IQRA pada mulanya ialah Nukilan. Rubrik yang bicara tentang buku dengan menukil, mengutip, dan menuliskan kembali buku-buku asing di majalah Tempo. Ini jadi bagian dari rubrik Selingan, sama halnya dengan Memoar, Layar dan Investigasi. Itu sebelum Tempo dibreidel pada Juni 1994.

Leila S. Chudori, redaktur pelaksana Iqra, bercerita pada saya baru-baru ini bagaimana awal mula Iqra lahir.

Setelah Tempo diterbitkan lagi pada 1998, rubrik-rubrik Selingan rencananya mau diterbitkan lagi. ”Saat itu Bambang Harymurti, pemimpin redaksi Tempo, bilang ke saya,’Ya udah itu kan ada Nukilan,’ tapi saya nggak setuju,” katanya menirukan percakapannya dengan Harymurti, pemimpin redaksi Tempo, yang menggantikan Goenawan Mohamad tiga tahun lalu.

“Sekarang jaman kan sudah berubah, sudah ada internet, sudah ada dotcom, toko buku-buku asing sudah banyak. Ngapain kita cuma nukil-nukil kayak gitu, tahun 2000 itu kebutuhannya sudah beda. Dan agar lebih atraktif maka selain diresensi juga harus ada wawancara pengarangnya, untuk menunjukkan bahwa buku ini ditulis dan digarap dengan baik, kita harus punya alasan kenapa menampilkan buku tersebut,” katanya.

Leila S. Chudori tak lagi jadi redaktur pelaksana Iqra. Di Tempo ia sempat membawahkan kompartemen seni dan luar negeri. Sekarang, ia naik pangkat jadi redaktur eksekutif, kira-kira setara dengan orang ketiga redaksi setelah Harymurti dan wakil pemimpin redaksi Toriq Hadad.

“Saat awal-awal masih memakai nama Nukilan untuk working menu, waktu itu namanya belum Iqra. Konsep saya yang bikin, yakni cari buku yang paling baik untuk diresensi dan harus ada wawancara pengarangnya. Waktu itu, saya ingat bukunya Pram (Pramoedya Ananta Toer), Arok Dedes untuk edisi perdana,” katanya.

Dalam rubrik Iqra, menurut Chudori, ada keharusan untuk mewawancara pengarang buku yang bersangkutan. Jika sudah wafat, maka dicari orang yang dianggap mengerti tentang studi buku itu untuk diwawancara.

“Wawancara dengan pengarang buku itu mutlak. Harus ada. Dulu sempat harus menunggu sampai satu setengah tahun untuk bisa wawancara dengan Amartya Sen (peraih Nobel ekonomi asal India). Bukunya kan bagus itu, dia baru bisa diwawancara setelah Arif Zulkifli (staf redaksi Tempo) mendapat beasiswa Chevening Award ke Inggris dan nekat menemuinya,” katanya.

Konsep Tempo dalam memilih buku untuk ditampilkan di Iqra sederhana. Asal menarik dan dirasa mampu memberi inspirasi dan pengetahuan baru pada pembaca. Tak harus selalu buku orang Indonesia.

“Pokoknya buku yang beredar di Indonesia, jadi bisa saja itu buku asing. Misalnya kita pernah menulis berdasarkan tema, buku sastra anak-anak, waktu itu Harry Potter kan ledakannya luar biasa. Tapi ya itu, pengarangnya, J.K. Rowling susah dikejar, akhirnya kita cuma bikin profilnya aja,” katanya.

Pilihan tematik inilah yang cukup baru. Selama ini resensi buku di Indonesia dikerjakan asal-asalan, tak menarik, buruk, secara intelektual dangkal, dan cara meresensinya tak baru. Resensi buku di Indonesia ketinggalan jaruh dengan resensi-resensi yang ada dalam New York Review of Books, New York Times Book Review dan sejenisnya. Mungkin karena di Indonesia, tradisi menulis tak berkembang dengan baik dalam setengah abad ini. Jarang ada penulis atau wartawan yang menguasai isu yang diresensinya sekaligus menggarap lebih dari satu buku dalam satu naskah. Iqra beberapa kali memuat resensi lebih dari satu buku, entah tiga atau empat secara bersama-sama, dengan mempertimbangkan kedekatan tema.

“Pernah juga kita meresensi lebih dari satu buku, dengan tema yang sama. Kita wawancara salah seorang penulisnya, kemudian baru kita tulis narasi panjangnya. Biasanya yang nulis resensinya berasal dari luar,” kata Chudori.

“Lantas, bagaimana dengan buku karya penulis Indonesia?” tanya saya.

“Kalau karya Indonesia itu memang layak ya kita akan bikin, tapi kalau enggak ya kita nggak mau maksain,” kata Chudori.

Tentu dengan catatan bahwa buku asingnya memang masuk ke Indonesia dan dikenal. Terutama buku asing yang membawa pengaruh luas pada masyarakat.

Secara umum, frame resensi di Iqra tak jauh beda dengan media lain. Hanya terkadang, sekali waktu Iqra membalik konsepsi tersebut. Untuk satu kasus Iqra bisa berbalik arah.

“Biasanya buku yang dipilih itu kan yang bagus, bermutu, kontroversial. Namun karena saat itu buku biografi Ibnu Sutowo (mantan direktur Pertamina) itu isinya hanya memuji dan sama sekali tidak kritis, maka kami mengubah fungsi Iqra untuk mengkritis buku ini.”

“Padahal jelas-jelas semua orang tahu bahwa ia (Ibnu Sutowo) bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi di Pertamina. Ya udah, akhirnya kami melakukan pembedahan yang kritis dan hampir setiap bab dan alinea itu kita cari celahnya dari bahan-bahan kita. Jadi agak investigatif sebenarnya,” katanya.

Salah satu fungsi penting resensi adalah kritik. Namun, banyak orang melupakannya. Hilmar Farid, penulis yang bekerja untuk Jaringan Kerja Budaya, mengatakan, “Paling tidak harus ada pandangan yang berbeda dari apa yang telah ditulis oleh buku itu. Dan hendaknya diterima, karena justru akan memperkaya buku tersebut. Jadi bukan hanya meringkasnya, memberikan gambaran secara umum, memberikan komentar namun harus kritis pula pada gagasan yang dibawa buku tersebut,” katanya.

Hingga akhirnya masyarakat akan benar-benar tercerahkan setelah membaca resensi buku yang cerdas, memikat dan kritis. Selaras dengan nama “iqra” yang kaya makna. Kata Iqra berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacalah.” Nama indah sarat makna itu didapat Leila Chudori dari obrolan santai dengan Goenawan Mohamad. “Saat itu saya sering diskusi tentang nabi Muhammad dengan GM (panggilan akrab Goenawan Mohamad), yang diminta untuk iqra, untuk membaca. Bagaimana kalau Iqra saja, ya udah, akhirnya jadi dipakai Iqra,” katanya.

Pilihan nama yang menarik. Nama sekaligus ajakan yang sulit ditampik.

JIKA Tempo punya Iqra, maka Kompas, salah satu suratkabar paling berpengaruh di Indonesia, punya rubrik Pustakaloka yang dimulai awal Juni lalu. Redaktur Pustakaloka B.I. Purwantari, akrab dipanggil Riri, menerangkan pada saya, “Gagasan awalnya sebetulnya untuk memunculkan tiga hal yang selama ini belum dilihat oleh Kompas sendiri, maupun dari pembacaan kami atas beberapa media massa yang sempit, bahwa ini belum pernah dimunculkan.”

Riri menerangkan ada tiga kegiatan yang dipikirkan oleh orang-orang Kompas. “Pertama, soal book review, dalam bentuk resensi yang mengulas suatu buku. Kedua soal industri buku, mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi dalam rantai industri buku. Yang ketiga, soal indeks buku, yaitu membikin semacam peringkat buku terlaris. Tapi ini masih belum mateng ya, karena masih banyak kendala,” katanya.

Sebelum menemui Riri, saya bicara banyak dengan Daniel Dhakidae di gedung Kelompok Kompas Gramedia, Jakarta. Dhakidae memimpin usaha penelitian dan pengembangan Kompas. Dia pernah jadi ketua dewan redaksi jurnal Prisma pada 1978-1984 sebelum mengambil doktoralnya di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika. Dhakidae menulis disertasinya tentang bisnis suratkabar Indonesia pada Orde Baru.

“Pustakaloka itu akan jadi jembatan untuk orang mengenal lebih jauh tentang Indonesia yang ditulis oleh siapa saja. Dengan titik berat buku orang Indonesia sendiri,” katanya.

“Kenapa Indonesia? Karena di luar negeri banyak orang berminat tapi di Indonesia sendiri orang tidak berminat untuk menghadirkan karya-karya tentang Indonesia.”

“Karena itulah Pustakaloka terus berniat untuk menghasilkan karya tentang Indonesia. Sekurang-kurangnya lembaran Pustakaloka itu menjadi jembatanlah untuk memperkenalkan ke orang bahwa ada lembaran seperti ini yang diterbitkan koran untuk Indonesia,” katanya.

Pustakaloka adalah kata Sansekerta. Pustaka berarti buku dan loka berarti taman. Arti lengkapnya taman buku. Penemuan nan unik untuk sebuah nama. “Dulu kita sempat kebingungan saat akan memilih nama. Ada kurang lebih 10 nama. Semuanya ditolak, ada yang karena berbau kiri lah, ada yang sudah dipakai orang. Sempat mau pakai nama Lentera, namun karena dianggap berbau Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat, onderbouw Partai Komunis Indonesia), tapi akhirnya nggak jadi,” kata Riri.

“Sampai akhirnya tanpa sengaja, Mas Daniel menemukan Pustakaloka, saat nyari kata sulit di kamus, akhirnya kita pakai deh,” katanya.

Pustakaloka dibangun sejak lama meski baru terbit sebagai satu seksi harian Kompas sejak Juni lalu. Janinya telah ada dua tahun lalu. “Saat itu telah ada penerbitan khusus hari Minggu, di sana ada tinjauan buku kiriman dari luar, sebagian lagi dibikin disini. Semacam book news-lah, baru setelah satu tahun kami berani membuka lembaran lebih khusus yang terpisah seperti sekarang. Itu karena pertimbangan tenaga juga,” kata Dhakidae.

Pustakaloka terbagi beberapa rubrik. Pertama, review utama yang terletak di halaman muka. Udaran buku dengan narasi panjang lebar ini yang jadi kekuatan Pustakaloka. Tema ditentukan, penulis dipilih. Kedua, review biasa yang terletak di halaman dalam. Lembar ini diisi kiriman dari luar. Ketiga, rubrik tentang industri buku dan hal-hal yang berkelindan dengan produksi, konsumsi dan distribusi buku.

Keempat, tentang profil lembaga atau orang yang berkaitan dengan buku dan layak ditampilkan. Kelima, yang terlarang, yakni buku-buku yang pernah dilarang pada masa Orde Baru maupun Orde Lama. Selanjutnya, rubrik yang terlupakan, atau buku-buku yang pernah populer namun sekarang sudah tak terbit lagi. Kemudian polling tentang buku. Terakhir, rubrik tentang tokoh maupun selebritas, baik politisi maupun artis, mengenai keterlibatannya dengan buku.

Dalam review utama di halaman muka inilah redaksi menentukan siapa yang akan menulis berdasar kompetensi atas buku atau isu yang bersangkutan.

Pustakaloka berangkat dari keprihatinan. Prihatin pada kondisi Indonesia. Karena itu pula studi tentang Indonesia jadi prioritas dalam rubrik review utama, lembar pertama Pustakaloka.

“Prioritas pertama, studi tentang Indonesia, ditulis oleh orang Indonesia, dalam bahasa Indonesia. Prioritas kedua, yaitu studi tentang Indonesia, ditulis oleh orang Indonesia dalam bahasa apa pun. Kalau misalnya, dia studi di Belanda, kalau memang itu penting untuk diketahui publik Indonesia ya kita ambil. Kemudian baru orang asing, yang menulis tentang Indonesia dalam bahasa asing. Sedang yang paling akhir adalah persoalan dunia yang ditulis orang dalam bahasa manapun yang kita rasa hebat dan perlu pula diketahui oleh publik Indonesia,” kata Dhakidae.

Berbeda dengan Iqra, Pustakaloka sedang mencoba menggali kembali akar pemikiran keindonesiaan. Pustakaloka tengah menjaga orisinalitas gagasan pemikir Indonesia yang menulis tentang Indonesia dalam bahasa Indonesia. Hierarki prioritas yang diusung menunjukkan prinsip ini.

Kerangka ini sekaligus digunakan untuk menyiasati kurangnya buku bermutu di tanah air. Salah satu indikasinya, edisi perdana pada Sabtu 8 Juni 2002, review utama Pustakaloka memuat karya Robert Edward Olsen, Soeharto, A Political Biography, terbitan Cambridge Universty Press 2001. Buku ini karya orang asing, dengan bahasa asing, tentang Indonesia. Artinya kategori ini masuk prioritas ketiga. Hal ini berarti pula bahwa prioritas pertama susah dicari untuk edisi perdana.

Edisi kedua, Sabtu 6 Juli 2002 agak mendingan. Studi Indonesia, ditulis oleh orang Indonesia dalam bahasa asing. Buku tentang buruh dalam relasinya dengan negara, Workers and the State in New Order, karangan Vedi R. Hadiz, yang diterbitkan Routhledge Studies in the Growth Economies of Asia, London 1997. Dalam edisi ini, paling tidak ada peningkatan grade sebelum menuju prioritas pertama dalam edisi berikutnya.

“Lantas, bagaimana mekanisme kerja tim kerja Pustakaloka?” tanya saya pada Riri.

“Biasanya ada dua kali rapat untuk menyiapkan setiap edisi. Pertama, rapat perencanaan. Yang kedua, rapat penentuan akhir untuk menyaring mana yang layak ditampilkan dan mana yang tak layak. Mekanisme kerjanya ya karena masing-masing punya tanggung jawab rubrik sendiri-sendiri, maka bisa langsung dikerjakan,” kata Riri.

Meski begitu masih saja banyak aral melintang. “Kendala dari dalam relatif bisa diatasi. Sedang kendala dari luar mungkin kaitannya dengan penulis luar yang mungkin sering mengalami ketidaktepatan pada deadline penulisan,” kata Riri.

Itu belum seberapa jika dibanding dengan tingkat kesulitan untuk memenuhi prioritas pertama dalam setiap edisinya. Secara kasat mata, dapat kita lihat bahwa Indonesia kekurangan buku bermutu, yang ditulis dengan sungguh-sungguh, oleh orang Indonesia, tentang Indonesia dalam bahasa Indonesia.

“Kita itu kekurangan buku, apalagi kalau kita mau membayangkan buku di Indonesia, tentang Indonesia, ditulis oleh orang Indonesia dalam bahasa Indonesia dan bermutu, nah disinilah mulai ada persoalan,” kata Dhakidae membenarkan logika diatas.

Ada banyak faktor yang membuat kurangnya buku bermutu di Indonesia. Salah satunya, menurut Hilmar Farid, penulis review utama edisi kedua Pustakaloka, dikarenakan industri buku di Indonesia lebih mirip pabrik garmen.

“Pola kerja dan manajemen industri buku di indonesia itu mirip dengan industri kain atau industri garmen. Harusnya penerbit buku punya logika yang lain dibanding industri garmen. Jadi mencetak buku bukan seperti mencetak kain, garmen atau pakaian saja, tanpa melihat keterkaitan buku dengan bidang lain,” katanya.

Kedua, secara ekonomis. Artinya banyak intelektual kita yang masih tergantung pada profesi mereka untuk menghidupi diri dan keluarga. Dhakidae beranggapan, di samping kaum intelektual malas, faktor ekonomi masih tetap dominan.

“Secara ekonomis ia disibukkan oleh profesinya dari hari ke hari, tidak ada waktu untuk menulis buku. Atau proyek-proyek yang lain jauh lebih money making. Pekerjaan menulis buku jauh lebih susah, dan orang Indonesia itu kan masih sibuk cari makan,” kata Dhakidae.

Dhakidae menambahkan tak kondusifnya iklim berkarya di Indonesia sebagai faktor. “Lingkungan dunia kapitalis Indonesia ini sama sekali tidak mendukung. Universitas hampir tidak mampu juga mendukung hal-hal seperti ini. Jika ada buku yang ditulis di universitas tak lebih dari buku teks.”

Pendek kata, environment dunia penulisan Indonesia tak mendukung dalam mendongkrak proses kreatif berkarya seorang intelektual.

Karya utuh yang dimaksud Dhakidae tentulah sebuah karya yang memotret masalah dengan komprehensif, sarat telaah tajam dan mendalam. Karya utuh kini jadi barang langka di Indonesia. Dhakidae berpendapat karya utuh begini bisa dihitung dengan jari satu tangan.

“Untuk 10 tahun terakhir saya berani sebut untuk karya Prof. Dr. Deliar Noer, Hatta dan Biografi Politik, sebagai buku asli, dengan riset yang ditulis dalam bahasa Indonesia,” katanya antusias.

BAIK Tempo dan Kompas, sebagai media besar yang punya banyak bisnis di luar usaha suratkabar, termasuk bisnis buku, bagaimana Pustakaloka maupun Iqra bersikap terhadap buku-buku terbitan Gramedia atau Pustaka Utama Grafiti? Bagaimana melakukan siasat agar mereka tetap kukuh independensinya ketika meresensi maupun tak meresensi buku-buku terbitan kelompok mereka sendiri?

Ini penting karena kalau meresensi bisa dicurigai ada motivasi terselubung. Misalnya mau menjual buku-buku terbitan sendiri? Tapi kalau tak meresensi, padahal memenuhi kriteria, sayang juga karena publik juga berhak mengetahui buku-buku bermutu entah terbitan Gramedia atau Grafiti.

Secara teoritis, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Bagaimana Pustakaloka dan Iqra mengatasi masalah ini?

“Kita tetap punya batasan-batasan. Banyak juga sebelumnya dari penerbit Kompas dan Gramedia minta agar bukunya diresensi, tapi kami punya aturan main juga. Khusus untuk review utama, jika memang tak memenuhi syarat tentu tak akan dimuat, dan kalau bisa masuk kenapa enggak?” kata Riri.

Pada dasarnya mekanisme pengiriman dan penyuntingan naskah tetap sama. Idealnya, menurut Riri, mereka harus tetap independen, meski untuk berhadapan dengan penerbitan buku Gramedia, salah satu raksasa industri buku Indenesia, bukan pekerjaan muda untuk bisa ideal.

Sedang Iqra conflict of interest jarang terjadi. Mungkin karena penerbitan buku Grafiti relatif jauh lebih kecil ketimbang Gramedia. Hanya mereka beberapa kali sempat meng-Iqra-kan orang-orang yang dekat dengan buku dan pengarangnya.

“Kalau dekat, misalnya seperti Kayam (Umar Kayam), nggak masalah, ia kan dekatnya pribadi. Dia pun hanya dekat dengan beberapa orang secara pribadi, dengan GM, dengan saya, dengan beberapa orang, tidak dekat dengan semua orang Tempo. Dan dia orang luar, secara resmi dia tak masalah,” kata Leila Chudori.

“Lantas, bagaimana misalnya dengan buku-buku Goenawan Mohamad?” tanya saya.

Saya tahu Goenawan bukan saja salah satu pendiri Tempo tapi juga penyair, cendekiawan, dan salah satu penulis terkemuka Indonesia. Goenawan juga dikenal karena sejak 1977 rutin dan penuh disiplin menulis Catatan Pinggir, kolom mingguan Tempo, dengan topik yang sangat kaya. Kumpulan kolom-kolomnya ini juga dibukukan.

“Khusus untuk GM, berat. Padahal waktu kemarin dia 60 tahun, buku-bukunya banyak lho. Dan dia layak sebenarnya masuk Iqra, tapi risih kan. Dia juga kan orang Tempo. Lagipula dia tak berkurang juga nilainya kalau tak dimasukin Iqra, dan tak akan lebih juga karyanya kalau kita bikin Iqra,” katanya.

Pustakaloka terbit bulanan, tiap Sabtu minggu pertama. Iqra relatif berkala, ia terbit hanya jika ada buku dan tematik yang menarik. Bisa tiap bulan sekali, bisa pula lebih dari satu bulan baru muncul.

Edisi depan Pustakaloka akan mengulas buku tentang nasionalisme. Sedang Iqra akan mengudar buku-buku Jendral Abdul Haris Nasution yang sempat dilarang dan dibakar pada masa Orde Baru.

Jika di New York ada The New York Times Books Review dan The New York Review of Books, yang piawai bicara tentang buku, maka Jakarta punya Iqra dan Pustakaloka. Mungkin inilah upaya kecil memperkenalkan kehidupan buku, kehidupan dunia berpikir, kehidupan yang cerdas, kepada para warganegara Indonesia.

Marilah membaca di taman buku, mari Iqra di Pustakaloka.*

by:Taufik Andrie