Kisah Puisi Cina

Donny Anggoro

Mon, 5 August 2002

WILSON Tjandinegara, seperti kebanyakan orang Indonesia keturunan Tionghoa, pernah memilih berdagang sebagai mata pencaharian. Namun, ia kini punya kesibukan lain.

Aku sebuah layang-layang

telah jauh meninggalkan kampung halaman

namun sehelai benang panjang senantiasa

menghela di hati ibu

Xu Gang

WILSON Tjandinegara, seperti kebanyakan orang Indonesia keturunan Tionghoa, pernah memilih berdagang sebagai mata pencaharian. Namun, ia kini punya kesibukan lain. Dalam ruang kerjanya yang sempit, di balik toko kelontong miliknya, ia biasa menghabiskan waktu hingga tengah malam: menerjemahkan puisi.

Ruang tamu tersebut agak sesak. Berkardus-kardus mi siap saji dan beberapa krat minuman ringan dan teh botol, jenis barang yang dijual di toko kelontong itu, ikut memadatinya. Sejumlah sampul buku yang berpigura digantung di dinding, berdampingan dengan potret keluarga.

”Semula saya sempat dicemooh keluarga dan teman-teman. Tapi, biarlah, apalagi jalan pikiran orang kan beda-beda. Setelah puluhan tahun berkecimpung di dunia bisnis, saya berpikir ingin melakukan sesuatu yang lain,” kata Tjandinegara.

Ia tampak pendiam, sederhana, dan tidak mengemukakan pendapatnya tanpa diminta. Pada 1995 Tjandinegara bertemu Wowok Hesti Prabowo dalam sebuah acara kesenian di Batu, Malang, Jawa Timur. Wowok—seorang buruh pabrik yang juga penyair—bersama sejumlah buruh di Tangerang, kota industri di provinsi Banten, tengah mendirikan wadah aktivitas budaya mereka, bernama Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Wowok mengajak Tjandinegara yang kebetulan bermukim di kota yang sama untuk bergabung. Sejak itu KSI mendukung kegiatan bersastra Tjandinegara dengan menerbitkan sejumlah karya terjemahannya.

“Saya mulai memasuki dunia sastra Indonesia awal 1996, ketika bahasa Mandarin masih dilarang sedangkan penulis keturunan Tionghoa masih dalam keadaan waswas dan bertindak hati-hati. Saya merasa perlu mengenalkan budaya Tionghoa kepada masyarakat Indonesia. Berhubung bidang saya adalah sastra dan budaya, saya memulainya dengan menerjemahkan karya sastra,” katanya.

Kata-kata seorang kenalannya, Zhou Nanjing, seorang profesor Universitas Peking, turut menguatkan tekatnya. “Dalam suratnya kepada saya, ia menyatakan anti-Cina yang sering terjadi di Indonesia salah satu penyebabnya adalah kurangnya komunikasi.”

Tjandinegara memulai dengan menerjemahkan dua kumpulan puisi, Puisi Cinta Mandarin yang terdiri dari puisi daratan Tiongkok, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura serta Bisikan Hati karya Teo Un, seorang penyair Yin Hua (sebutan untuk orang Indonesia keturunan Tionghoa). Kedua buku ini tak hanya diterjemahkan melainkan disertakan pula oleh Tjandinegara aksara Cinanya. Ketika Bisikan Hati terbit, larangan pemerintah terhadap aksara dan budaya Tionghoa belum dicabut. Bisikan Hati diedarkan terbatas.

Setelah menerjemahkan sajak-sajak berbahasa Mandarin ke dalam bahasa Indonesia, Tjandinegara mengalihbahasakan sejumlah karya penyair ternama Indonesia, seperti WS Rendra, Eka Budianta, Danarto, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, dan Ahmadun Yosi Herfanda ke dalam bahasa Mandarin. Pada 2000, antologi puisi bertajuk Resonansi Indonesia itu diterbitkan KSI sebanyak 1.000 eksemplar. Karya-karya penyair tersebut disajikan dalam dua bahasa, Indonesia dan Mandarin, lengkap dengan aksara Cina. Dalam menyiapkan Resonansi, ia dibantu Jeanne Yap dari Perhimpunan Penulis Yin Hua dan Caecillia K., redaktur suratkabar Indonesia.

Untuk pengetikan aksara Cina, Tjandinegara menyerahkannya pada percetakan di daerah Glodok yang juga mencetak suratkabar dwibahasa Indonesia-Mandarin, Indonesia. “Pengetikan per huruf Cinanya dihitung 20 perak,” ujarnya.

SAMA dengan di Indonesia, perkembangan kesusastraan Cina di negeri asalnya juga tidak mulus. Cuaca politik berpengaruh kuat. Partai Komunis Cina saat Mao Tse Tung berkuasa mengontrol seluruh sendi kehidupan khalayak sampai ke ruang seni dan budaya. Mao mencanangkan Revolusi Kebudayaan yang memberangus semua karya seni atau kesusastraan yang dianggap tak revolusioner dan bersimpangan jalan dengan ideologi proletariat.

“Sehabis gilanya Revolusi Kebudayaan, sastra Cina daratan, antara 1966-1976 kembali menunjukkan perkembangan. Salah satu tandanya adalah berkembangnya puisi-puisi gelap sejak 1979. Para penyair ini meniupkan semangat pemberontakan terhadap ketatnya kontrol partai yang mengatur segala sisi kehidupan orang banyak,” katanya.

Beberapa penyair muda Cina berbakat muncul, antara lain Zhang Shuguang, Wang Jiaxin, Chen Dongdong, Pai Hua Ma Li, Xi Du, dan Hang Canran. Dari generasi yang lebih tua, ada Zang Kejia, Ai Qing, dan Bian Zhilin. Sayangnya, belakangan perkembangan puisi-puisi di Beijing memudar. Sebagai gantinya, penulisan novel yang jauh berkembang. Apa penyebabnya? Tjandinegara tak memberi penjelasan rinci. Tapi, menurutnya, perekonomian Cina yang mulai terbuka pada 1970-an punya andil. Kegiatan perdagangan yang makin marak di negeri tirai bambu ini menyebabkan sebagian penulis dan penyair tergiur untuk berbisnis.

“Secara umum, sastra Cina di negerinya terus berkembang. Salah satu yang menonjol adalah karya penulis yang memiliki latar belakang ketentaraan sehingga karya-karyanya selalu berkisah seputar pengalaman perang. Saya menyebutnya sastra kemiliteran,” ujar Tjandinegara.

Tjandinegara termasuk orang langka. Ia segelintir orang Indonesia yang giat menerjemahkan karya-karya sastra Tionghoa. Lahir dari pasangan etnis Tionghoa di Makassar, Sulawesi Selatan, 20 Desember 1946, dengan nama asli Chen Tung Long. Ketika rezim Orde Baru memaksa orang-orang Cina menghilangkan identitas diri mereka, namanya diganti jadi Wilson Tjandinegara. Chen junior dibesarkan dalam dunia yang hanya mengenal kesuksesan dan karier dari buah-buah cipoa, alat hitung tradisional Tionghoa. Sejak usia 12 tahun ia bersekolah sambil bekerja membantu orangtuanya. Saat dewasa ia mencoba merintis usaha sendiri dengan membuka sebuah toko buku dan taman bacaan di Pare-Pare. Bergelut dengan banyak buku memberinya inspirasi. Ia tertarik jadi penulis.

”Penyair favorit saya Chairil Anwar. Kata-katanya ‘sekali berarti sudah itu mati’ membuat saya terkesan,” katanya.

Tjandinegara tak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang sastra. Ia hanya sempat menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah pertama. “Semuanya saya pelajari secara autodidak.”

POLITIK diskriminasi dan anti-Cina rezim Orde Baru menghambat kebebasan berekspresi meski tak sedikit penulis keturunan Tionghoa yang cukup terkenal dan digemari karya-karyanya. Asmaraman S. Kho Ping Hoo terus dikenang berkat serial silatnya. Marga T. dan Mira W. adalah dua novelis laris yang juga keturunan Tionghoa. Mereka menulis dalam bahasa Indonesia.

Sayang sekali, kesempatan menulis tak berlaku bagi mereka yang ingin mengekspresikan diri ke dalam bahasa Mandarin. Tak satu pun media berbahasa Tionghoa berani terbit di masa Presiden Soeharto. Larangan hidup bagi budaya Tionghoa ini tercantum dalam Instruksi Presiden Soeharto Nomor 14/1967.

Celah kebebasan itu baru terbuka setelah reformasi politik terjadi di negeri ini yang juga diwarnai pembakaran, penganiayaan, dan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan etnis Cina pada Mei 1998.

“Sebenarnya dunia penerjemahan ini termotivasi karena saya paham pepatah: tak kenal maka tak sayang. Seumpamanya etnis A dan B saling mengenal pasti hubungannya bagus, ya. Paling tidak terjalin persahabatan. Gejolak-gejolak sosial, saya kira, akan sedikit berkurang,” tuturnya.

Claudine Salmon, seorang peneliti dari Lembaga Penelitian Nasional Prancis, mengutip karya-karya terjemahan Tjandinegara untuk bahan penelitian. Menurut Salmon, Tjandinegara dianggap salah satu pelopor cultural exchange karena sering berperan sebagai jembatan pertukaran antarbudaya etnis Tionghoa dan Indonesia. Sudah 11 buku lahir dari tangannya. Sebagian besar diterbitkan atas biaya sendiri atau bekerja sama dengan KSI dan Perhimpunan Penulis Yin Hua. Di antaranya Puisi Untukmu (CV Gitakara, 1995), Rumah Panggung di Kampung Halaman (KSI, 1999), 101 Puisi Mandarin (KSI, 2000), Lelaki adalah Sebingkai Lukisan (KSI, 2001), dan Antologi Sajak Dinasti Tang (KSI, 2001). Tahun ini ia tengah menyelesaikan tiga buku terjemahan lagi.

“Mengapa tak mencoba diterbitkan ke penerbit-penerbit besar?” tanya saya.

“Kalau diserahkan ke Gramedia, misalnya, melalui bermacam proses. Lagipula saya merasa nama saya belum banyak dikenal orang. Jadi lebih baik ya, saya terbitkan sendiri. Kalau mencetak sendiri, saya bisa langsung ke percetakan. Selesai dicetak, saya masukkan ke Gramedia.”

“Berapa persen komisi buat toko buku mereka?”

“Limapuluh persen. Cukup berat dan sistemnya konsinyasi. Ini terikat. Kebanyakan buku saya dijual di sana,” jelasnya.

“Berapa eksemplar buku yang Anda cetak?”

“Biasanya sekitar 1.000 sampai 1.200 eksemplar.”

“Anda tidak mencoba ke toko-toko buku lain, Gunung Agung misalnya?”

“Tidak. Saya rasa karena jaringannya paling besar, di toko buku Gramedia saja bagi saya sudah cukup.”

“Bagaimana dengan hasil penjualannya?”

“Buku 101 Puisi Mandarin mulanya terjual sebanyak 500 eksemplar pada waktu saya luncurkan di Makassar. Di toko buku penjualannya cukup lumayan. Oleh karenanya 101 Puisi Mandarin saya cetak lagi.”

Antologi Sajak Dinasti Tang merupakan karya terjemahannya yang paling laris. Tiap bulannya terjual sebanyak 100 eksemplar sejak diterbitkan November lalu. Buku tersebut selain dijual di toko-toko buku Gramedia juga ia jual sendiri kepada guru-guru pengajar bahasa Mandarin yang bermukim di daerah Cirebon, Pontianak, dan Surabaya. Beda dengan buku-buku sebelumnya yang semula hanya dititipkan di Gramedia.

“Beberapa eksemplar selain saya jual sendiri di acara-acara sastra ada juga yang saya titip jual ke toko buku Jose Rizal Manua di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Responnya cukup bagus. Sebab buku Antologi Sajak Dinasti Tang disamping diperlukan guru-guru bahasa Mandarin juga dibeli orang-orang yang ingin mengetahui lebih banyak tentang puisi-puisi Cina klasik, misalnya mahasiswa fakultas sastra Cina,” jelas Tjandinegara.

Di toko buku Jose Rizal Manua, Tjandinegara hanya menitipkan buku Antologi Sajak Dinasti Tang sebanyak 20 eksemplar. Dengan sistem konsinyasi dan komisi sebesar 20 persen buku tersebut menurut Jose Rizal Manua baru terjual sebanyak lima eksemplar. Sisa yang tak terjual diambil kembali oleh Tjandinegara. Sedangkan di toko buku Gramedia, Matraman, dan Pintu Air buku Antologi Sajak Klasik Dinasti Tang semula didrop dari distributornya pada 17 Januari 2001 masing-masing sebanyak 10 eksemplar sampai kini terjual sebanyak lima eksemplar. 101 Puisi Mandarin yang semula didrop pada 7 Maret 2001 sebanyak 15 eksemplar terjual sebanyak 13 eksemplar. Sedangkan Resonansi Indonesia sampai kini tersisa delapan eksemplar setelah didrop sebanyak 35 eksemplar pada 13 Maret 2000. Rumah Panggung di Kampung Halaman yang didrop sebanyak 35 eksemplar pada 11 Januari 1999 sampai kini tersisa sebanyak sembilan eksemplar.

Menurut Bambang Tri, manajer supervisor penjualan di Gramedia Matraman, untuk buku yang diterbitkan sendiri seperti buku-buku Tjandinegara ia tak memberlakukan syarat khusus. Sebagai penerbit mereka harus mentaati prosedur standar toko buku Gramedia. Misalnya buku-buku produknya tidak ada unsur menghina suku, ras, agama dan golongan, bersifat pornografi, tak dilarang pemerintah, mutu cetakannya layak dan yang terpenting bukan produk bajakan. Nomor International Series Book Number (ISBN) tidak mutlak karena toko buku Gramedia ingin membantu penjualan dari penerbit-penerbit kecil.

Komisi yang biasa dikenakan toko buku Gramedia sebesar 35 persen, ditambah biaya-biaya lain misalnya pajak buku sebesar 10 persen, biaya bar code sebesar Rp 15 per buku, pajak pelayanan, dan lain-lain. Selain itu penerbit harus sanggup menyediakan stok jika sewaktu-waktu ada permintaan. Persyaratan lainnya si penerbit, entah itu perseorangan atau lembaga, harus memiliki nomor pokok wajib pajak.

“Buku terjemahan Wilson Tjandinegara dapat menambah pengetahuan tentang sastra terutama puisi. Selain itu membantu saya tentang perbendaharaan bahasa Mandarin,” komentar Ichtiar Iskandar, desainer grafis, yang belajar bahasa Mandarin. Kepada saya ia mengatakan pernah membeli buku 101 Puisi Mandarin dan Resonansi Indonesia. “Saya beli karena sedang belajar bahasa Mandarin,” kata Agnes Augustine seorang karyawati yang membeli Resonansi Indonesia. Sedangkan Yayasan Tio Ciu, sebuah yayasan yang menghimpun kekerabatan antar suku Tio Ciu, mereka membeli beberapa buku-buku terjemahan Tjandinegara sebagai koleksi.

PENYAIR Sapardi Djoko Damono, yang juga dosen Universitas Indonesia, pernah menerjemahkan karya sastra Cina berjudul Puisi Cina Klasik pada 1976. Buku tersebut tak diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya, melainkan dari bahasa Inggris. Kehadirannya belum cukup membuat sastra Tionghoa menggema di Indonesia.

Setelah Puisi Cina Klasik, dua karya terjemahan Cina menyusul terbit, yaitu antologi cerita pendek Kisah Lelaki Tua dan Seekor Anjing (1991) dan Catatan Harian Seorang Gila (1989) karya Lu Hsun, penulis Cina terkemuka. Kedua buku itu diterbitkan Yayasan Obor Indonesia.

Jakob Soemardjo, dosen Sekolah Tinggi Seni Bandung, bertutur bahwa sastra Melayu Tionghoa di masa kolonial Belanda berkembang pesat. Bahkan para penulisnya mempunyai penerbitan sendiri. Salah satunya bisa disebut Kwee Tek Hoay. Ia menerbitkan 200 judul karyanya melalui penerbit Mustika yang dimilikinya. Selain menulis naskah drama Bunga Roos dari Tjikembang, Kwee juga menulis novel Drama di Boven Digoel.

Menurut Claudine Salmon, antara 1860-an dan 1870-an, sastrawan keturunan Tionghoa di Indonesia sudah menulis sajak dan cerita pendek. Mereka juga menyalin banyak sekali cerita Tionghoa kuno ke dalam bahasa Melayu, seperti cerita klasik Sam Kok. Buku-buku mereka juga terhitung laris sehingga dianggap sebagai saingan Balai Pustaka, penerbitan milik pemerintah Belanda.

“Sejarah sastra Melayu Tionghoa berakhir pada 1966, tepatnya ketika rezim Soeharto melarang berbagai kegiatan seni budaya Tionghoa,” kata Soemardjo.

Akibatnya, karya-karya sastrawan Eropa seperti John Steinbeck, Ernest Hemingway, dan Franz Kafka lebih populer di Indonesia. “Harusnya kita mulai mengarahkan perhatian ke Timur, karena kesusastraan di sana juga cukup bagus,” ujar Iwan Fridolin, dosen sastra Cina Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang juga menerjemahkan antologi cerpen Kisah Lelaki Tua dan Seekor Anjing.

“Karya-karya terjemahannya merupakan kekayaan budaya yang menampakkan keindahan sastra berbahasa Indonesia dan Mandarin. Kerja seperti ini seharusnya didukung, agar terus berkembang secara berkesinambungan,” kata Korrie Layun Rampan, seorang pengarang dan dokumentator sastra Indonesia.

ZAMAN berubah. Kini sastra Tionghoa sudah mulai menunjukkan geliat hidupnya kembali setelah dipasung tiga dasawarsa. Namun, kendala lain muncul. “Koran-koran dan tabloid berbahasa Cina yang sekarang terbit kurang menginformasikan seni dan budaya. Jika ada, jumlahnya pun sangat sedikit. Sedangkan yang ada saja kebanyakan isinya tak beda dengan koran-koran biasa,” kata Fridolin.

Apa pendapatnya tentang puisi-puisi terjemahan Tjandinegara? “Puisi-puisi yang diterjemahkan Wilson, kebanyakan puisi klasik. Kelemahannya dia menerjemahkan bukan dari bahasa aslinya, melainkan dari bahasa Cina modern. Akibatnya ada juga puisi-puisi klasik yang hilang esensinya. Pada dasarnya untuk melakukan terjemahan itu harus melalui dua tahap yang besar sebelum ditransliterasikan ke bahasa Indonesia.”

Bukan pekerjaan mudah. Melani Budianta, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, melihat bahwa komunitas Tionghoa sendiri di Indonesia turut mempengaruhi apresiasi terhadap sastra Cina. Tapi karya orang-orang macam Tjandinegara baru bisa dinikmati kalangan terbatas saja. Para penerjemahnya pun rata-rata berusia 40-an dan tak ada regenerasi.

Budianta justru terkesan pada kehidupan sastra Tionghoa Indonesia sendiri, yang disebut Yin Hua. Ia mencontohkan salah satu terjemahan Tjandinegara yang berjudul Kumpulan Cerpen Mini Yin Hua (KSI, 1999). Di dalamnya terkumpul berbagai cerita pendek penulis keturunan Tionghoa yang disuguhkan dalam konteks yang sangat Indonesia, bahkan memberikan wawasan sosial dan kultural menarik untuk dipelajari. “Nah, potensi inilah yang belum banyak dibantu,” ujar Budianta.

Tanpa bermaksud meremehkan, Budianta menilai terjemahan Tjandinegara terkesan lugu. “Hal ini bisa dimaklumi. Selain faktor usia yang sudah tak muda lagi, Wilson hanya bekerja seorang diri,” katanya.

“Terjemahan Tjandinegara meski bukan yang paling bagus ya, tapi terbilang paling halus di antara yang lain. Apalagi sampai sekarang hanya dia yang paling banyak mengalihbahasakan bahasa Tionghoa,” kata Jeanne Yap dari Perhimpunan Penulis Yin Hua. Kegigihan dan semangat Tjandinegara rupanya tak terusik oleh usia. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina! Pepatah ini benar-benar dipraktekkannya dua tahun lalu.

“Dia belajar sastra sampai datang ke Cina sungguhan. Dia juga belajar kepada sastrawan muda maupun yang lebih tua. Dia nggak merasa malu belajar pada yang lebih muda. Saat kami mendirikan komunitas kecil yang kami namakan Institut Puisi Tangerang pada 1996, dia belajar di sana dari yang muda-muda, belajar menulis dan mendengar komentar mereka yang menjadi gurunya,” ungkap Wowok Hesti Prabowo.

“Di Yin Hua mungkin banyak yang bisa menerjemahkan dengan bagus. Tapi, tak ada yang keuletan serta totalitasnya seperti dia,” kata Wowok.

Sejak 1996, Tjandinegara memutuskan berhenti dari bisnis keluarga dan terjun sepenuhnya ke dunia sastra. Dia tak pernah memikirkan keuntungan besar dari terjemahan puisi-puisi itu. Ia melakukannya lebih karena cinta.

Matahari makin bergerak ke barat ketika saya berpamitan padanya. Tjandinegara mengantar saya sampai ke jalan di muka rumahnya. Rumah sederhana di tepi sebuah gang yang berdempetan dengan rumah-rumah lain itu makin menjauh. *

kembali keatas

by:Donny Anggoro