BICARA siaran sepakbola, Indonesia tampaknya sebuah anomali. Di negara macam Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darusalam, atau India, Liga Inggris jauh lebih populer ketimbang liga yang lain. Tapi Indonesia, negara berpenduduk lebih dari 200 juta yang sebagian besar gila bola, justru Liga Italia lebih favorit.

Bisa jadi karena negara-negara tersebut mantan jajahan Britania Raya. Bisa jadi pula karena Liga Inggris paling tua di dunia. “Jika ditanya mana liga terbaik, jawabannya relatif. Namun Liga Inggris punya kelebihan dalam hal sportivitas dan relatif bersih dari segala urusan politik,” kata redaktur tabloid Bola Arief Natakusumah.

Mengapa Liga Italia lebih populer di Indonesia? Untuk urusan yang satu ini, tak pelak kita harus menyebut peranan dua media, tabloid Bola dan RCTI. Mereka sangat berperan memperkenalkan Liga Italia di Indonesia. Sejak 1990 RCTI menayangkan Liga Italia secara reguler. Liga Italia dikemas layaknya sebuah paket hiburan yang terus-menerus dipercantik dengan berbagai sentuhan.

Komitmen RCTI terhadap Liga Italia tak perlu diragukan. Krisis moneter 1998 yang menenggelamkan nilai rupiah terhadap dollar dan munculnya Peraturan Pemerintah No 38/2000 yang mengharuskan televisi menayangkan iklan rokok di atas pukul 21.30, seharusnya jadi alasan RCTI untuk menghentikan siaran Liga Italia. Hak siar Liga Italia dibeli dengan dollar dan iklan rokok memberi kontribusi terbesar untuk menutup ongkos produksi Liga Italia. Namun, RCTI tak bergeming, bahkan ketika siaran Liga Italia menyebabkan kerugian miliaran rupiah dua tahun terakhir.

“Kalau dari hitungan bisnis, ini memang gila. Namun kita sudah komitmen memanjakan pemirsa dengan Liga Italia,” kata Irwan Hendarmin, head of sport RCTI, yang mengepalai semua urusan olah raga di stasiun ini.

Kegemaran RCTI terhadap sepakbola akan berlanjut pada Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea 31 Mei-30 Juni mendatang. Tak tanggung-tanggung, nilai yang harus ditanggung RCTI mencapai Rp 100 miliar. Sebuah angka yang belum pernah terjadi dalam sejarah siaran olah raga Indonesia.

JUNI 2002 bisa jadi sangat menjengkelkan bagi ibu-ibu penggemar sinetron televisi. Mereka mungkin bisa kehilangan beberapa sinetron favorit karena harus berebut remote control dengan kaum lelaki yang keranjingan Piala Dunia. RCTI memang akan membanjiri pemirsa televisi dengan tayangan Piala Dunia 2002. Siaran 64 pertandingan dari berbagai kota Jepang dan Korea telah disiapkan, terdiri dari 45 pertandingan siaran langsung dan 19 siaran tunda. Selain itu ada sembilan pertandingan pilihan yang ditayangkan ulang, terutama untuk mereka yang belum sempat menonton siaran langsungnya.

Inilah pertama kalinya Piala Dunia diadakan di benua Asia. Pemirsa Indonesia tak perlu capek-capek bangun dini hari seperti pada tahun-tahun lalu ketika pertandingan-pertandingan itu diadakan di benua Eropa atau Amerika yang perbedaan waktunya cukup besar dengan Indonesia. Mayoritas pertandingan kali ini akan disiarkan pada siang hingga malam hari waktu Indonesia bagian barat. Ada pertandingan pukul 13.00, pukul 16.00, pukul 18.30 (siaran tunda pukul 01.00). Menurut Media Relations Officer RCTI Pudji Purnomo 60 persen pertandingan Piala Dunia kali ini akan disiarkan pada prime time, antara pukul 18.00 hingga 21.30.

Seharian penuh, informasi tentang Piala Dunia 2002 disajikan dalam berbagai kemasan. Di mulai pada Nuansa Pagi, RCTI akan menyelipkan program Info Piala Dunia yang berisi pernik-pernik informasi bersifat human interest dari lokasi Piala Dunia. Pukul 08.30 ditayangkan Kuis Santun Dake, istilah dalam bahasa Jepang yang artinya “tiga menit.” Kuis ini muncul lagi pukul 11.00. Pertandingan pertama disiarkan RCTI pukul 13.00 sampai 16.00. Setelah break sekitar dua jam, dilanjutkan siaran pertandingan berikutnya pukul 18.00 hingga 21.30. Pukul 21.30 muncul lagi Kuis Santun Dake, dilanjutkan dengan Magazina Program pukul 22.00.

Setengah jam kemudian, RCTI menayangkan program Fokus Piala Dunia—program jurnal harian Piala Dunia dengan duet pembawa acara berganti-ganti: Dik Doank-Riza, Wulan Guritno-Alford, Yasmin-Gilbert Patiruhu, Iwa K-Venita Dabin. Pukul 23.00 muncul World Cup-tainment,semacam program selebritis Cek & Ricek, yang menceritakan aktivitas sehari-hari para bintang sepakbola di luar lapangan. Program ini selesai 23.30 dan setelah break kira-kira satu setengah jam, akan ditutup dengan siaran tunda pertandingan ketiga tepat pukul 01.00. “Jadi formatnya hampir 24 jam ada terus,” kata Irwan Hendarmin, yang bakal sibuk mengurus siaran Piala Dunia karena tanggung jawabnya sebagai kepala bagian olah raga RCTI.

Sebelum Piala Dunia berlangsung, RCTI juga menayangkan berbagai program pra-event, seperti pertandingan Futsal, Filler Pra World Cup, Kuis Sepakbola, Road Show, ke berbagai kota, World Cup in Radio dan Road to Asia.

Gebyar siaran Piala Dunia, tak pelak menggeser banyak tayangan favorit pada jam tayang utama. RCTI bukannya tak peduli dengan hal ini. Pada hari Sabtu dan Minggu misalnya, RCTI membuat sedikit perubahan dengan mengambil pertandingan yang berlangsung pukul 15.00-18.00 sebagai pertandingan kedua. “Dengan demikian kita menyelamatkan tayangan favorit seperti sinetron Pernikahan Dini, Ketoprak Humor, dan Angin Malam,” ujar Hendarmin.

Namun, langkah ini tetap tak banyak berpengaruh terhadap perubahan program siaran RCTI secara menyeluruh. Hendarmin mengatakan RCTI tetap akan banyak diprotes ibu-ibu penggemar gemar sinteron. Bagaimana jika yang mengeluh para pengiklan?

Nurhaida Syamsuhadi, head of strategic planning marketing RCTI menjelaskan RCTI sudah jauh-jauh hari meminta pengertian para pengiklan terahadap perubahan program siaran RCTI selama Piala Dunia 2002 berlangsung. “Untungnya klien-klien pada mau ngerti. Toh mereka juga yang mensponsori World Cup kali ini. Mereka memahami, kita dibebani rating yang tinggi,” kata Nurhaida.

Target rating yang tinggi, memaksa divisi olah raga RCTI menggarap benar kualitas siaran Piala Dunia 2002. Salah satu langkah yang diambil adalah mendekati figur-figur bola internasional untuk dijadikan komentator RCTI.

“Alex Ferguson agak susah didapatkan, namun (Kevin) Keegan sudah bersedia dengan kontrak sebesar US$ 30 ribu selama sebulan. Marco van Basten juga kita dekati, namun dia sekarang sama sekali tidak mau berurusan dengan bola. Ruud Gulit, dan Frank Rijkard masih terus kita kejar,” kata Hendarmin. RCTI juga siap menggandeng tokoh lokal yang dikenal pecandu bola seperti mantan presiden Abdurrahman Wahid, kolumnis Emha Ainun Najib, penyanyi Iwan Fals, bintang film Rano Karno dan Gusti Randa, serta lainnya sebagai komentator.

Di luar studio, RCTI mempersiapkan acara nonton bareng di dua kafe Jakarta. Secara bergantian, acara nonton bareng juga digelar di Surabaya, Denpasar, Malang, Surakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Makassar.

Pada puncak pergelaran Piala Dunia, RCTI akan membuat acara spektakuler di stadion Senayan 30 Juni 2002. RCTI berusaha membuat rekor nonton bareng terbesar. “Target kita bisa menggaet minimal 40 ribu penonton, MURI sudah bersedia mencatat rekor itu,” ujar Hendarmin merujuk pada Museum Rekor Indonesia pimpinan komedian Jaya Suprana.

Bagaimana memobilisasi sekian banyak penonton itu? RCTI akan menggandeng grup band kenamaan Dewa, Padi, dan Jamrud untuk menghibur penonton. RCTI juga mempersiapkan pertandingan ekshibisi antara artis dan sekolah sepakbola, atraksi terjun payung, kembang api raksasa, marching band, dan konvoi mobil antik. Acara ini digelar secara interaktif dengan acara serupa di Bali dan Makassar. RCTI telah mempersiapkan lima buah layar raksasa berukuran 6×12 meter sehingga penonton dapat menikmati pertandingan final dengan puas.

“Ini untuk pertama kalinya di dunia, mudah-mudahan sukses. Sebagai kejutan, kita juga mengundang anggota DPR yang sering ribut-ribut itu untuk mengomentari pertandingan final. Sebagian sudah menyatakan kesediaannya,” kata Hendarmin.

Pertanyaan menggelitik yang perlu diajukan, berapa biaya yang dialokasikan RCTI? Hendarmin mengatakan, tak kurang dari Rp 1 miliar akan dihabiskan khusus untuk pertandingan final itu. Sedangkan biaya produksi program siaran Piala Dunia RCTI, menurutnya tak kurang dari Rp 20 miliar. Ini termasuk biaya untuk acara-acara di luar studio, road show, biaya satelit, pajak, pengolahan gambar dan lain-lain. “Jangan lupa, kita juga mengirim kru ke Jepang dan Korea,” tambah Hendarmin.

Untuk meliput Piala Dunia 2002, RCTI mengirimkan 20 kru, terdiri dari kamerawan, reporter, teknisi, yang berangkat 23 Mei 2002. Sebagai Official TV Partner World Cup 2002, RCTI mendapatkan fasilitas mix-zone. Sebuah ruangan khusus akan disediakan untuk para kru official TV partner, di mana mereka dapat mewawancarai pelatih dan pemain tim yang baru bertanding selama kurang lebih 30 menit.

Untuk perbandingan, pada Euro 2000 RCTI hanya mengirimkan sembilan kru ke Belgia. Untuk Piala Dunia 1998 di Prancis, RCTI sama sekali tidak mengirimkan krunya karena sedang terkena dampak krisis moneter. “Program Piala Dunia RCTI juga melibatkan sekitar 100 orang kru RCTI dari berbagai divisi, plus beberapa event organizer,” kata Hendarmin.

Di luar biaya produksi, RCTI juga harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli hak siar Piala Dunia 2002 yang mencapai $5 juta. “Aka tetapi total nilai yang kita tanggung kurang lebih $10 juta, atau sekitar Rp 100 miliar,” ujar Nurhaida. Mengapa bisa sampai Rp 100 miliar?

Linda Wahyudi, mantan head of sport RCTI, menjelaskan nilai Rp 100 milyar itu muncul karena RCTI juga harus menghitung berapa slot-slot iklan yang hilang karena tergesernya beberapa program reguler oleh program siaran Piala Dunia.

Linda menambahkan, di antara program reguler yang hilang itu berada pada jam-jam berkualifikasi A atau prime time, antara pukul 18.00 sampai 21.00 dan B antara 15.00 dan 18.00. Pada saat itulah tayangan rating tinggi, khususnya sinetron favorit biasanya diputar. Dengan harga per slot iklan Rp 14 -16 juta, sinetron dengan durasi satu jam bisa meraih pendapatan Rp 500 – 600 juta. Satu slot iklan memakan waktu rata-rata 30 detik.

“Jika siaran Piala Dunia memakan waktu katakanlah 26 hari, RCTI bisa kehilangan pendapatan antara Rp 20 hingga 30 miliar. Oleh karena itu, wajar jika diakumulasi beban yang harus ditanggung RCTI ternyata sekitar Rp 100 miliar,” kata Linda.

LINDA Wahyudi adalah salah satu tokoh kunci di balik usaha RCTI menjadi Official TV Partner Piala Dunia 2002. Pengalaman sebagai head of sport tahun 1991 hingga 2001, membuatnya sangat memahami peta agensi sport-event internasional.

RCTI sebenarnya bukan satu-satunya televisi di Indonesia yang ditawari memegang hak siar Piala Dunia 2002. Namun tanpa mengesampingkan kontribusi yang lain, berkat usaha Linda akhirnya RCTI berhasil mencapai kesepakatan istimewa dengan distributor siaran Piala Dunia, ISL Worldwide. “Linda sangat gesit dan telaten melakukan lobi-lobi ke distributor World Cup,” kata Alex Kumara, wakil presiden Trans TV.

Belakangan, Linda, yang kini bekerja buat M-Lynx, sebuah perusahaan kecil yang menjual isi televisi, sering merasa terpojok. Berbagai pihak menganggap harga hak siar Piala Dunia 2002 terlalu tinggi. Linda semakin tak nyaman karena beberapa temannya di RCTI juga melontarkan komentar yang sama.

“Saya marah jika dicurigai main-main di balik deal dengan ISL. Saya tidak sendirian dalam memutuskan deal itu, saya diskusikan dengan direksi, marketing, dan teman-teman divisi sports RCTI,” kata Linda.

Menurut Linda, beban yang ditanggung RCTI itu tidak akan terlihat mahal jika dibandingkan dengan harga hak siar Piala Dunia 2002 untuk televisi di negara-negara tetangga. Dengan penduduk cuma 250 ribu jiwa, Brunei Darussalam dibebani tarif $1 juta. Singapura dibebani tarif $5 juta hanya untuk satu televisi kabel. Sedangkan Malaysia harus menanggung beban $8 juta, Thailand $7 juta, dan Jepang $245 juta.

Linda menjelaskan, melambungnya harga hak siar Piala Dunia 2002 tak bisa dihindari karena terjadi perubahan signifikan dalam pemasaran dan manajemen Piala Dunia. Pada Piala Dunia 1998, hak siar untuk wilayah Asia dipegang Asian Broadcasting Union –asosiasi resmi televisi-televisi di kawasan Asia yang berkantor di Kuala Lumpur. TVRI dan seluruh televisi swasta di Indonesia menjadi anggota ABU.

Persaingan bisnis yang semakin ketat membuat kinerja bisnis ABU menurun seusai Piala Dunia 1998. Di sisi lain, organisasi sepakbola internasional FIFA ingin mendapat keuntungan lebih besar pada penyelenggaraan Piala Dunia selanjutnya. “Pada Piala Dunia 1998, masih menggunakan ABU sebagai distributor Asia Pasifik, FIFA cuma mendapatkan $12 juta untuk 17 negara Asia, di luar negara kaya seperti Jepang, Taiwan, dan Korea yang membeli hak siar langsung ke FIFA,” kata Linda.

Kebetulan, pada saat yang sama kalangan agen sport marketing internasional juga mulai melirik potensi pasar event Piala Dunia. ISL Worldwide, sebuah agen sport event bermarkas di Swiss, pada gilirannya dipercaya untuk merancang pemasaran dan sponsorship untuk seluruh trade mark FIFA pada Piala Dunia 2002, bahkan Piala Dunia 2006 sekaligus. ISL Worldwide adalah perusahaan pemasaran yang berpengalaman menjual pertandingan-pertandingan olah raga tingkat dunia.

Dalam mendistribusikan hak siar Piala Dunia 2002, ISL Worlwide bekerja sama dengan Kirch Group, sebuah perusahan multi-media bermarkas di Jerman. Seperti diceritakan Linda, ISL Worldwide memegang distribusi untuk wilayah Asia Pasifik, sementara Kirch Group memegang distribusi untuk wilayah Eropa-Amerika.

Tahun 1999, ISL Worldwide mulai menawarkan hak siar Piala Dunia 2002 ke stasiun televisi di setiap negara. “Untuk Indonesia, mereka menelepon langsung RCTI, Indosiar, SCTV, dan TVRI. Dengan cara seperti ini, ISL Worldwide optimis bisa mendapatkan $6-7 juta untuk Indonesia, $8 juta dolar untuk Malaysia, Singapura $5 juta, sesuai dengan GNP masing-masing negara” kata Linda Wahyudi.

Perubahan inilah yang membuat harga hak siar Piala Dunia menjadi sangat mahal. Dengan menawarkan langsung ke setiap stasiun televisi, ISL Worldwide dapat mempermainkan harga. Para pengelola televisi terpaksa berjuang sendiri-sendiri memperebutkan hak siar tersebut, dan pada akhirnya penawaran tertinggilah yang diakomodasi ISL Worldwide.

“Setelah melalui serangkaian bidding yang cukup melelahkan, akhirnya RCTI mendapatkan hak siar itu dengan nilai $5 juta. Mahal memang, namun itulah hasil maksimal yang kita capai dari nilai yang mereka tawarkan, $8 juta,” kata Linda.

Honardi Buntaryo, presiden direktur Kick Off Sport & Production Management, sebuah perusahaan Jakarta yang menyediakan isi siaran olah raga buat televisi, prihatin dengan persaingan antarstasiun televisi di Indonesia dalam mendapatkan hak siar Piala Dunia. “Jika mereka kompak dan mau maju bersama-sama, saya yakin harga right tak semahal itu. Tapi ya begitulah televisi kita, gengsinya tinggi,” kata Buntaryo.

Pendapat berbeda dilontarkan Alex Kumara dari Trans TV. Menurutnya, kondisi faktual memang tak memungkinkan para pengelola televisi gotong-royong menekan harga. Campur-tangan distributor swasta telah menyebabkan manajemen Piala Dunia jadi sangat rumit. Ketika lisensi Piala Dunia masih dipegang asosiasi resmi seperti ABU, stasiun-stasiun televisi bukan hanya dapat bekerjasama, namun juga dapat mensubsidi televisi di negara yang lebih miskin.

“Televisi di Indonesia, Malaysia, diharuskan mensubsidi negara-negara miskin seperti Bangladesh, Kathmandu dan lain-lain. Jadi selain harganya lebih murah, ada solidaritas antar negara. Sekarang, situasinya sudah sangat berubah. Lisensi Piala Dunia dipegang distributor swasta yang maunya untung besar dan tak peduli lagi sama yang namanya solidaritas dan semacamnya,” kata Kumara.

Jika harga hak siar Piala Dunia begitu mahal, mengapa RCTI tetap membelinya? “Kita sudah komitmen dengan pemirsa untuk menghadirkan tayangan-tayangan sepakbola bermutu,” kata Hendarmin.

Linda mempunyai penjelasan lain. Hak siar itu dibeli karena RCTI yakin akan dapat menjual sebagian pertandingan Piala Dunia 2002 ke dua televisi lokal dan satu televisi kabel. “Sharing dengan dua televisi lain sudah hampir terjadi. Namun akhirnya mereka mengundurkan diri karena paket terbaru yang ditawarkan RCTI konon kurang menarik.”

MEMBANGUN citra lewat tayangan olah raga, sedang menjadi trend dalam dunia pertelevisian Indonesia. Hampir semua televisi berlomba-lomba dengan program siaran olah raga. Dan siaran sepakbola, tetap menjadi yang dominan. RCTI tetap fanatik dengan Liga Italia dan Liga Champion Eropa, SCTV dengan Liga Inggris, Trans TV dengan Liga Spanyol, Metro TV dengan Liga Jepang, dan TVRI dengan Liga Bank Mandiri.

Masuk akal jika RCTI optimis dapat menjual sebagian tayangan Piala Dunia 2002 ke televisi lain. RCTI pertama-tama menjajaki kerja sama dengan Trans TV. April hingga Juli 2001, Linda Wahyudi, waktu itu masih head of sport RCTI, melakukan tawar-menawar dengan Trans TV. Pada 7 Juli 2001, Trans TV dan RCTI menandatangani letter of intent dengan nilai $1,625 juta. Trans TV setuju dengan paket yang ditawarkan RCTI: 16 pertandingan siaran ekslusif, delapan siaran langsung simultan dengan RCTI, dan satu siaran simultan dengan RCTI dan satu televisi lain (rencananya TV7). Trans TV dan TV7 boleh menyiarkan ulang beberapa pertandingan yang telah disiarkan langsung oleh RCTI.

“Pertimbangan kami waktu itu, inikan TV-TV baru, kasihan kalau sampai mereka rugi. Idealnya, mereka bukan sekadar dapat image, namun paling tidak impas secara bisnis,” kata Linda Wahyudi.

Agustus 2001 Linda resmi keluar dari RCTI dan menempati jabatan baru di Bimantara Citra, perusahaan induk RCTI. Segala urusan dengan calon pembeli hak siar Piala Dunia diserahkan kepada direksi baru RCTI yang dipegang oleh Wisnu Hadi dan Oerianto Guyandi, keduanya orang luar RCTI yang dimasukkan ke sana Februari 2001 untuk menggantikan duet Harry Kuntoro dan Nenny Soemawinata, yang dipindahkan ke Bimantara Citra. Belakangan, Linda mendengar bahwa Trans TV dan TV7 mengundurkan diri sebagai calon pembeli hak siar RCTI. “Mereka mendengar rumor, RCTI melakukan negosiasi ulang dengan Kirch Group untuk minta reduce harga hak siar,” kata Linda.

Pernyataan Linda dibenarkan Alex Kumara. “ISL waktu itu mengalami kebangkrutan, dan segala urusan diambil alih Kirch Group. Nah, kami mendengar RCTI minta discount ke Kirch Group. Pada saat yang sama, mereka lama tak mengontak kami dan membicarakan perkembangan terbaru. Akhirnya Trans TV dan TV7 jadi ragu-ragu juga. Kalau misalnya kami deal dengan RCTI, terus tiba-tiba RCTI mendapatkan discount, lalu gimana hitung-hitungannya?” kata Kumara.

Nurhaida Syamsuhadi yang mengerjakan perencanaan RCTI memberikan konfirmasi soal isu ini. Satu-satunya kekhawatiran RCTI ketika ISL bangkrut adalah RCTI sudah terlanjur membayar uang tanda jadi hak siar Piala Dunia. RCTI minta penjelasan Kirch Group. “Memang sempat muncul ide untuk mengajukan discount hak siar. Cuma enggak mungkinlah karena kita terlanjur teken kontrak senilai $5 juta itu,” kata Nurhaida.

Pada Oktober 2001, RCTI menghubungi lagi calon pembeli. Menurut Linda, RCTI menaikkan harga menjadi $4 juta untuk dua televisi. Namun sebaliknya menurut Alex Kumara, RCTI justru menurunkan tawaran jadi $3 juta. Trans TV dan TV7 menawar $2 juta. Karena tak tercapai kesepakatan, RCTI memutuskan tidak meneruskan pembicaraan.

“Harga yang ditawarkan tidak cocok, ya kami mundur,” ujar Dewi Fadjar dari TV7.

Setelah dihitung-hitung, tawaran $3 juta itu, menurut Alex Kumala tetap terlalu mahal. Trans TV sudah memperhitungkan semuanya, termasuk jika RCTI harus membayar bunga bank mulai dari saat mereka deal dengan ISL Worldwide hingga terjadi kesepakatan dengan Trans TV dan TV7. “Masak bunga bank sampai 50 persen? RCTI kan mestinya tidak mencari untung dari penjualan right,” kata Kumara.

RCTI ternyata juga sempat menjajaki kerjasama dengan televisi yang lain. “Kita juga pernah ditawarin sama RCTI. Tapi kita nggak mau, karena RCTI mengambil pertandingan-pertandingan prime time, sedangkan kita diberi sisanya,” ujar Don Bosco Selamun dari SCTV.

Hendarmin membantah tuduhan itu. “Nggak benar kalau dibilang kita mau serakah. Semua televisi pasti sudah menerima proposal yang saya bikin se-fair mungkin ketika kita sama-sama belum tahu jadwal pertandingan World Cup. Kalau kita jual sebagian ke televisi lain, kita bukan mau milih-milih pertandingan yang bagus. Kita mau bersaing di kualitas siaran saja.”

Hendarmin menambahkan, RCTI pernah membuat paket siaran untuk dua stasiun televisi. Paket ini ditawarkan ke seluruh stasiun televisi dengan harga yang wajar. Tenggat waktu 15 Oktober 2001, diundur jadi 15 November 2001, karena calon pembeli belum memberi jawaban. Hendarmin menduga, mereka sengaja mengulur-ulur supaya RCTI pada akhirnya terpaksa jual murah. “Misalnya kita jual ke dua televisi lain masing-masing $1 juta, mereka lalu bisa menjual paket tersebut ke pengiklan dengan harga yang lebih murah dari RCTI. Jadi kita mau dijebak di sini,” kata Hendarmin.

Bertolak dari kekhawatiran ini, Hendarmin kemudian berusaha meyakinkan atasannya bahwa jika RCTI siaran tunggal, hasilnya akan lebih baik. Duet Wisnu Hadi dan Oerianto Guyandi setuju dengan proposal Hendarmin. Keputusan untuk siaran tunggal ternyata jadi daya tarik RCTI di mata sponsor.

“Paniklah televisi-televisi lain itu. Anteve tanya-tanya ke saya apa masih ada sisa pertandingan. TPI bahkan menawar langsung ke direksi dengan bukaan $1,2 juta. Tapi dengan tegas kita bilang sama mereka, kita sudah tutup. Acuh-acuh tapi butuh,” kata Hendarmin menyindir televisi lain.

Kegagalan untuk berbagi beban dengan televisi lain ini tampaknya membuat direksi lebih realistis dalam menatap program siaran Piala Dunia 2002. Mereka hanya mencanangkan target break event point.

Linda Wahyudi terkejut ketika RCTI tak jadi sharing pertandingan Piala Dunia 2002. Menurutnya, RCTI tak perlu mengubah harga dan paket yang ditawarkan ke Trans TV dan TV7. “Katakanlah Trans TV dan TV7 masing-masing setuju dengan harga $1,625 juta, berarti kan sudah dapat $3,25 juta. Terus dari TV kabel saya yakin minimal bisa mendapatkan $200 ribu. Berarti totalnya $3,27 juta, tinggal nyari $1,75 juta untuk menutup cost untuk right. Untuk mendapatkan uang segitu, kita sih merem, banyak yang mau,” kata Linda.

Namun, sharing dengan televisi lain memang bisa menimbulkan masalah dari sisi pemasaran. PT Bintang Toedjoe sebagai sponsor utama siaran Piala Dunia RCTI, ternyata tak mau kompetitornya memasang iklan pada acara yang sama. “Andaikan RCTI membagi siaran Piala Dunia dengan televisi lain, kita mengajukan syarat, televisi tersebut tidak mengiklankan produk yang sama dengan produk Bintang Toedjoe,” kata Agus Witjaksono, product executive PT Bintang Toedjoe.

GAGAL berbagi beban dengan televisi lain, RCTI terbentur persoalan yang tak kalah berat. Bulan Oktober 2000, pemerintahan Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 38/2000 yang memuat ketentuan bahwa penayangan iklan rokok di televisi harus di atas pukul 21.30. Ini terjadi setahun setelah RCTI membeli hak siar Piala Dunia 2002.

Tak pelak, peraturan itu mengacaukan rencana pemasaran siaran Piala Dunia 2002. Habibie bukan Presiden Soeharto yang biasa menggunakan pengaruhnya untuk melindungi perusahaan-perusahaan keluarga Soeharto (termasuk Bimantara Citra). “Saya sempat shock. Semua orang tahu produk rokok punya billing yang besar untuk event olah raga. Bahkan di Malaysia yang ambil right World Cup itu Dunhill, bukan stasiun televisi. Waktu itu Djarum sudah ready untuk menjadi sponsor kita,” kata Nurhaida Syamsuhadi.

Ketentuan baru tentang iklan rokok ini tak jadi masalah seandainya pertandingan Piala Dunia jatuh pada dini hari seperti 1998. Apa boleh buat, divisi pemasaran RCTI harus bekerja keras mempersiapkan strategi baru guna menjaring pengiklan dari produk yang lain.

Di sisi lain, RCTI juga dihadapkan pada ketatnya peraturan tentang iklan. Kirch Group melarang partner televisi Piala Dunia 2002 menayangkan running text dan super impose yang bukan produk official partners. Maksudnya, RCTI tak bisa menaruh logo sponsor atau teks sekecil apapun yang bukan sponsor resmi Piala Dunia. RCTI diharuskan memprioritaskan pengiklan dari kalangan official partner seperti Mc Donald, Hyundai, Master Card, dan lain-lain. “Kita harus menawarkan ke official partner dulu. Baru kalau mereka tidak mau pasang, kita boleh menawarkannya ke para kompetitornya,” kata Nurhaida

RCTI akhirnya berhasil menggaet PT Bintang Toedjoe sebagai sponsor utama siaran Piala Dunia 2002. Nota kesepahaman antara kedua belah pihak ditandatangani Maret 2002. Nilai paket Piala Dunia yang dibeli PT Bintang Toedjoe bersih Rp 35 miliar untuk tiga produk: Extra Joss, Irex, dan Puyer 16 Bintang Toedjoe. Menurut Nurhaida, nilai kotornya Rp 43,75 miliar. Hotline Agency, sebagai perantara, mendapatkan Rp 8,75 miliar atau 20 persen dari nilai total sesuai dengan konvensi yang berlaku dalam dunia periklanan Indonesia.

Sebagai sponsor utama, PT Bintang Toedjoe berhak mencantumkan nama salah satu nama produknya sebagai judul program Piala Dunia RCTI. Maka dimana-mana kita bisa temui World Cup 2002 RCTI-Extra Joss.

Berapa lama paket iklan Rp 35 miliar itu akan dihabiskan? Nurhaida mengatakan tidak mungkin menghabiskan paket iklan ini dalam waktu sebulan, selama penyelenggaraan Piala Dunia berlangsung. RCTI harus membuat program pendukung, khususnya untuk pra-event seperti Road to Asia, beberapa jenis kuis, futsal, road show ke daerah, dan lain-lain. “Untuk road show misalnya, kita promosikan program Piala Dunia, sekaligus spending paket iklan itu biar tidak menumpuk pada bulan Juni,” ujar Pudji Pramono, media relations officer RCTI.

RCTI ternyata juga harus memberikan kompensasi atau bonus iklan kepada PT Bintang Toedjoe. “Rp 35 miliar itu nilai paket bayarnya, sedangkan volume total iklan yang kita terima lebih dari itu, kira-kira nyaris Rp 50 miliar,” kata Agus Witjaksono dari PT Bintang Toedjoe.

Menurut Linda, nilai total iklan yang diterima PT Bintang Toedjoe bahkan bisa mencapai Rp 75 miliar. “Ada klaim bonus iklan di luar program World Cup yang sangat besar. Anda bisa lihat, sejak kemarin-kemarin, iklan Extra Joss telah mendominasi berbagai program RCTI. Untuk menghabiskan nilai iklan sebesar itu, memang harus begitu, bahkan bisa sepanjang tahun,” kata Linda.

Dengan beban iklan yang begitu berat, RCTI seharusnya memutar program-program pendukung sejak setahun sebelum kick off pertandingan pertama Piala Dunia 31 Mei 2002. Namun program itu baru di mulai Oktober 2001. “Ini menambah beban RCTI menjelang Piala Dunia berlangsung,” kata Linda.

Berapa tarif iklan yang dipasang RCTI? Tarif iklan berbeda-beda sesuai dengan biaya produksi setiap program. Untuk Piala Dunia kali ini, RCTI berani memasang tarif Rp 30 juta per slot iklan yang memakan waktu 30 detik.

Menurut Nurhaida, ini merupakan tarif yang sangat tinggi. Sebagai perbandingan, sinetron top RCTI seperti Pernikahan Dini saja tarif iklannya cuma Rp 20 juta per slot. Harga reguler siaran Liga Italia yang ditayangkan prime time berkisar antara Rp 10 hingga 15 juta. “Namun kami optimis, harga segitu banyak yang mau. Sepakbola banyak yang nonton, apalagi World Cup ditayangkan siang dan malam hari,” ujar Pramono.

Sponsorship Piala Dunia ini merupakan rekor tersendiri bagi Bintang Toedjoe. “Sepanjang saya kerja di sini, paket Piala Dunia 2002 ini memang yang terbesar. Untuk sponsorship, September tahun lalu Bintang Toedjoe mensponsori paket Piala Dunia Usia 16 tahun di SCTV, nilainya hanya Rp 2 miliar. Sebelumnya kita juga memberikan bonus Rp 1 miliar untuk peraih medali emas ganda putra bulu tangkis pada Olimpiade 2000, untuk program pembinaan,” kata Witjaksono.

Hendarmin mengakui nilai paket sponsorship PT Bintang Toedjoe lumayan besar. Namun baru luar biasa kalau nilai itu melampau nilai hak siar Piala Dunia yang mencapai $5 juta itu. “Kalau World Cup 2002 ini malam hari, pasti diambil produk rokok. Dan kalau ini terjadi, mungkin nilai sponsorshipnya lebih besar lagi,” kata Hendarmin.

RCTI juga menggandeng Panasonic dan Kacang Garuda sebagai sponsor pendukung. Dari ketiga sponsor ini, pemasaran RCTI telah berhasil mencapai 60 persen dari target pendapatan RCTI untuk Piala Dunia kali ini atau sekitar Rp 60 miliar.

“Kita optimislah, branch-branch lain akan menyusul. Yang hampir pasti deal adalah Djarum, Kapal Api dan beberapa produk kopi lainnya, beberapa produk shampoo, beberapa produk telekomunikasi. Di samping itu juga official partner World Cup seperti Adidas, JVC, Toshiba, McDonald, Master Card, dan lain-lain juga terus kita dekati biar mau beriklan di tingkat lokal,” kata Nurhaida.

Bagaimana dengan pembagian slot iklan antar sponsor yang banyak itu? Sponsor utama diprioritaskan untuk memilih paket eksklusif, yaitu kesempatan muncul pertama kali di setiap jeda iklan. “Di luar sponsor utama, berlaku sistem first come first serve. Siapa yang datang duluan, boleh memilih mau dipasang di mana. Saya kira sistem ini yang paling fair,” kata Nurhaida.

RATING dan sepakbola adalah dua hal yang sulit didamaikan. Tayangan sepakbola adalah tayangan favorit yang hampir selalu menjaring penonton yang sangat besar. Namun, sepanjang sejarah televisi swasta di Indonesia, tayangan sepakbola secara komparatif belum pernah meraih rating rata-rata yang tinggi.

Rating adalah ukuran popularitas suatu acara televisi. Sebuah acara baru bisa dikatakan bagus jika meraih rating minimal 10. Sebuah acara mempunyai rating 10, berarti acara tersebut ditonton oleh 10 persen dari populasi penonton yang besarnya ditentukan oleh lembaga rating. Di Indonesia, AC Nielsen menjadi satu-satunya lembaga rating.

Menurut Linda Wahyudi, siaran Liga Italia sebagai andalan RCTI ratingnya berkisar delapan hingga 11, Liga Inggris lima, sedangkan liga-liga lainnya lebih kecil lagi. Mengapa rating tidak bersahabat dengan tayangan sepakbola?

“Saya tak meragukan, penonton tayangan sepakbola besar sekali. Persoalannya lebih pada keterbatasan-keterbatasan metode rating itu sendiri, yang katakanlah lebih mengakomodasi penonton sinetron dibandingkan penonton bola. Sayang, kita hanya punya satu lembaga pembuat rating, sehingga tidak ada alternatif lain,” kata Honardi Buntaryo dari Kick Off Sport & Production Management, merujuk pada dominasi AC Nielsen.

Namun Honardi yakin, sponsor-sponsor besar mempertimbangkan benar potensi bisnis siaran Piala Dunia 2002. Hal yang sama juga diyakini manajemen RCTI. “Ini kan event sepakbola terbesar di dunia, empat tahun sekali, untuk pertama kali di Asia, dan disiarkan pada jam-jam yang ramai. Saya yakin sponsor melihat faktor ini, disamping soal rating,” tandas Pramono.

RCTI optimis siaran Piala Dunia kali ini bisa meraih rating tinggi. Sebagai perbandingan, Piala Eropa 2000 yang ditayangkan dini hari, ratingnya mencapai 13-15. RCTI juga tertantang untuk membuat rekor-rekor baru. Jika sebelumnya program yang ditayangkan pada jam 13.00 ratingnya hanya lima, dengan tayangan Piala Dunia RCTI optimis dapat meraih rating di atas 10 pada jam yang sama. “Waktunya sangat kondusif, belum lagi soal kedekatan geografis, penontonnya pasti lebih banyak,” kata Hendarmin.

Namun rating tinggi belum tentu menambah penghasilan RCTI dari event Piala Dunia. Rating ini baru bermakna jika masih ada slot iklan yang kosong saat Piala Dunia berlangsung, sehingga RCTI bisa menjualnya kepada sponsor secara “recehan,” tidak dalam bentuk paket. Iklan siaran Piala Dunia 2002 RCTI mayoritas dijual dalam bentuk paket, di mana kesepakatan sudah tercapai jauh sebelum Piala Dunia berlangsung.

Menurut Hendarmin, RCTI bisa memperpanjang waktu iklan (commersial break). “Misalnya, siaran sebuah pertandingan bisa dimulai lebih awal, katakanlah 30 menit sebelum sebuah pertandingan berlangsung. Lalu ada proses di studio untuk memperpendek wawancara atau kuis. Nah, waktu yang tersisa bisa digunakan untuk iklan-iklan baru,” kata Hendarmin.

Apakah televisi lain akan berdiam diri dengan “geberan” siaran Piala Dunia di RCTI? Bukan rahasia lagi, terjadi persaingan yang tajam di antara televisi swasta kita. Sebagai contoh, televisi swasta berlomba-lomba membangun studio, stasiun pemancar, stasiun transmisi sendiri-sendiri. Padahal, seperti yang lazim di negara lain, satu stasiun pemancar atau stasiun tranmisi dapat digunakan ramai-ramai oleh banyak televisi. Lebih efisien dan lebih murah. “Inilah fenomena televisi swasta kita, gengsinya tinggi-tinggi dan saling jaga image. Padahal kerja sama kadang lebih menguntungkan,” kata Honardi.

Persaingan ini pula yang mendasari RCTI lebih memilih televisi baru daripada televisi yang sudah lama beroperasi ketika menawarkan sharing pertandingan Piala Dunia. “Yang namanya Indosiar dan SCTV bukannya tak mau membeli sebagian siaran Piala Dunia. Namun RCTI kan bersaing ketat dengan mereka. Jadi ini masalah persaingan, image dan rating,” kata Linda.

Harsiwi, program planning and scheduling manager SCTV, mengatakan SCTV tak akan tinggal diam terhadap program Piala Dunia RCTI. SCTV telah mempersiapkan program-program khusus selama Piala Dunia berlangsung. “Kita akan lihat dulu jadwal RCTI bagaimana, setelah itu kita godok program-program unggulan. Kita tak khawatir karena pemirsa televisi sebenarnya beragam, dan sebagian besar di antaranya adalah kaum wanita yang justru tak familier dengan sepakbola.”

Harsiwi bahkan optimis program reguler SCTV tak akan tergoyahkan. Ia yakin, tayangan unggulan SCTV seperti sinetron Wah Cantiknya tetap akan mencapai rating tinggi. “Pokoknya boleh diadu deh,” kata Harsiwi.

Keyakinan yang sama juga dimiliki Indosiar. Juru bicara Indosiar Ghufroni Saharil optimis program regulernya tetap leading meski RCTI akan membanjiri pemirsa dengan Piala Dunia 2002. Sekadar gambaran, acara unggulan Indosiar menduduki peringkat atas AC Nielsen Februari 2002 untuk program acara lokal. Acara tersebut adalah serial Angling Dharma dengan rating rata-rata (20,8 persen), Tarzan Betawi (17,6 persen), dan Kehormatan (16,9 persen). Ghufroni Saharil mengatakan, Indosiar memang punya beberapa program baru untuk Mei dan Juni. “Program itu tidak spesifik untuk mengantisipasi Piala Dunia-nya RCTI.”

Linda Wahyudi yakin Indosiar pasti mempersiapkan film-film box office untuk menandingi siaran Piala Dunia RCTI. “Istilahnya Blockbuster, film-film pilihan sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian penonton.”

Bagaimana antisipasi RCTI? Hendarmin optimis, tayangan Piala Dunia tetap menjadi pilihan utama pemirsa, apalagi pada saat yang sama perhatian media massa juga terkonsentrasi pada Piala Dunia 2002. “Bagi saya, kalau televisi lain mempersiapkan acara kuis, sinetron, film dan lain-lain, mereka bukannya akan bersaing dengan RCTI, melainkan dengan televisi-televisi lain yang juga mempersiapkan program yang sama,” kata Hendarmin optimis.

DI BALIK optimisme itu, sebenarnya muncul kekhawatiran pula di internal RCTI dalam memasarkan program Piala Dunia 2002. Meskipun direksi hanya memasang target break even point, tak gampang untuk mencapainya. Nurhaida Syamsuhadi menyebut keputusan RCTI mengambil paket Piala Dunia sebagai keputusan yang nekat.

“Bayangkan, Rp 50 miliar hanya untuk right. Kita dari divisi marketing rada takut juga, bagaimana menjualnya. Jika programnya reguler, dengan mengandalkan sinetron, kita sih enak. Tanpa penawaran macem-macem sudah banyak yang mau masang iklan. Tapi untuk event Piala Dunia ini, banyak branch yang mikir-mikir. Kita harus bekerja keras untuk meyakinkannya,” kata Nurhaida.

Honardi Buntaryo dari Kick Off Sport & Production Management juga menyebut keputusan RCTI sebagai keputusan yang sangat berani. Dari hitung-hitungan bisnis, menurutnya sulit bagi RCTI kembali modal, sekali pun misalnya RCTI berhasil menggandeng produsen rokok sebagai sponsor.

Beban yang berat sebenarnya tak perlu terjadi jika RCTI membagi hak siarnya kepada televisi lain. Jika hak siar dibagi dengan televisi lain, otomatis ada pendapatan yang bisa meringankan beban pemasaran RCTI untuk mengejar pendapatan dari sponsorship.

“Tapi kalau kita nggak nekat, belum tentu orang Indonesia bisa menyaksikan Piala Dunia kali ini,” kata Nurhaida.

Jadilah proyek siaran Piala Dunia itu sebagai proyek nekat. Dan kenekatan itu semakin terang karena sesungguhnya RCTI mempunyai pengalaman bahwa siaran sepakbola sebenarnya tak bisa diharapkan untuk menghasilkan keuntungan banyak.

Siaran Liga Italia yang selama ini menjadi andalan RCTI untuk program olah raga, harganya dua kali dibandingkan Liga Inggris. Uniknya, RCTI tetap mempertahankan siaran Liga Italia meski dua tahun terakhir rugi.

Nurhaida maupun Irwan Hendarmin tak menyangkal jika dikatakan bahwa proyek Piala Dunia ini bagi RCTI adalah proyek image. RCTI tak berharap untuk mendapatkan banyak keuntungan dari proyek itu. Namun RCTI akan memperteguh citranya sebagai televisi dengan program siaran olah raga terdepan, atau televisi dengan kemampuan terbesar untuk membeli program-program yang mahal.

Pemimpin redaksi tabloid Bola Ian Situmorang memperkirakan RCTI akan mengalami kerugian, walaupun tak besar, dalam siaran Piala Dunia 2002. Namun RCTI akan mendapatkan sesuatu yang tak kalah berharga. Dengan siaran tunggal, RCTI akan secara optimal mempromosikan diri sebagai televisi yang paling populer di Indonesia.

”Para produsen besar tahu betul masyarakat Indonesia itu gila bola. Jadi momentum Piala Dunia ini sangat baik untuk membangun image di hadapan mereka dan masyarakat pada umumnya,” kata Situmorang.

Situmorang benar untuk hal ini. Demam Piala Dunia memang sedang mewabah dalam masyarakat kita. Dan harapan masyarakat itu kini hanya tertuju pada satu arah, RCTI. Kelompok penggemar sepakbola seperti The Jackmania, Pasoepati Solo, dan Aremania telah menunggu siaran Piala Dunia dengan antusias.

“Aremania sangat berterima kasih pada RCTI. Sebab di Malang, hanya siaran RCTI yang bisa ditangkap dengan baik. Apa jadinya kalau Piala Dunia diambil televisi swasta yang lain. Piala Dunia bagi kami adalah tontonan wajib saat Arema sedang libur kompetisi,” kata Yuli Sompil, salah satu dedengkot suporter klub Arema Malang.

MENJELANG event besar seperti Piala Dunia, lazim ditemui beraneka bentuk cenderamata Piala Dunia dijual di supermarket, pasar, dan tempat-tempat umum yang lain. Tak jelas siapa produsennya. Apakah mereka memperoleh izin untuk menggunakan logo Piala Dunia? Maklum, pelanggaran hak cipta dan semacamnya sudah sangat membudaya di Indonesia.

Persoalan inilah yang tampaknya kurang diperhitungkan RCTI. Sebagai pemegang lisensi Piala Dunia 2002 di Indonesia, RCTI sebenarnya berhak atas penggunaan logo dan image Piala Dunia 2002 untuk berbagai keperluan bisnis. Nurhaida Syamsuhadi mengatakan pada awalnya RCTI memang tak bermaksud “mematenkan” lisensi Piala Dunia 2002. Namun Kirch Group mengingatkan RCTI untuk memagari lisensi yang telah dibeli dengan harga mahal itu.

“Akhirnya, kita putuskan untuk sewa lawyer, dan bikin pengumuman di koran. Setiap branch yang memakai logo Piala Dunia secara komersial harus izin RCTI. Kita tidak akan menjual logo. Jika ada yang memakai logo Piala Dunia, kita hanya meminta mereka menjadi partner, dengan memasang iklan di RCTI,” kata Nurhaida.

Namun bagaimana dengan cenderamata yang diproduksi secara perorangan, dengan modal yang kecil?

“Ya sudahlah, kita mikirnya gampang saja. Piala Dunia kan milik semua orang, jadi biarin saja kalau ada yang mencari rejeki dari situ. Tahu sendirilah, orang kita kan memang paling pinter kalau disuruh menjiplak,” kata Pudji Pramono.*

by:Agus Sopian