PADA hari Selasa 15 Januari lalu, ketika jam masih menunjukkan angka lima pagi, lebih dari selusin aparat keamanan Filipina dari berbagai kesatuan menyerbu Quiapo, sebuah daerah berpenduduk mayoritas muslim di kota Manila, untuk menangkap seorang warganegara Indonesia bernama Fathur Rohman al-Ghozi, yang hari itu rencananya terbang ke Bangkok, Thailand.

Dua hari setelah penangkapan, aparat keamanan Filipina, setelah melakukan interogasi terhadap al-Ghozi, melakukan penggerebekan di sebuah rumah di General Santos City, sebuah kota yang jaraknya ratusan kilometer selatan Manila. Rumah itu kontrakan al-Ghozi. Di sana mereka menemukan 50 kantong bahan peledak dengan berat total 1,1 ton, 300 buah detonator, dan enam rol kabel detonator masing-masing sepanjang 400 meter.

Tak ada satu pun media yang memberitakan penangkapan tersebut. Baru keesokan harinya, Jumat 18 Januari, pemerintah Filipina mebuka hasil operasi mereka. “Bahan peledak itu hendak dikirim ke Singapura,” kata Andrea Domingo, komisaris Imigrasi Filipina.

“Ia mengatakan, dirinya memiliki 1.100 kilogram bahan peledak dari penghubungnya di kota Cebu tahun lalu. Menurutnya, bahan peledak itu didatangkan dari Cebu ke General Santos untuk dikirim ke beberapa negara Asean,” kata Letnan Kolonel Jose Mabanta, jurubicara angkatan darat Filipina.

Penangkapan al-Ghozi menimbulkan efek besar. Indonesia sejak dua bulan sebelumnya sudah jadi sasaran kecurigaan sebagai “sarang teroris” terutama dari beberapa pejabat Amerika Serikat, Singapura dan Malaysia, yang getol mencari jejak al-Qaeda, organisasi pimpinan Osama bin Laden, tersangka utama serangan 11 September 2001 terhadap World Trade Center dan Pentagon. Di Indonesia tudingan itu menimbulkan perasaan resah, gelisah, marah, setengah percaya setengah tidak.

Fathur Rohman al-Ghozi, lahir dari pasangan Muhamad Zainuri dan Rukanah, di desa Mojorejo, kabupaten Madiun, Jawa Timur, pada 17 Desember 1971. Al-Ghozi adalah anak sulung dari empat bersaudara. Dua adik lelaki, Alif dan Ridho, menurut Rukanah, kini mengadu untung di Malaysia. Adik perempuan Erni tinggal bersama kedua orang tuanya di Madiun.

“Sejak kecil saya bercita-cita menjadi pengusaha yang sukses,” ujar al-Ghozi dalam wawancara tertulis dengan saya di Manila. Sejarah hidup seseorang memang tak terduga. Bukannya jadi pengusaha, al-Ghozi kini mendekam di penjara Camp Crame yang terletak di Quezon City, Manila. Pada 18 April lalu sebuah pengadilan Filipina menyatakannya bersalah karena memiliki bahan peledak secara illegal dan menghukumnya 12 tahun penjara.

Sejarah keluarga al-Ghozi erat dengan tradisi perlawanan. Ayahnya, Zainuri, adalah mantan anggota Komando Jihad yang jadi bagian dari kelompok Negara Islam Indonesia pada 1970-an. Zainuri mulai aktif sebagai aktivis Komando Jihad pada 1977. Ketika kelompok militan Islam, Jama’ah Imran, membajak pesawat Garuda Indonesia bernama Woyla di Thailand pada 1982, polisi menuduh Zainuri terlibat kegiatan itu. Ia ditahan dan dipecat dari pekerjaannya sebagai guru.

Al-Ghozi muda tentu melihat kegiatan ayahnya ini walau tak jelas seberapa jauh Zainuri terlibat pembajakan pesawat. Umar Abduh, mantan anggota Jama’ah Imron, yang pernah satu penjara dengan Zainuri di penjara Malang, pada 1982, mengatakan pada saya, “Zainuri sedikit pun tak terkait dengan kasus Woyla. Ia murni anggota NII.”

Tapi masa lalunya meninggalkan perasaan tak nyaman pada Zainuri. Agus Basuki, wartawan harian Duta Masyarakat di Madiun, mengutip pembicaraan Zainuri, “Itu bagian dari masa lalu yang tak perlu diungkit-ungkit lagi dan sudah masuk WC. Tidak ada guna, apalagi hubungan dengan Fathur.”

Ketika rezim Presiden Soeharto runtuh pada Mei 1998, Zainuri kembali ke pentas politik dan bergabung dengan Partai Bulan Bintang. Ia kini anggota DPRD Madiun, duduk di Komisi B sekaligus ketua Fraksi Bintang Nasional, gabungan Partai Bulan Bintang dan Partai Amanat Nasional. Zainuri kini percaya, perjuangan menegakkan syariat Islam lebih efektif dengan menggunakan jalan parlementer.

Adapun Rukanah, sebelumnya guru madrasah Aliyah negeri Kembang Sawit. Dua tahun lalu ia pensiun dan kini mengurus rumah tangga penuh waktu. Menurut Rukanah, sejak al-Ghozi kecil mereka terbiasa berpisah dengan anak sulungnya itu. Setelah tamat dari Sekolah Dasar Negeri I Mojorejo, al-Ghozi kemudian nyantri ke pondok pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, yang dipimpin oleh Farid Ma’ruf.

Di pesantren itu, al-Ghozi menempuh pendidikan menengah dan dididik jadi ulama. Menurut Zainuri, pilihan untuk sekolah di Ngruki, dilakukan sendiri oleh al-Ghozi. Sejak kepergiannya dari Mojorejo ke Solo, hubungan al-Ghozi dengan keluarganya praktis terputus.

“Dia memiliki nomor induk 00812 dan lulus periode ke-12 tahun ajaran 1988/1989,” ujar Farid Ma’ruf. Menurut Kamdi, paman al-Ghozi, keluarga Zainuri telah menganggap hilang anak sulungnya itu. “Saya pernah mendengar, ia kuliah di Malaysia. Tapi bagaimana sebenarnya saya tak tahu,” ujar Rukanah.

Pada 1996, si anak hilang muncul di pintu rumah keluarganya di Mojorejo. Zainuri mengatakan saat itu anaknya lebih banyak mengunjungi anggota-anggota keluarga. Tak lama berselang, al-Ghozi kembali meninggalkan Mojorejo.

Tahun lalu, kembali al-Ghozi mengunjungi keluarganya. Kali ini, menurut Zainuri, anaknya datang sambil menggandeng seorang perempuan Malaysia sebagai istrinya. Tapi, buru-buru Zainuri menambahkan, selama di rumah, al-Ghozi tak memperkenalkan istrinya itu kepada anggota keluarga lain. “Ia hanya cerita saat jadi santri di Al-Mukmin,” ujar Zainuri.

Menurut Farid Ma’ruf, di Ngruki al-Ghozi tak termasuk santri istimewa. Ma’ruf mengatakan tak begitu memperhatikan al-Ghozi. “Santri yang menonjol pasti dengan mudah dikenali para guru.”

Kepada saya di Madiun, Zainuri mengatakan anaknya pada 1990 meneruskan studi lanjut ke Lahore, Pakistan. “Kami keluarga urunan biaya untuk memberangkatkan Fathur ke Pakistan. Setelah sampai di sana, saya percaya pendidikannya tidak dipungut biaya.”

Masa-masa yang putus antara al-Ghozi dengan keluarganya itulah, antara 1990 dan 1996, yang kini jadi sumber penyelidikan dinas intelijen Amerika Serikat dan sebagian negara Asia Tenggara. Masa-masa itu al-Ghozi diperkirakan memperoleh gemblengan dari jaringan al-Qaeda di Pakistan dan Afghanistan. Menurut pemerintah Singapura dan Filipina, al-Ghozi jadi salah satu pemimpin kunci Jemaah Islamiyah, organisasi yang dianggap sebagai jaringan dari al-Qaeda di Asia Tenggara.

“Pemerintah Singapura secara positif menunjukkan bahwa Fathur Rohman al-Ghozi adalah salah seorang pemimpin kunci Jemaah Islamiyah,” ujar Robert Delfin, direktur Intelligence Group kepolisian Filipina.

“Saya tak percaya kalau anak saya terlibat jaringan teroris. Tuduhan itu bisa aja hanya pesan sponsor dari pemerintah Amerika dan negara-negara yang tunduk pada Amerika,” ujar Zainuri.

Ini mungkin naluri seorang ayah. Zainuri tak bisa menjelaskan mengapa anaknya mengakui sebagai pemilik satu ton bahan peledak yang ditemukan di General Santos City. “Saya tak tahu apa aktivitas anak saya. Ia hanya bilang bahwa selama ini ia bekerja di Malaysia sebagai pengajar atau pendakwah,” ujar Zainuri.

“Kepada penyidik Filipina, al-Ghozi mengatakan bahwa kedatangannya ke Filipina untuk melakukan jihad. Apa komentar Anda?” tanya saya lagi.

“Kalau sudah membela umat Islam yang tertindas itu tidak salah. Kalau sudah tuntutan agama, saya tidak masalah karena semuanya sudah ditakdirkan. Adik bicara dengan saya ini juga karena takdir Allah. Jadi semua itu sudah harus dikembalikan pada Tuhan Allah SWT,” kata Zainuri.

SEJARAH Islam dalam suatu masa pernah mencapai puncak tertinggi dalam peradaban dunia. Pada abad ke-15, khalifah Islam merupakan kekuatan dunia yang terbesar –tak berbeda dengan Amerika saat ini. “Pada abad ke-16, ketika Eropa masih berada dalam taraf-taraf awal pertumbuhan kekuatannya, Imperium Ottoman –yang saat itu memimpin Turki, Timur Tengah dan Afrika Utara– mungkin sudah merupakan masyarakat yang paling kuat dan paling up to date di dunia,” tulis pengarang dan ahli theologi Inggris Karen Amstrong, dalam artikelnya Penyingkapan September: Siapa, Mengapa, dan Apa Selanjutnya?

Ketika dunia Barat mulai bekerja dengan struktur ekonomi uang, meletakkan rasionalitas di atas dogma-dogma gereja yang kaku, dan membangun struktur negara-bangsa dengan batas-batas wilayah yang jelas, hukum yang memaksa, dan kekuatan militer yang besar, perlahan-lahan cahaya terang peradaban Islam meredup. Dunia Islam seperti tenggelam di bawah tindasan kolonialisme Eropa. Puncaknya, kejatuhan kesultanan Turki Ottoman, yang merupakan imperium Islam terakhir pada 1923.

Yang tadinya pemenang, kini menjadi pecundang. Tapi, sang penguasa baru tak lebih baik dari yang lama. “Kekuatan kolonial memperlakukan penduduk asli dengan penuh penghinaan, dan kaum Muslim menganggap para penguasa baru ini memandang rendah tradisi keagamaan mereka,” ujar Amstrong.

Kaum muslimin bangkit menggeliat, menantang ketertinggalan dan penindasan Barat. Reaksi itu bermacam jenis, ada yang setuju dan mencontoh kemajuan Barat. Ada yang menolak mentah-mentah, mengkafirkan Barat dan memutuskan kembali pada tradisi Islam. Yang lain coba menggabungkan kemajuan Barat dengan kearifan tradisional.

Kebangkitan radikalisme Islam merupakan reaksi terhadap modernitas. Kebangkitan radikalisme itu sekaligus merupakan jawaban terhadap tekanan eksternal yang dianggap mengancam keberadaan umat. Karen Amstrong mengatakan, fundamentalisme Islam, maupun fundamentalisme agama-agama lain, sebenarnya mencerminkan pemberontakan melawan etos sekuler dari modernitas.

Salah satunya Ikhwanul Muslimin. Organisasi ini didirikan Hasan al-Banna pada 1928 di Mesir. Al-Banna memandang keterpurukan umat Islam diakibatkan oleh represi rezim otoriter dan pengaruh dari sekulerisme, yang kapitalis maupun komunis. Ikhwanul Muslimin bermaksud menegakkan martabat umat Islam di segala lapisan kehidupan. “Sesungguhnya, Ikhwanul Muslimin adalah sebuah dakwah salafi, tarikat Sunni, hakikat sufi, badan politik, klub olahraga, ikatan forum keilmuan dan budaya, perusahaan ekonomi, dan pemikiran sosial,” ujar al-Banna.

Dalam waktu singkat Ikhwanul Muslimin tumbuh jadi organisasi besar. Tidak hanya Mesir, tapi melebar hingga ke Sudan, Tunisia, dan Yordania, bahkan Indonesia. “Ikhwanul Muslimin adalah organisasi Islam pertama dan terbesar setelah keruntuhan imperium Turki Ottoman,” tulis Fathi Yakan dalam bukunya Revolusi Hasan al-Banna.

Dalam mewujudkan tujuan politiknya, Ikwanul Muslimin menggunakan berbagai metode. Sekali waktu ikut garis parlementer, di lain saat gencar menggunakan jalan ekstra parlementer. Penggunaan kekerasan dengan sendirinya tak terelakkan. Dari struktur organisasi, Ikhwanul Muslimin menggunakan dua lapis struktur: legal dan ilegal. Akibatnya, perjalanan gerakan ini dipenuhi dengan dinamika dan ketegangan politik yang tinggi.

Menurut Fathi Yakan, dinamika dan ketegangan ini menyebabkan munculnya pelbagai kelompok atau paham pergerakan Islam yang berbeda-beda, seperti aliran radikal yang suka memakai kekerasan atau konfrontasi, aliran salaf yang tradisional, dan aliran pergerakan kooperatif yang bekerja sama dengan pemerintah.

Salah satu faksi radikal yang pertama kali memisahkan diri dari Ikhwanul Muslimin adalah faksi Jihad al-Islami, yang dipimpin Ayman al-Zawahiri. Menurut Sholahuddin, mantan anggota Negara Islam Indonesia, yang kini jadi sekretaris jenderal Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta, pada akhir 1970-an, Jihad al-Islami pecah ke dalam dua kelompok: Jihad al-Islami dan Al-Gama’a al-Islamiyya, pimpinan Syaikh Umar Abd al-Rahman.

Menurut Umar Abduh, mantan Komando Jihad, kedua organisasi radikal sempalan Ikhwanul Muslimin itu, pada Februari 1998 membangun aliansi dengan jutawan Saudi Arabia Osama bin Laden dan mengumumkan pembentukan sebuah persekutuan baru, Front Islam Dunia untuk Jihad Melawan Yahudi dan Salibis. “Jihad al-Islami dan Al-Gama’a al-Islamiyya beraliansi dengan Osama hanya untuk melawan Amerika. Tetapi secara organisasional mereka tetap terpisah,” ujar Abduh.

Aliansi itu sifatnya strategis. Ini dibuktikan dengan posisi Ayman al-Zawahiri, pemimpin Jihad al-Islami, yang jadi tangan kanan sekaligus wakil Osama bin Laden. Al-Zawahiri pula yang dilaporkan CNN pernah datang ke Aceh tahun lalu untuk melihat kemungkinan al-Qaeda melancarkan operasi mereka dari Aceh. Sedangkan Rifa’i Taha Musa-a, pemimpin Al-Gama’a al-Islamiyya, diangkat jadi anggota senior al-Qaeda.

SETELAH sukses membombardir basis-basis pertahanan al-Qaeda di Afghanistan, perburuan terhadap para teroris tak otomatis berhenti. Walau Osama bin Laden telah kehilangan basis geografisnya, ia belum tertangkap. Al-Qaeda masih beroperasi, menebar ketakutan pada Amerika Serikat serta negara-negara yang mendukung kampanye “perang melawan terorisme.”

Sasaran perang pun melebar, geografis maupun organisasional. Sejumlah negara dan kawasan di dunia diduga jadi tempat berbiak jaringan al-Qaeda. Jane’s Intelligence Review, dalam sebuah laporan berjudul “Al-Qaeda in Asia,” menyatakan al-Qaeda bukan saja berhasil membangun jaringan kerja di Amerika, Eropa, dan Afrika Timur, tapi juga Asia. “Mengingat kegemaran al-Qaeda menjalankan operasinya di sebuah negara muslim atau sebuah negara dengan populasi muslim yang substansial, negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Indonesia dan Filipina, menjadi mudah digarap.”

Mengapa Asia Tenggara dianggap lahan subur bagi jaringan al-Qaeda? Lee Kuan Yew, menteri senior Singapura, dalam sebuah pidato sebuah konferensi keamanan Juni lalu di Singapura, menyebut tiga faktor yang mendorong radikalisasi sebagian umat Islam Asia Tenggara.

Pertama, sejak harga minyak meningkat hingga empat kali lipat pada 1973, pemerintah Saudi Arabia mulai membantu membiayai aktivitas dakwah, pembangunan masjid-masjid dan sekolah-sekolah agama di seluruh dunia Islam. Saudi Arabia juga menggaji para ulama secara seksama untuk mengajarkan dan mempraktekkan ajaran Islam yang konservatif versi Wahabi.

Kedua, tergulingnya rezim Shah Iran Reza Pahlevi melalui revolusi pimpinan para ulama pada 1979. Kemenangan itu memberikan dampak yang mendalam pada kaum muslimin mengenai keyakinannya pada kekuatan Islam.

Ketiga, partisipasi kaum muslimin Asia Tenggara dalam jumlah besar dalam perang di Afghanistan 1980-an dan 1990-an. Partisipasi ini membantu radikalisasi kaum Muslimin di kawasan ini.

Ketika Fathur Rohman al-Ghozi dibekuk, mata aparat intelijen dan wartawan langsung tertuju ke Indonesia. Negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini, dianggap sebagai tempat yang rentan terhadap aktivitas teroris internasional. Menurut Angel M. Rabasa, dalam sebuah kertas kerja berjudul Southeast Asia After 9/11: Regional Trends and US Interest, yang disampaikannya dalam sebuah dengar pendapat kongres Amerika Serikat, di tengah-tengah situasi politik yang tak menentu, krisis ekonomi yang berlarut-larut, dan penegakan hukum yang lemah, Indonesia merupakan lahan subur bagi terorisme, kelompok-kelompok radikal, dan gerakan-gerakan separatis. “Walau jumlah mereka kecil, tapi mereka potensial mempengaruhi lapisan terbesar penduduk muslim,” kata Rabasa.

Reyko Huang, analis senior dari Center for Defence Information, yang berbasis di Washington, dalam analisisnya menyatakan, di Indonesia ditemukan bukti yang samar-samar bahwa terdapat beberapa organisasi Islam radikal yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda. Huang terutama menunjuk Abubakar Ba’asyir, ulama dari pesantren Ngruki, sebagai pemimpin spiritual Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok teroris yang dituduh bertanggungjawab atas serangkaian tindakan pemboman di Indonesia dan Filipina, dalam dua tahun terakhir. Ngruki adalah almamater al-Ghozi.

Reyko Huang juga menyebut nama Nurjaman Riduan Isamuddin alias Hambali, murid pengajian Ba’asyir ketika keduanya tinggal di Malaysia pada 1990-an. Hambali dituduh pemerintah Malaysia sebagai tokoh Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM). Kedua organisasi ini, Jemaah Islamiyah dan KMM, mempunyai sel-sel yang rapi di Asia Tenggara. Beberapa anggotanya yang dilatih di Afghanistan, mempunyai tugas utama memperluas jaringan al-Qaeda di kawasan ini.

SEMUA tudingan pada jaringan al-Qaeda di Asia Tenggara, menariknya selalu menyinggung figur Abubakar Ba’asyir. Mungkin ini tak lepas dari sejarah politik Ba’asyir yang identik dengan gerakan Islam radikal. Menurut Umar Abduh, pada 1977, Ba’asyir bersama dengan sahabat seperjuangannya, Abdullah Sungkar, dibaiat oleh Haji Ismail Pranoto atau lebih dikenal dengan panggilan Hispran, untuk jadi anggota Negara Islam Indonesia yang saat itu dipimpin Adah Djaelani Tirtapradja.

Ini dibantah Ba’asyir. “Kalau sekadar berteman dengan orang-orang NII ya,” ujar Ba’asyir pada saya. Apalagi Hispran dianggapnya sebagai agennya Ali Murtopo, mantan kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional dan asisten khusus Presiden Soeharto.

Tapi Abduh yakin bahwa Sungkar dan Ba’asyir pernah berbaiat pada Hispran. Ketika saya beritahu anggapan Ba’asyir bahwa Hispran mata-mata, Abduh merasa terkejut, karena Sungkar dan Ba’asyir sangat menghormati Hispran. “Tapi kalau ia membantah pernah menjadi anggota NII, saya kira itu kesadaran sekarang. Ini dalam kerangka menyelamatkan diri,” kata Abduh.

Di mana sebenarnya letak radikalisme pemahaman agama Sungkar dan Ba’asyir? Menurut Sholahudin, wartawan yang pernah jadi anggota Negara Islam Indonesia, sebenarnya secara fikih, pemahaman Sungkar dan Ba’asyir tak beda dengan pemahaman mayoritas umat. Artinya, kalau mereka ngomong soal hukum Islam, hampir sama dengan yang diajarkan pesantren-pesantren Muhamadiyah. Pembedanya terletak pada bobot politisnya yang tinggi, sehingga pada dekade 1980-an, pesantren Ngruki, yang didirikan Ba’asyir, mulai dipandang sebagai pesantrennya kaum radikal.

“Bobot politisnya, terutama soal konsep negara Islam. Bagi mereka, keberadaan negara Islam dipandang penting karena mereka yakin Islam itu adalah way of life, satu sistem kehidupan yang meliputi tidak hanya aspek ritual seperti sholat, zakat, dan puasa. Tapi menyangkut aspek sosial dan politik. Nah, yang berlaku sosial itu tak bisa tegak jika tak ada institusi bernama negara. Pada tahapan ini, mereka merujuk kepada satu kaidah ushul fiqih yang mengatakan mala yatimul wajibul iladhihim wahuwa wajibun (kalau sesuatu itu menyebabkan menjadi syarat utama tegaknya hal sesuatu yang lain, maka sesuatu itu menjadi wajib hukumnya). Jadi, tanpa adanya negara Islam tidak mungkin syariat Islam bisa tegak,” ujar Sholahudin.

Pemahaman macam ini mendorong Sungkar menyebut rezim Soeharto sebagai pemerintahan thogut atau pemerintahan setan. Pada 1978 mereka ditangkap dengan tuduhan subversi. Keduanya ditahan tanpa proses pengadilan selama empat tahun. Pada 1982 mereka diadili dan dijatuhi hukuman penjara 12 tahun. Tapi Sungkar dan Ba’asyir banding dan pada 1984 kabur ke Malaysia.

Di Malaysia Sungkar dan Ba’asyir terus aktif di pengajian-pengajian lokal, mendakwahkan pentingnya ditegakkan syariat Islam. Menurut Ba’asyir, mereka menyebut kelompok pengajiannya As-Sunnah. Dengan berkobarnya perang di Afghanistan dan Mindanao, Filipina Selatan, keduanya makin menjalankan aktivitasnya. Ba’asyir mengatakan umat Islam wajib membantu dan membela saudaranya sesama muslim yang sedang ditindas kaum kafir. Ba’asyir pernah berkunjung ke Pakistan dan bertemu dengan para mujahidin anti-Uni Soviet di perbatasan Afghanistan-Pakistan.

Pengalaman internasional itu menambah luas cakrawala pergerakan Sungkar dan Ba’asyir. Jika sebelumnya, visi mereka menegakkan negara Islam Indonesia, kini berjuang menegakkan khilafah Islamiah. Menurut Umar Abduh, pada 1995 Sungkar dan Ba’asyir menyatakan keluar dari struktur maupun ajaran NII. Keduanya menggabungkan diri secara manhaji (metodologis) kepada Al-Gama’a al-Islamiyya pimpinan Omar Abd al-Rahman. “Saya katakan secara manhaji (metodologis). Ini berbeda dengan afiliasi secara organisasional, dan soal ini saya tak memiliki fakta yang akurat,” ujar Abduh.

Ketika hal ini saya verifikasi pada Ba’asyir, ia membantahnya. “Cerita itu semuanya merupakan rekayasa kaum kafir. Saya tak pernah gabung dengan Al-Gama’a al-Islamiyya. Tapi saya kenal mereka sebagai organisasi yang berkedudukan di Mesir.”

Memang tak mudah membuktikan keterlibatan Abubakar Ba’asyir dengan Al-Qaeda apalagi kalau mengacu pada aktivitas Ba’asyir di Indonesia sesudah ia memutuskan pulang dari Malaysia pada 2000. “Saat ini mereka mencoba menggunakan cara-cara demokratis untuk mengkampanyekan penegakan syariat Islam. Kalau di luar negeri saya tak tahu,” kata Abduh.

Sangat lemahnya bukti menyebabkan pemerintah Indonesia kesal dengan beragam tudingan mengenai keterlibatan al-Qaeda di negeri ini. “Beri kami bukti-bukti yang kuat bahwa ada jaringan al-Qaeda di Indonesia,” tantang Marty M. Natalegawa dari Departemen Luar Negeri Indonesia.

Sikap pemerintah Indonesia yang tak tegas mendukung kampanye Amerika, membuat gerah para politisi Washington, Singapura, Kuala Lumpur dan Manila. Tapi, tak benar jika dikatakan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tak melakukan tindakan yang mengarah pada dukungan terhadap Amerika.

Januari lalu Jakarta menangkap dan mengirim warganegara Pakistan bernama Havis Muhhamad Saad Iqbal ke Mesir karena dituduh terlibat terorisme di sana. Iqbal juga diduga terlibat insiden 22 Desember 2001 ketika warganegara Inggris Robert Reid, hendak meledakkan pesawat American Airline jurusan Paris-Miami dengan bahan peledak dalam sepatunya. Reid diringkus awak pesawat dan penumpang lain.

Pada 5 Juni lalu Jakarta juga menangkap warganegara Kuwait Omar al-Faruq di Jawa Barat dan mengirimnya ke Amerika Serikat. Al-Faruq dituduh sebagai penggalang dana sebuah yayasan Islam tapi sebagian dananya untuk al-Qaeda di Indonesia. Nama dan nomor telepon al-Faruq ditemukan bersamaan dengan penangkapan Abu Zubayda, kepala operasi al-Qaeda di Pakistan.

Tapi dibandingkan dengan apa yang dilakukan pemerintah Malaysia, Singapura dan Filipina, tindakan pemerintah Indonesia memang terkesan minimalis. Singapura menangkap 15 anggota Jamaah Islamiyah sedang Malaysia sekitar 60 orang. “Dukungan pemerintah Indonesia terhadap perang melawan terorisme, secara esensial hanya terbatas retorika. Tidak dalam implementasi,” kata Reyko Huang.

“Sebabnya, karena Presiden Megawati Soekarnoputri tergantung pada koalisi partai politik Islam untuk dukungan politik yang dibutuhkan pemerintahnya,” kata Dana Dillon dari The Heritage Foundation, Washington.

Mungkin kehati-hatian ini pula yang membuat penangkapan Omar al-Faruq alias Mahmoud bin Ahmad Assegaf tak banyak dipublikasikan pemerintah Indonesia. Media Indonesia tak banyak memberitakannya walau informasi ini sudah diberitakan CNN dan The New York Times.

SALAH satu tuduhan Manila pada Fathur Rohman al-Ghozi adalah kedudukannya sebagai salah satu pemimpin kunci Jemaah Islamiyah. Jemaah Islamiyah dituduh sebagai organisasi dalam jaringan al-Qaeda yang beroperasi di Asia Tenggara. Tujuan utamanya mendirikan negara Islam Asia Tenggara. Abubakar Ba’asyir dituduh sebagai pemimpin spiritual organisasi ini.

Menurut Robert Delfin, direktur intelijen kepolisian Filipina, awal keterlibatan al-Ghozi bermula ketika menempuh pendidikan studi Islam di Lahore. Pada 1992, dua warganegara Indonesia merekrut al-Ghozi untuk bergabung dengan Jemaah Islamiyah. Dalam proses penyidikan, al-Ghozi mengatakan ia sering pergi ke sebuah kamp perbatasan Pakistan-Afghanistan, selama satu bulan untuk ikut latihan senjata dan pemboman pada 1993-1994. “Kamp itu diasosiasikan dengan al-Qaeda,” ujar Delfin.

Setelah merampungkan studinya, menurut kesaksian al-Ghozi di hadapan tim kejaksaan Filipina yang dipimpin jaksa Peter Ong, al-Ghozi diperintahkan oleh Abubakar Ba’asyir untuk mengambil bagian dalam perang jihad di Filipina. Metodenya menyusup ke Filipina melalui General Santos City di Cotabato Selatan. Dari Manado, ibukota propinsi Sulawesi Utara, al-Ghozi memulai misinya pada Desember 1996.

“Selama beberapa tahun pertama, ia di sini belajar bahasa lokal, membuat rekening bank, dan mendapatkan paspor,” ujar Peter Ong.

Al-Ghozi sering pindah-pindah tempat antara Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura, untuk menghindari pengamatan aparat keamanan. Untuk melengkapi penyamarannya, dia memegang lima paspor dengan nama samaran berbeda-beda seperti, Sammy Sali Jamil, Abu Saad, Randy Adam Alih, dan Mike Saad. Al-Ghozi juga menguasai beberapa bahasa, termasuk bahasa Inggris, Arab, Tagalog, dan tiga dialek Filipina. Semua kesaksiannya kepada penyidik Filipina dijawabnya dalam bahasa Tagalog. Saya melihat dokumen-dokumen itu tapi sayang tak mengerti isinya.

Ketika pemerintah Malaysia dan Singapura menangkap puluhan anggota Islam militan Desember dan Januari lalu, al-Ghozi tak berada di dua negara tersebut karena harus melakukan operasi di tiga negara lain termasuk Indonesia.

“Ia sangat, sangat cerdas. Ia berbicara dengan sangat halus dan ia tidak pernah marah. Tapi ia sangat berdedikasi,” ujar Ong.

Menurut penyelidikan Manila, al-Ghozi mengemban tugas khusus dalam Jemaah Islamiyah, terutama tugas dari Faiz bin Abu Bakar Bafana, seorang pengusaha yang digambarkan sebagai anggota Jemaah Islamiyah wilayah shura atau dewan utama. Bafana kini mendekam di penjara Singapura.

Al-Ghozi juga diberitakan menyebut nama Nurjaman Riduan Isamuddin, anggota lain wilayah shura yang dicurigai sebagai orang pertama al-Qaeda di Asia Tenggara. Isamuddin alias Hambali pada Januari 2000, menampung dua orang yang kemudian ikut membajak pesawat American Airlines yang digunakan menyerang Pentagon pada 11 September 2001. Kini Hambali jadi orang yang paling dicari di Asia Tenggara. Pemerintah Malaysia, Singapura, Filipina, dan Indonesia memburunya. Hambali dipandang sebagai tokoh kunci untuk menguak struktur al-Qaeda di kawasan ini.

Tapi semua cerita versi Manila itu dibantah al-Ghozi kepada saya. Saya menemui al-Ghozi akhir Mei lalu di selnya di Camp Crame. Tak mudah menemui al-Ghozi karena statusnya sebagai tahanan kelas tinggi. Tapi al-Ghozi sendiri juga tak pernah mau memberikan keterangan terhadap pers. Kedutaan Indonesia di Manila selalu memberikan jalan bagi orang yang ingin ketemu dia, terutama wartawan dari Indonesia. Tapi al-Ghozi tak mau. Untuk seluruh soal hukum, karena ia masih menghadapi dakwaan maupun pemeriksaan lain, dia sudah mendelegasikan pada pengacaranya. Di luar persoalan hukum, no comment.

Saya bisa bertemu al-Ghozi dengan alasan mengunjungi Agus Dwikarna, warganegara Indonesia yang dituduh memiliki dua buah bahan peledak plastis C4 dan empat kabel detonator. Sel Dwikarna berdekatan dengan al-Ghozi. Dwikarna dihukum 17 tahun penjara oleh pengadilan Manila.

Ketika saya temui al-Ghozi kelihatannya kurus. Kulitnya nampak bersih, mungkin karena jarang terkena sinar matahari. Dia sempat mengeluh kepada saya karena tak diizinkan ikut sholat Jumat. Pertemuan itu sangat singkat sekali. Saya praktis tak bisa bicara bebas karena pengawasan ketat polisi Filipina. Saya hanya memperkenalkan diri dan minta ia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya secara tertulis sepanjang tiga halaman.

Al-Ghozi tak berjanji apa-apa. Tapi jawabannya saya terima beberapa hari kemudian. “Itu semua hanya cerita yang dibuat-buat dan tak ada buktinya. Tak masuk akal,” ujar al-Ghozi.

“Bagaimana pendapat Anda tentang sosok ustadz Abubakar Ba’asyir?” tanya saya.

“Ketika saya sekolah di pesantren tersebut, beliau tidak ada dan tak pernah jumpa. Saya hanya mengenal lewat berita-berita yang ada di media massa sekarang ini saja,” jawab al-Ghozi.

Atty Linzag, pengacara al-Ghozi dari Linzag Arcilla dan Associates Law Office, juga mengatakan kliennya sama sekali tak bersalah. “Saya tak percaya kalau al-Ghozi terkait dengan jaringan al-Qaeda,” ujar Linzag yang saya wawancarai di kantornya di Manila.

“Apa dasar ketidakpercayaan Anda?” tanya saya lebih lanjut.

“Karena tak ada bukti-bukti yang mendukung tuduhan itu,” ujar Linzag.

“Tapi di rumah kontrakannya di General Santos, ditemukan bom dalam jumlah besar,” tanya saya lagi.

“Itu benar, tapi harus dilihat bahwa bom itu tidak dikontrol secara khusus. Rumah itu bisa diakses oleh publik. Lagi pula, al-Ghozi di tangkap di Quiapo, sementara bom itu ada di General Santos. Bahwa al-Ghozi ahli bom benar, tapi keahlian itu bukan sebuah tindakan kriminal,” ujarnya.

“Tapi al-Ghozi telah mengakui bahwa bom itu miliknya,” tanya saya.

“Saya juga tak mengerti mengapa al-Ghozi menyatakan bersalah (plea guilty). Nampaknya ia dibujuk oleh aparat kepolisian untuk mengakui sebagai pemilik bom itu agar hukumannya ringan,” kata Linzag.

Terhadap semua bantahan itu, termasuk yang dilontarkan oleh Zainuri, kepolisian Filipina tak bergeming. Mereka bersikukuh al-Ghozi terkait dengan al-Qaeda. “Bagaimana bisa ia mengatakan anaknya tak terkait dengan aktivitas teroris, padahal ia sudah tak bertemu al-Ghozi sejak 1997,” ujar Robert Delfin.

Sholahuddin juga menilai janggal jika al-Ghozi tak kenal dengan Ba’asyir. “Nggak mungkinlah, nama Ba’asyir itu legenda di pesantren Ngruki. Jadi nggak mungkin kalau dia mengatakan tidak kenal,” ujarnya.

Keterangan al-Ghozi juga janggal karena Ba’asyir sendiri kepada saya mengatakan kalau pada 1990-an ia pernah bertemu al-Ghozi di Malaysia. “Tapi saya tak pernah mengutusnya untuk melaksanakan jihad di Filipina,” kata Ba’asyir.

Menurut Umar Abduh, al-Ghozi memang tak berada di bawah kontrol Ba’asyir. “Hubungannya dengan Abu Jibril, sesama pelarian politik dari Indonesia yang bermukim di Malaysia,” ujar Abduh.

Abu Jibril kakak kandung dari Irfan S. Awwas, sekretaris jenderal Majelis Mujahidin Indonesia. Abu Jibril salah seorang tokoh NII di Malaysia. Ketika terjadi perpecahan pada 1995 di Malaysia, di mana Abdullah Sungkar dan Ba’asyir melepaskan diri dari NII, Abu Jibril tetap bertahan di NII. Ia kemudian membangun Jemaah Islamiyah versi NII dan melawan Jemaah Islamiyah versi Sungkar yang berafiliasi pada Al-Gama’a Al-Islamiyya.

Perpecahan antara kubu Sungkar-Ba’asyir dengan kubu Abu Jibril, nampaknya mulai cair setelah Abdullah Sungkar wafat. Momentum itu terjadi pada saat pelaksanaan kongres Majelis Mujahidin Indonesia pada 5-7 Agustus 2000 di Yogyakarta. Kongres yang diprakarsai oleh Awwas dan dihadiri Abu Jibril, sepakat mengangkat Ba’asyir sebagai ketua Ahlul Halli Wal Aqdi atau Amirul Mujahidin.

“Kenapa ceritanya sampai terhubung pada Abu Jibril? Pada tanggal 30 Juni 2001, ia telah mendekam dalam tahanan pemerintah Malaysia, jadi dia sama sekali tidak terkait dengan kasus peledakan World Trade Center,” kata Irfan S. Awwas.

30 DESEMBER 2000, lima ledakan bom yang hampir bersamaan mengguncang kota Manila. Kegembiraan warga kota yang bersiap merayakan pergantian tahun mendadak berubah murung. Kemarahan dan kesedihan meruyak di mana-mana.

Bom masing-masing meledak di sebuah stasiun Light Rail Transit, sebuah bus penumpang di Quezon City, dua pompa bensin di Edsa dan Pasay Road, serta sebuah gudang angkutan udara di bandar udara Ninoy Aquino. Bom yang meledak di stasiun menewaskan 22 orang termasuk anak-anak dan mencederai 100 orang lainnya.

Sehari setelah pemboman, seseorang yang menyebut dirinya “Freedom Fighter,” mengaku bertanggung jawab atas pemboman itu. “Katakan pada Presiden bahwa ini adalah balas dendam atas apa yang terjadi di Mindanao,” ujar si penelepon.

Kejadian yang dirujuk adalah saat Presiden Joseph Estrada, pada Maret sampai Juni 2000, memerintahkan sekitar 3.000 tentara Filipina, menyerbu Camp Abubakar, markas besar Moro Islamic Liberation Front (MILF), di Mindanao, Filipina Selatan. Camp Abubakar jatuh ke tangan militer Filipina. Anggota-anggota MILF yang selamat melarikan diri ke pegunungan sejauh lima kilometer dari Camp Abubakar. Di sana mereka membangun camp baru yang dinamakan Camp Jabal Nur.

Identitas “Freedom Fighter” tak bisa diungkap kepolisian Filipina. Apalagi pada saat bersamaan, di Manila sedang terjadi gejolak politik nasional, di mana Presiden Estrasa tengah menghadapi pengadilan impeachment dari Senat Filipina mengenai keterlibatannya dalam perjudian illegal dan korupsi.

Identitas "Freedom Fighter" baru terkuak dua tahun kemudian ketika Fathur Rohman al-Ghozi tertangkap.

“Benar, saya adalah salah seorang yang merencanakan dan membawa ke luar bom-bom yang menewaskan banyak orang, melukai dan merusak beberapa gedung,” ujar al-Ghozi dalam pengakuan tertulis di hadapan panel jaksa pimpinan Peter Ong.

Bagaimana al-Ghozi sampai terkait dengan pemboman itu? Menurut aparat keamanan Filipina, ceritanya dimulai ketika al-Ghozi mendapat tugas khusus dari Jemaah Islamiyah untuk menyusup ke Filipina pada 1996. Ketika pertama kali masuk ke Filipina, kontak al-Ghozi adalah Haji Onos alias Muklis Yunus, pemimpin MILF.

Hubungan antara Haji Onos dan al-Ghozi, sebenarnya telah berlangsung lama. Keduanya pernah dilatih bersama oleh al-Qaeda pada 1993. Melalui Haji Onos, al-Ghozi bisa menginjakkan kaki di Camp Abubakar, pada 1996. Di sini ia tinggal di Campo Muslim, sebuah komunitas muslim di Cotabato City. Di sini pula ia belajar bahasa Tagalog dan mengajarkan cara menggunakan bahan-bahan peledak kepada para pejuang MILF.

"Ya, sebelumnya, beberapa orang Indonesia pernah datang ke Camp Abubakar," ujar Mating Magandatao, imam yang tinggal di desa Tugaig, kota Barira, kepada Newsbreak, sebuah majalah politik Manila.

"Kami tidak memahami bahasa mereka. Mereka kelihatannya seperti kami, dan kami juga bertanya kepada sekeliling dan memperoleh keterangan bahwa mereka adalah orang Indonesia. Mereka orang-orang baik," tambah Magandatao.

Tapi MILF melalui wakil ketua bidang politik, Ghazali Jaafar, membantah adanya keterlibatan orang asing dalam organisasinya. "Tentang al-Ghozi, kami tidak mengetahui siapa dirinya dan kami tidak pernah menggunakan tenaga asing untuk melatih para pejuang kami. MILF tidak membutuhkan bantuan orang asing," ujar Jaafar.

“Ini adalah bentuk lain dari upaya menuduh MILF sebagai organisasi teroris,” ujar Eid Kabalu, juru bicara MILF, seperti dikutip Philippine Star News.

Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, juga membantah keterlibatan MILF dalam jaringan al-Qaeda. “Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pemimpin MILF yang menyatakan bahwa mereka tidak beraliansi dengan Abu Sayyaf atau Osama bin Laden, dan bahkan dengan al-Qaeda,” ujar Arroyo di depan sekitar 1.500 penduduk kelurahan Culiat, Quezon City.

Lalu, dengan siapa al-Ghozi membangun kontak di Mindanao? Mari kita balik sebentar ke Malaysia, tempat di mana Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir mengungsi. Selama di pengungsian, jaringan Malaysia ini mengirim para kader terbaiknya ke dua tempat utama, Afghanistan dan Mindanao. Di sana mereka diperintahkan melakukan perang jihad membela sesama saudara Muslimnya.

Berdasarkan pengakuan tertulis al-Ghozi kepada panel jaksa Filipina, kedatangannya ke Filipina atas perintah Abubakar Ba’asyir. Di Mindanao, ia aktif di Camp Abubakar. Selepas dari Camp Abubakar, mereka lantas membentuk kompi Badar, yang sangat radikal.

Menurut Sholahudin, ketika kembali ke Indonesia, para bekas anggota kompi Badar ini membentuk apa yang disebut Angkatan Mujahidin Islam Nusantara. “Mereka ini terkenal radikal, bahkan di kelompok NII sendiri mereka tidak dianggap sebagai bagian dari NII.”

Al-Ghozi hanya tinggal sebulan lamanya di Camp Abubakar untuk kemudian kembali ke Indonesia. Tak banyak yang mengetahui aktivitasnya selama 1997. Pada Maret 1998, al-Ghozi kembali masuk Filipina dan kembali bekerja di bawah perintah langsung Faiz bin Abubakar Bafana dari Singapura. Kembali ia mengunjungi Camp Abubakar dan beberapa kota di wilayah yang berbeda. Dengan kemampuan bahasa Tagalog yang baik, al-Ghozi membangun kontak dan mulai merekrut pengikut. Ia juga membuka sebuah rekening bank di selatan kota Zamboanga dan untuk pertama kalinya memperoleh paspor Filipina.

Pada Maret 1999, al-Ghozi kembali ke Filipina. Kali ini ia mengemban misi khusus, membangun jalur untuk pembelian bahan peledak. Ia bertemu dengan Haji Onos pada Oktober 2000 di Marawi City. Dalam pertemuan kedua ini, menurut pengakuan tertulis al-Ghozi, Haji Onos minta bantuannya untuk membiayai serangkaian pemboman di Manila.

"Ia (Haji Onos) mengatakan pada saya bahwa mereka mempunyai sebuah program yang merupakan bagian dari jihad, tapi mereka tidak memiliki uang dan meminta bantuan saya. Program ini juga merupakan bagian dari balas dendam atas serangan terhadap Camp Abubakar," ujar al-Ghozi dalam pengakuan tertulis dalam bahasa Tagalog, seperti dikutip harian Manila Standard.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Permintaan bantuan itu bagi al-Ghozi adalah sebuah peluang emas untuk suksesnya tugas yang dibebankan padanya. Ia segera menghubungi Bafana, menyampaikan permintaan Haji Onos itu. Bafana tampaknya setuju dan mengirim uang sebesar US$500 kepada al-Ghozi.

"Al-Ghozi mengatakan, ia memberikan uang total sebesar 25 ribu peso kepada Muklis alias Haji Onos, salah seorang anggota MILF. Uang tersebut digunakan untuk membeli 70 kg bahan peledak di Cebu," ujar Peter Ong.

Tak lama sesudahnya, Manila diguncang lima ledakan bom beruntun. Beberapa jam setelah ledakan itu, dengan menggunakan telepon seluler, al-Ghozi menghubungi Faiz bin Abubakar Bafana dan Hambali. Lalu dengan paspor lain, ia terbang ke Malaysia.

"Itu tidak benar, mau kontrak rumah sendiri saja belum mampu, apalagi membiayai hal tersebut," ujar al-Ghozi membantah seluruh cerita yang dikembangkan oleh pemerintah Filipina.

Mengungkap siapa Fathur Rohman al-Ghozi bukanlah pekerjaan mudah. Dia mengakui memiliki bahan peledak satu ton dan dihukum penjara 12 tahun. Soal tuduhan Jemaah Islamiyah, Abubakar Ba’asyir atau pemboman 30 Desember 2000 masih perlu dibuktikan. Saya mengingatnya sebagai seorang pemuda kurus, sopan, bicara bahasa Inggris dengan Agus Dwikarna (sesama orang Indonesia), dan berkulit bersih yang ditahan di Camp Crame.*

by:Coen Husain Pontoh