RHOMA Irama masih muda ketika itu. Musik rock n’roll yang melanda Indonesia membuat anak Tasikmalaya itu terpana. Musik yang dituding Bung Karno ngak-ngik-ngok dan “kontra revolusi” malah melindas kehidupan anak-anak muda dunia. Rhoma piawai main gitar. Dia memendam keinginan kuat. “Kalau Elvis Presley mampu memukau dunia dengan gitarnya mengapa saya tidak?” kenang Rhoma.

Rhoma menekuni dangdut sejak 1960, ketika ia menyanyi bersama berbagai grup orkes Melayu. Kesempatan rekaman datang pada 1969 bersama orkes Chandraleka pimpinan Umar Alatas. Rekaman ini tak mencuatkan namanya. Rhoma pindah ke orkes Melayu Purnama pimpinan Awab Abdullah. Belum puas, pindah ke orkes Pancaran Muda pimpinan Zakaria yang merekam suaranya lewat lagu Di Dalam Bemo berduet dengan Titing Yani. Sampai awal 1970-an namanya masih belum dikenal.

Persentuhannya dengan musik pop terjadi ketika ia merekam lagu Anaknya Lima karya Zakaria bersama band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin. Di sini ia berduet dengan Inneke Kusumawati. Rhoma lalu kolaborasi dengan band Galaxi pimpinan Yopi R. Item yang beraliran rock. Rhoma belajar banyak dari musik pop dan rock.

Rhoma mendirikan orkes Melayu Soneta pada awal 1973. Ini langkah awalnya yang cerah. Ramuan dangdut dan rock pun diluncurkan. Suara gitar lebih meraung mirip heavy metal. Itu terekam dalam lagu-lagu karyanya. Yang cukup menonjol adalah lagu berjudul Viva Dangdut. "Dangdut suara gendang/Sekarang ramai menjadi sebutan/Ini musik Melayu/Berasal dari Deli," demikian petikannya.

Ini untuk kedua kalinya Rhoma meluruskan pengertian bahwa dangdut bukan jenis musik melainkan irama gendang. Jenis musiknya tetap Melayu.

Langkah berikutnya. Rhoma mentahbiskan grup musiknya sebagai Sound of Muslim. Ia mengubah namanya dari “Oma Irama” jadi “Rhoma Irama.” Entah buat main-main atau apa, dua huruf “r” dan “h” singkatan dari “Raden Haji.” Dari perubahan nama ini tampak kubu yang dipilihnya: dakwah Islamiah. Diluncurkannya syair-syair yang bernafaskan Islam meski tak sekental milik grup-grup qasidah yang juga bermunculan pada 1970-an seperti Nasida Ria pimpinan Mudrikah Zain atau Qasidah Modern pimpinan Rofiqoh Darto Wahab.

Musik dangdut jadi pilihannya. Itu karena, Rhoma prihatin dangdut hanya musik pinggiran. Dengan Soneta, Rhoma memulai debutnya. Lama malang-melintang, hingga mencapai puncak sukses setelah album Begadang. “Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya …. “ Revolusi pun dimulai. Notasi, lirik, aransemen dan penampilan musik pinggiran itu dirombak besar-besaran. Ia ingin irama dangdut bisa diterima khalayak ramai dan mampu bersaing di pasar bebas. Niat itu bukan pepesan kosong. Konsumen bertepuk tangan riuh. Pertunjukannya pun disambut gegap gempita. Seiring dengan mengalirnya karya-karya berikutnya orang pun tidak segan memberikan gelar “raja dangdut.”

Masuknya irama rock ke dangdut menjadikan para pemusik non-dangdut gusar dan marah. Ada saja kata-kata sinis dilontarkan pada eksperimen ini. Mulai dari “tahi kucing” (kritikus Remy Sylado) hingga “bistik jangan dibandingkan gado-gado” (musikus Jack Lesmana). Perang dangdut dan rock tak terhindarkan. Ujung-ujungnya panggung terbuka pun digelar di Senayan, Jakarta, pada 1979. God Bless mewakili rock dan Soneta mewakili dangdut. God Bless memang salah satu kelompok musik rock Indonesia yang bertahan cukup lama, dari 1970-an hingga 1990-an, dimotori antara lain oleh gitaris Ian Antono dan vokalis Achmad Albar.

“Kita melepas burung merpati sebagai lambang perdamaian,” kenang Rhoma.

Tak butuh waktu lama. Sepuluh tahun sesudahnya, musik dangdut yang kaya dengan berbagai unsur itu, sudah diterima khalayak ramai. Dangdut, kata Rhoma Irama kepada saya, musik yang realistis dan akomodatif. Dangdut mampu mengangkat realitas sosial di masyarakatnya.

“Saat ini dangdut sudah sampai pada taraf identik dengan bangsa Indonesia,” kata Rhoma dalam suatu wawancara Maret lalu.

Tolok ukurnya, dangdut dikenal mulai dari gang becek sampai hotel bintang lima.

“Tak ada pesta tanpa dangdut,” kata Rhoma.

Segala jenis pesta, baik pesta kawin, resepsi, diskusi, reuni, sampai pada pesta kaum selebriti.

Rhoma bertutur bagaimana rekaman bajakan pertunjukan malam Tahun Baru 2002 meluncur pagi harinya. Tentu ia sangat dirugikan dengan kegiatan para pembajak. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Namun di balik itu ia menyaksikan betapa sesungguhnya musik dangdut sangat digemari masyarakat. “Delapan puluh persen produksi rekaman musik dangdut di pasar bajakan,” ujarnya.

Rhoma juga suka karena masuknya idiom-idiom kehidupan orang kebanyakan yang tak pernah disentuh oleh jenis musik lain. Mereka lebih sibuk dengan urusan asmara, steril dari realitas sosial. Coba simak lagu-lagu dangdut ini: Colak-colek (Camelia Malik), Senggol-senggolan (Koes Plus), Ayah Kawin Lagi (Muhsin), Tangisan Malam Pengantin (Iis Dahlia), Mandul (Rhoma Irama), Pelaminan Kelabu (Mansyur S), Takut Sengsara (Meggi Z), Qur’an dan Koran (Rhoma Irama), Gadis atau Janda (Mansyur S), Jandaku (Imam S. Arifin). Semuanya bercerita tentang kehidupan sosial orang kebanyakan di Indonesia, mulai dari cara pacaran dengan cara pinggir jalan, hingga kesulitan perkawinan, yang dialami banyak warganegara Indonesia.

Jauh sebelum itu, dangdut telah bicara soal anak tiri (Ratapan Anak Tiri karya Mashabi). Bahkan A. Harris pada 1950-an mempopulerkan lagu yang sangat terkenal, Kudaku Lari. Daftar ini panjang. Keluwesan irama dangdut dalam menerima ungkapan-ungkapan macam itu, menurut Rhoma Irama, menunjukkan bahwa musik ini memang realistis sementara musik pop masih berimajinasi pada puisi-puisi.

“Itu merupakan indikasi bahwa musik dangdut jauh lebih akrab dengan masyarakat.”

JAN N. Djuhana adalah orang penting untuk Sony Music Indonesia, salah satu raksasa industri rekaman tingkat global. Djuhana jabatan resminya artist and repertoire senior director. Djuhana pula yang merangkul dangdut ke dalam tubuh Sony. “Musik dangdut sudah mendarah daging di masyarakat pada umumnya,” katanya.

Perusahaan rekaman musik ini dikenal luas sebagai perekam dan penyalur musik pop macam Sheila on 7. Di tingkat dunia tak terhitung musisi yang direkamnya. Tiba-tiba Sony meluncurkan suara penyanyi dangdut, Ikke Nurjanah. Tentu banyak orang heran. “Itu memang sudah menjadi rencana kami,” ujar Djuhana.

“Cuma pelaksanaannya baru bisa sekarang karena harus mempertimbangkan segala aspek termasuk pemilihan penyanyi dan jenis iramanya.”

Djuhana ingin memperluas warna musik di perusahaanya. Itu termasuk tugas utamanya, untuk selalu kreatif dalam tiap album yang diluncurkan Sony. Ia bertanggungjawab memilih produk yang akan diluncurkan Sony Music Indonesia.

Menurut Djuhana, dangdut juga memiliki sempalan-sempalan. Ada dangdut modern, klasik dan lainnya. “Kami memilih dangdut yang lebih ngepop dan berbau Latin. Yang pantas menyanyikan dangdut macam itu cuma Ikke Nurjanah.”

Maka tampillah album perdana Ikke yang mengibarkan bendera Sony Music bertajuk Selalu Milikmu.

"Respon publik lumayan," ujar Djuhana.

Album ini ditargetkan mampu meraih platinum. Artinya 150 ribu keping terjual. Ternyata separuhnya saja tidak tercapai. Toh masih disebut lumayan.

“Kapok?”

“Oh tidak, kami tetap akan mengibarkan dangdut meski dengan kriteria yang ada pada perusahaan kami.”

SEBARIS penari latar berlenggang lenggok mengitari penyanyi, menjadikan suasana panggung hidup, atraktif. Mereka berbusana aduhai walau mungkin tak menggembirakan orang yang agak kuno. Yang pria berkemeja mengkilap, yang wanita terbuka pundaknya. Pinggul mereka gemulai dengan irama lagu yang dilantunkan penyanyinya. Pusarnya mengintip karena memang tak tertutup. Dadanya? Sudah begitu senyum tak pernah tanggal dari bibirnya.

Si penyanyi pun tak mau kalah gaya. Maklum, saat itu, ia menyanyi bukan hanya di layar kaca melainkan juga di depan pengunjung. Rias wajahnya menunjukkan bahwa ia memang profesional.

Penampilan penyanyi dangdut harus sempurna, karena persaingan dangdut sangat tajam. Maklum penyanyi dangdut sekarang ini banyak sekali.

Kiprah ini diimbangi para musisi dengan tingkah yang tak mau kalah. Si peniup suling memanjangkan lehernya ke kiri ke kanan dan sekali-sekali ke depan mendekati mike meski jarak mulutnya dengan mike boleh dibilang tanpa batas lagi. Si pemetik gitar dan bas bermain sambil mengumbar senyum ke kiri dan kanan.

Ini satu penampilan dangdut. Rhoma Irama agak lain. Laiknya boy band, ia mengatur anak buahnya berjejer, ke samping kiri kanan, sementara ia sendiri mengambil posisi di tengah-tengah, laiknya seorang raja. Busananya pun dibuat berjuntai-juntai.

Tentu saja itu semua makin menambah semaraknya pertunjukan dangdut di layar kaca. Sejalan dengan itu, pemirsanya pun makin tak terkira. Maka jangan heran bila semua pemancar televisi negeri ini memberikan porsi prime time malam Minggu bagi pertunjukan dangdut.

Coba perhatikan SCTV. Tiap Senin sampai Jumat pagi SCTV menyiarkan acara Syik Asyik selama satu jam (08.00-09.00). Sabtu malam diikuti dengan acara Numpang Zoged selama satu jam (19.00-20.00). Rabu malam jam 21.00–22.30 dangdut kadang-kadang diselipkan dalam acara Laris Manis. Total jenderal acara musik dangdut makan waktu gelar 20 dari kira-kira 135 jam tayang tiap minggu, sekitar 15 persen.

Merasa belum lengkap, stasiun ini menyiarkan secara langsung pertunjukan dangdut yang digelar di Jakarta dan daerah. Contohnya ketika Rhoma Irama menggelar malam Tahun Baru 2002 di Taman Mini Indonesia Indah, bersama partner lama, Elvie Sukaesih, bertajuk Pesta Raja dan Ratu Dangdut. Acara yang makan biaya Rp 500 juta ini berlangsung 3,5 jam, dari 21.00 sampai 00.30, ditonton langsung sekitar 100 ribu orang. Di SCTV disaksikan jutaan orang.

Budi Darmawan dari SCTV menjelaskan, stasiunnya ingin melayani seluruh pemirsanya yang heterogen status sosialnya itu. Mereka menilai “dangdut is forever” sehingga televisi sebagai media umum harus mampu melayani semua itu.

Indosiar menyediakan Minggu siang selama satu jam (11.00-12.00) untuk musik dangdut. Acara itu diberi nama Dangdut Ria Millenia. Namun bila ada slot kosong, studio televisi ini kadang menyelipkan musik dangdut pada acara Telkomania yang digelar tiap hari Selasa malam.

TPI paling lebar membuka layar kacanya untuk dangdut. Setiap minggunya ada empat mata acara dangdut. Kuis Dangdut tiap Sabtu. In Dangdut tiap hari (07.00–08.00) dari Senin sampai Jumat. Khusus hari Jumat ditambah dengan Top Dangdut (09.00–10.00). Yang ingin menikmati dangdut pada malam hari disediakan acara Memang Asyik tiap Selasa.

Semua stasiun televisi punya dangdut. MTV yang dikenal sebagai dedengkotnya televisi musik juga menyiarkan dangdut lewat acara Salam Dangdut.

KALAU Rhoma Irama rajanya dangdung, terus yang lain bagaimana?

“Saya hulubalang saja,” kata Mansyur S.

“Siapapun mengakui dia raja dangdut,” kata Mansyur.

Rhoma Irama telah merombak struktur dangdut dari musik akustik ke elektrik sehingga penampilannya jadi lebih membahana. Juga lirik dan melodinya. “Dia punya kapasitas untuk berbuat seperti itu.”

Mansyur, salah satu pencipta dan pemusik dangdut terpenting di Indonesia, mengatakan pada saya, “Sebatas kemampuan, saya juga punya peran sedikit mengembangkan irama dangdut sehingga digemari masyarakat.”

Keberadaan dangdut hingga memperoleh apresiasi kuat di masyarakat sekarang ini, menurut Mansyur, merupakan hasil kerja bersama, bukan hasil kerja seseorang.

Dangdut bagi Mansyur, mampu merekam tema-tema kehidupan mendasar di masyarakat seperti mabuk-mabukan, begadang, masalah rumah tangga sampai soal-soal sepele. “Itu semua tidak pernah disentuh oleh musik pop pada umumnya.”

Kehadiran dangdut di kalangan atas Jakarta, menurut Mansyur, berlangsung sejak 1960-an, ketika ia mulai menapakkan karirnya. Cuma waktu itu orang masih malu-malu. Bersama Ellya Khadam, Mansyur sering menyanyi di hotel-hotel kelas satu Jakarta. Lagu hitnya adalah Boneka India dan Khana. Khadam adalah biduanita Melayu paling top di samping Juhana Satar. Baru kemudian muncul Elvie Sukaesih.

Mansyur, putra Betawi kelahiran Jakarta, merintis karirnya sejak masih bangku sekolah. M. Sidik, gurunya di Sekolah Dasar Cidurian, Menteng, mendorongnya menekuni bidang tarik suara, karena ia melihat kemampuan vokal Mansyur sangat menonjol.

Maka tatkala bersama teman-temannya sekampung di bilangan Jalan Raden Saleh, Mansyur mendirikan orkes Melayu pada awal 1960-an, ia memilih jadi vokalis. Grup itu diberi nama Radesa, singkatan dari nama jalan itu. Ia memang dilahirkan di salah satu gang Jalan Raden Saleh pada 1948. “Di situlah tempat lahir saya dan awal karir saya,” kenang Mansyur dengan nada bangga.

Meski hanya muncul sekali seminggu, namun eksistensi Mansyur sebagai vokalis dangdut diakui banyak orang. Maka tatkala Pekan Raya Jakarta diresmikan, Gubernur Ali Sadikin tak ayal tempat itu jadi ajang tetap baginya. “Hampir tiap malam saya menghibur di sana,” tuturnya.

Tahun 1960-an lagunya yang berjudul Harapanku dan Putus Asa dinyanyikan penyanyi top waktu itu, Juhana Satar, dengan iringan orkes Melayu Chandralela pimpinan Husein Bawafi. Lengkap sudah profesi Mansyur sebagai pelaku dangdut.

Namun untuk menembus dunia rekaman ia harus menunggu 10 tahun. Kesempatan itu diraihnya tiga bulan setelah dinyatakan lulus tes rekaman oleh Zakaria di studio Remaco. Maka pada awal 1970-an, meluncurlah rekaman perdana Mansyur. Ia merekam tiga lagu berjudul Jamilah dan Air Mata Tiada Arti karya Zakaria. Dan dengan iringan orkes Nirmala pimpinan Djadja Mihardja, ia merekam lagu Pesan Perpisahan karya M. Faris.

Meski berhasil mengoleksi tak kurang dari 300 judul lagu dangdut namun ia juga membawakan lagu karya orang lain. Salah satunya berjudul Janda karya Awab yang sempat dilarang TVRI. Peristiwa ini hampir berbarengan dengan nasib yang menimpa lagu Hati yang Luka karya Obie Mesakh. Pelarangan tayang lagu itu dikeluarkan Menteri Penerangan Harmoko –mantan wartawan, menteri kesayangan Presiden Soeharto, yang jadi buah mulut karena membredel mingguan Tempo, Detik, dan Editor pada Juni 1994.

Mansyur pindah ke Jatinegara Kaum pada 1985. Ia berjanji tetap mengabdi pada dangdut. Bahkan profesi ini menurun kepada anak bungsunya, Irfan.

“Alhamdulillah dia meneruskan bakat saya,” kata Mansyur.

ZAKARIA punya cerita lain. Bersama orkes Melayu Pancaran Muda yang dipimpinnya, ia bermain di hadapan ibu negara Fatmawati. Ketika itu, Fatmawati menikahkan Tituk alias Megawati, yang bernama lengkap Diah Permata Setyawati Megawati Soekarnoputri pada 1 Juni 1968.

Zakaria dihubungi Yessy Wenas, seorang pencipta lagu, yang dekat dengan anak-anak Bung Karno. Acaranya berlangsung di rumah Fatmawati, Jalan Sriwijaya 22, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mega menikah dengan Surendro Supiyarso, penerbang dari Squadron 43 Madiun.

Pancaran Muda main pada resepsi pernikahan Megawati. Bung Karno tak hadir. Zakaria main bersama grup band pimpinan Guruh Soekarnoputra, adik bungsu Megawati. Waktu itu ia membawa Elvie Sukaesih, Juhana Satar, dan R. Unarsih. Ketiganya vokalis utama orkesnya.

Banyak musisi Indonesia main di resepsi pengantin. Tapi hanya Zakaria yang mendapatkan si pengantin perempuan, kelak jadi presiden Indonesia.

DANGDUT mulanya berangkat dari lagu Melayu klasik. Ishadi S.K., mantan direktur TVRI dan kini memimpin Trans TV, menulis pada 2001 bahwa lagu-lagu karya Husein Bawafie – Bunga Seroja, Dosa dan Siksa, Mimpi sang Penyair – akrab di telinga pendengar radio pada 1960-an.

Meski terbatas pada kalangan tertentu, khususnya orang-orang tua yang mapan, Rhoma Irama yang mendobraknya dengan memasukkan unsur rock beserta segenap instrumen pendukung dan aksesorisnya. Rhoma memodernkan musik dangdut Melayu sehingga digemari orang muda. Lagunya, Begadang 1 dan Begadang 2 memecahkan rekor penjualan kaset di atas satu juta keping. Jauh sebelum Sheila on 7 –kelompok musik anak muda awal abad 21 ini.

Pada awal 1980-an Eddy Sud membawa dangdut ke layar televisi. Lewat program Aneka Ria Safari di TVRI, Eddy menyebarluaskan dangdut ke seluruh Indonesia. Lagu yang dibawakan artis muda Itje Trisnawati, Duh Engkang, menembus pasar penjualan kaset.

Lagu Resesi ciptaan Eddy Lestaluhu dan Judul Judulan, lewat di atas satu juta kopi. Rhoma yang melakukan pentas ke daerah tak pernah kekurangan penonton. Apalagi bila ia berduet dengan Elvie Sukaesih, si Ratu Dangdut.

Pada awalnya, TPI yang menetapkan kelompok penonton menengah ke bawah sebagai segmennya, memilih dangdut untuk sajian utama. Acara ini disiarkan tiap hari dengan meraih rating tinggi. Disusul Kuis Dangdut dipimpin Djaja Miharja. Balada Dangdut, seri yang mengambil tema lagu-lagu dangdut, diproduksi artis dangdut Camelia Malik, amat disuka penonton.

Lima tahun lalu hanya TPI dan sesekali TVRI yang menyiarkan dangdut. Kini tak ada stasiun siar televisi yang tak menyiarkan acara dangdut.

Pada 1997, TPI mengangkat musik ini kedalam kelompok menengah ke atas dengan menggelar Anugerah Dangdut. Dengan seting gemerlap meniru penyerahan Piala Oscar di Hollywood lengkap dengan karpet merah dan prosesi mewah. Hasilnya, acara ini memperoleh rating 42, untuk tayangan selama tiga jam. Artinya, 42 persen penonton seluruh televisi diperkirakan menonton acara ini.

Semenjak itu, dangdut tak bisa lagi ditahan. Sebuah kegiatan off air yang diadakan TPI di Semarang pada 1997 dihadiri setengah juta pengunjung. Rekor sebuah pertunjukan musik. Televisi lain segera mengikuti jejak TPI. Lahir berbagai acara musik dangdut, dengan nama berbeda. Dangdut sangat kuat untuk mendongkrak rating. Sajian RCTI Joged Spesial, ikut menaikkan kembali audience share stasiun ini berdasarkan analisis AC Nielsen pada periode 19-25 Agustus 2001. Sebelumnya, selama tiga bulan RCTI di bawah Indosiar.

Setelah Iis Dahlia sukses menembus Hard Rock Café dan Ikke Nurjanah dikontrak Sony Internasional Corporation, barangkali, masalahnya tinggal soal waktu untuk menjadikan dangdut sebagai musik dunia. *

by:Bill Aribowo