Amir Daud

Bill Aribowo

Mon, 6 May 2002

LELAKI itu masih sigap mengendarai mobilnya. Usianya 74 tahun. Amir Daud, wartawan yang malang-melintang di dunia persuratkabaran sejak republik ini berdiri.

LELAKI itu masih sigap mengendarai mobilnya. Usianya 74 tahun. Amir Daud, wartawan yang malang-melintang di dunia persuratkabaran sejak republik ini berdiri. Daud kini mengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo. Tiap hari ia mengendarai mobilnya dari rumahnya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, ke tempatnya mengajar di daerah Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Jarak tempuhnya lima kilometer lebih. “Untuk melatih reflek saya agar tetap prima,” katanya.

Dulu ia pernah bekerja buat banyak suratkabar antara lain majalah Tempo, harian Bisnis Indonesia, dan harian The Jakarta Post, dan berbagai suratkabar internasional macam Time.

Di sekolahnya, dia memopulerkan teori storytelling, yaitu menulis berita dengan berkisah. Teori ini muncul sejalan dengan meningkatnya kecepatan berita televisi di Amerika Serikat pada 1960-an. Para penerbit memerlukan paradigma baru penyajian berita suratkabar agar tak kalah dengan televisi.

Menurut Amir Daud, dalam melaksanakan aliran baru ini, tembok penghalangnya justru para redaktur. Setelah para wartawannya selesai mengikuti kursus Lembaga Pers Dr. Soetomo dan menerapkan teknik baru, ternyata para redaktur tak mau menerimanya. Para redaktur itu belum mengenal new journalism. Mereka masih terbiasa dengan pola lama, belum menyadari adanya ancaman dari media elektronik.

Di rumahnya yang asri di Rawamangun, Daud membuka lembaran harinya dengan membaca suratkabar. Bisnis Indonesia, Suara Karya, dan majalah Time melengkapi sarapan paginya.

“Jasanya besar sekali untuk Tempo,” ucap Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo. “Meski bukan dia yang mengubah, tetapi dia yang memperkenalkan perlunya koordinasi reporter.” Menurut Goenawan, dulu majalah Tempo terbit tanpa organisasi. “Amir Daud yang memperkenalkan organisasi dan mengefisienkan cara kerja kami, dan kami semua belajar dari dia.”

Lukman Setiawan dari Bisnis Indonesia menilai Daud sangat kokoh dengan pendapat dan pendiriannya. Kemajuan Bisnis Indonesia tak lepas dari polesan Daud. “Dia orang pertama yang meletakkan dasar-dasar jurnalisme Bisnis,” kata Setiawan, “Daud orang yang perfeksionis.”

“Jangan lupa,” kata Goenawan, “dia guru jurnalisme dari para wartawan, mulai Dahlan Iskan sampai Putu Setia. Dia tidak usah menjadi pahlawan, melainkan penjaga integritas jurnalisme. Dia tidak pernah melacurkan diri.”

Pekerjaan Amir Daud dimulai dari tukang ketik di kantor Antara, Medan, sejak Oktober 1946. Ketika kantor itu ditutup, Mohammad Said, kepala Antara Medan, menawarkan pilihan kepada para karyawannya. Said akan menerbitkan suratkabar bernama Waspada di Medan dan Daud memilih ikut Said. Waktu itu, Januari 1947, ia pun bekerja di Waspada sebagai korektor. “Saya betul-betul berada di lapisan paling bawah,” tuturnya.

Empat tahun kemudian, Daud diangkat jadi copy editor, lalu diangkat jadi anggota redaksi. Namun, ia tak sehaluan dengan Waspada yang selalu mengikuti politik Partai Nasional Indonesia. Mohammad Said adalah tokoh Partai Nasional Indonesia dan setia kepada Bung Karno. “Saya sering berbeda pendapat tentang masalah petani di Sumatra Utara,” kata Daud.

Akhirnya Daud ditawari ke Jakarta. Tahun 1954 menjadi wartawan Waspada di Jakarta. Tak lama, Rosihan Anwar menariknya ke harian Pedoman. Rosihan Anwar tertarik kepada Daud karena kepiawaiannya berbahasa Inggris dan perhatiannya pada masalah ekonomi. Pada masa itu koran-koran lokal lebih memprioritaskan berita-berita politik.

Daud bekerja di Pedoman selama enam tahun. Koran itu dibredel pemerintah 1961. Pedoman dianggap koran Partai Sosialis Indonesia. “Padahal Pedoman bukan koran partai hanya sebagai pendukung,” tutur Daud.

Dari Pedoman ia ke Agence France Presse, sebuah kantor berita Prancis. Tak lama, pindah ke Associated Press milik koperasi suratkabar Amerika Serikat.

Pada 1966 ketika Orde Baru mulai berkuasa, majalah Time mempersiapkan cover story tentang jatuhnya Soekarno dan naiknya Jenderal Soeharto. Daud ditawari bekerja di majalah itu. Tawaran diterimanya. Tiap minggu dia diharuskan memberikan gagasannya. Sungguh kerja di majalah menyita kesibukannya.

Pedoman terbit lagi pada 1968. Daud diminta membantu. Kesibukannya di Time membuatnya hanya sempat menyumbang naskah, tak bekerja penuh. Tapi Rosihan Anwar, pemimpin redaksi Pedoman, tak putus asa. Pada 1972 Daud dihubungi lagi. Pedoman mendapat investor baru, Daud diminta merestrukturisasi koran itu. Daud menyanggupinya. Namun, Januari 1974 Pedoman bersama sembilan koran lainnya, dibredel lantaran dianggap terlibat peristiwa 15 Januari 1974. Ia pun kembali ke Time.

“Awal 1977 saya memenuhi tawaran kerja dari majalah Tempo,” ungkap Daud. Tempo butuh orang yang tahu masalah ekonomi untuk menambah bobot liputan bisnis. “Saya merasa terhormat karena yang datang kepada saya Goenawan Mohamad dan Fikri Jufri,” katanya.

Setelah enam tahun di Tempo. Goenawan terpaksa melepas Daud yang dipilih jadi managing editor sebuah suratkabar berbahasa Inggris yang segera terbit, The Jakarta Post. Sekelompok penerbit media cetak terkemuka di Jakarta, termasuk Tempo, merencanakan penerbitan itu. Di koran baru, Daud merasa memiliki segala yang diperlukan. “Dalam waktu enam bulan koran itu sudah mencapai break even point. Sesudah setahun surplus, bahkan bagi-bagi dividen, ” kenangnya.

Setelah dua tahun mengelola The Jakarta Post, Daud diajak menerbitkan sebuah koran ekonomi. Namanya Bisnis Indonesia. Ia didaulat sebagai pemimpin redaksi. Daud menyanggupi. Kemunculan Bisnis Indonesia cukup menggemparkan di kalangan pers lantaran sudah ada tiga koran ekonomi di Jakarta. Tapi Bisnis Indonesia melesat dalam tempo singkat.

Lagi-lagi Daud belum berhenti membuat kejutan. Akhir 1989 dia keluar dari Bisnis Indonesia setelah lebih dari empat tahun memimpinnya. Keputusannya itu bukan lantaran ada tantangan membuat koran baru, melainkan menjadi pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan kalangan pers nasional.

Jakob Oetama dari harian Kompas mengatakan, “Saya terkesan oleh disiplinnya yang all out dan bekerja tidak setengah-setengah. Check and recheck-nya kuat. Dia memang cocok mendidik wartawan muda karena memberikan sikap dan nilai yang harus dimiliki wartawan.” *

kembali keatas

by:Bill Aribowo