Sang Pangeran Neoliberalisme

Coen Husain Pontoh

Mon, 3 June 2002

AWAL Mei lalu bertempat di hotel JW Marriot, Jakarta, berlangsung peluncuran buku The Lexus and The Olive Tree. Ini salah satu buku paling laris di dunia.

AWAL Mei lalu bertempat di hotel JW Marriot, Jakarta, berlangsung peluncuran buku The Lexus and The Olive Tree. Ini salah satu buku paling laris di dunia. Sudah diterjemahkan ke 24 bahasa termasuk versi bahasa Indonesia. Pengarangnya kolumnis harian The New York Times Thomas L. Friedman.

Acaranya mewah. Ramai. Wangi. Karpet merah kuning dengan motif kembang.

Friedman datang ke sana bak bintang. Pokoknya wah. Dutabesar Amerika Serikat Ralph L. Boyce tampak di sana bersama Bungaran Saragih, salah satu menteri kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, juga Jakob Oetama, orang nomor satu harian Kompas, dan Djafar Assegaf dari Media Indonesia.

“Friedman is my hero,” kata Wimar Witoelar, mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, yang kini mengajar di Universitas Deakin, Australia, yang didaulat membahas buku Friedman. “Friedman adalah guru globalisasi, penulis yang super produktif, sangat bersahabat dan sangat berkualitas. Ia memberikan kontribusi yang objektif dalam memahami globalisasi.”

Membaca biodata Friedman, tak heran jika Witoelar terkesima. Friedman menulis kolom tiap Selasa dan Jumat. Dateline selalu berubah. Washington. Moskow. Beirut. Tel Aviv. Beijing. Tokyo. London. Kairo. Ia kemungkinan kolumnis yang hari ini kolomnya paling banyak dibaca di muka bumi. Kolomnya diterjemahkan ke beberapa bahasa, termasuk Arab dan Yahudi, dan diterbitkan berbagai suratkabar di berbagai negara.

Ia mendapat hadiah Pulitzer tiga kali. Pertama pada 1983 ketika Friedman jadi koresponden New York Times biro Beirut. Pada 1988 ia memenangkan Pulitzer, kali ini dari biro New York Times Jerusalem. Pulitzer ketiga didapatnya tahun lalu untuk ulasannya mengenai dampak terorisme di tingkat global. Bukunya From Beirut to Jerusalem, yang terbit 1989, memenangkan penghargaan National Book. Buku The Lexus and the Olive Tree, yang terbit 1999, memenangkan penghargaan Overseas Press Club.

Kumisnya tebal. Orangnya glundang-glundung, terkekeh-kekeh, seenaknya sendiri, aksen bicaranya khas Minnesota –sebuah negara bagian Amerika di mana ia dilahirkan. Tapi malam itu, Friedman mempesona Jakarta. Ia bukan hanya kolumnis piawai, tapi juga orator memukau. Ia mendorong pembaca untuk percaya pada tulisannya, ternyata ia juga mampu mendorong pendengar untuk percaya apa yang dikatakannya. Ia benar-benar seorang “pangeran neoliberalisme” –julukan yang diberikan kritisi globalisasi kepada Thomas Friedman.

Coba dengarkan. “Semakin Anda membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin Anda membuka perekonomian Anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi, perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat,” ujarnya.

Globalisasi berarti integrasi. Globalisasi adalah orde dunia pasca Perang Dingin yang dicirikan kompetisi negara-negara barat dan negara-negara tirai besi. Apa yang yang terintegrasi? “Pasar, negara, dan teknologi sampai pada tingkat yang tak pernah disaksikan sebelumnya,” kata Friedman.

Dari pertemuannya dengan banyak pemimpin pemerintah dan bisnis, ia melihat akibat perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi macam internet dan telepon, dunia makin menyatu dan mengecil, secara ekonomi, sosial, politik dan gaya hidup.

Globalisasi, di tangan Friedman, nampak begitu indah, menawarkan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk makmur dan sejahtera bersama. Syaratnya, Anda harus memahami sistem baru itu dan menceburkan diri di dalamnya. Itu pesan Friedman.

“Kritik saya pada tulisan-tulisan Friedman, adalah gayanya yang sangat simplistik, ia menghindari kompleksitas. Tapi, mungkin ia dituntut harus begitu, karena Friedman adalah jendela orang Amerika untuk melihat dunia luar,” kata Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal.

Ulil termasuk salah satu cendekiawan Jakarta yang ada dalam jadwal super sibuk Friedman. Acara lainnya? Makan malam dengan tuan rumah Jane Perlez dan Raymond Bonner, dua koresponden New York Times biro Jakarta, makan malam dengan para wartawan lokal dan asing di Merchantile Club (sembari Friedman mewawancarai mereka), diskusi dengan Freedom Institute (Ulil hadir di sini), maupun pergi ke sebuah pesantren di Jakarta untuk mewawancarai belasan santri (hasilnya sebuah kolom berjudul “Listening to the Future”).

Mungkin karena optimisme itu, Friedman tak terima munculnya gerakan anti-globalisasi. November 1999, di tengah kehidupan rakyat Amerika yang serba berlimpah, sekitar 60 ribu demonstran tumpah-ruah di jalan-jalan Seattle, Amerika Serikat, di mana ada sidang World Trade Organization. Untuk pertama kalinya setelah Perang Dingin usai, terjadi demonstrasi gede menentang pertemuan para menteri ekonomi negara-negara anggota World Trade Organization yang tengah bertemu di Seattle.

Protes itu mengejutkan karena terjadi di negara benteng terkuat kapitalisme. Gerakan itu membelalakkan mata para pembela pasar bebas. Paling lantang dari mereka ya Thomas L. Friedman. “Mereka hanya bisa bilang STOP, tapi tidak bisa menyiapkan solusinya.”

Friedman mencaci-maki tapi gerakan anti-globalisasi itu makin membesar. Bagi pelancong global seperti Friedman, yang hidup dari satu hotel mewah di Jepang, pindah ke hotel mewah lain di Bangkok, Paris, Kairo atau Hanoi (di Jakarta ia menginap di hotel Mandarin), globalisasi memang menjanjikan kemakmuran. Tak demikian dengan petani kecil di pedalaman Bolivia, Meksiko, dan Kalimantan. Globalisasi adalah penderitaan.

“Pokoknya globalisasi telah menyebabkan meningkatnya perbudakan baru, pembantaian baru, dan politik apartheid yang baru. Ia adalah pernyataan perang terhadap alam, perempuan, anak-anak, dan kaum miskin. Sebuah perang yang mengubah setiap komunitas dan keluarga ke dalam sebuah zona perang. Sebuah perang antara monokultur melawan keragaman, yang besar melawan yang kecil,” ujar Vandhana Shiva, seorang pemikir dari New Delhi, India, dalam tulisannya Violence of Globalization.

Hingga hari ini, ketegangan soal globalisasi makin memanas. Buku Friedman sangat menyumbang pada perdebatan itu. Sayangnya, ketika diterbitkan dalam versi Indonesia, dengan judul Memahami Globalisasi:Lexus dan Pohon Zaitun, oleh Penerbit Institut Teknologi Bandung, karena karena gramatikanya yang kacau, buku ini malah jadi membingungkan untuk dibaca.

Boro-boro memahami globalisasi? *

kembali keatas

by:Coen Husain Pontoh