Si Raja Kuis

Heru Widhi Handayani

Mon, 6 May 2002

SELAMAT pagi dan salam sejahtera bagi semua pemirsa di rumah. Sekarang Indosiar menjadi sebuah stadion!” teriak Helmy Yahya disambut tepuk tangan dan sorak-sorai peserta.

SELAMAT pagi dan salam sejahtera bagi semua pemirsa di rumah. Sekarang Indosiar menjadi sebuah stadion!” teriak Helmy Yahya disambut tepuk tangan dan sorak-sorai peserta.

Memang Helmy tak salah. Selasa, 12 Maret 2002, Kuis Siapa Berani menghadirkan para suporter bola. Mereka adalah Slemania, kelompok suporter dari Persatuan Sepak Bola Sleman, Aremania suporter Persatuan Sepak Bola Malang, Pasoepati suporter Pelita Solo, Viking suporter Persatuan Sepak Bola Bandung, The Jackmania suporter Persatuan Sepak Bola Jakarta, dan dari Assosiasi Suporter Sepak Bola Indonesia. Layaknya lapangan sepak bola, Studio I Indosiar penuh dengan yel-yel yang silih berganti dari para peserta.

Kelima kelompok dengan peserta 100 orang itu diadu untuk diambil satu orang sebagai wakil kelompok. Pada babak penyisihan hanya ada satu soal yang luput, tak terjawab. Helmy kala itu menyanyikan sepenggal bait lagu tema Piala Dunia yang tenar lewat olah vokal Ricky Martin dari Puerto Rico. Kelima orang peserta diminta menyebutkan judulnya, tapi tak ada yang tahu. Coppa De La Vida, judul lagu itu, mungkin agak sulit dihapal. Sampai akhirnya babak bonus, babak penentuan sang juara. Dan Ali dari Viking pemenangnya. Semua pun berteriak dan bertepuk tangan.

Demikian halnya pada babak bonus. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan silih berganti oleh duet Helmy dan Alya Rohali. Ali didampingi rekannya menjawab soal demi soal dengan benar.

Sampai akhirnya pada soal kesepuluh, soal terakhir penentu kemenangan dengan hadiah Rp 10 juta. “Richard Burton pernah dinominasikan sebanyak tujuh kali tapi tidak pernah memenangi Oscar? Benar atau salah?” tanya Helmy.

Ali mengatakan “benar,” tapi rekannya mengatakan “salah.” Mereka pun tampak bingung. Akhirnya mereka mengambil jatah sekali bertanya kepada rekan-rekan di belakangnya. Para Viking itu pun ada yang menjawab ‘”benar” dan “salah.” Kembali Ali bingung.

“Oke yang lain tenang dulu. Jawabannya berubah-ubah. Saya akan tanya sekali lagi. Inilah jawaban terakhir Anda, your final answer. Jawaban Anda?” tanya Helmy.

“Benar.”

“Yakin?”

“Ya.”

“Sepuluh juta rupiah!”

Maka makin bergemuruhlah suasana, penuh suka cita. Semua tampak akur dan jauh dari kesan brutal, kesan yang terbiasa melekat pada diri suporter bola Indonesia. Saat akhir acara, mereka semua berdiri, mengacungkan kepalan tinju tangan kanan ke atas, menyanyikan lagu Padamu Negeri. Ada semangat nasionalisme mengalir.

Helmy pun boleh berbangga lantaran melalui Kuis Siapa Berani mereka bisa berdamai dan beradu dalam pertandingan yang penuh sportivitas. Setidaknya Kuis Siapa Berani bisa menyatukan mereka pada saat itu, meski di sore harinya mereka berulah. The Jackmania menghadang dan menyerbu rombongan Viking di pintu Tol Tomang arah Slipi, Jakarta Barat sehingga mengakibatkan sebanyak 14 orang Viking luka-luka.

Kuis Siapa Berani mulai tayang di Indosiar pada 4 Desember 2001, dan Helmy Yahya yang ditunjuk menjadi host-nya, berdua dengan Alya Rohali. Sunanto, produser Kuis Siapa Berani, menyatakan Indosiar waktu itu mau menayangkan acara Kuis Siapa Berani karena tertarik akan keunikannya.

Mengapa Indosiar mengambil risiko untuk mengusung kuis dengan peserta 100 orang dan ditayangkan langsung? Menghadirkan 100 orang ke studio tidaklah gampang.

“Itu bukan mengambil risiko. Indosiar melihat Kuis Siapa Berani konsepnya melibatkan banyak orang, dan kolosal. Orang kita ‘kan kalau tampil berbanyak tidak ada malu-malunya,” ujar Sunanto.

Kenyataan itu tak lepas dari visi Helmy dalam membuat Kuis Siapa Berani.

“Kuis Siapa Berani untuk menambah wawasan,” katanya.

Kuis ini termasuk acara yang paling ditunggu pemirsa. Pada malam Panasonic Awards, November 2001, bertempat di Jakarta Convention Center, Kuis Siapa Berani disebut sebagai Kuis Favorit.

Kini penayangan kuis tersebut sudah memasuki tahun kedua, hampir 300-an episode. Situs Kuis Siapa Berani pun dibuat, agar bisa orang bisa memperoleh informasi tentangnya lewat media internet. Alamatnya, www.kuissiapaberani.com. Usia situs tersebut hampir enam bulan. Di dalamnya ada dokumentasi foto dan iklan cinderamata acara tersebut.

Tapi Helmy masih ngeri membayangkan sampai berapa lama kuis ini akan bertahan dan terus disukai pemirsa.

“Kontrak sih 10 tahun, tapi anything can happen.”

SEJAK sekolah di Sekolah Tinggi Akutansi Negara pada 1988-an Helmy Yahya diajak bekerja sama oleh gitaris Ireng Maulana. Ia bergabung dengan Ireng Maulana Production yang sekarang bernama Ireng Maulana Associates.

“Selain jenius, dia rakyat biasa, gayanya nggak berubah, nggak terpengaruh selebritis,” kata Maulana.

Keterlibatan Helmy di dunia hiburan berpangkal di sini. Menurut Maulana, Helmy banyak terlibat dalam hal keuangan juga visi perusahaannya.

“Dia konseptor dan banyak membuat konsep-konsep yang kuat.”

Suatu ketika Maulana iseng-iseng bertanya pada Helmy, “Mi, kalau membesarkan kantor ini bagaimana?”

Sebagai jawabannya, Helmy membuat beberapa konsep hanya dalam tiga jam. “Tebalnya segini,” kata Maulana, membentuk celah antara jempol dan telunjuknya, yang berjarak sekitar dua centimeter, “Saya masih menyimpannya tuh sampai sekarang.”

Namun, Helmy tak lama bekerja dengan Ireng Maulana. Ani Sumadi, orang yang dikenal piawai membuat kuis untuk televisi saat itu, membutuhkan orang yang bisa jadi tangan kanannya. Sumadi mengutarakan niatnya pada Maulana, lalu Maulana berbicara pada Helmy.

“Ibu (sapaan Helmy pada Sumadi) minta lu tuh,” kata Helmy menirukan Maulana.

Perasaan tak enak sempat muncul. Helmy merasa utang budi pada Maulana. Namun, Maulana orang yang bijak. Ia ingin Helmy berkembang.

“Kantor saya ‘kan kecil. Kalau Helmy saya pertahankan, nggak mungkin. Sama halnya kita masukkan dia dalam sebuah sel, dalam tempurung. Ngapain ‘kan?” kisah Maulana.

Helmy cepat belajar. Dari Maulana ia banyak menggali pengetahuan tentang dunia musik berikut jaringan kerjanya, sedangkan dengan Ani Sumadi ia belajar tentang televisi. Dua bekal itu menjadi kekuatan sinergis, yang menentukan keberhasilan kerja-kerjanya di kemudian hari.

Di Ani Sumadi Production, Helmy tanpa sengaja bekerja satu atap dengan kakaknya, Tantowi Yahya, yang sudah dikenal sebagai pembawa acara kuis Gita Remaja di TVRI.

“Awalnya Koes Hendratmo yang memperkenalkan saya kepada Ibu Ani Sumadi yang saat itu tengah mencari host baru untuk kuis barunya Gita Remaja. Saya ikut audisi dan ternyata lulus dan jadilah saya presenter televisi,” kenang Tantowi.

Hendratmo adalah penyanyi yang juga menjadi pemandu dalam salah satu kuis Sumadi.

Kalau kerja Tantowi di depan layar, maka Helmy lebih di belakang layar.

“Dia membuat soal, saya sebagai presenter,” kata Tantowi.

Menurut Tantowi, ini juga kali pertama Helmy bersentuhan dengan industri televisi.

Waktu terus bergulir. Helmy terus mengasah bakatnya. Ia terlibat dalam banyak pembuatan kuis Sumadi, semisal Pesona Nada, Gita Remaja, Berpacu dalam Melodi, Siapa Dia, Aksara Bermakna, dan Tak Tik Boom. Meski di belakang layar, perannya tak bisa diremehkan. Orang lain pun melihat Helmy punya bakat besar, sehingga ia menerima cukup banyak tawaran kerja. Ada stasiun televisi yang menawarinya jadi manajer, ada pula rumah produksi yang menawarinya jabatan direktur, belum lagi tawaran dari media Malaysia. Semuanya ia tolak secara halus. Helmy merasa belum cukup menimba ilmu dari Sumadi. Sepuluh tahun kemudian, baru ia memutuskan meninggalkan Ani Sumadi Production.

“Saya merasa sudah cukup lama, sudah 10 tahun. Saya diuber waktu. Waktu di luar demikian cepat berubah. Demikian saya berusaha mengantisipasi itu dan televisi swasta demikian banyak, sementara Ibu sangat lambat, mungkin karena usia dan segala macam. Akhirnya ya sudah saya nabrak-nabrak, terus saya keluar.”

Hanya itu?

“Satu hal yang saya pikir, dunia berubah. Faktor usia saya dengan Ibu membuat perbedaan-perbedaan. Itu membuat banyak sekali ide-ide saya tidak tertampung,” kata Helmy di lain waktu.

Tetapi, ia selalu ingat satu pelajaran berharga yang diperolehnya dari Sumadi. Kuis harus dibuat runtut dan logis.

“Mengapa harus ada babak pertama sampai keempat? Mengapa harus ada babak bonus? Mengapa harus ada hadiah-hadiah? Bukan asal heboh,” katanya.

PADA saat yang sama Jeddy Suherman ingin membuat acara televisi yang dipandu anaknya, artis cilik ajabi Joshua. Suherman mengungkapkan keinginannya ini pada seorang teman, Liem Siau Bok, mantan atlet bola voli yang kini pengusaha. Tak berapa lama Helmy dihubungi Liem. Suherman belum pernah bertemu Helmy, tapi ia kenal Tantowi.

Suatu siang pada 1999, Liem, Suherman, dan Helmy merencanakan pertemuan untuk membahas konsep acara itu.

“Tempatnya di mana nih? Kalau tempat saya jauh, tempat Mas Helmy juga jauh di Bekasi. Kata Pak Liem, ‘Ya sudah di kantor saya ada tempat,’” kenang Suherman.

Akhirnya mereka sepakat bertemu di salah satu ruangan bangunan berlantai enam di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat.

“Kita buat acara Kuis Joshua dalam Joshua Enterprise. Selang waktu berjalan, akhirnya banyak acara-acara untuk dewasa, seperti Asal. Akhirnya kita sepakat kalau untuk acara dewasa jangan pakai Joshua Enterprise dan dibuatlah PT Triwarsana yang muncul tahun 2000,” kata Suherman.

Asal atau Asli tapi Palsu sejenis game show yang ditayangkan di SCTV dan menampilkan lomba mirip artis atau tokoh terkenal lainnya.

Tapi, Helmy punya pertimbangan bisnis dalam mendirikan Joshua Enterprise.

“Perusahaan sedang maju, Joshua sedang naik, dan melegitimasikan pekerjaan itu sebagai perusahaan supaya kita punya landasan untuk melangkah ke depan,” katanya.

Kuis Joshua ditayangkan di Indosiar dan menerima Panasonic Award pada November 2001 dengan kategori Kuis Anak Favorit sekaligus menjadikan Joshua sebagai Pembawa Acara Anak Favorit dan Bintang Televisi Terfavorit.

Keberhasilannya itu tak dirasakan Helmy sebagai buah kerjanya sendiri. Ia tak menafikan peran anak buahnya dalam mendukung sukses PT Triwarsana.

“Saya sangat beruntung mendapatkan mereka yang terkadang 24 jam kerja untuk menghasilkan yang terbaik.”

Jumlah mereka sekitar 50-an, yang menurut Helmy terdiri dari anak-anak muda yang bekerja penuh dan siaga dalam mendesain konsep-konsep yang dilontarkannya. Meski mereka tak punya latar belakang pertelevisian, Helmy tetap optimis pada hasil kerja tim ini.

“Saya saja juga dari nol, toh bergerak di dunia televisi yang mengharu-biru yang menggelegar seperti sekarang. Kita mau belajar. Itulah yang saya inspirasikan kepada anak-anak.”

Teori dalam dunia hiburan sangat sederhana, tapi butuh keseriusan dalam praktiknya. Namun, Tantowi memberi catatan.

“Marketing itu tidak sesederhana itu. Keberhasilan marketing adalah keberhasilan dari sebuah proses panjang dan terintegrasi yang di dalamnya mencakup harga yang benar, distribusi yan benar, promosi yang benar, di samping produk yang benar. Jangan lupa, keberhasilan sebuah marketing banyak juga ditentukan oleh timing yang tepat,” ujar Tantowi.

Apa pun itu toh Helmy bisa membuktikan kiatnya. Tak salah kalau Perusahaan Umum Produksi Film Negara menunjuk Helmy sebagai direktur pemasaran yang berhasil menayangkan kembali serial anak-anak Si Unyil dengan versi baru, yang pertama kali muncul pada 1980-an di TVRI.

“Biasanya orang yang bisa menjual belum tentu bisa membuat. Mas Helmy bisa membuat, bisa menjajakannya, dan selalu ada di tempat ketika dibutuhkan,” komentar Suherman.

Selain Kuis Siapa Berani, PT Triwarsana juga memproduksi hampir 20 kuis, dan sekitar sembilan variety show. Mimpi Kali Yee (SCTV), Pesta Bintang (SCTV), Asal (SCTV), Kuis Joshua (Indosiar), Kuis Digital LG Prima (Indosiar), Kafe Dangdut (TPI) adalah beberapa contoh.

Nama Helmy sudah identik dengan kuis, sehingga menjadi semacam garansi. Ia tak perlu lagi mengasongkan produk, karena stasiun televisi yang mencarinya untuk membeli.

“Aku selalu diminta, nggak pernah nawar-nawarin.”

Kuisnya dibayar per episode. Untuk Kuis Siapa Berani, kontrak dengan Indosiar diperpanjang tiap enam bulan dan sudah berjalan selama dua tahun ini.

Gagasan membuat acara baru tak pernah pupus di kepala Helmy. Ia berusaha menyesuaikannya dengan kebutuhan pemirsa.

“Saya terobsesi membuat game yang terinspirasi dari play station untuk saya jadikan kuis anak-anak,” katanya.

Apa saja bisa menjadi inspirasi bagi pria ini, termasuk film Harry Potter yang diadaptasi dari novel karya penulis Inggris JK Rowling. Ia membuat acara yang menampilkan sulap, memenuhi ketertarikan anak-anak terhadap sihir, dan menjelaskannya secara ilmiah.

“Jadi magic itu bukan takhayul, tapi bisa diterangkan.Saya justru menantang anak-anak berpikir kritis, supaya ketika ada pesulap atau ilusionis tampil mereka berpikir, ini triknya apa? Dan sekaligus menerangkan pada anak bahwa fisika itu tidak sulit, menyenangkan.”

Tak tanggung-tanggung, Helmy menggandeng Yohanes Surya, ketua Tim Olimpiade Fisika Indonesia yang juga pengasuh kolom Fisika itu Asyik di harian Kompas, dalam pembuatan kuis Do You Believe Magic?

Kecintaannya pada dunia anak-anak tak berhenti sampai di situ. Helmy tengah berencana membuat Olimpiade Bayi dan Kastil Alakazam.

Di antara sekian kesuksesan pasti terselip satu kegagalan. Helmy mengalaminya. Pesta Bintang, sebuah acara yang ditayangkan SCTV, ternyata minim dari segi pemasukan. Masa tayangnya hanya sampai dua tahun.

“Padahal acara itu sangat saya banggakan, sangat ideal,” kata Helmy.

Pesta Bintang menggali potensi anak dalam dunia tarik suara. Beberapa bintang cilik dengan olah vokal yang matang telah dihasilkan, semisal Natasha.

“Saya dan Purwatjaraka sedang melobi sana-sini supaya mengegolkan acara itu untuk ditayangkan lagi,” katanya.

Purwatjaraka adalah pemusik, yang menjadi penata musik di Pesta Bintang.

“Kadang keputusan itu masih memikirkan bisnis atau ideal. Dan sekarang masih pada bisnis.” Ia menghibur diri.

HELMY Yahya lahir pada 6 Maret 1962 di Palembang, Sumatra Selatan. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Masa kecilnya sama saja dengan masa kanak-kanak yang lain. Suka keluar rumah, jalan-jalan, cari gelang karet, dan membuat mobil-mobilan dari kaleng sabun. Sesekali saja ia mau membantu ayahnya, Muhammad Yahya Matusin, yang bekerja sebagai pedagang.

“Pernah saya disuruh ayah mengantarkan pesanan kacamata. Saya lakukan karena terpaksa. Bukannya nggak mau, tetapi lebih karena saya dulu itu minderan dan pemalu,” kenangnya.

Helmy menjadi nakal lantaran ingin menarik perhatian orangtuanya.

“Sering berantem dengan Tanto. Tanto anak rumahan, saya lebih ke jalanan.”

Dari kelas satu sampai kelas tiga sekolah dasar nilai rapornya selalu merah. Sampai-sampai ia naik percobaan ke kelas empat. Karuan sang ayah mencak-mencak.

“Saya pernah digantung, kaki saya,” kata Helmy.

Sepulang dari Singapura sang ayah membeli taksi untuk dicat lagi lalu dijual. Tapi dasar anak-anak, Helmy malah main-main dengan mobil itu. Ia berteriak-teriak kegirangan.

“Mungkin bapak lagi kesal, ‘Ini baru datang minta main.’ Akhirnya saya pun digantung,” kisahnya.

Buah didikan yang sangat keras dari ayahnya ini ternyata membekas pula di hati Helmy. Ia mulai berprestasi di sekolah. Setelah naik percobaan di kelas empat, ia malah meraih peringkat pertama di kelas berikutnya. Kebiasaan menyabet peringkat pertama ini terus berlangsung sampai ia kuliah di Sekolah Tinggi Akutansi Negara, baik di diploma III maupun IV hingga memperoleh beasiswa belajar dari Bank Dunia di University of Miami pada 1991.

Dari kelima saudaranya hanya ia dan Tantowi yang diberi kebebasan oleh ayahnya untuk belajar di sekolah umum, bukan sekolah agama. Mereka juga sedini mungkin disuruh belajar Bahasa Inggris.

Pada 1980 Tantowi meninggalkan Palembang menuju Yogyakarta untuk kuliah di Akademi Pariwisata Indonesia. Helmy setahun kemudian menuju Bogor, kuliah di Institut Pertanian Bogor.

Pada 1981 Tantowi pindah ke Bandung dan kuliah di Akademi Perhotelan, lalu ke Jakarta pada 1982. Sementara Helmy cuma bertahan dua bulan di Institut Pertanian Bogor. Ia ingin mencari sekolah gratis dan pilihannya jatuh pada Sekolah Tinggi Akutansi Negara. Hal itu dilakukan Helmy untuk meringankan beban kakaknya.

“Kehidupan di Jakarta memprihatinkan, mengingat saya baru saja mulai bekerja di Hotel Borobudur Intercontinental dengan gaji Rp 175 ribu per bulan. Sedangkan Helmy masih harus kuliah di Sekolah Tinggi Akutansi Negara. Pada 1982 ayah kami meninggal dan dengan gaji yang kecil tersebut saya harus membantu Helmy menyelesaikan kuliahnya dan mengirimi ibu di Palembang,” kisah Tantowi.

Helmy juga berani mengambil keputusan yang sulit bagi kebanyakan orang, yaitu menikah di usia muda. Pada 9 Maret 1988, ia menikahi Harfansi, gadis yang dikenalnya saat kuliah. Helmy saat itu berumur 23 tahun, sedang Harfansi 20 tahun. Toh, usia muda bukanlah kendala bagi rumah tangga mereka. Helmy memperlihatkan dirinya sebagai nakhoda keluarga yang jempolan. Kini 15 tahun sudah mereka bersama, membuahkan tiga anak, dan tak terkena badai yang berarti.

“Itu ‘kan luar biasa,” komentarnya.

Mereka telah membuat komitmen sebelum menikah. Helmy yang mencari nafkah untuk keluarga dan Harfansi suka rela menerima risiko dari kesibukan suaminya itu.

“Pulang ke rumah pukul sepuluh malam, atau pukul satu kalau ada acara,” tutur Harfansi pada saya.

“Sampai sekarang, lancar-lancar saja,” tukas Helmy.

Kehidupan yang sulit lebih sering menjadikan seseorang kreatif dan penuh daya juang. Ia juga terinspirasi oleh Michael Jordan, bintang bola basket dari Chicago Bulls, selain ayahnya sendiri. Dalam kata pengantar buku How to be Like Michael Jordan: Meneladani Sikap Hidup Sang Maha Bintang yang diterjemahkan dari How to Be Like Michael Jordan karangan Pat Williams dan Michael Weinreb, Helmy menulis, “Tidak ada kata menyerah bagi Jordan, dia selalu bersikap all out di lapangan.”

“Banyak sekali yang saya contoh dari dia, kompetitif, tidak takut akan persaingan, try to be number one, concentrate, respect,” kata Helmy.

Kegemarannya pada jenis olah raga ini bermula dari tantangan sebuah pekerjaan.

“Waktu di Amerika ‘kan duit saya sangat terbatas, karena itu saya jadi wartawan di beberapa majalah termasuk taloid Bola. Saya tahu basket itu ‘kan saat saya jadi wartawan.”

Berkat hobinya ini ia dipercaya menjadi komentator bola basket di RCTI pada 1993, dan pemandu acara Kobatama di SCTV pada 1994. Posisi sebagai ketua Bidang Luar Negeri di Pengurus Besar Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia sejak 1998 makin menunjukkan perhatiannya pada dunia bola basket.

SELASA, 9 April 2002, pukul 09.45. Helmy melangkah ke luar Studio I Indosiar. Ia langsung dihadang dua orang pria yang mengajaknya bersalaman. Mereka lalu berbincang-bincang. Salah seorang dari mereka menyodorkan map dan Helmy membukanya. Mereka terlibat perdebatan kecil dan berakhir dengan penolakan halus dari Helmy. Para tamu dadakan itu pun undur diri.

Helmy sedang tergesa-gesa. Pukul 10.00 ia ada rapat di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan. Ia memutuskan mampir sebentar di kafetaria, tempat peserta Kuis Siapa Berani berkumpul. Ia beramah-tamah dengan mereka.

Sekitar 10 menit kemudian sebuah mobil Kia Carnival meluncur di lobi. Helmy ada di dalamnya. Tiba-tiba seorang ibu dengan dua anaknya, laki-laki dan perempuan, menghampiri jendela mobil di sisi tempat duduk Helmy.

Si ibu dengan mengiba-iba memperkenalkan diri dengan bahasa Palembang. Ia menanggapinya, “Maaf ya saya sebentar lagi ada pertemuan.”

Tapi si ibu tetap gigih menceritakan keadaannya. Mobil nyaris dijalankan oleh sopir, tapi Helmy menyuruh menahannya sebentar.

“Ini kartu nama saya. Di situ ada nomor kantor juga handphone saya. Kalau pun ke rumah, ibu percuma, karena saya ada di rumah kira-kira jam sebelasan malam. Dan ini hanya ada sekadar untuk ongkos,” ujarnya, seraya menyodorkan beberapa lembar ratusan ribu rupiah.

“Terima kasih.” Mata si ibu berkaca-kaca, lantas buru-buru menyuruh kedua anaknya mencium tangan Helmy.

Setelah itu mobil pun meluncur mulus menyusuri pintu keluar Indosiar.

“Tiap pagi datang orang, seperti yang Anda lihat tadi di Indosiar dari mana saja sambil membawakan ratusan ide yang kurang tajam. Saya membutuhkan satu saja ide yang sangat tajam. Saya suruh pulang dan saya nggak mau terima proposal. Hanya saya pegang satu. Mengapa? Karena belum tentu yang Anda punya di kepala Anda itu saya belum punya. Ketika saya naik Anda klaim. Jadi saya tidak mau seperti itu,” kata Helmy pada saya.

“Orang taruh proposal dan proposal belum tentu kita baca. Ada orang yang ketemu saya pun tidak pernah apalagi menyodorkan ide, terus saya buat suatu acara Made in Indonesia yang di SCTV dibawakan oleh Dicky Candra, and you know what? Dia klaim saya. ‘Ända jahat sekali ya, Anda telah curi ide saya.’ Saya bilang, ’Apakah Anda pernah ketemu saya?’ ‘Nggak.’ Makanya kalau ada yang nawarin ide saya tuh hati-hati sekali. Saya takut orang berharap terlalu banyak terhadap saya. Karena banyak melibatkan banyak pihak, stasiun, sponsor. Kalau anak buah saya tidak boleh satu orang pun untuk menerima proposal dan harus bertemu saya langsung,” lanjutnya, lagi.

HUJAN deras. Pukul 11.25. Helmy meninggalkan Hotel Ambhara. Ia kini duduk di samping sopir, menyambar bantal hijau kecil, dan meletakkannya di antara punggung dan kepalanya. Sebentar kemudian ia mengeluarkan telepon selulernya dan menghubungi seseorang di rumah, mungkin istrinya, menanyakan kabar terakhir putra mereka yang baru saja pindah sekolah. Helmy sekeluarga memang baru saja pindah rumah ke daerah Kemang, Jakarta Selatan, Maret lalu.

“Yah supaya ada pergantian suasana.,” katanya.

Ia juga menelepon sekretaris di kantor, rekan bisnis, sampai orang di Pusat Film Negara. Tak kurang 10 nomor yang ia hubungi, sampai akhirnya tertidur. Sekitar 15 menit kemudian dering telepon seluler membangunkannya. Hujan masih deras. Mobil melaju pelan.

Hujan tinggal rintik-rintik ketika mobil memasuki kawasan Hotel Bumi Wiyata, Depok. Tepatnya di Studio Wiyata Media, sebuah kuis baru akan dilahirkan lagi di bawah naungan PT Triwarsana. Namanya Selebrity in Charity yang mulai tayang di SCTV pada 14 April 2002, pada jam tayang utama, yaitu pada pukul 20.00 sampai 21.00.

Kuis ini akan menghadirkan dua pasang artis dalam dua kelompok yang masing-masing mewakili para penonton, yang diundang ke studio untuk menyemangati para peserta. Hadiah yang dimenangi bakal diberikan pada para penonton yang berasal dari panti asuhan atau panti jompo.

“Setiap saya bikin acara baru itu lho kayak nungguin bayi lahir. Cukup hari apa nggak, cantik apa nggak, cakep apa nggak, selamat apa nggak, ibunya selamat apa nggak, so many question. Yah seninya di sanalah ada nervous. Nervous banget. Termasuk ini karena termasuk kuis yang sangat besar. Di Selebrity in Charity. Tapi dekornya dahsyat. Saya bener-bener dredeg (gemetar). Kemarin sudah seharian. Saya tidak pernah seserius ini, persiapannya saya tungguin benar-benar. Biasanya ‘kan cuma konsep begini-begini, mereka jalan. Tapi ini nggak. Saya ingin ini bagus,” katanya.

Jam menunjukkan pukul 12.15. Ruang studio berukuran 20×20 meter itu menjadi fantastis, penuh tebaran lampu dan pernak-pernik berkilauan.

Saat itu gladi bersih. Maudy Kusnaedi dan Mayong Suryolaksono yang menjadi host-nya. Kusnaedi yang sudah terbiasa di depan kamera tak terlihat sekaku Suryolaksono yang pekerjaan sehari-hari wartawan bulanan Intisari. Beberapa kali adegan diulang. Ibu-ibu lanjut usia dan anak-anak yatim piatu pun beberapa kali dilatih untuk bertepuk tangan lebih bersemangat.

Semua tampak sibuk. Tetapi Helmy terlihat paling sibuk. Dia hilir mudik, keluar masuk panggung. Ia bahkan duduk di lantai panggung persis di depan Kusnaedi dan Suryolaksono berdiri. Tangannya menopang dagu. Lalu beberapa menit kemudian ia berdiri, menghampiri Suryolaksono, memberikan contoh pembacaan soal.

Kesalahan demi kesalahan terjadi. Pengambilan gambar pun kembali diulang dan diulang. Kusnaedi yang sempat beberapa kali membacakan soal sambil berjongkok kelihatan lelah. Air mineral dalam kemasan botol beberapa kali direguk artis ini. Helmy pun beberapa kali menghampiri Kusnaedi, terlibat dalam pembicaraan ringan, juga menepuk bahunya untuk memberi semangat.

Helmy juga mencontohkan bagaimana menjadi peserta. Saat Kusnaedi melontarkan pertanyaan, Helmy yang paling semangat memencet tombol, menjawab pertanyaan. Manakala jawabannya benar, ia pun bersorak seraya mengepalkan tinjunya ke atas, berulang-ulang. Para penonton yang berjumlah kurang lebih 30-an itu pun kontan ikutan bersemangat, bertepuk tangan lebih meriah.

Aksi Helmy tak sampai di situ. Ia kadang kembali ke belakang panggung, tempat studio kecil berada. Di sana ia bisa melihat dengan jelas segala kekurangan, seperti mutu gambar, suara, tata pencahayaan, dan panggung. Sebuah tempat mikrofon pun tak luput dari perhatiannya untuk dibenahi, digeser sedikit, juga Kusnaedi dan Suryolaksono dimintanya menggeser posisi berdiri. Ia amat teliti, memperhatikan detail.

Pukul 15.30. Latihan selesai. Sembari menunggu kedatangan artis yang akan menjadi bintang tamu, diadakan pemotongan tumpeng. Doa tak lupa dipanjatkan. Usaha telah dilakukan, sedang keputusan diserahkan pada-Nya.

Banyak keberuntungan bagai kebetulan datang dalam hidup Helmy. Ia merasa, “Seperti dibukakan pintu oleh Tuhan.” *

kembali keatas

by:Heru Widhi Handayani