Puzzle Bomb

Taufik Andrie

Mon, 3 June 2002

SEBUAH ruang pengadilan di Jakarta Pusat pada Selasa, 7 Mei 2002. Seorang laki-laki duduk tepekur di kursi terdakwa. Ia meletakkan tangan kirinya di paha kanan, sedang tangan kanannya menelusup pada celah kruk yang didirikan.

SEBUAH ruang pengadilan di Jakarta Pusat pada Selasa, 7 Mei 2002. Seorang laki-laki duduk tepekur di kursi terdakwa. Ia meletakkan tangan kirinya di paha kanan, sedang tangan kanannya menelusup pada celah kruk yang didirikan. Sepintas ia seperti bersandar, bersandar pada kruk penyangga, pengganti kaki kanannya yang buntung.

Laki-laki buntung itu menanti vonis.

Taufik bin Abdul Halim namanya. Seorang warga negara Malaysia dengan banyak nama alias. Dodi Mulia, Doni, Yudi Mulya Purnomo, Herman, dan Dani. Namun, nama yang disebut terakhir lebih membuatnya nyaman. Ia dituduh membawa bom yang meledak di pintu masuk Atrium Senen, 1 Agustus 2001.

Dani kurus. Tingginya mencapai 170 centimeter, berjenggot tipis panjang. Matanya nyalang, sorotnya tajam. Ia selalu berbaju lengan panjang, kuning kusam dari bahan kaos, berpeci biru terang ala Raihan, kelompok acapella bersyiar Islam asal Malaysia, bercelana krem pudar agak gombrang dengan belah kanan tergulung hingga 10 centimeter di bawah lutut.

Kakinya diamputasi karena terkena ledakan TNT di Atrium Senen. Menurut kesimpulan pengadilan, bom itu sedianya meledak pukul 21.15, tepat saat orang-orang kristiani memasuki bus mini mereka usai kebaktian di salah satu lantai Atrium Senen. Namun, apa lacur, bom meledak satu jam sebelum dipasang pada sasaran. Enam orang luka tapi tak ada korban nyawa.

Akibatnya fatal, operasi gagal, misi pun tercium. Dani, saksi kunci yang berdiri paling dekat dengan sumber ledakan, jadi tersangka.

"Peledakan itu semata sebagai wujud balas dendam atas perlakuan umat kristiani dalam peristiwa kerusuhan di Ambon," kata Dani di persidangan, merujuk pada konflik bertendensi agama di kepulauan Maluku sejak Januari 1999.

Dani tak sendirian. Ia beraksi bersama lima orang kawannya, satu di antaranya warga negara Malaysia, Imam Samudra. Lainnya warganegara Indonesia: Agung alias Faisal; Darwin alias Asep; Eddy Setiono alias Abbas alias Usman; serta Ibrahim alias Rusli alias Dicki.

Ibrahim datang ke Jakarta bersama Dani dari Surabaya pada April 2001. Seorang lagi bernama Ismail, hingga sekarang tak ketahuan rimbanya. Sebelumnya Ibrahim, Dani, dan Ismail, berada di Ambon dari Juni 2000 hingga paruh April 2001 untuk ikut melakukan “jihad.”

Seorang lagi ditangkap. Eddy Setiono, akrab dipanggil Abbas, saat itu sedang menonton televisi bersama ketiga anak perempuannya di bilangan Kayu Manis, Matraman, Jakarta. Ia ditangkap selang dua minggu setelah Dani disidik polisi.

Sesuai kesaksian Abbas maupun Dani di pengadilan, Abbas berperan sebagai pengemudi mobil yang mengantar Dani, Asep, Agung, Rusli serta Imam Samudra ke Atrium Senen. "Saya hanya mengantar, saat mereka masuk ke Atrium saya tak ikut. Saat mereka membawa bungkusan pun saya tak tahu apa isinya, mereka tak memberitahu saya," kata Abbas.

Ironi perkawanan. Meski kesaksian Abbas meyakinkan, hakim berpendapat tak mungkin Abbas tak tahu kegiatan teman-temannya.

Kilatan blitz berkelebatan. Wajah-wajah tegang memenuhi ruang pengadilan. Pengap, berisik. Bising mesin diesel di gedung sebelah sangat memekakkan telinga. Rupa-rupanya bilangan Gajah Mada Plaza ini tak cukup bersahabat bagi berlangsungnya pengadilan kasus ini.

Ketua majelis hakim Panusunan Harahap membacakan amar putusan, "Terdakwa terbukti bersalah, secara sah dan meyakinkan masuk ke Indonesia secara ilegal. Membawa dan seterusnya, … bahan peledak, hingga menimbulkan keresahan masyarakat, mengganggu stabilitas nasional. Mencoba mengadu domba antarumat beragama atas perbuatannya. Karena itu terdakwa layak dan pantas secara hukum untuk dijatuhkan hukuman MATI."

"Hah!" teriakan lirih ekspresi kaget bergema di setiap sudut. Pengunjung, pengacara, jaksa yang menuntutnya 20 tahun penjara, juga para wartawan yang meliput terkejut.

“Perbuatan ini membawa pengaruh yang besar di masyarakat, risikonya besar dan dahsyat,” kata Harahap.

Duni Nirbayati, pengacara Dani dari kantor hukum D. Nirbayati dan Rekan mengatakan, ”Ia cukup kooperatif dalam memberikan keterangan selama penyidikan. Bukankah itu hal yang meringankan? Kok bisa vonisnya mati.”

Dani terlihat gemetar saat dipersilakan duduk kembali ke bangku pengunjung. Kulit mukanya memerah, pias. "Saya tidak setuju. Tidak ada korban tewas di sana, masak saya dihukum mati. Ini bukan pengadilan namanya, tapi hakim menghukum perbuatan saya," kata Dani, suaranya bergetar.

SEPEKAN kemudian. Senin, 13 Mei 2002, dalam gedung yang sama, Eddy Setiono alias Abbas menanti putusan. Abbas orang Jakarta, pekerjaannya berdagang air mineral, tapi juga kambing dan hewan kurban lain saat Idul Adha. Mendadak ruang sidang hening, saat ketua majelis hakim Sirande Palayukan mengatakan, "Karena itu terdakwa layak dan pantas secara hukum untuk dijatuhkan hukuman MATI."

Baik Dani maupun Abbas terbukti melanggar Undang-undang Darurat Indonesia pasal kepemilikan bahan peledak. Vonis serupa untuk kasus yang sama.

Abbas terlihat matanya sayu. "Pengadilan ini tidak adil, pengadilan tak bisa membuktikan saya ada di tempat kejadian, atau saya yang bawa barangnya, kok saya dihukum mati," katanya.

Muchtar Luthfi, pengacara Abbas dari Muchtar Luthfi dan Partners, menimpali, "Ini bagian dari skenario nasional untuk menunjukkan ke dunia internasional bahwa Indonesia sungguh-sungguh gigih memberantas terorisme."

Asumsinya, “perang terhadap terorisme” kini jadi perhatian pemerintah Amerika Serikat dan para pendukungnya. Indonesia disorot mengingat banyaknya kelompok Islam radikal dengan militansi tinggi.

Luthfi mengatakan tuntutan 20 tahun penjara datangnya dari Jaksa Agung M.A. Rachman. Ia mengatakan sidang Abbas sempat tertunda karena jaksanya masih menunggu angka 20 tahun itu.

KISAH ini bermula Juni 2000. Provinsi Maluku memasuki fase menegangkan. Peperangan terbuka terjadi di mana-mana. Satu sisi berdiri kelompok merah, representasi umat kristiani. Satu lagi kelompok putih, identitas kaum muslim.

Keresahan, keputusasaan, sekaligus kebencian menyebar bagai virus. Kerugian fisik hingga triliunan rupiah. Ribuan orang meninggal. Demi agama. Atas nama Tuhan.

Tercatat Ambon, Halmahera, Ternate, Tual, Batu Merah Dalam, Kudamati hingga pedalaman Galela porak-poranda. Maluku seperti kota mati. Baru kali ini orang merasa tak aman di tanah kelahirannya sendiri. Media dalam dan luar negeri memberitakannya. Dari media cetak, radio hingga televisi. Tak terkecuali internet.

Berita-berita inilah yang menggerakkan Taufik bin Abdul Halim alias Dani untuk pergi ke kepulauan Maluku. Ia tak sempat diwisuda di University Technology Mara, Malaysia.

Saat hendak berangkat ia menemui orangtuanya. "Saya mau pergi jauh," katanya.

Bersama sembilan orang kawannya ia nekat menerobos gelombang samudra Indonesia dengan speed boat, sejenis perahu ukuran sedang berkecepatan tinggi. Ia berangkat bersama Yasin, Ali, Ismail, Usman, Sa’ad, Ibrahim, Lukman, Ilham, Hidayat, masing-masing tiga dari Trengganu, dua dari Selangor, dua dari Kuala Lumpur, satu dari Pahang, dan sisanya dari Malaysia Utara. Dani satu-satunya yang pernah menempuh pendidikan tinggi.

Sebelumnya mereka berkumpul di bandar udara Kuala Lumpur, Malaysia, dilanjutkan dengan perjalanan darat ke Tawau, wilayah pesisir sisi tenggara negara bagian Sabah. Dari situlah mereka berperahu menuju Nunukan, Kalimantan Timur.

Sesampai di Nunukan tanpa transit mereka langsung melanjutkan perjalanan ke Sulawesi Utara dengan kapal laut. Tiba di Manado transit sebentar. Perjalanan selanjutnya ditempuh dengan pesawat terbang dari bandara Sam Ratulangi menuju Ternate.

Menurut Dani, rombongan itu menghabiskan waktu mereka untuk mempertahankan kampung-kampung di Maluku Utara dari kemungkinan serangan kelompok merah. Mereka berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain di Maluku Utara dalam tempo tiga hingga empat bulan.

Dari Maluku Utara, Dani dan rombongan memasuki Ambon yang saat itu sedang genting.

“Apakah di sana Dani bertemu dan berjuang bersama Laskar Jihad?" tanya saya padanya.

Laskar Jihad adalah sayap militer Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Laskar Jihad mengirimkan sekitar 3.000 anggotanya ke Ambon. Ada kontroversi di sini antara yang mengatakan Laskar Jihad menyediakan keamanan kaum muslim dan yang menganggap Laskar Jihad bagian dari masalah.

"Tidak, saya hanya mendampingi masyarakat tempatan mempertahankan kampung-kampung, Laskar Jihad belum banyak di sana," jawab Dani.

Di pengadilan, Dani mengatakan setelah hampir lima bulan di Ambon, pada April 2001, Dani, Ibrahim, dan Ismail menumpang kapal laut menuju pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Enam warganegara Malaysia lainnya memilih pulang. Di Surabaya tak sampai sehari mereka bertolak ke Jakarta dari terminal bus Bungurasih.

Sampai di Jakarta, mereka dijemput Asep. Abbas yang punya mobil diminta Asep mengantar ke terminal bus Pulogadung. Selama di Jakarta rombongan ini tinggal di sebuah rumah kontrakan yang disewa Asep di Jalan Malaka Raya Blok II/28, Malaka Sari, Jakarta Timur.

Waktu berselang, datang Agung dan Imam Samudra, kolega Asep yang diperkenalkan pada dua tamu barunya dari Malaysia. Secara kebetulan mereka juga mencermati perkembangan Islam di Ambon. Cerita-cerita tentang Ambon pun mengalir deras.

“Selama di rumah kontrakan Asep apa saja yang mereka perbincangkan,” tanya saya.

"Kalau sebatas cerita-cerita yang sifatnya informasi sih sering, tapi kalau menjurus ke anarki jarang," kata Abbas. "Kebetulan saya simpati ke Ambon, saya bahkan pernah ke Galela, Ternate ke utara lagi."

"Ada keperluan apa ke Ambon?"

"Waktu itu kebetulan hari raya Idul Adha, saya dapat dana lalu saya usul daripada kita korban di sini ‘kan sudah banyak yang dapat bagian, bagaimana kalau dikirim ke Ambon saja," katanya.

Simpati inilah yang merekatkan mereka. Kurang lebih empat bulan mereka bersama-sama. Dari ngobrol tentang Ambon hingga bisnis Sifer, sejenis air mineral, madu, dan kurma.

Sampai tibalah saatnya beraksi. Suatu hari di awal Agustus 2001. Abbas diminta menemani Asep dan kawan-kawan berjalan-jalan. Saat itu Imam Samudra datang membawa sebuah bungkusan. Mereka menuju pusat perbelanjaan Atrium Senen Jakarta Pusat. Abbas menunggu di mobil Daihatsu Zebra warna merah hati.

Menurut kesimpulan para hakim, awalnya mereka melakukan semacam survei wilayah. Sebelum magrib mereka membeli donat Dunkin’s Donuts untuk dibawa pulang. Salat mereka lakukan di kediaman Abbas di Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur. Lepas magrib Dani dan kawan-kawan melanjutkan misinya.

Tiba di Atrium Senen saat waktu salat Isya. Imam Samudra dan Asep masuk ke dalam Atrium untuk memeriksa keadaan. Dani dan Agung menunggu di pintu masuk Atrium yang berhadapan dengan restoran Pizza Hut. Bom dibungkus kardus Dunkin’s, oleh Agung diletakkan di bawah pilar utama sisi kiri pintu masuk, satu meter sisi kanan Dani.

Sasarannya bus mini pengangkut jemaat kebaktian kristiani yang diparkir dekat pangkalan taksi. Jemaat baru keluar dari salah satu lantai sekitar pukul 21.00 malam. Bom direncanakan meledak pada pukul 21.15.

Namun, tiba-tiba … boom! Bom itu meledak sebelum waktunya. Dani yang berada paling dekat dengan sumber ledakan terkapar pingsan. Kaki kanannya koyak, darah berceceran di mana-mana.

Menurut keterangannya di pengadilan, Abbas yang menunggu di toko buku Gunung Agung, daerah Kwitang, sekitar 200 meter dari Atrium Senen, tak sadar apa yang menimpa kawannya. Selang berapa puluh menit kemudian Asep datang.

"Lho, yang lain mana Sep?" tanya Abbas.

"Udah yuk, kita pulang saja duluan, nanti yang lain nyusul," Abbas menirukan jawaban Asep.

Sampai di Jatinegara Asep minta turun. Abbas pulang sendirian karena merasa tak ada apa-apa. Ia baru mengetahui ada kasus peledakan bom di Atrium justru dari tayangan televisi. Tahu-tahu, dua minggu berikutnya ia dijemput petugas kepolisian.

Imam Samudra yang menurut keterangan Dani sebagai pemilik bom sekaligus pemberi perintah lenyap. Agung dan Asep masih buron hingga sekarang.

"Bom itu milik Pak Imam Samudra, saya tak tahu dapatnya dari mana," kata Dani.

“Apakah aksi menjadi bagian dari sebuah kerja organisasi, kerja jaringan?”

Sambil berseloroh Dani bilang, "Tak ada organisasi, itu (pengeboman) dilakukan spontan saja." Jawaban yang sulit diterima. Bagaimana mereka bisa meletakkan bom tekanan tinggi di bus mini yang penuh sesak orang dengan spontan?

Meski organisasi atau kelompok ini tak bernama, Abbas mengatakan ada koordinasi. "Kalau nama sih nampaknya nggak ada, cuma mereka ada suatu koordinasi gitu. Yah, koordinasi yang nggak ada nama," katanya.

“Sedikit atau banyak orang, kelompok ini?” tanya saya.

“Kalau yang saya tahu sih, sebenarnya suka ada temen yang sudah pernah ke Ambon, kalau pulang (ke Malaysia) biasanya lewat Jakarta-Batam, saya sering diminta tolong membelikan tiket. Ada empat orang yang pernah saya belikan tiket,” katanya.

“Siapa saja mereka?” saya coba menelisik.

“Saya tak ingat lagi namanya. Namanya berganti-ganti, kartu tanda penduduknya saja Kalimantan, daerah Nunukan kalau tak salah,” katanya sambil mengingat-ingat siapa saja mereka.

“Bagaimana mereka berhubungan?”

“Mereka rata-rata pandai main internet. Jadi perkawanan mereka itu sering memakai internet. Kalau kebetulan saya datang ke Malaka (daerah tempat kontrakan Dani), kok sepi, biasanya mereka sedang ke internet,” katanya memperjelas.

Operasi ini dinilai Abbas tak profesional dan sporadis, tak mempunyai target besar. “Dampaknya orang yang nggak bersalah masuk juga. Kalau profesional kok bomnya bisa meledak duluan?” kata Abbas.

Kepada saya, Abbas mengatakan tak tahu sama sekali rencana pengeboman itu. Beberapa kali ia mengemukakan alasan. "Saya itu macam orang bodoh. Mereka punya rencana mereka memanfaatkan saya karena saya bisa bawa kendaraan."

DANI lahir di Muar Johor, 27 tahun lalu. Ayahnya Abdul Halim, seorang pensiunan pegawai negeri. Ibunya Juliah, ibu rumahtangga. Sedari kecil Dani mendapat didikan agama yang ketat. Disiplin mengaji, sekolah sesi pagi dan sore ia tempuh. Sekolah pagi mengajarkan ilmu-ilmu akademik sedang sesi sore memuat pelajaran agama.

Anak kedua dari tujuh bersaudara ini tergolong cerdas. Mata pelajaran kesukaannya ilmu pengetahuan alam. Kakak pertamanya perempuan, menikah dengan seseorang bernama Zulkifli alias Musa bin Abdul Hir. Kelak Zulkifli, menurut polisi Malaysia, juga dianggap terlibat dalam terorisme.

Sejak kecil Dani suka mengaji. Dani lancar baca Alquran. Sekolah dasar ditempuhnya di Tengku Mahmud, dekat rumahnya di kawasan Taman Intan Keluang Johor. Sekolah menengah di bilangan Jalan Mengkibul, kurang lebih 10 kilometer dari rumah. Setelah lulus ia melanjutkan ke Sekolah Tinggi Keluang Malaysia.

Gelar kesarjanaannya didapat dari University Technology Mara jurusan arsitektur. Sebelum kuliah ia sempat menuntut ilmu agama di Pakistan dari 1993 sampai 1996. Ia sempat lama bermukim di Karachi, Lahore, Peshawar, dan Islamabad. Tercatat tiga kali ia pindah tempat belajar. Perguruan Tajwidul Quran, semacam jamiah, tempat ia belajar bahasa Arab, fikih, syariah, dan bermacam pengetahuan keislaman. Pernah pula jadi santri di jamiah Anwarul Islam, sedang satu lagi, tempatnya ia tak ingat.

Pemerintah Malaysia curiga pada Dani. Menteri Luar Negeri Syeh Hamid Albar mengatakan Dani adalah anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia. Utusan Malaysia, sebuah harian terbitan Kuala Lumpur, memuat tak kurang dari 74 artikel dan berita yang menyebutkan betapa Perdana Menteri Mahathir Mohammad bersikap keras terhadap Kumpulan Mujahidin Malaysia. Mahathir mengatakan Kumpulan Mujahidin Malaysia adalah organisasi bawah tanah, yang beberapa orangnya, dianggap dekat dengan Partai Islam se-Malaysia, lawan politik Mahathir.

Menurut Tan Sri Norian Mai, kepala polisi Malaysia, Dani sempat mendekam beberapa bulan di penjara Pakistan. Sempat pula ditahan di Malaysia selama sebulan dari 10 Oktober hingga 2 November 1996 karena melanggar Internal Security Act, undang-undang keamanan dalam negeri Malaysia, peninggalan kolonialisme Inggris. Dani disebutnya pernah mengikuti latihan kemiliteran di Afghanistan dari April 1994 hingga Agustus 1995.

Saat saya tanya, Dani bilang, "Nggak pernah."

Sampai di sini saya jadi teringat satu hal. Mungkin benang merah, mungkin pula tak berkelindan sama sekali. Saat di Pakistan, ia pernah tinggal di Lahore beberapa bulan. Tahun 1995 Fathur Rahman Al-Ghozy, tersangka penyimpan satu ton TNT yang ditangkap polisi Filipina pernah pula mendapat beasiswa di Lahore. Rentang waktunya berdekatan, antara 1995 hingga 1996.

Adakah mereka bersekolah di tempat yang sama? Mungkinkah mereka mengikuti organisasi yang sama?

Analogi tersebut merunut seberapa jauh "produk" Pakistan menghasilkan militansi yang permanen. Fathur Rahman al-Ghozi dan Taufik bin Abdul Halim, dua-duanya ditangkap. Satu di Manila dan satunya di Jakarta. Kasus sama. Bom.

"Dulu ada polisi Malaysia datang sambil kasih tunjuk gambar beberapa orang yang ditangkap. Apakah kau kenal? Saya jawab saya tak kenal orang ini. Saya minta kasih tunjuk beritanya tak dikasih. Ada wartawan nanya tentang Kumpulan Mujahidin Malaysia, saya tak tahu kumpulan apa itu. Saya baru tahu setelah saya baca koran," kata Dani pada saya.

Saya tak tahu Dani jujur atau bohong. Hanya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan variabel pembanding keterangannya. Pertama, bagaimana ia bisa tiba-tiba berangkat ke Ambon dengan sembilan kawannya tanpa kenal terlebih dahulu? Apa keterikatan sebelumnya di antara mereka?

Kedua, Imam Samudra, kawan beraksinya saat mengebom Atrium, sempat lama tinggal di Malaysia. Imam Samudra, oleh Dani disebut-sebut sebagai konseptor, sekaligus pemasok bom dalam aksi peledakan Atrium Plasa tersebut. Siapa dia sebenarnya?

“Saya kenal dia di sini (Indonesia), ada seorang teman yang mengenalkan. Ia orang Indonesia tapi pintar bicara pakai bahasa Malaysia,” katanya.

Abbas lebih gamblang mengidentifikasinya, “Ngakunya sih insinyur, bahasa Inggrisnya lancar, bahasa Arabnya lancar. Ia sempat lama tinggal di Malaysia. Ia sendiri orang Bogor, istrinya orang Malaysia, sempat tinggal sekitar dua bulan di rumah kontrakan itu. Saya lihat dia orang yang pintar.”

“Seperti apa Imam Samudra?” tanya saya.

“Tak terlalu tinggi, gempal, cuma kepalanya agak botak,” katanya.

Harian Indonesian Observer 1 Maret 2002 menurunkan laporan tentang Imam Samudra, “Police found documents implicating Hambali and another suspect Imam Samudra, in the church bomb attacks and they are alleged to have financed and supplied the explosives for the attacks. Hambali was last seen in East Jakarta in October 2001.”

Hambali alias Riduan Isamudin seorang warganegara Indonesia yang datang ke Malaysia pada pertengahan 1980-an. Majalah Time dari Februari hingga April 2002 menuliskan tujuh artikel tentang Hambali. Time menyebutnya tokoh kunci gerakan militan Islam di Asia Tenggara. Judul artikelnya tendensius. “Asia’s Own Osama” dengan eye catching: He’s wanted by the U.S. and four Asian governments and may be the most dangerous man in the region. Time investigates the terrorist mastermind Hambali.”

Hambali alias Nurjaman alias Riduan Isamuddin alias Asep, kelahiran Cianjur Jawa Barat. Ia diburu polisi Indonesia, Malaysia, dan Singapura karena berbagai kasus kekerasan. Mulai dari peledakan bom di malam Natal di berbagai kota Indonesia pada 2000, pembunuhan seorang politikus Malaysia, perampokan bank di Malaysia, dan rencana pengeboman kedutaan Amerika Serikat di Singapura.

Majalah Tempo Februari lalu memuat profil Hambali. Jabatan resminya ketua Majelis Syuro Wilayah Jamaah Islamiyah yang berkedudukan di Malaysia. Jabatan tak resminya Direktur Operasi Jaringan Al-Qaeda Asia Tenggara, organ militer Osama bin Laden, orang yang dianggap Washington bertanggung jawab atas runtuhnya World Trade Center 11 September 2001.

Tempo juga menyebutkan sinyalemen pemerintah Malaysia tentang rencana pembentukan Daulah Islam Nusantara, negara Islam Melayu dengan wilayah Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura oleh Kumpulan Mujahidin Malaysia.

Ketiga, faktor Zulkifli. Abang ipar Dani ini juga misterius. Harian The Star 18 Agustus 2001 mengutip keterangan polisi Malaysia yang mengatakan Zulkifli terlibat dalam pembunuhan anggota parlemen bernama Dr. Joe Fernandes, seorang politikus Malaysia. Zulkifli juga ikut penyerangan sebuah kantor polisi di Guar Chempedak. Ia juga ketua cabang Kumpulan Mujahidin Malaysia di Selangor. Sampai titik ini Dani memang masih belum terkelupas identitasnya.

Lantas, bagaimana dengan Abbas? Keluarganya menganggap Abbas jujur dan baik hati. Ia orang biasa, kelahiran Jakarta. Ia pedagang murni yang menyerahkan simpatinya pada perjuangan kaum muslim tertindas. Abbas relatif lebih terbuka dibanding Dani. Ia bisa bicara lepas setelah divonis.

Saya sempat tanya, "Adakah Dani sempat cerita soal gerakan Islam di Malaysia?"

"Kalau dia cerita gerakan di sana, enggak. Cuma dia pernah cerita, ada teman tertangkap. ‘Teman saya tertangkap di Malaysia,’ Cuma dia nggak sebut siapa. Kalau cerita gerakan ini buat apa, nggak lah, nggak pernah?" kata Abbas.

Di mana Imam Samudra, Asep, dan Agung, setelah penangkapan Dani dan Abbas?

"Kalau di Jakarta, jelas tak mungkin. Pergi ke Malaysia juga kelihatannya tidak, kelihatannya ia ada di Sumatra," kata Abbas mencoba menebak posisi Imam Samudra.

Kabar Asep dan Agung sendiri sepi. Seperti ditelan bumi

DANI suka membaca. Demikian pula "Pak Abbas." Karena itulah setiap kali bezuk di rumah tahanan Salemba, Jakarta Timur, saya selalu sempatkan membeli beberapa suratkabar dan majalah.

Hampir setiap waktu dihabiskannya untuk membaca. Bacaan kesukaannya adalah dwimingguan Sabili. "Saya suka melihat komentar tokoh-tokohnya, sekalian mencermati perkembangan peristiwa dunia Islam, saya memang simpati pada Islam," kata Abbas.

"Yah, daripada bengong. Di penjara ‘kan tak ada kerjaan. Saya baca semua, koran-koran bekas, majalah-majalah, dari kulit muka sampai kulit belakang, iklan pun saya baca," kata Dani..

BAGAIMANA vonis hukuman mati terhadap Taufik Abdul Halim dan Eddy Setiono itu diberitakan media?

Beberapa media Indonesia terpilah dalam beberapa frame pemberitaan. Pertama, frame besar terorisme. Artinya kasus peledakan bom di mana pun, kapan pun, dan siapa pun pelakunya itu dimaknai terorisme. Unsur kekerasan dan kebencian terhadap terorisme mendapat tempat di sini. Pemberitaannya menelisik pula pada apa, siapa dan untuk kepentingan apa pengeboman itu.

Kedua, pemberitaan peristiwa an sich. Mereka lebih berhati-hati. Cenderung fokus pada fakta-fakta yang mereka dapatkan di lapangan. Dari data internet yang saya pelajari, banyak media asing yang lebih jeli dibanding media Indonesia.

Untuk media Indonesia, harian Kompas dan majalah Tempo terhitung cukup komprehensif liputannya. Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan Republika termasuk yang cukup jeli memotret kasus ini menjadi tak sebatas kriminal biasa. Meski begitu mereka tak cukup banyak menguak persoalan apa dan siapa di balik serangkaian kasus pengeboman itu. Pemberitaan praktis merujuk pada peristiwa yang terjadi di lapangan.

Arif Supriyono, redaktur pelaksana Republika mengatakan, “Secara khusus Republika tak memiliki frame baku dalam memberitakan kasus ini. Kalau kasus ini bagian dari teror, iya. Tapi kami tak ingin terjebak dalam idiom-idiom yang anti-Amerika misalnya.”

Frame kedua lebih didasari pada peristiwa itu sendiri. Kronologi kasus, proses persidangan hingga vonis yang dijatuhkan. Pada awal kasus, banyak media yang spekulatif dengan mengutip pernyataan dari sumber-sumber resmi yang mengatakan peledakan itu terkait dengan Gerakan Aceh Merdeka. Isu ini bahkan pernah diasumsikan dilakukan oleh orang-orang suruhan Tommy Soeharto, putra bungsu Soeharto, yang waktu itu buron.

Reportase yang serius dan telaten, akan membedakan kualitas suratkabar dalam memandang suatu kasus. Sekadar perbandingan, saat saya beberapa kali datang ke rumah tahanan Salemba untuk wawancara Dani dan Abbas, tercatat baru dua orang wartawan yang pernah ke sana. Itu pun dari Bernama, kantor berita Malaysia dan harian Utusan Malaysia.

Khusus untuk Malaysia, yang medianya berada dalam kontrol negara, mereka cenderung menghakimi. "Dulu saya cukup sering melihat-lihat berita tentang saya di media Malaysia, hampir semuanya miring, menyudutkan. Di Indonesia ada juga beberapa media yang seperti itu," kata Dani.

Satu yang menarik. Dani suka membaca situs-situs berita tentang perjuangan Islam, jihad, Mujahidin, dan daerah-daerah konflik yang melibatkan Islam. Ia sempat memberi saya tiga alamat situs yang menurutnya menarik untuk dibaca, www.kaukaz.org, www.gogaz.net, dan www.azzam.com.

Kedua situs pertama sangat susah saya pahami karena menggunakan aksara asing, mungkin Rusia atau bahasa di kawasan Eropa Timur. Alamat situs ketiga, berisikan berita-berita perjuangan Islam, khususnya jihad di Afghanistan dan di Chechnya.

HARI-HARI penantian Dani dijalani tanpa gejolak. Bangun pukul 04.00, salat Subuh, kemudian tidur lagi. Pukul 06.00 pintu sel baru dibuka, apel pagi, sarapan, baca-baca, apel siang, makan, mandi, jalan-jalan ke blok lain, nonton televisi, baca-baca lagi, salat berjamaah di musala blok. Harinya diakhiri pukul 21.00 malam, saat pintu sel sudah harus ditutup.

Hal yang sama dilakukannya berulang-ulang, dari hari ke hari.

Sepi. Tanpa satu pun orang yang membezuknya. Bayangkan, ia ditahan sejak 28 September 2001. Ia kaget sewaktu saya datang menemuinya empat hari sebelum vonis mati jatuh padanya.

"Pernah pula polisi datang buat periksa, wakil-wakil Bu Duni (Duni Nirbayati, pengacara Dani) dan seorang dari kedutaan Malaysia, tapi dia tak buat apa-apa. Sekadar ingin tahulah," katanya.

"Keluarga ada yang tahu? Sudah pernah menghubungi rumah?" tanya saya.

"Belum ada, tak apa-apalah. Gampang," ia terlihat tegar mesti terawang matanya tak bisa bohong.

Sekali waktu saya bertanya tentang Zulkifli, saudara iparnya.

"Ya, ia abang ipar saya, tapi saya tak tahulah aktivitasnya apa saja. Komunikasi biasa, kalau ketemu. Saya tak tahu kabar terakhirnya," katanya.

Ia masih muda. Usianya baru 27 tahun. Tak banyak yang bisa dilakukannya dalam sel. Hanya zikir dan baca Alquran yang jadi menu rutinnya, selain itu sekali waktu ia mengajar ngaji sesama narapidana di dalam blok.

Dani dan Abbas telah memasukkan permohonan banding tapi tak banyak berharap. "Hidup dan mati ‘kan di tangan Allah," kata Abbas.

Laki-laki muda yang kesepian. Blok C, kamar nomor 17. Sakit perut sedang melandanya. "Saya sudah sarapan, sudah minum obat pula, dibelikan kawan kemarin," katanya. Ia menjelaskan, kenapa kemarin tak bisa menemui saya.

"Oh ya, sudah dapat belum situsnya?" Ia menagih janji saya untuk membawakan hasil print-out sebuah situs perjuangan Islam yang dipesannya tempo hari.

"Kapan Anda ke sini?"

"Nanti sore saya ke sana. Oh ya, saya bawakan Dani majalah Tempo edisi terbaru."

"Terima kasih ya," katanya santun. *

kembali keatas

by:Taufik Andrie