The Bang Bang Club

Evi Mariani

Mon, 6 May 2002

THOKOZA, Afrika Selatan, 18 April 1994, sembilan hari sebelum pemilihan umum demokratik pertama sejak pemerintahan apartheid berkuasa di Afrika Selatan.

The Bang Bang Club, Snapshots From a Hidden War

Greg Marinovich dan Joao Silva

Basic Books 2000

xiv + 254 halaman


THOKOZA, Afrika Selatan, 18 April 1994, sembilan hari sebelum pemilihan umum demokratik pertama sejak pemerintahan apartheid berkuasa di Afrika Selatan. Suasana tegang terjadi akibat konflik antara pendukung Inkatha—yang menolak pemilihan umum—dan pendukung African National Congress, partai anti-apartheid. Di antara dua kelompok itu, tentara penjaga perdamaian bersiaga, menengahi, sementara sejumlah jurnalis dan pewarta foto media lokal dan asing meliput dan mengantisipasi situasi. Tidak ada tembakan, tidak ada serangan. Semua orang hanya diam menunggu.

Dari arah pemukiman pendukung African National Congress sekelompok pemuda bergerak ke arah kubu Inkatha untuk memasang spanduk bertuliskan “Vote Mandela” di jalan yang membelah daerah konflik. Semua orang bertambah tegang, mengetahui bahwa tindakan ini akan mendorong kemarahan kubu Inkatha yang siap bertempur di seberang jalan, dalam barak-barak buruh industri.

Suara tembakan mulai terdengar bersahut-sahutan. Para jurnalis bergerak ke tempat yang lebih aman, berlindung di balik kendaraan lapis baja milik tentara penjaga perdamaian. Greg Marinovich melihat seorang tentara tertembak di kaki, lalu berjalan terpincang-pincang sambil menenteng sepatu botnya.

Malangnya sebuah peluru melesat ke arah Marinovich, ia tertembak dan jatuh. Joao Silva dan James Nacthwey menyeret tubuh Marinovich mendekati perlindungan. Silva adalah fotografer koran lokal The Star, sedang Nachtwey bekerja untuk majalah Time. Tanpa sepengetahuan mereka, Ken Oosterbroek, kawan dekat Marinovich dan Silva, juga tertembak beberapa meter dari sana.

Seorang wartawan foto lain, Gary Bernard berteriak, “Ken O tertembak!” Mendengar itu Nachtwey bergegas merangkak ke arah Bernard yang sedang memeriksa kondisi Oosterbroek. Ketika Nachtwey membungkuk ke arah Bernard, tentara di dekat mereka menembakkan senjatanya. Peluru berdesing di atas rambut mereka. Keduanya berteriak agar tentara-tentara itu menghentikan tembakan. Tak berapa lama, Nachtwey merangkak kembali pada Greg Marinovich, “Ken meninggal, tapi kamu akan baik-baik saja.”

Silva segera berlari ke arah Oosterbroek yang sudah dibawa Bernard dan seorang petugas penjaga perdamaian. Tak ada lagi yang bisa dilakukan Silva kecuali memotret sahabatnya. Ia ingat bahwa Oosterbroek juga pernah memotret wajahnya ketika terluka dihantam bata dalam suatu peliputan. Kelak foto-foto Oosterbroek yang dipotret Silva ini membuat istri Oosterbroek, Monica, melampiaskan rasa marah pada Joao Silva lantaran kehilangan suaminya.

Ketika Marinovich dan Oosterbroek tertembak, Kevin Carter tidak meliput seperti biasanya. Ia mendapat undangan wawancara dari sebuah media Afrika Selatan di Johannesburg sehubungan dengan penghargaan Pulitzer yang baru saja diperolehnya. Carter mendengar kabar buruk itu melalui radio mobil. Ia segera memacu kendaraan menuju Thokoza, hanya untuk mendapati salah satu kawan baiknya sudah tiada.

Beberapa hari sebelum tertembak, dalam sebuah pesta kecil di rumah Marinovich, Oosterbroek pernah berkata, “Suatu hari seorang dari kita akan kena hajar.”

Ketika pihak Inkatha menyatakan kesediaannya ikut pemilihan umum, kekerasan berhenti dan Nelson Mandela, pemimpin African National Congress dan pejuang anti-apartheid, berkata, “Mari kita berharap semoga Ken Oosterbroek menjadi yang terakhir gugur.”

Namun, perang masih berjalan sampai beberapa tahun, menambah jumlah yang gugur.

PADA 1948, National Party, partai kulit putih di Afrika Selatan, memenangi pemilihan umum dan mendominasi pemerintahan. Tahun-tahun sesudahnya adalah penderitaan bagi rakyat asli tanah paling selatan di benua hitam ini, kala sistem apartheid diberlakukan.

Hendrik Verwoerd, seorang doktor psikologi, telah menjadi arsitek sistem apartheid, yaitu suatu sistem yang bertujuan memisahkan kulit putih dari kulit hitam dan kulit berwarna baik secara geografis, arsitektural, maupun strata sosial. Warna rambut, kulit, dan kuku, dibuat skalanya masing-masing. Satu per satu aturan yang menindas kulit hitam diberlakukan. Pada 1949 muncul larangan menikah campur, antara kulit putih dan kulit berwarna. Pada 1952, pemerintahan apartheid membuat peraturan yang menyebabkan rakyat Afrika tak leluasa bergerak. Mereka diharuskan membawa buku keterangan yang biasa disebut dompas, untuk memasuki kota-kota tertentu, seperti Johannesburg, salah satu kota besar kulit putih di Afrika Selatan.

Tahun-tahun berikutnya dilaksanakan Bantu Education Act, yaitu sistem pendidikan bagi kaum hitam Afrika. Sistem ini lebih dimaksudkan untuk mematikan otak ketimbang mencerdaskannya. Kemudian kaum kulit hitam diusir secara paksa dari Johannesburg untuk dimukimkan di pinggiran kota tersebut. Pemukiman kulit hitam di pinggiran Johannesburg disebut kotapraja, di antaranya adalah Thokoza dan Soweto yang jadi daerah paling panas sepanjang konflik di masa transisi demokrasi.

Pembungkaman masih berlanjut. Pada 1956 rakyat kulit hitam diambil hak pilihnya. Para aktivis anti-apartheid, termasuk Mandela, melawan dan ditahan. Seratus lima puluh enam aktivis diadili, tetapi setelah lima tahun proses pengadilan, para aktivis tersebut dinyatakan tak bersalah.

Sang arsitek apartheid, Verwoerd, menjadi Perdana Menteri Afrika Selatan pada 1958. Dua tahun kemudian pemerintahan Verwoerd mengadakan referendum bagi kaum Afrika putih yang menjadikan Afrika Selatan sebagai republik.

African National Congress bersama sejumlah organisasi radikal lain, seperti South Africa Communist Party dan Congress South Africa Trade Union, yang menjadi wadah perlawanan terhadap sistem apartheid memperoleh tekanan keras dari pemerintah. Namun, perlawanan rakyat terus tumbuh. Mandela mengusulkan pembentukan sayap bersenjata dalam organisasinya. Pada Juni 1961, anggota dewan African National Congress bersedia mempertimbangkan usul Mandela untuk menggunakan kekerasan sebagai taktik. Mereka membebaskan anggotanya bergabung sayap bersenjata mereka bernama Umkhonto we Sizwe.

Akibatnya, para pemimpin African National Congress dan pemimpin Umkhonto we Sizwe ditangkapi untuk diajukan ke pengadilan atas tuduhan “hendak menggulingkan pemerintahan dengan cara kekerasan.” Pada Juni 1964, menjelang usianya yang ke-46, Mandela bersama delapan kawannya dihukum penjara seumur hidup. Sejak 1964 sampai 1982 ia disekap dalam penjara Robben Island yang terletak dekat Cape Town, setelah itu ia dipindahkan lagi ke penjara Pollsmoor.

Meski para pejuang anti-apartheid dibungkam dan dipenjara, perlawanan mereka belum padam. Salah satu perlawanan yang terbesar adalah pemberontakan anak sekolah Afrika Selatan.

Pemerintah mengharuskan setiap sekolah menggunakan bahasa pengantar Afrikaans dalam kegiatan pendidikannya. Afrikaans adalah bahasa yang digunakan oleh kulit putih Afrika Selatan atau Afrikaaners, yang merupakan bentuk lebih sederhana dari bahasa Belanda lama. Bagi orang kulit hitam, Afrikaans menjadi bahasa yang identik dengan polisi, hakim, dan sipir penjara, dengan kata lain, bahasa para penindas. Mereka menolak menggunakannya.

Aksi ribuan anak pada 16 Juni 1976 ini mendorong perlawanan yang lebih luas. Mereka membakar fasilitas pemerintah dan menjarah. Polisi berusaha menghalau dan seorang anak bernama Hector Petersen tertembak. Petersen hanya yang pertama, setelah itu lusinan anak ditembak. Hari itu juga anak-anak mengusung dan menangisi tubuh Petersen yang terluka.

Sam Nzima, pewarta foto lokal, mengabadikan peristiwa tersebut dalam gambar-gambar yang meremas hati setiap orang. Dengan menggunakan mobil Volkswagen Beetle milik Nzima, Petersen dilarikan ke rumah sakit. Namun, Petersen keburu meninggal dalam perjalanan.

Foto-foto Nzima dimuat suratkabar World, tempatnya bekerja. Dampaknya, World dibredel. Namun, foto-foto Nzima dijual dan dijual lagi ribuan kali oleh kelompok suratkabar yang juga memiliki suratkabar The Star. Untuk itu Nzima tak menerima uang sepeser pun sampai 20 tahun kemudian ketika ia mendapatkan hak ciptanya. Buat Nzima, tekanan dan kekecewaan sehubungan dengan foto itu terlalu besar sehingga ia terpaksa meninggalkan jurnalisme. Nzima lantas membuka sebuah toko sekaligus mendukung kegiatan bantuan pangan di kampung halamannya.

Pada 1977, anak-anak sekolah tersebut mengajak para buruh di kotapraja mogok. Mereka turun ke jalan, berbaris, dan berteriak, “Asigibeli, asigibeli,” yang berarti ajakan untuk tidak berangkat ke kota untuk bekerja. Seruan ini tak diindahkan suku Zulu yang tinggal di barak buruh. Kaum Zulu adalah pendatang dari Kwa Zulu atau Natal, yang terletak di sebelah timur Johannesburg. Bagi buruh migran, mogok akan mementahkan satu-satunya tujuan mereka datang ke kota, yaitu untuk memperoleh uang.

Perbedaan kepentingan telah mewarnai konflik politik selanjutnya, antara Inkatha dan African National Congress. Inkatha yang dipimpin oleh Chief Mangosutuhu Buthelezi memperoleh dukungan utama dari suku Zulu, sedangkan African National Congress didukung suku lain yang sejak dulu tinggal di Johannesburg, meski juga didukung sebagian kecil suku Zulu.

Faktor-faktor inilah yang menjadi pendorong konflik dan kekerasan luar biasa pada 1990 sampai 1994. Pemerintah apartheid menjelaskan penyebab kekerasan ini sebagai perebutan kekuasaan antara Inkatha dan African National Congress, mencoba membelokkan konflik sejati antara rakyat Afrika Selatan dan rezim yang rasialis pada isu perang suku.

Namun, empat tahun setelah pemilihan umum dilaksanakan, terkuak kebenaran dari laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diprakarsai Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu. Dalam konflik tersebut polisi dan pasukan keamanan pemerintah ternyata terlibat.

Sebelumnya banyak orang tahu bahwa pemerintah apartheid mendukung pendanaan, perancangan skenario, dan pelatihan garda depan Inkatha, tetapi tak ada pengakuan dan bukti-bukti. Presiden Frederik Willem de Klerk menyangkal keterlibatan mereka dan partai pendukung apartheid, National Party, meski bukti-bukti telah terkumpul.

Perubahan penting terjadi ketika de Klerk membebaskan Mandela setelah menyekapnya selama 27 tahun. Kelak bersama Mandela, de Klerk mendapat hadiah Nobel untuk perdamaian.

MENJELANG sore di penjara Pollsmoor, 18 Februari 1990. Mandela berjalan menuju gerbang penjara. Ia sudah bertambah tua, dengan rambut memutih. Ribuan pendukung dan ratusan fotografer, kamerawan televisi, dan wartawan mengerubungi pria ini. Di usia yang ke-71, Mandela merasa hidupnya justru baru dimulai. Sepuluh ribu hari di penjara telah usai. Pemerintah apartheid tampaknya tak bisa mempertahankan gaya kunonya dalam memimpin sebuah negara. Demokrasi mulai mendesak dijalankan.

Namun, perubahan sering kali meminta korban. Tak lama setelah Mandela dibebaskan, kekerasan demi kekerasan terjadi. Afrika Selatan menjadi salah satu daerah dengan konflik tergawat di dunia.

Kekerasan biasanya berlangsung di kotapraja-kotapraja yang dihuni kaum hitam Afrika, terutama Thokoza dan Soweto. Keduanya berjarak sekitar 15 kilometer dari Johannesburg. Kedua kotapraja itu memiliki tata letak yang mirip, yaitu satu sisi dipenuhi deretan barak buruh yang kebanyakan ditempati suku Zulu, dan sisi lainnya berupa rumah-rumah yang merupakan pemukiman suku-suku yang sejak dulu tinggal di Johannesburg, sebelum diusir dengan paksa dari kota yang diputihkan tersebut.

Masing-masing pihak kemudian mengembangkan unit bela diri, yang mempersenjatai diri dengan sejumlah kecil AK 47—senapan laras panjang semi otomatis buatan Rusia—dan senjata-senjata swadaya lainnya. Selain itu, senjata pembunuh yang sangat terkenal saat itu adalah neklace atau kalung, berupa ban bekas yang diisi bensin di ceruknya, lalu dikalungkan pada leher korban, untuk kemudian disulut api. Korban berlarian karena terbakar sebelum akhirnya meninggal, dan para penyerang hanya menonton. Necklacing adalah cara yang biasa digunakan rakyat Afrika untuk menghabisi lawan politiknya. Cara ini juga disebut shisanyama yang berarti daging bakar, atau three cents, tiga sen, untuk harga korek api waktu itu, atau lebih keji lagi, Nando’s yang diambil dari nama restoran franchise ayam panggang.

Cara lain tembakan yang dilepaskan dari dalam mobil yang melaju di jalanan kotapraja. Korban sering kali jatuh secara acak, dan mungkin saja sang penyerang membunuh kawan sendiri. Namun, konflik sesungguhnya terjadi ketika para milisi bersenjata masing-masing pihak berhadapan dan saling tembak.

Dalam situasi macam itulah, Kevin Carter, Greg Marinovich, Ken Oosterbroek, dan Joao Silva bertemu. Keempatnya pewarta foto yang tinggal di Johannesburg, kulit putih, kelas menengah, dan berusia sekitar 30-an. Mereka sama-sama meliput kekerasan di lapangan. Kadang-kadang mereka berjanji bertemu untuk melakukan patroli dini hari ke kotapraja, menanti kekerasan terjadi. Mula-mula sendiri-sendiri, berdua, bertiga, dan lama-kelamaan sering kali berempat. Bagi Marinovich ronda subuh bersama-sama mendorong semangatnya untuk bangun saat cahaya pertama belum menyentuh Afrika Selatan. Paling tidak ketika rasa malas menyerang, ia ingat bahwa ada yang sedang menunggunya di kotapraja.

Pertemanan mereka kemudian berkembang bukan saja di lapangan, tapi juga di rumah. Istri dan pacar-pacar mereka saling kenal dan kadang berkumpul dalam acara makan bersama. Mereka bahkan terkadang mabuk dan menghisap ganja bersama.

Pada 1992, majalah gaya hidup Living, menulis tentang mereka dan menjuluki empat serangkai ini sebagai The Bang Bang Club, klub dar der dor, karena mereka hampir selalu ada dan meliput setiap kekerasan yang terjadi. Laporan itu membuat mereka malu sekaligus senang karena mendapat perhatian. Mereka jadi selebritas dalam lingkungan media Afrika Selatan.

The Bang Bang Club membuat beberapa fotografer muda tertarik untuk terjun ke dunia jurnalisme serta memotret kekerasan. Salah satunya, Gary Bernard. Ia sering turun ke lapangan bersama The Bang Bang Club. Di pangkuannya pula Ken Oosterbroek mengembuskan napas terakhir.

SELAKU fotografer yang baik dan perfeksionis, Ken Oosterbroek dua kali dinobatkan sebagai South African Press Photographer of The Year pada 1989 dan 1991 Ia bekerja sebagai editor foto di suratkabar The Star, dan dikenang orang sebagai “sang profesional.”

Ketika pertama kali berjumpa dengan Oosterbroek di Taman Phola, Thokoza, akhir 1990, Joao Silva menangkap kesan angkuh. Saat itu Silva bekerja untuk koran Alberton’s Record yang berkantor di Alberton, kota kecil di timur Johannesburg. Ia bertugas memotret kecelakaan atau pertemuan Rotary Club. Sudah lama ia ingin meliput perang di kotapraja, sehingga membujuk editornya untuk mengizinkannya ke Thokoza, dengan alasan jarak Thokoza dan Alberton tak terlalu jauh.

Bersama dengan seorang reporter lain, Silva mendatangi Taman Phola yang dihuni prajurit-prajurit suku Xhosa. Para prajurit Xhosa itu membungkus tubuh mereka dengan selimut dan memegang baja tajam. Mereka sebelumnya telah diserang oleh pendukung Inkatha yang tinggal di barak. Beberapa orang meninggal. Silva dan kawan reporternya harus dengan hati-hati berjalan agar tak menyenggol mayat dua orang Xhosa yang dibungkus selimut abu.

Silva pernah membaca dan melihat foto Oosterbroek di koran dan majalah, karena itu ia mengenalinya dengan rambutnya yang panjang. Oosterbroek melayangkan pandangan tak acuh ke arah Silva, seorang fotografer baru yang menenteng kamera kuno dan bertubuh pendek. Oosterbroek hanya mengangguk malas. Silva mengumpat dalam hati dan memutuskan kembali ke kantor.

Dalam perjalanan pulang, di Khumalo, jalan utama Thokoza, Silva melihat sekelompok perempuan mengejar seorang perempuan muda yang berdarah di kepalanya. Tak lama perempuan itu tertangkap, lalu dilempari dengan apapun yang bisa dijadikan senjata, termasuk sebuah arit. Silva segera melompat dari mobil yang masih berjalan, menuju kerumunan itu. Tangisan lirih perempuan yang kesakitan ditenggelamkan teriak kemenangan para penyerang. Silva merasa ngeri dan bingung. Ini bukan foto perang yang selama ini dia bayangkan. Namun, ia terus menekan tombol kameranya. Tak berapa lama seorang pria mendekati kerumunan dan memberi perintah pada para perempuan dengan senyum lebar di wajahnya. Silva merasa ia telah mendapat gambar yang bagus.

Setelah memotret peristiwa itu, karier Silva menanjak pesat. Ia yang sempat bekerja untuk Reuters, kemudian melamar ke suratkabar The Star, tempat Oosterbroek bekerja. Untuk kedua kalinya Silva bertemu dengan Oosterbroek.

Pada Agustus 1991, Oosterbroek menjadi kepala editor foto dan mengangkat Silva sebagai stafnya. Persahabatan mereka mulai terbangun. Pada 1992, saat Silva menerima penghargaan South African Press Photographer of The Year, Oosterbroek berada di posisi kedua.

BERBEDA dengan Oosterbroek dan Silva yang sejak awal bekerja profesional untuk memotret, Greg Marinovich justru memulai fotografi sebagai hobi. Pada awal terjadinya kekerasan di Afrika Selatan, ia tanpa sengaja berhadapan dengan perang antara Inkatha dan pendukung African National Congress.

Ia nekat dan beruntung bisa masuk ke dalam barak tempat pendukung Inkatha. Keadaan barak itu amat mengenaskan dan tak layak huni, dipenuhi para laki-laki terutama dari suku Zulu yang memegang senjata. Tiba-tiba mereka berlarian menuju sebuah asrama dan berusaha menyerang seorang pria yang berdiam di situ. Menurut mereka, pria itu adalah seorang Xhosa yang sejak tadi menembaki mereka dari dalam asrama. Marinovich belum mendengar satu pun bunyi tembakan sejak tadi. Tetapi ia terus mengikuti orang-orang Zulu tersebut.

Setelah melalui usaha keras, para pendukung Inkatha berhasil mengeluarkan sasaran mereka dari asrama. Mereka memukul, mengiris, dan menikam pria tersebut. Ini pengalaman pertama Marinovich berhadapan dengan kekerasan. Ia sangat takut sekaligus secara tidak sadar terus-menerus menjepretkan kameranya tanpa memikirkan ukuran-ukuran teknis. Ketika suasana panas mereda, Marinovich segera berlari keluar barak.

Ia mencetak negatif film itu di kamar gelap sebuah suratkabar tempat temannya bekerja. Foto-foto yang bagus. Marinovich menjualnya ke kantor berita Associated Press.

“Inilah kesempatanku untuk membubuhkan tanda di dunia foto berita, dan aku harap akan mendobrak posisi freelancer yang miskin. Aku bisa melakukannya karena kematian mengenaskan seorang laki-laki,” katanya.

Setahun kemudian, pada 1991, Greg Marinovich dihadiahi Pulitzer untuk foto-foto yang dijuluki Hostel War—perang barak. Namun, penghargaan bergengsi ini tak selalu memberi kebahagiaan, setidaknya pada Kevin Carter, anggota The Bang Bang Club yang lain.

CARTER bekerja sebagai fotografer di sejumlah suratkabar sejak 1980-an. Masa kecilnya sulit dan sering mengalami tekanan akibat persoalan-persoalan yang tak dapat ia selesaikan. Sebelum bekerja sebagai fotografer, ia pernah mencoba bunuh diri dengan minum obat tidur dalam jumlah banyak, yang telah ia kumpulkan selama berhari-hari dari toko-toko obat. Setelah gagal bunuh diri, Carter menjalankan wajib militernya.

Saat berpatroli di Pretoria, ibukota Afrika Selatan, ia terjebak dalam peristiwa pengeboman. African National Congress memasang bom untuk meledakkan markas tentara. Bom meledak. Carter mengabaikan dirinya yang terluka untuk menolong lusinan korban. Keterlibatannya dalam peristiwa tersebut memberi gagasan pada Carter untuk merekam sejarah. Ia memutuskan jadi wartawan foto.

Pada 1994, setelah memenangi Pulitzer untuk karyanya, Carter mencoba bunuh diri dengan menghirup gas beracun. Kali ini ia gagal diselamatkan. The Bang Bang Club pun kehilangan dua anggotanya pada tahun yang sama.

Para jurnalis terkejut mendengar berita ini. Sebagian menduga dorongan bunuh diri Carter datang dari persoalan psikologis yang muncul bersamaan dengan ketenaran, sebagian lagi menganggap ia tak tahan menghadapi kecaman yang dilontarkan sebagian orang yang melihat foto Carter yang mendapatkan Pulitzer itu.

Karya Carter yang dimuat suratkabar The New York Times memang membuat dunia terkesiap. Seorang gadis kecil berkulit hitam dengan tubuh sangat kurus membungkuk hingga wajahnya menyentuh tanah. Di belakangnya seekor burung nazar menunggu untuk memangsanya. Foto tersebut diambil Carter di Sudan, negara di utara Afrika Selatan, dekat sebuah pusat bantuan pangan.

Foto tadi direproduksi menjadi poster untuk kampanye kemanusiaan oleh organisasi-organisasi bantuan pangan. Majalah dan suratkabar seluruh dunia memuatnya. Bantuan keuangan dari masyarakat segera mengalir pada organisasi bantuan pangan manapun yang bekerja di Sudan. Namun, New York Times yang pertama kali memuat foto itu kebanjiran pertanyaan mengenai nasib si gadis kecil.

“Apakah dia berhasil mencapai tempat bantuan pangan?”

“Apakah sang fotografer menolong gadis itu?”

“Apa yang terjadi pada gadis itu?”

Karena tak dapat menjawabnya, redaksi meneruskan pertanyaan ini pada Carter.

Carter tak sanggup menjawab jujur, bahwa ia meninggalkan gadis itu di sana, karena menurut pertimbangannya burung nazar tak akan menyerang tubuh yang masih bernyawa. Pada awalnya ia menjelaskan pada orang-orang bahwa ia mengusir burung itu, lalu pergi ke bawah pohon dan terduduk menangis.

Ketika terus dicerca pertanyaan serupa, Carter memberi jawaban yang lain lagi, “Aku melihat anak itu berhasil bangun dan mencapai pusat bantuan pangan 100 meter di depannya.”

Pernyataan ini menjadi jawaban resmi yang dilontarkan pada publik. Tapi, malah menimbulkan banyak serangan terhadap Carter. Sebagian dari mereka menganggap sama sekali tak sulit bagi Carter untuk menggendong gadis kecil itu sampai ke tempat pangan.

Carter menjadi gelisah. Silva yang juga bersama Carter saat di Sudan berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa anak itu pasti baik-baik saja karena pusat pangan sudah sangat dekat. Toh, Joao Silva pun sempat memotret gadis kecil yang hampir sekarat dan ia tak menggendongnya ke pusat pangan. Greg Marinovich berusaha membayangkan apa yang akan ia lakukan jika ada pada posisi Carter. Ternyata ia juga tak mampu menjawab.

Topik itu jadi bahan diskusi pewarta foto kawan-kawan Carter dan mereka sepakat bahwa jika pewarta foto bertemu dengan orang yang terluka, maka ia punya 60 detik untuk memotretnya, setelah itu baru menolong. Dalam situasi ketika hanya sang pewarta foto yang memiliki kendaraan yang bisa melewati perbatasan dengan aman, mereka sepakat membawa korban segera. Namun, tak ada ukuran yang baku dan pasti untuk itu; kapan pewarta foto musti mencampuri keadaan dan kapan pewarta foto harus terus mengambil gambar. Ini bukan pilihan yang matematis, tak bisa diukur dengan kecepatan dan diafragma kamera.

THE Bang Bang Club: Snapshots From A Hidden War, ditulis Greg Marinovich dan Joao Silva pada 1997. Ketika menulis buku ini mereka harus berjuang mengatasi kenangan-kenangan yang kelam dan keengganan untuk mengunjungi kembali masa-masa yang sulit. Mereka juga diliputi kebingungan dalam menyusun kisah persahabatan mereka yang sebenarnya terbentuk lebih karena profesi yang sama, sementara hidup dan pengalaman mereka berbeda-beda. Mereka menyelesaikan penulisan The Bang Bang Club pada 2000. Sampul buku memasang foto Kevin Carter yang sedang mengarahkan kameranya pada Ken Oosterbroek, yang juga sedang memotret Carter.

Desmond Tutu, Uskup Agung dari Cape Town, Afrika Selatan, yang menulis pengantar buku ini berkata, “Bagaimana mereka berhasil menangkap gambar semacam itu di tengah bencana yang hiruk-pikuk? Mereka pasti dibekali semacam keberanian luar biasa untuk bekerja dalam zona maut dengan sikap cuek dan profesional. Dan mustinya, mereka sangat tenang, bahkan mungkin berdarah dingin untuk mampu melihat semua itu sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari.”

Terlepas dari semua pujian atau kecaman, para pewarta foto itu hanya manusia biasa, yang oleh bermacam sebab berada di tengah situasi kritis, tak peduli kejiwaan mereka takut atau berani.

“Tragedi dan kekerasan sungguh-sungguh menciptakan gambar yang kuat. Untuk itulah kami dibayar. Namun ada harga yang harus kami bayar untuk setiap foto: sebagian dari emosi, kerapuhan, empati yang menjadikan kita manusia, hilang bersamaan dengan rana yang kami buka,” tulis Marinovich.*

kembali keatas

by:Evi Mariani