukittinggi baru berhasil membebaskan tanahnya pada September 1994.

“Membangun kembali rumah kelahiran Bung Hatta bertujuan bukan saja sebagai salah satu usaha untuk mengenang dan menghargai jasa-jasa Bung Hatta, melainkan juga dimaksudkan untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangannya,” kata Efrizal Sofyan dari Universitas Bung Hatta.

Tak mudah membangun kembali rumah tersebut, karena keadaannya sudah jauh berbeda dibanding saat penghuninya masih tinggal. Tapi, pihak Universitas Bung Hatta melibatkan tenaga ahli untuk merekonstruksi bangunan beserta isinya itu. Foto-foto lama dan hasil wawancara dengan berbagai pihak, termasuk kerabat dekat dan masyarakat sekitar lokasi jadi bahan rujukan.

“Hal ini ditempuh dengan jalan menyusun sebuah skenario penghuni, tingkah laku dan kebiasaan yang ada pada waktu itu,” kata Krisnamurti Murad, anggota tim perencana.

Menurut Murad, jenis konstruksi yang dipakai rumah kelahiran Bung Hatta sudah tak lazim ditemukan sekarang, seperti ukuran kayu, sambungan kayu, dan perlakuan terhadap material tradisional. Untunglah, beberapa perabot asli masih disimpan pihak keluarga, seperti tempat tidur kuningan dari Inggris, tempat tidur besi, dan tempat tidur ukir.

MEJA kayu dengan empat kursi yang mengelilinginya menghias ruang dalam. Satu-satunya jendela membuat orang bisa melihat dua lumbung padi yang terletak di sebelah kamar bujangan. Jendela yang terbuka itu memberi pemandangan langsung ke arah dapur, kamar mandi, ruang bendi, dan sumur.

Potret-potret tua berbagai ukuran, memenuhi dinding. Silsilah keluarga Hatta turut pula dipajang, diapit potret Saleh Sutan Sinaro, pamannya, dan Saleha, ibunya, di dinding utara. Salinan pidato Wakil Presiden Adam Malik saat pemakaman Bung Hatta pada 15 Maret 1980, salinan teks proklamasi dan teks asli bertulis tangan yang penuh coretan terpampang di dinding selatan.

Tangga ke lantai dua berada di ruang makan. Di atas rak kusam dekat meja makan ada sukat padi, gantang beras, teko tua, dan tudung saji. Namun, di antara benda-benda usang itu terdapat benda yang sama sekali tak punya kaitan dengan masa lalu Hatta. Tabung pemadam api!

“Itu untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran. Rumah di kawasan ini cukup padat, jadi kemungkinan kebakaran itu bisa terjadi setiap saat,” kata Hasan Basri, pegawai Departemen Pariwisata yang bertugas di situ.

Kesan tak terurus memancar dari lantai dua. Kursi goyang teronggok di atas tikar bambu yang sudah usang. Di dinding ada lukisan besar Bung Hatta, juga fotokopi sejumlah foto kegiatannya semasa hidup, seperti saat menghadiri Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda dan pemilihan umum pertama pada tahun 1955. Sehelai pakaian berwarna kecoklatan milik Hatta ikut dipajang di ruang tersebut. Ada dua kamar di lantai ini, yang satu menghadap ke timur dan yang lain menghadap ke barat.

Dalam kamar barat tersimpan lemari berisi dua sendok kecil, dua sendok besar, dan dua garpu. Mungkin, inilah peralatan makan yang masih tersisa dari penghuninya. Hatta lahir di kamar ini pada 12 Agustus 1902, putra pasangan Muhammad Djamil dan Saleha.

Hatta adalah keturunan kedua ulama Batuhampar bernama Syech Abdurrahman. Hatta kecil tinggal di rumah tersebut dari 1902 sampai 1913, sebelum pindah ke rumah baru di seberangnya. Namun, rumah kedua itu sudah tak ada lagi. Rumah lain berdiri di atasnya. Sebagian pekarangan rumah tersebut bahkan digusur untuk pelebaran jalan yang dinamai Jalan Soekarno-Hatta.

Banyak kenangan masa kanak-kanak Hatta terukir di rumah tadi. Ia juga belajar tentang disiplin, tepat waktu, dan kasih sayang di sana.

Dalam buku Mohammad Hatta: Biografi Politik yang ditulis Deliar Noer, ada bagian tentang masa kanak-kanak ini. Hatta bertutur soal Pak Gaek, kakeknya yang bernama lengkap Haji Marah. Sang kakek berkecimpung dalam usaha angkutan pos atau dikenal kontraktor pos pada masa itu. Wilayah jangkauannya meliputi Bukittinggi, Lubuk Singkapi, Pasaman, bahkan sampai Sibolga di Sumatra Utara. Seluruh surat dan barang yang akan diantar diletakkan dalam sebuah kamar di rumah, yang beralih fungsi jadi gudang.

Hatta menyaksikan sendiri cara kerja kakeknya yang bertumpu pada ketepatan waktu, ketelitian, disiplin tinggi, dan pengorganisasian yang rapi. Hal ini berpengaruh besar dalam hidupnya.

Pada 1913 Hatta meninggalkan Bukittinggi. Ia melanjutkan sekolah ke Padang. Enam tahun kemudian, ia merantau ke tanah Jawa.

ADAMS Robert sedang mengitari ruangan demi ruangan di rumah itu. Tiba-tiba ia bertanya pada pegawai yang bertugas, “Yang tinggal di ruangan belakang siapa?”

“Itu keluarga salah seorang petugas di sini,” jawab yang ditanya.

Robert mengangguk-angguk. Tapi, tak lama kemudian ia kaget alang-kepalang. Di tanah yang lumayan lapang, di antara bangunan utama dengan bangunan belakang, di samping lumbuang (lumbung) padi, ia menemukan seonggok kotoran manusia.

“Oh … my God,” kata Robert, cepat-cepat menutup hidung dan menaiki tangga ke lantai atas.

Saya sempat menanyakan lagi tentang penghuni ruang belakang yang dulunya merupakan kamar bujangan itu. Tapi, Edi Yuswir, pegawai pariwisata yang diperbantukan di sana enggan menjelaskan lebih jauh. “Itu keluarga salah seorang petugas yang menjaga rumah ini,” katanya, singkat.

Robert mengatakan itu tak akan terjadi kalau rumah tersebut tak dijadikan rumah tinggal. “Cukup dengan hanya menyediakan penjaga di malam hari. Siang hari ‘kan ada petugas. Jadi tidak perlu ada yang sampai tinggal di sini, sehingga kebersihan dan kenyamanan pengunjung tetap terjaga,” katanya pada saya.

“Kita memang berharap, rumah kelahiran itu tidak dijadikan sebagai tempat tinggal. Sebab, itu bisa merusak suasana,” ujar Efrizal Sofyan, panitia Peringatan Seabad Bung Hatta di Padang.

Soal kebersihan dan kenyamanan pernah juga disinggung Ramadhan K.H. dan Taufik Ismail, keduanya sastrawan Indonesia, yang berkunjung ke rumah itu pada 19 Mei lalu. Dalam buku tamu, Ramadhan dan Taufik, seperti sejumlah pengunjung sebelumnya menulis, “Suasananya bagus, tapi kebersihan harus ditingkatkan lagi.”

Menurut Efrizal, Universitas Bung Hatta tak memiliki kewenangan langsung untuk melakukan perubahan seperti yang diinginkan Robert dan pihak-pihak lain. Secara kelembagaan, universitas Bung Hatta tak berhubungan langsung baik secara organisasi maupun fungsional dengan aset-aset Hatta seperti rumah kelahiran dan perpustakaan umum.

“Pengelolaan rumah itu diserahkan ke pemerintah kota Bukittinggi. Merancang dan membangun memang universitas ini, sebagai bentuk partisipasi karena telah memakai nama besar Bung Hatta. Memang, keluarga Bung Hatta tidak meminta atau menerima royalti dari pemakaian nama ini, tapi setidaknya kita harus tahu diri juga. Apalagi, Bung Hatta adalah tokoh besar. Sudah sepantasnya kita melakukan ini,” katanya.

Ia mengharapkan momentum peringatan 100 tahun Bung Hatta bisa jadi wahana pencarian solusi dari berbagai masalah yang berkaitan dengan revitalisasi aset Bung Hatta yang ada di Indonesia, khususnya Sumatra Barat.

Menurut Alfian Zein, panitia bidang khusus revitalisasi aset diberi anggaran sebesar Rp 300 juta.

“Revitalisasi aset menyangkut rumah kelahiran, pustaka umum, dan Taman Hutan Raya. Dengan cara ini, kita berharap aset-aset Bung Hatta bisa terangkat kembali,” ujar Zein.

NUN jauh di atas Ngarai Sianok, pemandangan begitu indah. Sepasang muda-mudi duduk di bawah pohon melepas penat sambil bercanda. Di sebelahnya, di bawah pohon lain, seorang wanita muda sedang menyuapkan nasi ke mulut anaknya. Beberapa pedagang keliling dan penjual cenderamata sibuk menjajakan dagangan, “Tigo saribu. Nan iko, limo ribu ciek. Mari-mari, singga dulu buk.”

Seorang pedagang memegang lengan pelancong yang lewat, dan mengajaknya ke dalam toko. Ia juga menawarkan dagangannya kepada seorang turis asing, wanita muda, sendirian.

“Good, good. Your’re right. This product’s made in Bukittinggi,” katanya, sambil memperlihatkan miniatur Jam Gadang. Turis itu menggeleng berkali-kali.

Pada hari Minggu atau hari-hari libur, Ngarai Sianok ramai dikunjungi orang. Di sini ada benteng peninggalan Jepang, yang disebut lubang japang, tempat rakyat ditawan dan disiksa selama romusha.

Tak jauh dari situ sebuah bangunan berarsitektur Minangkabau berdiri megah. Bagi pemakai kendaraan bermotor yang berkecepatan lumayan tinggi, bangunan ini tak akan terlihat, karena letaknya tepat di bawah tebing dan jalan raya.

Bangunan berlantai dua itu berlumut. Halamannya dipenuhi rumput liar. Atapnya dari seng yang sudah berkarat. Papan nama kecil yang terpasang di pintu masuk berbunyi, “Perpustakaan Mohammad Hatta.” Perpustakaan ini sunyi. Pengunjung tak datang tiap hari. Kebanyakan dari mereka itu guru dan anak sekolah.

Ruang baca terletak di lantai dua, berukuran 20×20 meter persegi. Separo kaki meja dan kursi sudah habis dimakan rayap. Rak-rak yang berjajar di situ memuat puluhan ribu buku. The Encyclopedia Britannica, The Collected Works of Abraham Lincoln, dan Ensiklopedia Indonesia termasuk di dalamnya. Kebanyakan pengunjung datang membaca novel. Boleh dikatakan hampir tak ada yang membaca karya-karya Hatta, yang berjumlah sekitar 50 judul di situ, dan ditaruh di lemari khusus. Buku-buku itu antara lain berjudul Patriot of Patriot, Sekitar Proklamasi, dan buku filsafat Pengantar Alam Pikiran Yunani, yang terdiri dari tiga jilid, dan Indonesia Merdeka. Semua buku Hatta berasal dari sumbangan Meutia, putri sulungnya.

“Bagaimana kami bisa membaca karya-karya buku Bung Hatta, kalau lemarinya selalu terkunci? Lagi pula, ruang bacanya juga kurang kondusif. Buku-buku tidak tertata rapi,” kata Andy Rahman, seorang siswa sekolah menengah kejuruan.

Syahrial, kepala perpustakaan, punya alasan tersendiri. Langkah tersebut dilakukan sebagai bentuk penyelamatan terhadap karya Hatta, katanya, “Apalagi yang akan dinikmati generasi mendatang, kalau hari ini karya-karya besar Bung Hatta sudah hilang.”

Syahrial boleh berdalih, tapi fakta berkata lain. Buku-buku Hatta justru bernasib amat menyedihkan. Buku-buku itu berjamur.dan lapuk dalam rak. Jangankan buku Hatta, buku kiriman dari para donatur saja terbengkalai di atas meja-meja petugas perpustakaan, dibiarkan berdebu.

“Buku sedemikian bernilai, justru dibiarkan lapuk, dan berdebu di dalam lemari,” kata Tularji Alpapali, alumnus Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol, Padang.

Ia baru pertama kali datang ke perpustakaan Bung Hatta dan langsung terkaget-kaget melihat kondisinya.

“Selama ini kita hanya memperoleh dana sebesar Rp 5 Juta. Tidak kurang dan tidak lebih. Kita punya enam pegawai,” tutur Syahrial.

Perpustakaan itu dikelola oleh pemerintah kota Bukittinggi. Dananya dari sana digunakan untuk membayar gaji pegawai dan memenuhi biaya operasional, yang jelas tak mencukupi.

“Selama ini kita hanya mengandalkan perolehan buku dan majalah dari sumbangan. Harian Kompas, Singgalang, Haluan, atau Neraca misalnya kita peroleh setelah kita berkirim surat ke redaksi masing-masing,” lanjutnya.

SIANG di pasar Atas kawasan Jam Gadang, Bukittinggi. Kehidupan belum berubah. Pedagang tetap berusaha merayu pengunjung agar masuk toko untuk sekadar melihat-lihat atau membeli dagangannya. Hari itu, Sabtu, akhir pekan yang indah. Beberapa remaja putri tersenyum-senyum sambil meliuk-liukkan badan, bergaya bak foto model. Salah seorang yang berkerudung kecoklatan menekan tombol kamera saku. Klik … klik … klik.

Sekitar 500 meter dari sana, berdiri gedung Tri Arga. Gedung pertemuan yang bersebelahan dengan Hotel Novotel Bukittinggi ini juga disebut Istana Bung Hatta. Banyak perhelatan pernah berlangsung di gedung ini, dari pertemuan lokal sampai internasional.

Selain sebagai tempat pertemuan, gedung ini juga menyediakan tempat bermalam. Fasilitas yang ada juga terbilang mewah. Kamar tidur besar, memuat dua tempat tidur besar, dan berpendingin. Tentu tak sembarang orang boleh menginap karena Istana Bung Hatta dikelola pemerintah daerah setempat. Pejabat-pejabat tinggi dari Jakarta pernah menginap di sana.

Megawati Soekarnoputri beberapa kali pernah berkunjung ke Istana Bung Hatta saat masih wakil presiden. Kunjungan pertamanya saat ia bertemu tokoh-tokoh masyarakat Sumatra Barat yang sedang mempersoalkan pemisahan PT Semen Padang dari manajemen PT Semen Gresik. Tapi, ia tak bermalam. Megawati dan rombongan memilih tidur di hotel berbintang Novotel.

Hari itu, 15 Juni 2002, pelataran parkir Istana Bung Hatta kembali dipenuhi mobil-mobil berbagai merek. Seminar “Peringatan Seratus Tahun Bung Hatta” tengah berlangsung di salah satu ruang. Ada sejumlah pembicara yang tampil, termasuk Alfian Lains dari Universitas Bung Hatta, Maulana Ibrahim, deputi gubernur Bank Indonesia, dan Sri Edi Swasono dari Universitas Indonesia yang juga menantu Bung Hatta.

Mereka berbicara tentang konsep ekonomi kerakyatan ala Hatta. Sri Edi mengungkap perlunya Indonesia mencapai kemerdekaan dan berdaulat dalam bidang politik dan ekonomi, sesuai pandangan Hatta.

Posisi Indonesia yang dieksploitasi menjadi perkebunan besar dan penyedia buruh murah di masa Hindia harus diubah menjadi negara yang mengutamakan peningkatan tenaga beli rakyat dan tenaga produktif rakyat berdasar kolektivisme dalam sistem perekonomiannya. Artinya, “sama sejahtera,” jelas Sri Edi, mengutip pidato Hatta, pada 3 Februari 1946 saat berbicara tentang ekonomi Indonesia di masa datang.

Satu abad Bung Hatta merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia untuk mengenang juga menjunjung tinggi salah satu proklamator Republik Indonesia.

Peringatan Satu Abad Bung Hatta ditandai dengan bedah buku, seminar, peluncuran situs (www.bung-hatta.com), koin emas, kartu kredit, dan perangko bergambar Hatta, dan pemutaran film Cara Baik Bung Hatta

“Semangat kemandirian adalah bagian dari Cara Baik Bung Hatta yang dianjurkan dan dijalankan dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Ia teladan dalam kepemimpinan bangsa. Ia juga panutan bangsa yang senantiasa satu kata dengan perbuatan,” ujar Adi Sasono, mantan menteri koperasi di masa Orde Baru yang jadi ketua panitia peringatan tersebut.

Hatta hidup penuh kesederhanaan. Ia punya satu keinginan yang tak pernah tercapai sampai akhir hayatnya. Ia ingin sekali punya sepatu Bally, merek ternama, buatan Italia. Harganya yang mahal membuat Hatta harus bersabar dan menabung. Tapi, uang tabungannya selalu terpakai untuk keperluan rumahtangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang mengalami kesusahan.

Ia tetap menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, berharap kelak memperoleh rezeki untuk membeli sepatu itu. Guntingan iklan tersebut masih tersimpan sampai ia meninggal.*

kembali keatas

by:John Nedy S.