Heboh Kontrak Rp 500 Juta

Nurul Chayati

Mon, 3 June 2002

DANA Rp 500 juta ramai dibicarakan wartawan Nusa Tenggara Barat. Mulanya, harian Lombok Post, memberitakan dari Mataram 27 April lalu bahwa ada majalah dari Jakarta yang disponsori PT Newmont Nusa Tenggara

DANA Rp 500 juta ramai dibicarakan wartawan Nusa Tenggara Barat. Mulanya, harian Lombok Post, memberitakan dari Mataram 27 April lalu bahwa ada majalah dari Jakarta yang disponsori PT Newmont Nusa Tenggara, perusahaan tambang raksasa di sana. Isinya, ada isu yang berkembang di sana bahwa kontrak antara Newmont dan “majalah P terbitan Jakarta” senilai Rp 500 juta per tahun.

Lombok Post mewawancarai Edy Rosidi dari “komunitas non partisan Kelurahan Brang Bara” yang mempersoalkan mengapa hanya wartawan yang diberi majalah gratis? Mengapa kok tak memberdayakan pers lokal yang banyak kontribusinya untuk Newmont?

Yang menurunkan laporan kelihatannya Suhardie, wartawan Lombok Post, yang selama ini memakai kode “die” dalam laporan-laporannya –sama dengan berita itu. Tapi Suhardie mengatakan “die” belum tentu karyanya. Bagaimana Suhardie bisa dapat angka Rp 500 juta? “Saya tidak bisa memberitahukan siapa yang menjadi sumber saya. Karena ini berkaitan dengan piring hidupnya orang yang mungkin akan hilang jika saya menyebutkannya.”

Berita tanpa verifikasi ala Suhardie ternyata muncul juga di harian Gaung Sumbawa pada 6 Mei dengan judul, “PT NNT Diskreditkan Pers Lokal: Diduga ingin Memecah Belah.” Gaung Sumbawa menyebut majalah Jakarta itu tak lain adalah Pantau –majalah yang sedang Anda pegang ini.

Kontrak kerja sama itu, menurut Gaung Sumbawa, adalah upaya memecah-belah pers Nusa Tenggara Barat. Mengapa Newmont memecah belah? Menurut logika Gaung Sumbawa, karena media lokal sering menyoroti kinerja Newmont. Cuma baiknya, Gaung Sumbawa memuat bantahan Robert Humberson, seorang manajer senior Newmont, bahwa tak benar ada kontrak Rp 500 juta dengan Pantau.

Tampaknya kehadiran Pantau memang berita hangat di Nusa Tenggara Barat. NTB Post, menurunkan sebuah opini dari Antara yang ditulis Edy K.S. Bedanya, Edy mewawancarai Eri Sutrisno, manajer pemasaran Pantau, yang mengatakan Newmont hanya melanggankan sejumlah wartawan Nusa Tenggara Barat majalah Pantau, jumlahnya jauh dari Rp 500 juta itu.

Achmad Hirawan dari distribusi Pantau mengatakan langganan Newmont sebanyak 30 eksemplar selama setahun. Bila biaya langganan ditambah ongkos kirim maka didapat angka sebesar Rp 7, 2 juta.

“Kami sebenarnya ingin membagi gratis majalah ini ke semua jurnalis supaya bisa mempelajari ide-ide yang ditulis Pantau. Tapi kami tidak mampu menyebarkan secara gratis, karenanya kami menyodorkan penawaran ke perusahan-perusahaan besar (salah satunya PT Newmont Nusa Tenggara),” kata Sutrisno.

Apa tujuan Newmont? Memecah-belah media lokal? Mempengaruhinya?

Anton Susanto, manajer hubungan masyarakat Newmont, mengatakan Pantau diperlukan karena informasinya banyak tentang media dan jurnalisme. Pantau dianggapnya perlu dibaca secara rutin wartawan. Keputusan ini diambil setelah Newmont diskusi dengan beberapa wartawan Nusa Tenggara Barat. Langganan dimulai Februari 2002.

“Kami juga melakukan kerja sama dengan beberapa radio di Sumbawa Besar, Mataram dan Lombok Timur dengan menggelar acara dialog langsung atau pun pemasangan iklan,” kata Susanto.

Newmont memang menaruh perhatian besar pada media karena raksasa pertambangan ini tak sedikit menghadapi masalah sejak Presiden Soeharto jatuh pada Mei 1998. Media berperan penting dalam mempengaruhi opini publik.

Tapi ada satu isu yang ditambahkan Eri Sutrisno. “Bagian redaksi tidak pernah tahu bagaimana bagian bisnis mengembangkan pemasarannya, kerja sama dengan siapa saja dan sebagainya. Bahkan di grafis Pantau, penempatan iklan pun kami bubuhi garis tipis untuk membatasi dengan badan berita. Itu prinsip dan menjadi komitmen kami!” *

kembali keatas

by:Nurul Chayati