Korupsi, Sensor, dan Amplop

Irawan Saptono

Mon, 6 May 2002

HARI itu, Senin 15 April. Ruang pertemuan kantor pusat PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Jakarta, dipenuhi wartawan.

HARI itu, Senin 15 April. Ruang pertemuan kantor pusat PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Jakarta, dipenuhi wartawan. Konferensi pers belum juga dimulai padahal sudah lewat dari jam yang ditentukan.

Pemilik perhelatan itu, Achmad Djunaidi, tak lain direktur utama PT Jamsostek, tak segera membuka acara karena wartawan dari harian Media Indonesia belum tampak di ruang itu. Begitu dua reporter Media Indonesia, Desi Fitriani dan Ninik Kusumawardhani, datang acara pun dimulai. Dua reporter inilah yang mengumpulkan bahan-bahan buat tulisan panjang mengenai korupsi di Jamsostek yang dimuat di rubrik Realitas, edisi 11 April dan 12 April 2002.

Jamsostek, perusahaan milik negara ini mengelola triliunan rupiah uang milik sebelas juta buruh Indonesia, menginvestasikan dana itu ke dalam berbagai bidang bisnis, mengembangkan dananya ke dalam deposito dan sertifikat Bank Indonesia. Realitas melaporkan, Rp 15 triliun uang Jamsostek yang dikumpulkan dari iuran para buruh, meminjam istilah Realitas "menguap" akibat ekspansi investasi yang tidak jelas.

Parulian Manulang, redaktur Realitas yang bertanggung jawab atas laporan panjang itu sudah sibuk sejak pagi. Biasanya, ia bangun agak siang. Namun hari itu ia harus bangun pagi-pagi. Ada kabar direksi Jamsostek akan memperkarakan berita itu. Benar, Achmad Djunaidi, mewakili Jamsostek mengirim somasi, semacam gugatan di luar pengadilan, sebanyak Rp 1,1 triliun ke Media Indonesia. "Kami juga dilaporkan ke polisi, untuk kasus pencemaran nama baik," kata Manulang.

Salah seorang sumber kunci tulisan itu Indro Tjahyono, staf ahli Menteri Tenaga Kerja. Tjahyono dulu dikenal sebagai aktivis lingkungan yang keras melawan pemerintah dan perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Namanya termasuk dalam daftar yang diperkarakan Jamsostek. Sumber kunci lainnya dua komisaris PT Jamsostek yang namanya disembunyikan. Ada banyak data lain yang masih disimpan, dan bisa setiap saat dibuka. "Kami punya narasumber dan data yang kuat," tambah Manulang.

Jarang-jarang Jamsostek bikin konferensi pers, bahkan sepengetahuan para wartawan ekonomi yang hadir, Jamsostek belum pernah bikin konferensi pers. Wartawan yang datang sekitar 27 orang, dari berbagai media, cetak dan elektronik. Konferensi itu tak ada sesi tanya jawab. Setelah direksi Jamsostek membantah berita Media Indonesia, majalah Gatra, dan mengumumkan memperkarakan Media, para wartawan diajak makan siang. Hidangannya mewah, ada lobster yang enak dan mahal. Ada berbagai makanan lain yang tidak bisa setiap hari dinikmati. Wartawan boleh ngobrol dengan direksi, tapi tak banyak muncul pertanyaan kritis. Satu dua pertanyaan pedas memang ada, tapi selalu tak dijawab.

Puncak acara, para wartawan diminta datang ke ruangan hubungan masyarakat Jamsostek di lantai empat. Di situ, amplop bisa diambil, ada yang menerima ada yang menolak. Tapi, di daftar tanda terima yang dipegang Rizak Rangkuti, seorang staf hubungan masyarakat, sudah ada 27 nama wartawan yang menandatangani, pertanda sudah menerima, termasuk wartawan sejumlah media besar yang melarang para wartawannya menerima amplop. Isi amplopnya cukup besar, Rp 500 ribu. Manulang menganggapnya sebagai suap, agar wartawan tidak menulis berita buruk seputar Jamsostek. "Wartawan kami tak boleh menerimanya, tak ada ampun soal amplop," katanya.

Bagi Jamsostek, uang itu hanyalah sekadar "uang jalan." Tapi bagi wartawan, angka itu cukup besar. Kira-kira hampir sepertiga gaji reporter baru di Koran Tempo atau harian The Jakarta Post. Atau, kalau uang itu dipakai untuk naik taksi, baru habis keliling Jakarta setengah hari. Jadi, sebagai "uang jalan" uang itu terlalu besar, apalagi wartawan tak boleh menerima uang jalan dari narasumber.

Masih berkaitan dengan Jamsostek, sensor terjadi pada radio Ramako Magic 106,15 MHz. Ramako milik Bambang N. Rahmadi, pemilik jaringan restoran McDonald’s, menantu Sudharmono, mantan wakil presiden. Bambang N. Rahmadi tersangkut kasus dengan PT Jamsostek. PT Ramako Gerbang Mas, perusahaan pemegang jaringan restoran McDonald’s, menjual promes ke PT Jamsostek sebesar Rp 40,1 miliar. Jual beli promes ini bermasalah dan kasusnya ditangani polisi.

Sejak kasus itu jadi berita, Jumat, 29 Maret 2002, Ramako sempat memberitakannya beberapa kali. Bahkan, Rabu, 3 April 2002 bertepatan dengan hari ulang tahun Ramako ke-19, kasus itu sempat diangkat dalam talkshow pagi dengan narasumber ataf ahli Menteri Tenaga Kerja Indro Tjahjono. Esoknya, R. Ivan Azhar, station manager Ramako, melarang Ramako menyiarkan berita atau talkshow tentang Bambang Rahmadi.

Radio Ramako, bersama radio Kiss 107,2 MHz dan Mustang 100,5 MHz, berada di bawah bendera PT Ramako Media Promosindo. Perusahaan ini sahamnya tercatat atas nama Adyanti Rachmadi, istri Bambang Rachmadi. Ramako termasuk radio ternama di Jakarta. Soal independensinya jangan ditanya lagi, sudah teruji. Tapi, sensor itu seperti membalikkan reputasinya. Ramako, tak independen terhadap pemiliknya sendiri.*

kembali keatas

by:Irawan Saptono