Pemasaran Kisah Marsinah

Aiyub Syah

Mon, 3 June 2002

JUMAT, 3 April lalu. Di sebuah ruangan kerja lantai dua sebuah gedung produk jamu, kawasan Pancoran Jakarta, Gusti Randa terlihat serius menyiapkan pemutaran perdana film tentang Marsinah.

JUMAT, 3 April lalu. Di sebuah ruangan kerja lantai dua sebuah gedung produk jamu, kawasan Pancoran Jakarta, Gusti Randa terlihat serius menyiapkan pemutaran perdana film tentang Marsinah. Randa, aktor sinetron, produser film itu, di bawah bendera PT Gedam Sinemuda Perkasa.

Marsinah Cry Justice, judul film itu, mengisahkan pembunuhan aktivis buruh pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Mei 1993. Marsinah ditemukan tewas empat hari setelah memimpin unjuk rasa menuntut kenaikan upah, tak banyak sekitar Rp 450, dari Rp 1.700 sehari menjadi Rp 2.250.

Randa merangkap jadi manajer pemasaran film itu. Koordinasi dan strategi pemasaran film berada di tangannya. Bagaimana memasarkan film layar lebar dengan karakteristik khusus ini kepada masyarakat luas, yang baru saja disuguhi film-film macam Pasir Berbisik atau Ada Apa dengan Cinta?

Cara yang lazim ya bekerja sama dengan jaringan bioskop 21, karena jaringan milik Sudwikatmono, ipar tiri Soeharto, mantan orang kuat Indonesia, memiliki fasilitas lengkap. "Tetapi, kerja sama dengan jaringan bioskop lainnya juga tetap mendapat prioritas. Terutama untuk memperlancar pemutaran film ini di daerah," ujar Randa.

Randa merekrut tiga orang staf khusus untuk mendukung kegiatan pemasaran film yang bernilai produksi Rp 4 miliar. Tiga karyawan tersebut bekerja dengan sistem jemput bola. Misalnya, saat mendengar kabar di Mojokerto, Jawa Timur, ada komunitas buruh yang ingin menonton, staf pemasaran langsung mendatangi komunitas itu. Mereka merencanakannya bersama pihak perusahaan tempat buruh-buruh itu bekerja.

Ada dua tahap untuk menghadirkan film itu di tengah masyarakat. Pertama strategi first run, film diputar di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Medan. Selanjutnya ditempuh langkah second run, film diputar pada bioskop di daerah. Randa berharap strategi itu bisa menyedot dua juta penonton selama setahun.

Di tangan Randa, tampaknya urusan pemasaran jadi mudah tapi di pasaran belum tentu. Namun, Slamet Rahardjo Djarot, sang sutradara, mengatakan kisah Marsinah diangkat bukan untuk mengejar keuntungan bisnis semata. Setidaknya keseriusan untuk memperhatikan mutu pun bisa dilihat pada pascaproduksi, mulai mixing, penataan audio, hingga pemrosesan film dikerjakan di Bangkok, Thailand.

"Kematiannya di usia muda, membuat Marsinah jadi monumental untuk diangkat dalam film. Ia menjadi pahlawan kemanusiaan. Saya bekerja keras melahirkan film ini," ujar Djarot.

Garin Nugroho, sutradara film yang kaya gagasan, bilang film ini memiliki daya tarik besar bagi publik. Karena itu katanya, "Slamet harus tetap teguh mengedarkan film ini ke tengah masyarakat. Tak perlu mempedulikan Jacob Nuwawea, yang meminta agar film ini ditunda penayangannya."

Nuwawea, menteri tenaga kerja, meminta agar pemutaran film itu ditunda dengan alasan bukan soal politis, tapi ia tak suka sosok Mutiari, kepala personalia PT Catur Putra Surya, pabrik tempat Marsinah bekerja, lebih menonjol ketimbang sosok Marsinah.

Tokoh Marsinah diperankan Megarita, seorang mahasiswa Institut Kesenian Jakarta sedangkan Mutiari diperankan oleh Diah Arum. Keduanya cukup berhasil menghadirkan adegan-adegan yang bersifat natural dalam film yang berdurasi satu jam 55 menit itu sehingga ciri khas film ini yang kuat dengan nilai true story kian mengental.

Kisah nyata Marsinah disajikan sebagai tontonan alternatif bagi segala lapisan masyarakat, namun dengan harga tiket tontonan sesuai standar harga film nasional. "Harga tiketnya sekitar Rp 15 ribu. Tapi mengenai kepastian harga tiket akan ditentukan sendiri oleh para pemilik bioskop," ujar Randa. *

kembali keatas

by:Aiyub Syah