Jurnalisme dan Sumber Dana

M. Said Budairy

Mon, 5 August 2002

PELANGGARAN etika profesi di banyak lingkungan professional terasa marak. Bahkan seringkali berkombinasi dengan pelanggaran hukum sekaligus.

PELANGGARAN etika profesi di banyak lingkungan professional terasa marak. Bahkan seringkali berkombinasi dengan pelanggaran hukum sekaligus. Dari keadaan seperti itu muncul istilah jual beli hukum, money politics, uang pelicin, uang kadeudeuh, dan sebagainya. Sebutan “amplop” untuk wartawan, yang melahirkan nama “wartawan amplop,” bersumber dari terjadinya penyimpangan-penyimpangan macam itu. Tapi tentang amplop ternyata juga melanda parlemen Indonesia. Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Indira Damayanti Sugondo menngundurkan diri dari parlemen gara-gara, antara lain tak tahan melihat simpang siurnya amplop yang masuk kantong (sebagian) anggota parlemen. Jadi selain wartawan amplop, ada pula “legislator amplop.”

Jual beli hukum prakteknya macam-macam. Salah satu contohnya, sekarang pada tahap penyidikan atas tiga orang hakim pemutusnya, vonis kontroversial yang mempailitkan perusahaan asuransi jiwa Manulife Indonesia. Keputusan yang berusia masih dalam hari itu kemudian dibatalkan Mahkamah Agung.

Contoh-contoh penyimpangan lain seperti pengacara menyuap saksi. Si pengacara kemudian masuk tahanan polisi. Ada polisi menjebak pengguna jalan, lalu korbannya ditawari pilihan ke pengadilan atau diselesaikan di tempat. Penyelesaian di tempat artinya membayar “denda” langsung untuk kantong polisinya. Jaksa main mata dengan terdakwa diperantarai pengacara dan “koordinasi” dengan hakim. Narapidana bisa pulang santai, dari penjara ke rumahnya, berlama-lama dengan aman bersama keluarga di kediamannya, yang dijaga ketat petugas yang katanya sedang berusaha keras mencarinya. Bisa terjadi berkat “koordinasi” dengan aparat juga.

Sementara itu, beda dengan Sumatera Barat yang anggaran daerahnya mencantumkan alokasi dana bantuan untuk wartawan sebesar Rp 62,5 juta per tahun. Di Jawa Barat terjadi heboh soal uang kadeudeuh. Kasus ini memperihatinkan, sekaligus menggelikan. Dalam anggaran daerah “terselip” pos uang kadeudeuh (ungkapan terima kasih) bagi anggota parlemen Jawa Barat sebesar Rp 250 juta per anggota. Total alokasinya mencapai Rp 25 milyar. Setelah diketahui umum, heboh, didemonstrasi, dan diancam akan diajukan ke pengadilan, pemimpin parlemennya memutuskan mengembalikan uang kadeudeuh tersebut. Pada saat mengumumkan pembatalan, ada pernyataan kesadaran atas kekhilafan itu, dilengkapi permohonan maaf kepada warga Jawa Barat dan janji tak akan mengulangi perbuatan yang sama. Padahal, lima hari sebelumnya saya berjumpa dengan salah seorang pemimpin parlemen Jawa Barat itu. Dia bilang kebijakan itu sah. Biar saja yang di luar ribut. Banyak anggota sudah menggunakan uang itu. Lantas apa yang mau dikembalikan?

Semua keterpurukan moral itu merisaukan dan mungkin bisa menjadi pendorong frustrasi para pekerja profesional yang jujur, yang jumlahnya jauh lebih besar. Atau mendorong lahirnya reformasi jilid berikutnya dipelopori oleh mereka.

JAKOB Oetama, salah satu pendiri dan pemimpin umum harian Kompas menulis, “Kode Etik Jurnalistik memanglah mutlak. Sebab kalau kita melakukan kesalahan karena tidak sesuai dengan kode etik, kita ‘dipukul’ dan ‘habislah’ kita. Tapi, kita tentu tidak mau kena begitu saja. Bagaimana caranya?. Tidak lain membuat berita menjadi akurat sesuai kode etik. Dengan demikian pers menjadi berbobot dan berwibawa. Pers berbobot dan berwibawa serta dipercaya apabila memenuhi ketentuan kode etik. Jadi kepatuhan kepada kode etik memang perlu supaya pers kredibel, bisa dipercaya. Memang pers kewalahan jika ‘dipukul’ karena berita atau tulisan yang disajikan tidak lengkap, tidak punya sumber, fakta diputarbalikkan dan tidak akurat.”

Isi dari makalah Jakob Oetama berjudul, “Pemikiran dan Pendapat dari Diskusi Dewan Kehormatan PWI,” yang saya kutip itu, rasanya tak akan ada pihak yang sepenuhnya berbeda pendapat.

Majalah Pantau edisi Juni 2002 mengalami kejadian salah satu laporan yang disiarkan tak sepenuhnya memenuhi ketentuan kode etik jurnalistik. Laporan itu berjudul “Gaji Khusus Wartawan Padang.” Isinya berupa laporan yang terkait dengan terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik. Pelanggarannya berupa penerimaan uang oleh wartawan dari narasumber, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat. Celakanya, dalam membuat laporan tersebut, kontributor Pantau John Nedy S. tak sepenuhnya memenuhi ketentuan kode etik jurnalistik, sehingga laporannya kurang akurat. Akibatnya, timbul reaksi yang cukup keras. Akibat lanjutannya, Pantau edisi Juli 2002 yang lalu, terengah-engah tapi tegar berusaha merespon segala protes, keberatan bahkan ancaman yang muncul. Pantau berusaha menyembuhkan diri dari luka-luka “pukulan” karena terlanggarnya kode etik jurnalistik.

Untuk menggambarkan bagaimana Pantau berusaha merespon kejadian itu. Saya mencatat, laporan John Nedy S. yang punya kekurangan itu, panjangnya hanya dua tiga-per-empat kolom halaman majalah. Majalah ini kemudian mengharuskan dirinya memberi kesempatan penggunaan hak jawab sepanjang empat kolom halaman. Masih ditambah ralat berupa penjelasan dari redaksi sepanjang tiga kolom. Secara hitungan huruf, reportase yang terdiri dari 793 kata, diimbangi dengan tulisan untuk memberi ruang menyampaikan hak jawab sepanjang 1120 kata, serta untuk redaksi memberi penjelasan sepanjang 926 kata. Total 2.046 kata.

Bagian kode etik jurnalistik mana yang terlanggar? Bagian yang mengenai tatacara yang benar dalam memperoleh informasi dari sumber berita. Dan keharusan untuk selalu meneliti kebenaran informasi. Dalam penjelasannya, redaksi juga mengemukakan pemberitahuan bahwa wartawan yang menulis laporan tak sempurna itu akan diberi sanksi internal dan sekaligus diberi bimbingan agar jadi wartawan yang baik.

DENGAN apa yang sudah dilakukan itu, Pantau telah memenuhi kode etik jurnalistik, bagian yang mengharuskan wartawan Indonesia segera meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta keharusan melayani hak jawab. Dengan demikian Pantau tidak “habis” karena pukulan akibat kesalahan yang terjadi. Malahan, walau harus dicegah peristiwa yang sama jangan sampai terulang lagi. Banyak pelajaran dapat diperoleh dari kasus ini.

Pertama, melaksanakan kode etik jurnalistik tak cukup hanya dalam pembuatan berita atau tulisan. Tapi sekaligus menjadikannya panduan prilaku sebagai wartawan. Ketentuan “tidak boleh meminta/menerima apa pun dari sumber” jika dilanggar, tak otomatis akan melahirkan berita atau tulisan yang bias. Tidak selalu serta merta menghasilkan tulisan yang dicocok-cocokkan dengan keinginan sumber. Tapi, apalagi kalau pemberian itu sudah ditetapkan seperti gaji bulanan, mental si jurnalis akan terbentuk untuk tak bisa obyektif lagi, melainkan berpihak pada kepentingan pemberi nafkah tambahan. Itu sebabnya ada kredo, seorang wartawan tidak boleh menerima kemudahan dari sumber-sumbernya, apalagi uang.

Kedua, berbagai kantor Dinas Penerangan di berbagai tempat di Indonesia, dalam rangka pelaksanaan pemerintahan otonomi daerah povinsi, kota maupun kabupaten, perlu intensif mensosialisasikan segala peraturan perundangan yang berlaku. Kalau saja para pemimpin dan para anggota DPRD Sumatera Barat telah mendalami Undang-undang Pers dan pernah membaca Kode Etik Wartawan Indonesia, tak bakalan menyusun anggaran daerah yang di dalamnya ada alokasi dana untuk menggaji wartawan. Menjadi tugas Departemen Dalam Negeri pula untuk meningkatkan penguasaan informasi pemerintah daerah sehingga dapat dicegah terjadinya kesalahan dalam menentukan kebijakan pemerintahan yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi.

Ketiga, Pantau telah memberi contoh bagaimana bertanggungjawab atas kesalahan yang terjadi dengan membuka diri, mengungkapkan proses sampai liputan bermasalah itu dimuat. Cek dan recek dilakukan, sampai pun hasil suntingan redaksi masih dikembalikan kepada penulis untuk dicocokkan ulang apakah sudah pas hasil akhir itu. Penjelasan redaksi mengungkapkan siapa saja yang terlibat dalam penyuntingan liputan. Redaksi berusaha mencari tahu dengan langsung turun ke tempat kejadian perkara, menemui banyak pihak yang terkait. Pokoknya, urusan luar dan dalam redaksi, diperiksa untuk menemukan persisnya di mana terjadi kekeliruan. Ini diakhiri dengan menyediakan ruang lebih dari cukup untuk memuat surat pembaca yang berkeberatan, yang menjelaskan, minta maaf dan seterusnya.

Keempat, kekeliruan suatu berita jika menyangkut dan merugikan wartawan, menjadi pelajaran yang bagus. Dapat jadi sarana bagi para jurnalis untuk menajamkan rasa empati kepada para korban kesalahan berita. Orang-orang non-wartawan yang jadi korban itu mengalami rasa sakit yang sama, tersinggung dan rugi akibat distorsi pemberitaan, ketidakakuratan berita, pemelintiran berita dan sejenisnya. Tapi mereka tidak berdaya, tidak punya kemampuan bereaksi keras seperti banyak wartawan yang “terinjak kakinya” oleh suatu pemberitaan.

Kelima, kenapa 22 dari 25 wartawan –seperti pernyataan Jhon Edward Rhony, koordinator Forum Wartawan Parlemen Sumatera Barat– di Padang itu tak keberatan menerima “bantuan” Rp 200 ribu perbulan? Kenyataan ini bisa jadi bahan kajian tersendiri. Undang-undang Pers punya pasal menyangkut kesejahteraan wartawan. Tertulis dalam pasal 10, perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Yang dimaksud dengan “kesejahteraan lainnya” adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain. Pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen dengan wartawan dan karyawan pers. Apakah perusahaan-perusahaan media yang mempekerjakan 22 orang wartawan penerima “bantuan” itu tak perduli pada kesejahteraan wartawan dan karyawannya?

ADA kekhawatiran apa yang terjadi di Sumatera Barat, terjadi juga di daerah-daerah lain. Kalau-kalau pemerintah daerah dan parlemen provinsi, kota atau kabupaten, dalam menyusun anggaran belanja mereka, mengalokasikan dana untuk wartawan.

Sistem yang selama ini sudah jalan, jika yang dikhawatiran itu terjadi, bisa jadi amburadul. Sistem yang sudah jalan ialah, pemerintah daerah menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama parlemen dan mensahkannya jadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Parlemen melakukan kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah daerah yang didanai anggaran itu. Pers, yang ujung tombaknya adalah wartawan, terpisah dan berada di sisi lain lagi. Pers melaksanakan fungsinya sebagai media informasi dan kontrol sosial, baik atas pemerintah maupun parlemen. Nah, jika para wartawan sebagian hidupnya bergantung pada alokasi dana yang ditetapkan oleh pemerintah bersama DPRD, bisa mandul pelaksanaan fungsinya. Sistem jadi kacau, amburadul. Kredo dalam dunia jurnalisme, seorang wartawan tidak boleh menerima kemudahan dari sumber-sumbernya, apalagi uang, mesti dirombak. Begitu juga Kode Etik Jurnalistik Indonesia.

Bagaimana mencegahnya? Memperhatikan kasus yang yang terjadi di Sumatera Barat, sepertinya dalam menetapkan APBD, yang di dalamnya terdapat alokasi dana bantuan kepada wartawan, DPRD Sumatera Barat melakukannya tanpa suatu pretensi. Buktinya, dengan polos Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat Syahrial menyatakan, “Kami sampaikan bahwa DPRD Sumatera Barat menganggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2002 bantuan untuk wartawan yang bertugas di kantor DPRD.” Pada bagian lain dari surat pernyataannya kepada Pantau itu disebutkan, “Bantuan dana tersebut pada prinsipnya adalah dalam rangka melakukan pembinaan ke arah yang positif.”

Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Ma’arif agaknya perlu mengambil langkah untuk memberikan penjelasan kepada pemerintah provinsi, kota dan kabupaten, mengenai soal ini. Jika ini tidak mungkin dilakukannya secara operasional, bisa dilakukan melalui Departemen Dalam Negeri.

Ini juga hendaknya jadi tanggungjawab Dewan Pers. Dewan ini punya Komisi Hukum dan Perundang-undangan. Tugasnya mengkaji produk peraturan perundang-undangan dan hukum yang dikhawatirkan mengganggu kemerdekaan pers. Komisi ini juga berhak mengusulkan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan kemerdekaan pers, seperti Undang-Undang Kebebasan Informasi dan sebagainya. Masih banyak urusan lagi di luar urusan Undang-Undang Penyiaran yang selama ini dikawal ketat oleh Dewan Pers. *

kembali keatas

by:M. Said Budairy