Wartawan Versus Sekretaris Negara

M. Said Budairy

Mon, 3 June 2002

SEORANG pejabat tinggi negara mendapat kiriman surat terbuka dari wartawan berisi pernyataan sikap "tidak senang."

SEORANG pejabat tinggi negara mendapat kiriman surat terbuka dari wartawan berisi pernyataan sikap "tidak senang." Gara-garanya, sebagai pejabat publik ia dinilai tak mengindahkan pertanyaan wartawan. Malah, menurut surat terbuka itu, meludahkan ampas kopinya ke hadapan tape recorder mereka.

Jika benar, sungguh ini peristiwa langka. Sebab, seorang pejabat tinggi umumnya telah mencapai suatu tingkat kematangan mental sehingga mampu bersikap dan berperilaku baik kepada siapa saja, termasuk kepada wartawan, dalam keadaan bagaimana pun jengkelnya. Ini yang normal.

Di luar itu ada di antaranya yang suka berlebihan dalam mengambil hati para wartawan. Biasanya karena ada kepentingan pribadi atau lembaga, ia ingin memperoleh publikasi tanpa kritik dan cacat sedikit pun. Bisa dibilang tak ada pejabat tinggi yang bertingkah supaya tak disukai oleh wartawan. Maka, protes para wartawan itu menimbulkan tanda tanya. Apa sebenarnya yang terjadi?

Surat terbuka itu ditandatangani 74 orang wartawan dari 57 media cetak dan elektronik, nasional maupun asing, yang biasa mangkal di Istana Negara. Bersatupadunya berpuluh wartawan seperti itu juga peristiwa langka.

"Kami wartawan yang biasa meliput di lingkungan kepresidenan, dengan ini menyatakan sikap tak senang atas perilaku yang ditunjukkan Sekretaris Negara Bambang Kesowo saat menjawab pertanyaan kami, dalam kesempatan ramah-tamah usai peringatan Hari Pendidikan Nasional di Istana Negara, Kamis 2 Mei 2002." Begitu tertulis pada alinea pertama surat yang terdiri atas dua halaman, dilampiri tiga halaman folio berisi nama wartawan, nama media, berikut tanda tangannya.

Kompaknya para wartawan dalam kejadian itu keluar dari pakem. Mereka umumnya biasa "berbeda pendapat" bahkan dalam menilai suatu kejadian yang sama-sama disaksikan. Mereka bahkan beda pandangan dalam berkelompok. Contohnya, jumlah organisasi wartawan membengkak setelah memasuki era kebebasan. Semula hanya satu organisasi Persatuan Wartawan Indonesia. Begitu peluang dibuka, sekarang jumlahnya melampaui 30 organisasi. Sebab itu tanpa motivasi dan rekayasa tertentu, sulit digambarkan berpuluh wartawan seia sekata dalam menilai suatu kejadian. Apalagi yang mengetahui langsung kejadian itu sebagian kecil saja dari 74 wartawan tersebut.

Ternyata, peristiwa Kamis, 2 Mei 2002 itu sekadar pemicu saja. Para wartawan tersebut bisa kompak, agaknya, didorong rasa kesal di hati masing-masing yang sudah menumpuk sejak beberapa waktu lamanya. Mungkin juga mereka sudah sampai pada tingkat frustrasi. Sebabnya, Bambang Kesowo memilih cara menjawab pertanyaan yang tak diharapkan wartawan. Mereka menilai sikap Bambang Kesowo tak simpatik dan tak kooperatif, cenderung melecehkan profesi wartawan. Menurut mereka, selain tak pernah menjawab dengan sopan, juga cenderung bersikap sinis dalam tiap kesempatan pertemuan dengan pers. Uneg-uneg ini diungkap melalui surat terbuka itu.

Lahirnya pernyataan bersama tentu ada yang mengorganisasi meski pun siapa koordinatornya tak disebutkan. Minimal, ada yang menyusunkan redaksi suratnya, mengedarkan minta tanda tangan, lalu menyebarkannya.

Diceritakan dalam surat terbuka, "Pada saat itu kami menanyakan, adakah Presiden sudah menerima rekomendasi dari Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi di TNI atas pencalonan Panglima TNI yang baru kepada Sekretaris Negara Bambang Kesowo. Tanpa mengindahkan pertanyaan, Sekretaris Negara Bambang Kesowo menyilakan kami minum kopi yang ada di meja hidangan sambil ia sendiri menyeruputnya."

Para wartawan mengulangi lagi pertanyaannya. Seperti biasa mereka menyodorkan alat perekam ke arah Bambang Kesowo. "Tak disangka, Sekretaris Negara Bambang Kesowo memonyongkan mulutnya, dan meludahkan ampas kopinya ke hadapan tape recorder kami," tulis mereka. Dan Bambang pun membalikkan badan.

Surat terbuka ditembuskan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden Hamzah Haz, sekretaris wakil presiden, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pers, dan Persatuan Wartawan Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen. Surat itu disiarkan oleh sebagian media massa.

BEBERAPA hari setelah surat terbuka itu beredar, saya menemui Bambang Kesowo untuk cari tahu bagaimana duduk ceritanya.

"Apa saya sudah segila itu?" tukas Bambang Kesowo.

Menurutnya, kejadian itu malah sebelum dia minum kopi. "Dalam memberi jawaban atas pertanyaan wartawan, saya memang memilih cara menjawab singkat-singkat saja. Itu saya lakukan sejak beberapa waktu lamanya. Cara itu tetap akan saya gunakan. Tujuannya untuk mencegah kesimpangsiuran keterangan. Dan untuk menjaga akurasi dan objektivitas pemberitaan yang mengutip keterangan saya. Hari itu, setelah upacara usai dan masuk ke acara ramah-tamah, saya ditanya, ‘Apakah presiden sudah menerima rekomendasi dari Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi di TNI atas pencalonan Panglima TNI yang baru?’”

“Saya jawab singkat, ‘Belum.’”

“Lalu ada yang melanjutkan, ‘Menurut Panglima TNI rekomendasi itu sudah disampaikan?’”

“Saya jawab, ‘Ya tanya kepada Pak Widodo.’ Lalu saya persilakan mereka minum kopi.”

“Wartawan di sekitar saya paling banyak sekitar sepuluh orang, selebihnya menyebar. Lalu masih terus saja ada yang mengejar dengan mengajukan pertanyaan sama. Secara reflek saya respon dengan berusaha menggetarkan kedua bibir saya. Kalau pun ada minuman di mulut saya, manalah ada ampas kopi. Lha wong kopi di Istana tidak menggunakan kopi tubruk, tapi Nescafe. Apa ada ampasnya?"

Kepada saya, Bambang Kesowo menyatakan tak akan melakukan apa-apa untuk mendinginkan suasana. Juga menyatakan tak perlulah menyelenggarakan pertemuan untuk dialog seperti yang dimaui surat terbuka itu.

Menurut Bambang, pertemuan malah tak akan menyelesaikan persoalan. Keinginannya yang terpenting agar keterangan yang dia berikan tak diplintir. Dia ingin agar diberitakan saja persis apa yang dia ucapkan.

Dalam pengalaman saya, kepribadian Bambang bukan kepribadian yang bisa menghalangi untuk bisa diajak bicara, mengenai berbagai masalah. Bambang memang tahu banyak hal.

Saya menangkap kesan, pilihan Bambang Kesowo dalam menghadapi wartawan merupakan pilihan dengan pertimbangan yang tak sederhana. Posisi Bambang sebagai sekretaris negara, dalam pemerintahan presidensil tapi kabinetnya koalisi, sangat tak mudah.

Tidak adanya juru bicara resmi kepresidenan, menurut saya, adalah isyarat Presiden Megawati bahwa juru bicaranya ya para menteri kordinator atau para menteri itu secara fungsional. Contohnya, dulu semasa pemerintahan Presiden Soeharto, begitu usai sidang kabinet, Harmoko sebagai menteri penerangan tampil jadi juru bicara.

Sekarang ini yang tampil bukan menteri negara informasi dan komunikasi yang berasal dari Partai Golkar itu, tapi salah seorang menteri koordinator, kadangkala juga seorang menteri, yang tanggung jawabnya jadi primadona dalam sidang tersebut.

KETUA Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja tak percaya ada pejabat tinggi meludahkan ampas kopi dari mulutnya sewaktu menjawab wartawan.

“Tersedak kali dia,” ujarnya.

Dia mempertanyakan kenapa wartawan tak bertanya apa maksud Bambang Kesowo, kalau benar seperti itu kejadiannya.

Kata Astraatmadja, kalau ada narasumber sampai sering bersikap tak simpatik dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan wartawan, maka wartawan patut melakukan introspeksi juga. Dalam bertanya wartawan harus sopan. Wartawan tak dibenarkan berlaku seperti jaksa menginterogasi terdakwa. Wartawan juga bukan hakim. Tidak boleh memancing-mancing, bertanya sekadar mencari pembenaran atas apa yang sudah terformat dalam pikirannya. Wartawan juga harus selalu sadar, pejabat yang dijadikan narasumber itu manusia biasa juga. Punya keterbatasan, punya emosi.

Sebaliknya, pejabat yang diwawancara mesti sabar, tegar, dan tenang menghadapi pertanyaan-pertanyaan. Tahan banting. Jangan nyinyir jika kepentok pertanyaan-pertanyaan bodoh. Jangan pula meremehkan wartawan.

Tarman Azam, ketua Persatuan Wartawan Indonesia, menyesalkan jika benar kejadiannya seperti yang tertulis dalam surat terbuka itu. Dia menyesalkan kenapa bisa terjadi. Ia mengatakan kenal Bambang Kesowo. "Dia jauh lebih berpengalaman dari para wartawan muda yang banyak bertugas di istana itu. Mestinya dapat bersikap lebih bijak," ujarnya.

Tarman pernah selama tiga periode jadi ketua kelompok wartawan istana, dari l983 sampai 1991. Pernah terjadi gesekan juga, tapi dengan menteri. Konflik selesai melalui suatu pertemuan yang khusus diselenggarakan untuk itu. Mereka saling memaafkan.

Bicara perkara cara kerja wartawan sekarang, menyaksikan para reporter berebut di sekeliling narasumber, dengan menempelkan alat perekam hampir di mulut tokoh yang diwawancarai, terasa risi juga. Apalagi jika melihat si narasumber terengah-engah karena terdorong-dorong dan terhimpit-himpit oleh si pewawancara. Ini terjadi di kantor polisi, gedung kejaksaan agung, gedung parlemen, bahkan hampir di mana pun.

Memang, hak publik memperoleh informasi.Tapi berita, selain dikejar karena didorong oleh idealisme, di era pers industri sekarang ini berita juga suatu komoditas. Tanpa berita, apa pula yang hendak dijual oleh perusahaan media? Jadi untuk mendapatkannya perlu tertib.

KRITIK lain masalah ketekunan. Dalam suatu pertemuan pers atau suatu upacara dengan pidato, banyak yang terlihat merasa cukup dengan merekam melalui pengeras suara padahal seharusnya ada kebutuhan untuk memperhatikan gerak-gerik orang yang sedang bicara itu. Gerak tubuh bisa mengisyaratkan sesuatu yang mungkin tak persis sama dengan apa yang diucapkan. Wartawan perlu mencermati hal semacam itu.

Cara bertanya dengan sangat memaksa juga perlu ditinggalkan. Patut dicermati, apakah bukan karena jabatannya yang membuat narasumber itu tak mudah bicara banyak. Kita tahu, ketika seseorang dilantik menduduki suatu jabatan, isi sumpahnya antara lain tak akan membocorkan rahasia negara. Mungkin itu termasuk kendalanya. Tapi juga sebaliknya, jangan yang bukan kendala dijadikan dalih.

Dari kasus ini, saya memperoleh kesimpulan, pihak wartawan menginginkan jika narasumber tak mau menjawab suatu pertanyaan, lakukan dengan cara yang baik, yang normal saja. Di sisi lain ada harapan dari narasumber, jika sudah dijawab sebatas kewenangannya, jangan dipaksa-paksa untuk bercerita panjang lebar yang memberi peluang untuk pemelintiran keterangan.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy