Ketika Listrik Padam

Chik Rini

Mon, 3 June 2002

RUANG kantor biro harian Waspada di Lhokseumawe cukup sumpek dan panas. Pendingin udara mati. Beberapa komputer di atas meja kerja sudah sebulan lebih, jarang disentuh orang.

RUANG kantor biro harian Waspada di Lhokseumawe cukup sumpek dan panas. Pendingin udara mati. Beberapa komputer di atas meja kerja sudah sebulan lebih, jarang disentuh orang. Nasir A.G., wartawan yang baru setahun bergabung di situ duduk gelisah. Suara ribut mesin tik terdengar lagi.

“Susah juga, suka sering salah ketik,” keluhnya.

Ya begitulah. Selamat datang di Aceh!

Sejak infrastruktur listrik pelan-pelan rusak, entah dibakar atau tiangnya dipotong, sejak itu pula wartawan muda macam Nasir, yang tak merasakan kerja wartawan dengan mesin tik, harus membiasakan diri dengan mesin tik portable. Kalau terpaksa kerja sampai malam, dia dan teman-temannya mengandalkan lampu teplok dan lilin. Kondisi ini berulang kali terjadi dalam enam bulan belakangan.

Biro harian Serambi masih lumayan. Mereka masih bisa mengoperasikan komputer, karena punya fasilitas mesin generator di kantornya. Celakanya, mereka kesulitan dalam pengiriman berita. Selama ini biro Serambi mengirim berita ke kantor pusat mereka di Banda Aceh dengan perangkat modern. Tapi sekarang modem sulit digunakan karena saluran telepon Banda Aceh–Lhokseumawe mengalami gangguan.

“Pernah kami mencoba mengirim satu berita dari pukul sepuluh pagi hingga lima sore tidak bisa connect. Kalau pun bisa terkirim, hasil penerimaan di Banda Aceh sering terputus-putus,” kata Nasir Nurdin, kepala biro harian Serambi.

Serambi mengambil langkah lain. Pengiriman berita dilakukan secara manual. Berita harian yang tak begitu penting dimasukkan ke disket, dan dikirim via kurir ke Banda Aceh. Akibatnya banyak publikasi berita menjadi basi sehari. Hanya untuk berita penting yang tak bisa ditunda, mereka pakai fasilitas faksimile yang berfungsi dengan bagus.

Beberapa wartawan yang tak punya kantor di Lhokseumawe lebih kewalahan lagi. Mereka terpaksa mengetik berita dengan mesin tik di rumah, sepulang meliput seharian.

Zainal Bakri, koresponden Tempo, yang selama ini mengandalkan telepon seluler beberapa kali kebobolan berita besar. “Pokoknya sekarang agenda kerja kita kacau. Sudah listrik mati, jaringan telepon terganggu, akses internet juga sudah tidak ada lagi di Lhokseumawe,” kata Bakri.

Sejak Januari para pelanggan memang tak bisa mengakses internet dari rumah, karena server Wasantaranet milik PT Pos Indonesia rusak akibat listrik sering padam.

Kota Lhokseumawe, terutama di daerah pinggiran, seperti kota mati menjelang pukul 20.00. Gelap di mana-mana, kecuali di kompleks perumahan dan sejumlah pabrik yang punya pembangkit listrik sendiri, juga rumah orang-orang kaya yang mampu beli generator listrik.

Semangat wartawan untuk membuat berita pun makin menurun. “Keengganan kawan-kawan karena mereka kesal. Udah capek-capek bikin, beritanya tidak terkirim,” kata Nurdin.

Lhokseumawe merupakan salah satu sumber berita utama di Aceh, karena di situ konflik aparat Indonesia dan GAM sering terjadi. Zainal Bakri menyebutkan, jumlah berita yang dikirimnya buat Tempo, sejak listrik padam menurun drastis.

Permasalahan ini cukup serius, ketika berturut-turut PT Telkom dan Perusahaan Listrik Negara kena musibah. Mungkin ini boleh disebut sabotase.

Pada 8 Maret lalu, repeater Telkom di Gle Cut, sekitar 160 km timur Banda Aceh, dibakar. Tak ada yang tahu siapa pelakunya. Satuan keamanan di situ hanya bisa lari menyelamatkan diri ketika api melalap semua ruang dan alat-alat canggih di dalamnya. Akibatnya secara mendadak, jalur telepon terputus. Limabelas ribu pelanggan telepon sore itu kesulitan melakukan sambungan telepon.

Telkom bertindak cepat dengan mengalihkan hubungan jaringan langsung via satelit. Tapi, kapasitas saluran yang bisa diaktifkan jauh di bawah kebutuhan. Pembakaran itu merugikan Telkom sekitar Rp 4 miliar.

Repeater Gle Cut setahun sebelumnya pernah juga coba dibakar oleh sekelompok orang. Waktu itu transmisi TVRI yang berjarak 250 meter dari lokasi repeater juga dibakar. Upaya membakar repeater cepat diketahui orang kampung, sehingga berhasil digagalkan.

Sehari sebelumnya, masalah listrik dikerjai. Tepat pukul 21.05, wilayah pantai timur yang mencakup sebagian Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Tengah, dan sebagian Pidie, mendadak gelap total. Banyak orang berprasangka malam itu menara listrik pasti ditumbangkan lagi.

Benar saja. Satu dari tiga menara interkoneksi tumbang total. Menara yang terletak di desa Sarah Teube, Rantau Panjang Bayeun, kabupaten Aceh Timur roboh setelah kakinya digergaji sekelompok orang. Ini kejadian yang kelima kalinya di wilayah yang hampir berdekatan dalam enam bulan terakhir. Dua kejadian lain berhasil digagalkan, karena laporan masyarakat.

Sejak 1998, sebagian besar kebutuhan listrik di Aceh dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Air Si Gura-Gura di Sumatra Utara. Tumbangnya menara memutuskan arus listrik secara otomatis.

“Tidak mungkin kami mengawasi semua tower yang jumlahnya ratusan itu,” kata Panglima Operasi Tentara Nasional Indonesia di Aceh Brigadir M. Djali Yusuf.

Wilayah antara Langsa dan Idi itu dikenal orang sebagai daerah rawan, karena merupakan salah satu basis GAM Peurelak. Aparat pun menduga kuat GAM melakukan semua aksi tersebut.

Menangkis tudingan itu, sehari setelah menara tumbang, juru bicara GAM Peurelak Ishak Daud buru-buru menelepon beberapa wartawan di Aceh, mengatakan bahwa GAM tak melakukan penumbangan menara listrik kali ini.

“Tidak mungkin GAM melakukan itu, karena masyarakat Aceh akan sengsara tanpa listrik,” katanya. Ishak Daud bercerita, dia kini juga kesulitan, karena susah mengisi ulang baterai telepon satelitnya dan juga handy talky-nya.

Tapi militer Indonesia bersikeras GAM pelakunya. “Kami sekarang sedang melakukan pengejaran terhadap kelompok si Bo’eng yang melakukan penumbangan tower Pusat Listrik Negara selama ini,” kata Djali Yusuf.

Bo’eng diklaim militer sebagai salah satu pemimpin GAM di Peureulak. Ada 11 orang yang dituduh militer sebagai anggota si Bo’eng telah ditangkap dan ditahan polisi.

Militer Indonesia kini sudah mengonsentrasikan pasukannya di tempat-tempat rawan untuk pengamanan aset Telkom dan PLN. “Saya akan kirim pasukan lebih banyak lagi ke Aceh Timur untuk mengatasi hal ini,” kata Yusuf.

Saat ini ada sekitar 50 pekerja bekerja maraton memperbaiki menara rusak itu. Mereka dijaga aparat keamanan.

Kepala PLN Lhokseumawe Sulaiman Daud menyebutkan PLN mengalami kerugian besar. Bayangkan saja, satu menara harganya sekitar Rp 300 juta. Selama ini sudah delapan menara dirobohkan. Untuk memperbaikinya, butuh biaya miliaran rupiah. Selain itu, mereka kehilangan penghasilan sekitar Rp 150 juta per hari.

Siapa pun pelakunya, yang jelas tindakan membakar dan merusak aset vital publik ini benar-benar keterlaluan. Tapi siapa yang dapat mencegah kalau mereka berpikir jahat lagi?*

kembali keatas

by:Chik Rini