Dari Gontor ke Pulau Buru

Indarwati Aminuddin

Mon, 5 August 2002

“BUKU itu salah, baik secara tehnis ataupun isinya. Jadi anggap saja tak pernah ada,” suara H Muchadi Moestahal bergetar dari balik telepon.

“BUKU itu salah, baik secara tehnis ataupun isinya. Jadi anggap saja tak pernah ada,” suara H Muchadi Moestahal bergetar dari balik telepon. Penulis memoar ‘Dari Gontor ke Pulau Buru’ itu buru-buru melanjutkan komentarnya. “Dan saya tak bisa terima wartawan, lagi sakit.”

Haji Moestahal, panggilan akrabnya jadi sulit ditemui. Rumahnya di Ciasem I kosong. Telepon berdering tak lagi diangkat. Memoar yang cetak perdana April 2002, lalu ditarik mendadak dari pasaran rupanya membuat pria tua itu shock. Tak ada yang tahu persis penyebabnya.

Padahal, tak ada yang mengejutkan dari buku itu. Halaman awal buku bersampul hijau tua dengan cover H Moestahal mengutip komentar Pramoedya Ananta Toer. “Perjalanan adalah hak bagi orang yang mengalami untuk diapakan saja olehnya sendiri, dan tak ada kekuatan yang bisa merampasnya (1988).”. Isinya bercerita banyak perjalanan seorang santri muda yang belajar formal di pesantren Gontor Ponorogo dan Pesantren Tebuireng, Jombang. Ada satu nama kyai yang ikut membentuk kepribadian Moestahal muda ketika itu, yakni Kyai Haji Abdul Mu’thi. Lalu Joko Suyono, yang dianggap guru politiknya. Seorang pemimpin tentara progresif-revolusioner ketika itu.

Lahir di Pati, Jawa Tengah, 17 April 1928, Moestahal kental dengan suasana keagamaan. Dan berlanjut hingga aktif di Tentara Keamanan Rakyat, embrio TNI. Dalam satu peristiwa, ia lalu banting haluan perjuangan, ke kiri. Sebuah gerakan yang menurutnya mempertemukan antara ideologi dan agama. Ia merasakan getaran dan bisa menghayatinya di suasana serba panas ketika itu. Setelah pecahnya Gerakan 30 September atau G30 S/ PKI, Moestahal menjadi buron, lalu akhirnya menjadi tahanan politik 1965-1966. Tapi itu tidak mengurangi minatnya pada gerakan kiri ini. Karena baginya, semua opini tentang haluan kiri dan penindasan, kezaliman yang dialaminya adalah sesuatu yang akan terlindas sejarah.

“Saya menunjukkan simpati saya terhadap gerakan kiri karena menurut saya, memang ada persamaan-persamaan antara ajaran islam dengan pandangan orang sosialis komunis waktu itu,” katanya. Ia berkata lagi. “Yang dimusuhi ideologi kelompok ini sama dengan ajaran Islam, yakni kemiskinan, keterbelakangan, praktek diskriminasi. Jadi…semboyan-semboyan revolusi Perancis tentang perjuangan kebebasan, persamaan dan kemerdekaan ini, juga sama sebetulnya, bisa didapat dalam sikap ajaran Islam.”

Pandangan itu makin mengental seiring kekagumannya pada Presiden RI pertama, Soekarno. Di mata Moestahal, Soekarno adalah pemimpin yang tidak sekadar pemimpin. Ia mendudukkan hubungan nasional, hubungan Islam serta pergerakan dalam satu arah bagi landasan persatuan Indonesia. “Ini terlihat jelas saat Soekarno menjawab surat dari Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), A Dahlan Ranuwijaya, yang minta penjelasan tentang negara nasionalis, Isla, ideologi Pancasila dan ideologi Islam,” tulis Moestahal. Jawaban Soekarno?

“Bagaimanapun juga, aku minta kepada segenap bangsa Indonesia, baik yang nasionalis, maupun Islam, maupun Kristen, maupun Budha, maupun yang tidak beragama supaya menginsyafi benar-benar periode dimana kita hidup sekarang (1953), dengan tidak mengurangi HAM, mempropagandakan ideologi masing-masing, dengan tidak melarang umat Islam mempropagandakan islamnya, kaum komunis mempropagandakan komunisnya.”

Karena bau komuniskan buku itu ditarik? Penerbitnya, Syarikat tidak memberikan komentar apapun. Tekanan pemerintah? Sepertinya bukan. Penyunting buku itu, Ahmad Subhan Burhan, biasa disingkat A.S Burhan bercerita, buku tersebut ditarik dengan alasan ‘sangat pribadi’. “Tekanan keluarga. Itu yang pasti. Mereka trauma dan saya juga ikut sadar, kalau sebenarnya buku itu terbit disaat yang tidak tepat,” katanya. “Ehm..tapi saya tidak tahu kalau ada kesalahan tehnis ataupun isi seperti kata Pak H Moestahal,” sambungnya.

Burhan mengenal H Moestahal Desember 2000 di gedung LIPI Jakarta dalam seminar ‘Masa lalu dan kemanusiaan’. Tahu-tahu ia cocok dengan mantan tahanan politik 1965-1966. Begitu sebaliknya. Burhan tertarik perjalanan hidup H Moestahal dan pria tua itu, sejak ditahan di Rutan Salemba, telah berniat mengalirkan cerita hidupnya, agar tidak sekadar menjadi cerita dalam tembok penjara. Setali tiga uang. Kisah itupun mengalir. Burhan jadi penyunting. Setahun, dan harus hati-hati, menorehkan bahasa lisan H Moestahal jadi tulisan. Juga ada sebersiit ketakutan, tekanan keluarga terulang, misalnya.

“Saya lalu bertanya, sudah beritahu keluarga, Pak Haji?”

Pria tua yang ingatannya cukup kuat dan sangat serius mengikuti perkembangan politik di Indonesia berucap.” Nanti..nanti saya sampaikan pelan-pelan.” Dan penulisan memoar itupun jalan terus.

Keduanya makin lengket. Tidak hanya soal memoar dan sejarah politik H Moestahal yang dialirkan dalam persahabatan itu. Masalah pribadi sering nyerempet tanpa sadar dari lubuk hati pria tua itu. “Disebut apa ya? Teman curhat?”

Buku itupun terbit. Bercover H Moestahal dengan senyum cerah. Yang laku belum seberapa, saat buku ditarik. Burhan masgul. Dan baru tahu, H Moestahal tidak memberitahu keluarganya. H Moestahal tersudutkan oleh keluarganya.“Mulanya saya tidak bisa menerima penarikan itu, tapi lalu tersadar, opini publik dan pemerintah kan memandang kelompok ini seperti apa ya?”. Ia akhirnya setuju—dengan penyesalan ikut membuat hati tua itu terluka di usia lanjutnya. “ Kasihan orangtua itu,” katanya. *

kembali keatas

by:Indarwati Aminuddin