Menunggu Kematian Sinematek

Sjamsoeir Arfie

Mon, 6 May 2002

LELAKI berumur 70 tahun itu berdiri dari kursinya. Namanya Samardan alias S.M. Ardan, pejabat sementara ketua Sinematek. Siang itu wajahnya kelihatan pucat

LELAKI berumur 70 tahun itu berdiri dari kursinya. Namanya Samardan alias S.M. Ardan, pejabat sementara ketua Sinematek. Siang itu wajahnya kelihatan pucat, ”Saya habis kena demam, batuk pilek selama beberapa hari,” ucap Ardan.

Lebih dari 22 tahun Ardan mengabdi pada Sinematek Indonesia, museum perfilman satu-satunya di Indonesia. Selama itu ia menjabat sebagai wakil ketua, tapi sejak Misbach Jusa Biran, ketua Sinematek, mengundurkan diri, Ardan menggantikan posisinya.

Haji Misbach Jusa Biran, setahun lebih muda dari Ardan, mantan wartawan, yang malang-melintang sebagai seniman, penulis skenario, dan sutradara film. Pada 1970, usai menangani film terakhirnya Honey, Money, and Djakarta Fair dengan istrinya Nani Widjaja sebagai pemeran utama, Misbach mundur sebagai sutradara dan penulis skenario film.

Sejak itu Misbach memusatkan pikiran mewujudkan berdirinya pusat dokumentasi perfilman. Bertmula di ruangan sempit, di lantai dua gedung utama Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dikumpulkannya semua hal tentang film.

”Pada mulanya berasal dari partisipasi teman-teman wartawan, termasuk saya sendiri, ada yang menyumbangkan foto, klise, brosur, dan sebagainya,” ungkap Ardan. Misbach sempat patah arang, dan berniat mundur, namun karena bujukan dua sutradara film yang dihormatinya, Teguh Karya dan Slamet Rahardjo Djarot, ia urungkan niatnya.

Ardan, mantan redaktur majalah Violeta, mendampingi Misbach. Ardan waktu itu dijuluki sebagai kamus berjalan dunia perfilman. Ardan sejak awal 1950 dikenal sebagai penyair, penulis cerita pendek, novel, esai, dan drama. Karyanya yang telah dibukukan antara lain kumpulan sajak Ketemu di Djalan (1955), cerita pendek Terang Bulan Terang di Kali (1956), drama Nyai Dasima (1963), Novel Sejuta Kekasih (1978). Ardan juga dikenal sebagai sutradara dan penulis cerita Lenong Betawi.

Sinematek kini berlokasi di gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Gedungnya cukup bagus, terletak di pusat bisnis segitiga emas, Kuningan, Jakarta Selatan. Pada dinding lantai dasar gedung dipajang beberapa poster film Indonesia. Pada lantai satu terdapat gudang penyimpan kopi film, mulai dari film Usmar Ismail hingga Wim Umboh, dilengkapi penyejuk udara selama 24 jam.

Ali Sadikin, gubernur Jakarta periode 1966-1977 sangat memperhatikan kehadiran dunia kesenian. Dialah yang mambangun Taman Ismail Marzuki, lalu Pusat Perfilman Usmar Ismail. Badan kesenian, termasuk Sinematek, disumbang secara tetap setiap bulan. Sumbangannya itu antara lain buat membeli buku untuk koleksi perpustakaan. Setelah Ali Sadikin tak lagi jadi gubernur, 1978, bantuan pemerintah dihapus.

Dulu, Departemen Penerangan mewajibkan importir film asing menyisihkan Rp 3 juta setiap film asing untuk Badan Pertimbangan Perfilman Nasional. Dana itu antara lain diberikan ke Sinamatek. Namun, setelah Departemen Penerangan dibubarkan Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999, para importir film asing tak mau lagi membayar.

Selain itu biaya operasi Sinematek datang dari sumbangan tetap Dewan Film Nasional yang kini bernama Badan Pertimbangan Perfilman Nasional. Tak seberapa jumlahnya. September 1999 hingga November 2001 Sinematek memperoleh Rp 6 juta. Namun, sejak Desember 2001 bantuan itu terhenti sama sekali.

“Badan Pertimbangan Perfilman Nasional tak mampu lagi membantu,” ujar Slamet Djarot, ketua badan itu.

Akhirnya pada Desember 2001, Misbach mundur dari Sinematek. Ia kembali menulis skenario untuk film dan sinetron.

“Kami sudah coba mencari pengganti Misbach, coba ditawarkan ke beberapa orang perfilman, hingga kini belum ada yang mau. Maklum tempat ini kering,” kata Ardan. Maksudnya, Sinematek tak menghasilkan uang.

“Gaji karyawan berasal dari bantuan Yayasan Perfilman Usmar Ismail. Kami hanya bisa sekadar hidup, sekadar memelihara dokumen yang ada, tidak dapat melakukan kegiatan lain,” ujar Ardan.

Hidup Sinematek kembang-kempis, terlebih lagi harus menggaji 23 karyawan, termasuk Ardan. Untuk menambah pemasukan pengelolaan, gedung itu disewakan pada Bank Lippo dan Partai Kebangkitan Bangsa. Sinematek juga bertahan berkat sumbangan dana dari Yayasan Haji Usmar Ismail sebanyak Rp 260 juta setiap tahun.

Ardan juga cemas, orang-orang film, tak lagi memiliki gairah mendokumentasikan produksinya. Dulu, pemerintah mewajibkan setiap peserta Festival Film Indonesia, yang masuk nominasi mengirim kopinya ke Sinematek, lengkap dengan posternya. Sebelum Departemen Penerangan bubar, dari setiap film yang diproduksi, Sinematek mendapat kiriman sebuah skenario. Sejak Festival Film Indonesia tak diadakan lagi mulai 1993, arus kiriman kopi film hampir nihil. Para produser sinetron—yang jadi kaya karena booming opera sabun, dan produser film-film layar lebar juga tak mau lagi mengirim kopi film. Apalagi menyumbang uang.

Budiyati Abiyoga, seorang produser film Indonesia, mengirim kopi 11 judul film yang sudah diproduksinya ke kantor Ardan. Namun, para produser lain tak mengirim kopi dan beralasan biaya membuat kopi cukup mahal. “Sekitar Rp 18 juta per kopi,” kata Abiyoga.

Abiyoga produser yang film-filmnya dikenal bermutu, antara lain Al-Kautsaar, yang disutradarai Chairul Umam, pada Festival Film Asia 1977 di Bangkok mendapat hadiah sebagai film humanisme terbaik.

Dari luar gedung tak ada orang yang tahu nasib Sinematek. Juga Abdurrahman Wahid, yang sering datang ke gedung itu, mengunjungi kantor partainya.*

kembali keatas

by:Sjamsoeir Arfie