Dari Columbia hingga Pesantren Al-Zaitun

Septiawan Santana Kurnia

Mon, 5 August 2002

WENDI Ruky merasa beruntung belajar di Columbia Graduate School of Journalism. “Kalau orang lain belajar from scratch di lapangan, saya belajar di Columbia, begitu kerja betulan, nggak perlu mulai dari nol,” katanya.

WENDI Ruky merasa beruntung belajar di Columbia Graduate School of Journalism. “Kalau orang lain belajar from scratch di lapangan, saya belajar di Columbia, begitu kerja betulan, nggak perlu mulai dari nol,” katanya.

Ruky memang beruntung. Ia satu dari sedikit wartawan Indonesia yang makan sekolahan. Columbia yang dimaksudnya adalah sekolah wartawan terkemuka di metropolitan New York. Columbia termasuk sekolah jurnalisme terbaik di Amerika Serikat. Tiap tahun Columbia menyelenggarakan pemilihan hadiah Pulitzer—penghargaan jurnalisme tertua di sana yang dimulai sejak 1904. Kini Ruky produser Trans TV.

Ruky beruntung karena model pengajaran Columbia menggunakan hands-on learning. Para siswa diberi pengarahan dalam ruang kuliah, mirip rapat redaksi. Ruang belajar dirancang dengan suasana profesional kewartawanan. Ada standar kerja profesional termasuk tekanan deadline. Mahasiswa diberi kartu pers lalu diceburkan ke lapangan untuk meliput.

Para dosen bekerja mirip redaktur. New York jadi lapangan tugas.

“Jadi, pagi-pagi sebelum liputan, kami harus konsultasi dulu ke dosen, mau liputan apa. Dia akan bantu mengarahkan … atau membunuh ide kami. Dia juga memaksa kami bikin rencana liputan lain pada saat-saat terakhir,” ujar Ruky kepada saya.

Usai siswa meliput dan menulis laporan, dilakukan evaluasi. Dosen dan sesama siswa diskusi, mengevaluasi, mengoreksi kesalahan, serta memberi saran-saran. Para pengajarnya campuran antara wartawan dan akademisi. Mereka saling melengkapi sehingga siswa tak hanya tahu teori tapi juga dunia nyata jurnalisme. Ruang kelas yang bersifat praktek hanya berisi belasan mahasiswa. “Pengajaran betul-betul berlangsung dua arah dan intensif. Proses belajar dilengkapi fasilitas praktek. Setiap siswa dapat mempergunakannya selama 24 jam,” ujar Ruky.

Lain ladang lain belalang. Lain Columbia lain Indonesia. Ketika rezim Presiden Soeharto gulung tikar pada Mei 1998 dan pemerintahan Presiden B.J. Habibie membebaskan pers Indonesia dari perizinan dan sensor, sekolah-sekolah jurnalisme Indonesia, dari Jakarta hingga Bandung, dari Medan hingga Makassar, belum siap untuk mendidik, melatih, dan mengisi kekurangan tenaga wartawan.

Padahal ada ledakan jumlah media sehingga kebutuhan tenaga wartawan juga meningkat. Jumlah suratkabar dari sekitar 250-an naik empat kali lipat. Jumlah televisi juga naik dari enam stasiun jadi lebih dari 20 (termasuk stasiun daerah). Radio dari sama sekali tak boleh memproduksi berita sekarang mendadak berlomba-lomba bikin berita. Ada ratusan jam tayang harus diisi. Belum lagi serbuan dotcom.

Jumlah wartawan dari sekitar 5.000 orang meningkat jadi lebih dari 20 ribu. Dari mana para pendatang baru itu datang? Siapa yang melatih dan mendidik mereka? Berapa banyak yang dihasilkan sekolah-sekolah jurnalisme? Berapa banyak didikan program pelatihan wartawan, seminggu atau dua minggu, yang didanai berbagai lembaga internasional?

Jawabnya macam-macam. Tapi rasanya benar untuk mengatakan sekolah-sekolah jurnalisme di Indonesia tak memberikan kontribusi yang lumayan bagi peningkatan mutu jurnalisme Indonesia di masa transisi dan demokratisasi ini. Ini bisa dibuktikan dengan melihat mutu jurnalisme Indonesia pasca-Soeharto yang tak bagus-bagus amat.

Tapi berharap pada sekolah rasanya terlalu berlebihan. Wendi Ruky sendiri tak bisa berbuat apa-apa ketika diminta mengajar di Universitas Indonesia, Jakarta. Dia mengajar 70 orang mahasiswa per kelas. Di Columbia, untuk kelas broadcasting yang sama, hanya ada 11 siswa. Dosen-dosen di sini boro-boro bisa melakukan reportase dan menulis. Pemahaman mereka tentang jurnalisme pun masih campur-aduk dengan ilmu komunikasi, hubungan masyarakat, dan propaganda (penerangan).

Kurikulum juga kehilangan arah ketika dijabarkan di ruang-ruang kuliah. Di Indonesia, disiplin jurnalisme masih dianggap bagian dari ilmu sosial dan politik—sesuai berbagai ketentuan Departemen Pendidikan. Di Amerika Serikat, perdebatan ini sudah selesai seratus tahun lalu ketika baron suratkabar Joseph Pulitzer memberikan dana besar ke Columbia dan mendirikan sekolahnya Ruky.

Sekedar contoh. Di tempat saya mengajar, Universitas Islam Bandung, program jurnalisme masih menginduk pada fakultas ilmu komunikasi. Penjabarannya, dalam program mata kuliah tidak jelas. Tak heran bila di Indonesia, arah pengajaran jurnalisme belum jelas tujuannya. Jadi wartawan bukan, jadi ilmuwan komunikasi juga tanggung, jadi tukang propaganda gagal juga.

Sekolah-sekolah di Indonesia juga masih dibebani matakuliah yang kurang relevan untuk pelatihan wartawan. Matakuliah tumpang tindih.

Deddy Mulyana, dosen komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, awal tahun ini terlibat dalam sebuah diskusi di tempat saya. Ia bicara soal program pendidikan jurnalisme di Indonesia. Mulyana mengatakan kurikulum program jurnalisme di Indonesia tak membekali mahasiswa dengan pengetahuan sosial yang kuat. Belum lagi jumlah kredit mahasiswa strata satu yang terlalu banyak. Mereka harus menempuh 140-an kredit. Bandingkan, misalnya di Amerika Serikat maupun Malaysia mahasiswanya hanya menempuh 120 kredit. Sekolah-sekolah Indonesia juga diganduli persoalan birokrasi yang berbelit-belit. Manajemennya kurang menghargai dosen yang berprestasi. Mereka terbiasa berkomunikasi top down dan tak terbiasa dengan suasana demokratis.

Bagaimana soal hands-on learning ala Columbia? Mulyana mengambil contoh Universitas Padjadjaran. Di sana matakuliah jurnalistik yang bersifat praktek tak lebih dari 20 persen. Idealnya minimal 65 persen.

BAGAIMANA cara memperbaikinya? Mungkin rincian silabi Columbia bisa dijadikan padanan dan panduan para dosen jurnalistik kita. Saya sendiri sering menghadapi ketiadaan perbandingan ketika berdiskusi dengan dosen dari berbagai tempat. Kami tak punya acuan matakuliah yang “mesti dan bisa” dipasang dalam kurikulum Indonesia.

Menurut Wendi Ruky, tulang belakang kuliah Columbia adalah matakuliah yang disebut Reporting and Writing. Di kelas ini setiap siswa diberi wilayah liputan seluas kira-kira satu kecamatan di metropolitan New York. Tiap minggu mereka diwajibkan menghasilkan sebuah liputan tentang wilayahnya. Dosen hanya memberi topik. Misalnya, topik minggu pertama ekonomi, minggu kedua kriminal. Siswa menemukan sendiri cerita yang menarik dari wilayahnya.

Di mata kuliah itu, pada semester pertama, siswa dilatih jadi reporter umum (general assignment). Mereka meliput semua peristiwa. Pada semester kedua, siswa diarahkan ke bidang liputan tertentu. Siswa dipersilakan memilih sesuai minat masing-masing. Misalnya, liputan politik, agama, ekonomi,dan lain-lain.

Metode belajar ini berkaitan dengan desain kurikulum yang berorientasi praktek. “Saya siswa broadcast televisi, tak hanya belajar televisi, juga gimana caranya nulis untuk koran atau radio,” kata Ruky. Ada perbedaan antara siswa cetak dan penyiaran. Di Columbia secara informal, matakuliah untuk penyiaran disebut “R&WJumbo.”

Selain belajar format cetak, siswa penyiaran juga belajar format siaran. Jadi dua kali deadline. “Satu untuk tulisan cetak, satu lagi untuk format siaran, separuh semester pertama dalam format berita radio, separuh lagi dalam format berita televisi,” tambah Ruky.

Tugas akhir bukan berupa tesis. Siswa disuruh memilih, hendak membuat artikel panjang, dokumenter radio, atau dokumenter televisi. Jaringan alumni jadi kekuatan lain. Barangkali lulusan Columbia, ada hampir pada semua media terkemuka Amerika Serikat.

“Itu menguntungkan karena rekomendasi alumni sangat diperhitungkan ketika kita cari kerja. Nama Columbia Graduate School of Journalism di curriculum vitae juga membantu,” kata Ruky. Jaringannya juga merambah ke mana-mana. Di Hong Kong, salah satu kota dengan konsentrasi media terbesar di Asia, sampai ada istilah “mafia Columbia”—antara lain dalam harian ekonomi Asian Wall Street Journal.

Ruky mengatakan program master yang diikutinya berlangsung dua semester, total sembilan bulan. Waktu belajar singkat dan kurikulum padat, membuatnya tak bisa mengambil semua matakuliah yang jadi minatnya. Di semester kedua misalnya, ada tiga workshop untuk jurusan televisi: nightly news, magazine, dan documentary. Karena cuma ada di satu semester, siswa hanya bisa memilih satu. Buat orang yang belajar televisi, seperti Ruky, belajar ketiga format liputan itu secara mendalam pasti berguna.

Waktu belajar yang terlalu singkat juga membuat Ruky kelelahan. Semua harus dipelajari dalam sembilan bulan. Beban pekerjaan luar biasa berat. Kurang tidur soal biasa. “Kata dosen-dosen saya, sengaja programnya dibuat berat, supaya pas kerja sudah terbiasa,” kata Ruky.

Dari situs www.jrn.columbia.edu kita bisa mengitip silabi Columbia untuk semester pertama tahun ini:

Race and Ethnicity in the New Urban America

Urban Reporting/Writing

Covering the Youth Beat

Human Rights Reporting

Investigative Techniques

Radio Workshop

The News Laboratory

Broadcast News Management

Photojournalism

Advanced Photojournalism

Narrative Writing

Techniques of Feature Writing

The Critic as Journalist & Essayist

Magazine Editing

Covering Ideas

Covering Courts & Trials & the Justice System

Radio Documentary

Covering the Post-Cold War World

Issues in Online News

Pada masing-masing matakuliah dijelaskan apa tujuannya. Dalam kuliah Narrative Writing, misalnya. Tujuannya antara lain pencapaian kemampuan siswa menulis laporan suratkabar yang berbeda dari biasanya. Siswa diharapkan mampu menyampaikan laporan secara bertutur. Bagaimana menemukan narasi bertutur? Bagaimana membuat penuturan tentang kehidupan sehari-hari masyarakat? Bagaimana berpikir secara naratif, mengamati secara naratif, dan melaporkan secara naratif ketika mengangkat permasalahan publik?

Siswa ditugaskan membuat artikel yang berbeda panjang dan kedalamannya. Melalui satu masalah, siswa disuruh menulis sebanyak 750 kata untuk kolom suratkabar, 1.500 kata untuk feature suratkabar, dan 2.500-3.000 kata untuk majalah. Buku non-fiksi karya Anne Fadiman The Spirit Catches You and You Fall Down dan novel Graham Greene The Quiet American, serta berbagai contoh tulisan majalah dan koran, jadi referensi. Silabusnya memaparkan 15 kali pertemuan dalam satu semester.

Selain program master yang diikuti Wendi Ruky, di Columbia ada program-program paro waktu. Ini tempat bagi orang non-wartawan yang ingin menguasai jurnalisme. Kurikulumnya fleksibel, mengikuti waktu peserta. Pesertanya antara lain dokter, pengacara, polisi, guru, ilmuwan, konsultan manajemen, bankir, pengelola lembaga non-pemerintah. Mereka tampaknya ingin bisa melakukan reportase dan menulis layaknya wartawan. Di Amerika Serikat pekerjaan menulis memang menjanjikan kepuasan dan uang yang memadai. Orang non-wartawan, misalnya dosen atau ilmuwan, banyak yang mampu menulis dengan lincah, tak kalah jagoannya dengan wartawan. Ini beda dengan Indonesia di mana orang non-wartawan yang bisa menulis sangat sedikit.

Columbia juga punya program untuk wartawan paruh karier yang ingin lebih mendalami jurnalisme. Mereka umumnya ingin lepas sebentar dari rutinitas harian. Mereka ingin merenungkan hasil kerjanya. Bisa juga wartawan yang ingin praktis mendalami spesialisasi liputan tertentu atau pindah medium (dari cetak ke televisi misalnya) atau ingin jadi pengajar.

Pendalamannya menyangkut masalah politik, ekonomi, sejarah, sosiologi, musik, agama, penguasaan bahasa-bahasa asing, studi Afrika-Amerika, hubungan internasional, hukum, bisnis, dan pendidikan. Program doktor khusus jurnalisme diarahkan pada kajian jurnalisme dan perilaku publik. Columbia juga punya radio, majalah Columbia Journalism Review, liputan dokumentasi televisi bahkan kantor berita Columbia News Service. Di sinilah para siswa bisa menyalurkan karya mereka.

BAGAIMANA dengan sekolah jurnalistik lain? Saya memeriksa situs Missouri School of Journalism (www.journalism.missouri.edu), salah satu saingannya Columbia Graduate School of Journalism. Jika sekolah Wendi Ruky bagian dari Universitas Columbia, New York, maka Missouri School of Journalism adalah bagian dari Universitas Missouri di kota Columbia, negara bagian Missouri. Nama “Columbia” kebetulan saja sama. Sekolah ini terkenal karena ia jadi tuan rumah organisasi Investigative Reporters and Editors Inc.—organisasi wartawan investigasi yang anggotanya paling besar di Amerika Serikat.

Sama dengan Columbia, Missouri juga banyak memakai praktek. Mereka memiliki penerbitan Columbia Missourian, stasiun radio KBIA, dan KOMU-TV. Para pengajarnya juga gabungan akademisi dan wartawan senior. Riset media diajarkan melalui materi-materi yang membahas proses pembuatan informasi, sejarah jurnalisme dan hukum, etika, manajemen media, dan periklanan. Di sekolah ini diajarkan bukan hanya ketrampilan jurnalistik tapi juga pelbagai dimensi dari efek media dan kultural, filosofinya, sejarah, kajian media, serta hukum dan etika.

Sama dengan Columbia, Missouri memiliki dua program: master of art dan philosophy of doctor (Ph.D). Lulusan masternya tak hanya berkarier di media tapi juga periklanan, hubungan masyarakat, komunikasi publik atau riset pemerintahan, dan bisnis.

Atau kita lihat di Inggris, negara di benua Eropa yang perkembangan medianya tak kalah dengan Amerika Serikat. Gunawan Permadi, mantan wartawan harian Suara Merdeka Semarang, yang kini kuliah di Universitas Sheffield, Inggris, mengatakan pada saya journalism studies di sana hanya satu departemen saja. Program studinya terbagi ke dalam program sarjana dan pascasarjana.

Silabi program sarjana merupakan kombinasi aspek praktek dan teori jurnalisme. Program pascasarjana (master of art) tertuju pada jurnalisme cetak atau jurnalisme elektronik. Di samping kemampuan profesional, targetnya ialah meluluskan siswa yang memiliki pemahaman tentang prinsip dan etika jurnalisme. Matakuliah yang dipelajari dalam journalism studies:

Journalism Skills (Part One)

Journalism Skills (Part Two)

Journalism Skills(Part Three)

Journalism Skills(Part Four)

Ethics and Journalism

Research, Reporting and Representing

Media Law

Principles and Practice of Broadcast Journalism (Part One – Radio)

Principles and Practice of Broadcast Journalism (Part Two – Television)

Journalism Issues

Language and Journalism

Newsroom Cultures

Introduction to Investigative Journalism

Multimedia Journalism.

Journalism: European and Global Issues

Di Sheffield, aspek praktek dan teori diberi porsi yang 50:50 atau 55:45. Tujuannya, selain menguasai aspek teknis, siswa juga dituntut kritis terhadap penguasaan teknisnya. Misalnya, selesai menyelesaikan liputan, siswa diminta menyertakan penilaian kritisnya atas rencana yang dibuatnya. Ini membutuhkan penguasaan aspek teoritis.

Pada program komunikasi politik, yang diikuti Gunawan Permadi, mata pengajarannya banyak berhubungan dengan jurnalisme. Secara garis besar, siswa mendapat pengajaran tentang politik dan pemerintahan, hukum media, isu-isu jurnalisme (etika, media global, sejarah pers) dan teori-teori sosial.

Tapi bagaimana mendapatkan ukuran yang sama dari perbandingan-perbandingan ini? Bagaimana menilai Columbia? Bagaimana menilai Padjadjaran? Bagaimana membandingkan Missouri dengan Sheffield? Saya tertarik dengan ukuran Kitty Yancheff dalam karyanya yang berjudul The Professional Journalist of the New Millennium: Information Competencies For TheJournalism Professional (2000). Menurut Yancheff, pada zaman maju ini wartawan membutuhkan setidaknya 10 kompetensi, mulai dari kemampuan menulis hingga memahami multimedia. Wartawan sudah tak bisa mengkotak-kotakkan dirinya antara cetak, foto, radio, televisi, dan sebagainya.

Kompetensi penulisan: kapasitas untuk melaporkan secara akurat, jelas, terpercaya, dan mudah dipahami pembaca. Kitty Yancheff mengingatkan bahwa berita suratkabar online sekarang memiliki pembaca yang bersifat internasional. Wartawan yang baik harus mampu membayangkan audiensi yang lebih luas ini. Kemampuan ini juga berkaitan dengan penguasaan kosakata, tanda bahasa, serta tata bahasa.

Kompetensi kinerja oral: kemampuan menyampaikan pengertian, reaksi yang baik, menyakinkan dan bertanggung jawab. Kemampuan wawancara, terutama untuk media elektronik, memerlukan berbagai teknik dan metode ketika mewawancarai anak-anak, kelompok etnik, korban kekerasan, dan sebagainya. Ini juga berkaitan dengan kemampuan mengenali nuansa dari wacana publik.

Kompetensi riset dan investigasi: kemampuan menyiapkan bahan, pengembangan, akurasi laporan atau mengenali topik-topik potensial melalui sumber kepustakaan, referensi virtual, dan dokumen-dokumen publik.

Kompetensi pengetahuan dasar: memiliki pemahaman dasar tentang ekonomi, statistik, matematika, sejarah, sains, kedokteran, bisnis, dan struktur pemerintahan. Dunia kewartawanan mensyaratkan proses belajar seumur hidup dari berbagai disiplin.

Kompetensi dasar web: kemampuan menguasai email, mailing list, newsgroups, dan mengenal format pemberitaan dalam situs web. Ini penting karena pemberitaan yang bersifat breaking news sekarang banyak disebarluaskan lewat internet.

Kompetensi audio visual: kemampuan menggunakan kamera, kamera video, men-scan foto ke dalam komputer, serta audio tape recorder. Sudah bukan zamannya lagi wartawan tak mengerti bagaimana menjalankan mikrofon untuk radio atau menjaga agar kamera tidak goyang.

Kompetensi aplikasi dasar keterampilan komputer: kemampuan menguasai program-program aplikasi komputer macam word processing, database (terutama bagi wartawan investigasi) maupun program desain dan gambar termasuk Pagemaker, Quark XPress, dan Printshop.

Kompetensi etika: kemampuan memahami tanggung jawab profesi terutama nilai-nilai etika, pelanggaran, dan plagiarisme.

Kompetensi legal: kemampuan memahami undang-undang kebebasan berpendapat termasuk kalau di Amerika Serikat, menggunakan Freedom of Information Act, First Amendment, hak cipta, dan sebagainya.

Kompetensi karier: kemampuan memahami dunia karier profesional dalam jurnalisme. Kemampuan bekerja dalam manajemen media dan bersikap positif dalam peliputan. Termasuk aspek-aspek dari komponen manajerial pasar, analisis pendapat publik, produksi dan penyuntingan berita, serta keterlibatan dalam berbagai organisasi dan jaringan profesional wartawan.

APAKAH kompetensi-kompetensi itu bisediakan oleh sekolah-sekolah jurnalisme di Indonesia? Apakah kurikulum di sini mengarahkan mahasiswa untuk menguasai 10 kompetensi tersebut? Layla Mirza, ketua bidang kajian jurnalistik Universitas Padjadjaran, mengatakan bahwa ia harus menyiasati kurikulum pemerintah agar tak ketinggalan zaman. “Walaupun hasilnya masih tanda tanya besar.”

Rancang kurikulum program strata satu mereka, menurut Layla, bisa dianalogikan dengan pohon. Bagian akar merupakan matakuliah komunikasi antara lain komunikasi massa dan pengantar jurnalistik. Bagian akar juga matakuliah yang bersifat penunjang seperti sistem politik Indonesia, antropologi, psikologi, sosiologi, dan metode penelitian.

Di bagian batang, barulah pelajaran jurnalisme diajarkan. Ini berkaitan dengan tiga penjurusan yang ada di Universitas Padjadjaran: bidang kajian hubungan masyarakat, manajemen komunikasi, dan jurnalistik. “Di sinilah pilar dasar pengetahuan dan keterampilan jurnalisme diajarkan. Termasuk dalam rumpun ini adalah matakuliah hukum dan etika pers, perbandingan sistem pers, wawancara, dan lain-lain. Tidak ketinggalan, kurikulum kami juga memuat manajemen media massa,” ujar Layla.

Di bagian dahan, porsinya dipertajam lagi dengan aspek ketrampilan menulis dan melaporkan berita untuk suratkabar, radio, televisi, penulisan feature, esai, editorial, serta reportase mendalam. “Kami berupaya melakukan pengkayaan dari sisi praktisi dengan mendatangkan dosen-dosen tamu, atau mengirim dosen kami ikut bekerja di lapangan,” tambah Layla.

Siasat-siasat ini terkait dengan pendidikan strata satu. Columbia, Missouri, dan Sheffield adalah pascasarjana atau strata dua. Mereka yang merancang sekolah-sekolah jurnalisme ini memilih jenis pascasarjana karena strata satu sebaiknya disediakan untuk pendidikan yang bersifat umum.

Di Indonesia pendekatan macam ini dilakukan sejak 1989 ketika sekelompok wartawan senior Jakarta mendirikan Lembaga Pers Dr. Soetomo, yang terletak di Jalan Kebon Sirih, satu gedung dengan Dewan Pers. Misinya menghasilkan wartawan yang berpandangan luas, berbudaya, terampil, dan berdedikasi. “Agar alumni dapat langsung bekerja,” ujar Maskun Iskandar, asisten direktur bidang pendidikan.

Pada awal 1990-an, program pendidikan calon wartawan mereka dikenal bergengsi dan dianggap sekolah pascasarjananya jurnalisme Indonesia. Seleksi masuk cukup ketat. Jumlah peserta tiap angkatan dibatasi maksimal 16 orang. Kuliah berlangsung setiap hari kerja selama lima bulan.

Materi kuliahnya antara lain, sejarah pers, ragam karya jurnalistik, teknik reportase dan wawancara, teknik menulis berita, teknik menulis feature, Bahasa Indonesia jurnalistik, mengelola penerbitan pers, manajemen redaksi, manajemen pers, dan lain-lain. Perbandingan teori dan praktek umumnya 60-80 persen teori dan 20-40 persen praktek. Metode pengajarannya ceramah, diskusi, dan praktek. Perpustakaannya memiliki 2.000 judul buku tentang jurnalisme. “Kabarnya, paling lengkap untuk ukuran Indonesia,” kata direktur LPDS Atmakusumah Astraatmadja kepada saya.

Tapi kesulitan keuangan dan ketiadaan tenaga pengajar membuat LPDS bersikap lebih realistis. Mereka tak mungkin bertahan hanya dengan kelas-kelas lima bulanan itu. Para pengelola media besar di Jakarta juga kurang memberikan dukungan keuangan. Komputer-komputer mereka tua sekali, kurikulumnya lama-lama juga dimakan zaman. Belakangan LPDS membuka kursus-kursus singkat, baik jurnalisme maupun hubungan masyarakat.

Usaha-usaha Layla Mirza maupun Atmakusumah Astraatmadja patut dihargai walau masih jauh dari mencapai 10 kompetensi ala Kitty Yancheff. Mungkin Yancheff, bila melihat kurikulum Padjajaran atau LPDS, bisa mengusulkan matakuliah macam jurnalisme narasi, riset lewat internet, teknik membaca berita atau memandu program wicara (talk show).

Secara lebih struktural, Deddy Mulyana mengusulkan pemberian otonomi yang luas pada tiap fakultas, jurusan, serta membebaskan universitas menyusun kurikulumnya sendiri. Misalnya, Universitas Indonesia mungkin istimewa dengan periklanannya, Universitas Padjadjaran dengan radio dan televisinya, Universitas Hasanuddin karena komunikasinya. Universitas Islam Bandung dengan media cetaknya.

LPDS mengusulkan agar pelajaran reportase, verifikasi, dan menulis diajarkan bukan saja di sekolah jurnalisme tapi semua sekolah. Alasannya, orang Indonesia perlu lebih terbiasa mengutarakan pikiran dan perasaannya secara teratur, bijak, jelas, dan logis. Jurnalisme mengajar kita untuk senantiasa menghargai pendapat orang lain, sekali pun kita tak sependapat.

Salah satu sekolah yang memasukkan jurnalisme dalam kurikulumnya adalah pesantren Al Zaitun di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. Ini salah satu program kerja sama LPDS dengan Al Zaitun. Astraatmadja dan kawan-kawan melatih para guru di sana. Para guru itu kemudian menurunkan ilmunya kepada para santri sejak tingkat sekolah lanjutan pertama. Ini sebuah upaya lagi di tengah derasnya tuduhan miring kepada Al-Zaitun. Apapun sekolah-sekolah jurnalisme Indonesia tampaknya harus membenahi diri. *

kembali keatas

by:Septiawan Santana Kurnia