Memanfaatkan Fasilitas Pemerintah

M. Said Budairy

Mon, 6 May 2002

PRESIDEN Megawati Soekarnoputri dan rombongan melakukan kunjungan kenegaraan selama 12 hari mulai 24 Maret 2002. Negara yang dikunjungi, Repulblik Rakyat Cina, Republik Rakyat Korea, Republik Korea, dan Republik India.

PRESIDEN Megawati Soekarnoputri dan rombongan melakukan kunjungan kenegaraan selama 12 hari mulai 24 Maret 2002. Negara yang dikunjungi, Repulblik Rakyat Cina, Republik Rakyat Korea, Republik Korea, dan Republik India. Rombongan berangkat dengan pesawat kepresidenan Airbus 330. Ikut serta dalam rombongan beberapa orang menteri dan anggota parlemen.

Seperti diberitakan media, di antara 183 anggota rombongan, tercatat beberapa orang pemimpin media. Mereka adalah wartawan Kompas dan direktur TV-7 August Parengkuan, manajer public relations TV-7 Uni Z. Lubis, pemimpin redaksi Kompas Suryopratomo, redaktur senior dan mantan pemimpin redaksi The Jakarta Post Susanto Pudjomartono, pemimpin redaksi Tempo Bambang Harymurti, direktur pemberitaan SCTV Karni Ilyas, pemimpin redaksi Media Indonesia Saut Hutabarat, pemimpin redaksi Jawa Pos Arief Affandi, dan pemimpin redaksi Metro TV Andy F. Noya.

Perjalanan kenegaraan dengan komposisi peserta semacam itu, bukan peristiwa baru. Sudah berulangkali dilakukan semenjak republik ini berdiri.

Khusus prosedur mengundang wartawan, proses formalnya mula-mula kantor Sekretariat Presiden mengirim surat undangan ke kantor media bersangkutan. Kemudian pemimpin media yang menentukan, siapa akan dikirim mewakili media tersebut. Bisa diajukan reporter yang bertugas di istana, bisa pemimpin redaksinya sendiri atau salah seorang redaktur. Adakalanya juga secara eksplisit undangan ditujukan kepada pemimpin redaksinya. Maklum, pemimpin redaksi media yang normal, dianggap wartawan terbaik di medianya.

Kali ini terjadi “heboh” menanggapi peristiwa yang sudah berulangkali terjadi itu. Kejadiannya dimulai dari pemberitaan media internet. Pemberitaan Detikcom tak sebatas menyampaikan fakta tentang ikut sertanya sejumlah pemimpin media dalam rombongan presiden. Tapi pada salah penutup beritanya diberi tambahan, "Pada zaman Presiden Gus Dur, wartawan yang mengikuti kunjungan kenegaraan wajib mengeluarkan biaya sendiri untuk akomodasi dan konsumsi selama dalam perjalanan. Waktu itu, wartawan hanya mendapat tumpangan gratis di pesawat kepresidenan. Tidak jelas dengan rombongan kali ini. Apakah mereka harus menanggung biaya akomodasi dan konsumsi sendiri, atau semua harus ditanggung oleh negara."

Dengan penutup berita seperti itu, Detikcom mengembangkan isu tersebut. Seorang wartawan harian Ekonomi Neraca yang sehari-hari bertugas di Istana Negara dalam wawancaranya terkesan sangat menyesalkan kepergian para pemimpin media itu. Dia merasa harga dirinya sebagai wartawan profesional jatuh, gara-gara serombongan pemimpin redaksi tiba-tiba datang menguasai medan liputan kegiatan presiden. Katanya, setiap wartawan, apapun jabatannya, berhak meliput kegiatan presiden. Tapi caranya dalam kasus ini dia anggap tidak mengenakkan.

Ungkapnya, ada rambu-rambu di Istana yang ditabrak begitu saja. Keberangkatan para pemimpin redaksi itu merupakan inkonsistensi kebijakan di Sekretariat Negara sendiri. Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden telah mengeluarkan peraturan, bahwa hanya wartawan yang terakreditasi (ada tanda/identitas khusus) saja yang bisa ikut Presiden. Tapi, kenyataannya aturan itu dilanggar oleh pejabat Sekretariat Negara sendiri.

Reaksi lainnya digali detikcom dari anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Djoko Susilo. Ujar Susilo, biasanya kalau anggota dewan pergi ke luar negeri, media massa ribut. Kali ini situasinya terbalik.

Susilo, mantan wartawan Jawa Pos , menurut Detikcom, sangat menyesalkan dengan perilaku para pimpinan redaksi, jika benar ke luar negeri dibayari atau disubsidi negara.

Para pemimpin media massa itu, menurut Djoko Susilo, sebetulnya harus bersungguh-sungguh menegakkan etika pers. “Kalau anak buahnya menerima amplop Rp 50 ribu dimaki-maki bahkan dipecat, eh … mereka malah ngelencer ke mana-mana. Itu kan menggunakan uang tidak sedikit,” katanya.

Reaksi versi lain datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang mengecam keras keikutsertaan pemimpin media massa dalam lawatan Presiden Megawati Soekarnoputri. AJI menyesalkan pemberian fasilitas oleh Sekretariat Negara kepada para pemimpin media massa yang ikut rombongan presiden.

Dalam siaran pers yang dikutip Detikcom, AJI menilai pemberian segala fasilitas ini jelas-jelas skandal amplop. Menurutnya, amplop tak sekadar pemberian uang yang dibungkus amplop, tapi juga segala barang serta fasilitas yang bisa mengganggu independensi media. Statemen AJI itu diteken oleh ketua AJI Ati Nurbaiti dan sekretaris jenderal Solahudin. Tapi oleh Nurbaiti, yang bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post, statemen tersebut dicabut. Alasannya “teknis” karena dia belum tahu sudah terkirim ke media.

Transportasi, hotel, makanan, paspor biru tanda sedang menjalankan tugas kenegaraan yang diterima para petinggi media itu, dalam pandangan AJI, menurut statemen yang dicabut kembali itu, jelas sekali bisa dikategorikan sebagai amplop. “AJI mengingatkan bahwa pemberian amplop hanya punya satu tujuan mengkooptasi jurnalis, menumpulkan daya kritis serta memandulkan independensi jurnalis.”

Diingatkannya, dengan prilakunya itu para pemimpin redaksi juga telah mengacaukan fungsi pers sebagai watchdog. “Tugas pers adalah mengawasi lingkungan dan ‘menggonggong’ tiap kali mengendus kesalahan. Metafor ini perlu dipahami betul. Pers ibarat anjing penjaga yang punya ketajaman penglihatan, pendengaran dan naluri akan bahaya bagi lingkungannya.”

AJI menyerukan kepada pemerintah untuk menghapuskan segala bentuk pemberian uang, barang, fasilitas kepada jurnalis. Tugas wartawan adalah menggali informasi serta memberitakannya Kalau pemerintah ingin membantu cukup dengan memberi informasi secara jujur dan terbuka.

Detikcom juga mengembangkan berita kejadian tersebut dengan mewawancarai beberapa orang yang disebutnya sebagai “pengamat” media massa. Wakil Sekretaris Jendral Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung juga diminta komentarnya. Dia tidak mengecam melainkan terkesan berusaha mendudukkan persoalannya. Dia bilang, Presiden Megawati mengajak para pemimpin media itu, karena ingin berkomunikasi lebih baik. "Tidak dalam kerangka spesifik Ibu Mega melakukan pendekatan pada media, tetapi ini merupakan upaya berkomunikasi agar lebih baik." Hal tersebut dilakukan agar pers bisa memahami apa yang disampaikan Presiden Megawati dan begitu sebaliknya.

Pramono mengungkapkan, langkah pers yang tak memihak seperti saat ini merupakan langkah yang tepat. Namun, Pramono tak setuju kalau langkah pers sekarang dianggap tak ada yang menyimpang. "Tidak benar kalau pers tidak ada yang menyimpang," ungkapnya.

Semua presiden yang pernah mengepalai pemerintahan republik ini, selalu menyertakan wartawan jadi anggota rombongannya jika melakukan perjalanan penting. Agaknya seperti itu pula yang dilakukan oleh kepala-kepala pemerintahan negara-negara lain.

Kebijakan menyertakan wartawan, dari sisi kepentingan pihak pengundang, bertujuan untuk memperoleh publisitas, yaitu dampak dari diketahuinya informasi. Publisitas memunculkan suatu citra berdasarkan informasi tertentu. Citra dari sesuatu tak selalu mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya, karena terbentuknya citra, terjadi semata-mata dari informasi yang tersedia. Oleh sebab itu citra yang pas adalah yang terbentuk dari adanya informasi yang benar, akurat, tidak memihak dan lengkap.

Untuk menyajikan informasi seperti itu tidak cukup hanya melalui dialog selintas. Diperlukan interaksi yang intensif. Perjalanan cukup lama menyertai Presiden Megawati rasanya memberi peluang untuk memperoleh informasi jenis itu. Tak sekedar dialog, tapi sekaligus bisa melihat perilaku keseharian selama dalam perjalanan. Ini penting. Ada ungkapan “seeing is believing.” Jika para opinion leaders, dalam kasus ini para pemimpin media, bisa memperoleh informasi yang benar, akurat, tak memihak, dan lengkap, maka justifikasinya tentang presidennya akan benar. Citra yang tertangkap akan pas. Citra pas itu bisa positif bisa pula sebaliknya. Dan sejauh yang saya yakini, para terundang dalam kasus ini agaknya tak akan mengorbankan integritas pribadi yang telah dibangunnya bertahun-tahun hanya oleh sekedar tumpangan pesawat terbang atau fasilitas perjalanan lainnya, lalu menjadi tak obyektif lagi. Apalagi jika tahu pesawat terbang itu tempat duduknya berlebih dan jika tidak diduduki wartawan, penggantinya birokrat, yang belum tentu memberi manfaat yang signifikan bagi tujuan perjalanan tersebut.

Tapi bagaimanapun perlu kejelasan sikap. Bolehkah menerima fasilitas terbatas yang diberikan oleh pemerintah, yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara? Fasilitas tersebut digunakan untuk melaksanakan peranan pers, yaitu antara lain memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan memberi saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum?

Bunyi Kode Etik Wartawan Indonesia begini: wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. Penjelasannya, wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tak menerima imbalan dalam bentuk apa pun, dari sumber berita/narasumber yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya, dan tak menyalah-gunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Saya mencoba mencari tahu bagaimana urusan ini ditata oleh pemerintah dan media di negeri lain. Di Amerika Serikat, menurut kepala biro Asia Tenggara The Washington Post, Rajiv Chandrasekaran, wartawan yang menyertai presiden atau wakil presiden, keseluruhan biayanya ditanggung oleh penerbit medianya.

Tak semua wartawan menyertai perjalanan presiden Amerika Serikat menumpang pesawat Air Force One. Selalu ada pesawat kedua yang membuntuti pesawat kepresidenan itu. Di pesawat terbang kedua itulah wartawan diterbangkan. Pengaturan dilakukan oleh Gedung Putih. Pembayaran biaya perjalanan juga diberikan kepada Gedung Putih.

Seringkali tersedia beberapa kursi untuk wartawan dalam Air Force One. Wartawan yang menggunakan fasilitas itu dikenakan beaya setara dengan first class. Umumnya peminatnya banyak, sehingga mereka bergantian. Misalnya, jika perjalanan itu dari Washington ke San Fransisco kemudian ke Chicago dan kembali ke Washington, wartawan yang berada di Air Force One pada rute Washington–San Fransisco, berbeda dengan wartawan pada rute San Fransisco–Chicago atau Chicago-Washington.

Di Jepang mirip juga. Menurut Tatsuya Mizumoto, kepala biro Jakarta Jiji Press, untuk perjalanan luar negeri perdana menteri misalnya, kantor perdana menteri membuat kalkulasi biaya. Dari perhitungan itu ditetapkan berapa biaya untuk seorang wartawan yang akan ikut dalam rombongan. Lalu ditawarkan, siapa di antara media yang akan menyertakan wartawannya. Cara ini sudah berjalan sejak 30 tahun yang lalu.

Ada kekhususan untuk perjalanan di dalam negeri. Sejumlah departemen pemerintahan Jepang memberi fasilitas tumpangan pesawat terbang gratis dan sebagainya kepada media yang diikutsertakan dalam perjalanan. Tapi sejak 1990, kata Mizumoto, ada semacam kritik dari masyarakat, kenapa mesti pemerintah membiayai wartawan.

Dari sumber kedutaan besar Australia diperoleh informasi, Australia juga menterapkan membayar penuh bagi wartawan yang mengikuti perjalanan perdana menteri.

Bagaimana Indonesia? Masa Presiden Soekarno sampai Presiden Soeharto, wartawan dijamin segalanya. Bahkan pernah menjelang berangkat si wartawan diukur baju dulu karena mendapat jatah satu stel jas. Zaman Presiden B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati, wartawan hanya diberi tumpangan pesawat terbang. Tempat duduk di pesawat seringkali berlebih. Misalnya dengan pesawat terbang jenis Airbus 330, hanya terisi 183 termasuk wartawan. Padahal kapasitas pesawat terbang itu untuk penerbangan komersial bisa mengangkut lebih dari 300 penumpang. Memang jumlah tempat duduk bisa berkurang karena didesain jadi pesawat terbang pengangkut very very important person (VVIP).

Biaya air ticket ke luar negeri cukup mahal. Bagi media yang sudah mapan mungkin tidak masalah sama sekali. Tapi bagi media yang masih tergolong usaha kecil dan menengah, beaya perjalanan semacam itu beban tidak enteng. Jika demikian maka yang mampu menyertakan wartawan ikut rombongan presiden atau wakilnya, seumpama akan melakukan perjalanan ke luar negeri, hanya media mapan saja.

Sekarang, setelah muncul otokritik di kalangan pers mengenai persoalan tersebut, tidakkah lebih baik orang-orang pers membahasnya secara bersama-sama. Entah melalui inisiatif Dewan Pers atau organisasi-organisasi wartawan yang ada, untuk menjawab pertanyaan "halal" atau tidakkah menerima fasilitas seperti yang sudah terjadi itu? Sementara menunggu hasil final pembahasan tersebut, terserah media massa masing-masing untuk menerima atau menolak undangan.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy