PADA 7 Maret 2002, di gedung parlemen Senayan berlangsung sidang paripurna membahas pembentukan panitia khusus Buloggate II. Beberapa kilometer dari gedung parlemen, tepatnya di gedung bundar, sebuah bangunan bundar dalam kompleks Kejaksaan Agung, di bilangan Blom M, Jakarta Selatan, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Akbar Tandjung, yang seharusnya memimpin rapat paripurna tersebut, tengah diperiksa akibat dugaan korupsi dalam kasus Bulog senilai Rp 40 milyar.

Metro TV masih menayangkan Live Event pandangan dari fraksi-fraksi. Setuju atau tidak pembentukan panitia khusus. Sesekali pembawa acara menghubungkan reporter yang ada di Blok M. Apa yang terjadi di kantor Kejaksaan Agung mempengaruhi putusan di gedung DPR. Sesama anggota DPR saling tukar-menukar informasi untuk memantau apa yang terjadi di Blok M. Telepon genggam tidak henti berbunyi.

Jarum jam menunjukkan pukul 16.30. Sidang di gedung DPR kembali berjalan, setelah beberapa saat diskors. Pada saat yang hampir sama, di gedung bundar, Akbar turun dari lantai tiga bersama kuasa hukumnya, Ruhut Sitompul dan Tommy Sihotang. Mereka bergegas masuk mobil dan tak mempedulikan wartawan. Wartawan kecele, karena sebelum pemeriksaan, Akbar Tandjung berjanji akan memberikan keterangan pers usai pemeriksaan. Mobil hitam yang membawa Tandjung melaju lewat pintu belakang dengan kecepatan tinggi. Namun pintu itu terhalang dua truk polisi. Mereka tak mengizinkan mobil Tandjung keluar. Petugas keamanan dalam, jaksa dan wartawan, berhamburan merubung. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Barman Zahir menilai Tandjung tengah menlarikan diri.

“Klien kami tidak melarikan diri. Bang Akbar buru-buru karena ada urusan. Saya akan mensomasi siapa pun yang menyatakan Bang Akbar kabur,” kata Hotma Sitompul. Entah kenapa somasi itu tak pernah dilakukannya terhadap Barman Zahir.

Wartawan yang meliput pemeriksaan Tandjung melihat bagaimana mobil Tandjung dilarikan dengan kecepatan tinggi. “Ketika Akbar turun habis pemeriksaan, saya menyangka ada keterangan pers. Karena sebelumnya Akbar menjanjikan ada keterangan usai pemeriksaan. Saat itu saya melihat penasehat hukum mengampit Akbar agar bergegas menunju mobil. Tiba-tiba mobil sudah digas kencang. Bahkan ada teman wartawan yang hampir terserempet mobil mereka,” kata Maryadi, reporter Detik.com yang sore itu meliput pemeriksaan Akbar Tandjung.

Tepat pukul 20.15, keputusan penahanan diumumkan Barman. Isu penahanan Akbar Tandjung ini sebenarnya sudah jadi spekulasi di kalangan wartawan yang meliput di gedung bundar. Tapi pihak kejaksaan tak mau memberi komentar. Keputusan penahanan Tandjung baru jelas bersamaan dengan selesainya rapat paripurna parlemen. Ini akhir dari teka-teki yang berlangsung sejak 7 Januari lalu, ketika Tandjung resmi ditetapkan sebagai tersangka. Ada yang menilai agar Akbar Tandjung menjalani proses hukum saja, sementara ada juga yang menginginkan agar proses hukum dibarengi dengan proses politik berupa pembentukan panitia khusus di parlemen untuk memeriksa kasus ini sama dengan kasus Buloggate I yang melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid. Tepat tiga bulan dari penetapan Tandjung sebagai tersangka, keputusan itu dibuat pada hari dan jam yang hampir bersamaan.

BAGAIMANA penahanan Tandjung ini diberitakan oleh media? Paling tidak ada dua versi pemberitaan. Pertama, penahanan tersebut sarat bernuansa politik. Keputusan Jaksa Agung MA Rahman bukan berlandaskan pertimbangan hukum tapi karena permintaan politik. Tandjung sengaja dikorbankan. Versi ini menunjuk kepada keterlibatan Istana Negara dalam menentukan penahanan Tandjung. Sebelum kejaksaan menetapkan status Tandjung, empat anggota parlemen dari PDI Perjuangan: Panda Nababan, Teras Narang, Dwi Ria Latifa, dan Amin Arjoso menemui Rachman di Kejaksaan Agung. Dikenal sebagai “tim empat,” mereka diberi tugas partai untuk merumuskan sikap akhir PDI-Perjuangan, setuju atau tidak dengan pembentukan panitia khusus. Mereka ingin mendapatkan gambaran, apa sikap Rachman terhadap penahanan Tandjung. Fakta lain, malam sebelum rapat paripurna, MA Rachman datang ke rumah dinas Presiden Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan bersama, tapi salah satu spekulasi, mereka kemungkinan besar membicarakan soal penahanan Akbar Tandjung. Bagaimana pun juga Jaksa Agung Rachman adalah bawahan Presiden Megawati. Tidakkah wajar bila seorang jaksa agung melaporkan pada presidennya bila ia hendak menangkap ketua parlemen?

Versi kedua, sebaliknya menilai proses penahanan Tandjung sudah sesuai dengan prosedur hukum dan sama sekali tak terkait dengan motivasi politik. Kedatangan tim empat menemui MA Rachman hanya prosedur biasa untuk mengetahui peristiwa terkini, bukan dimaksudkan untuk mempengaruhi kejaksaan. Kedatangan Rachman ke kediaman Presiden Megawati juga bukan intervensi, hanya prosedur biasa sebagai bawahan presiden.

Harian Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan Kompas menekankan peristiwa penahanan Akbar Tandjung sebagai peristiwa yang bernuansa politik. Sehari setelah penahanan Tandjung, keempat suratkabar ini membingkai berita reaksi Partai Golkar atas penahanan ketua mereka, Akbar Tandjung. Media Indonesia memberitakan Golkar akan memberi perlawanan kepada pemerintah karena PDI Perjuangan dinilai intervensi. Demikian halnya dengan Republika edisi tanggal 8 Maret. Berita diwarnai oleh komentar petinggi Golkar yang menyatakan penahanan ketua mereka sarat dengan muatan politik. Tokoh senior Golkar Suhardiman menilai Partai Golkar akan menggoyang pemerintahan Megawati yang berada di balik penahanan Tandjung. Akil Mochtar mengancam tak memberi dukungan terhadap pemerintahan Megawati dengan menarik menteri mereka yang duduk di kabinet. Idrus Marham bahkan menilai Megawati telah menzalimi Golkar dan layak mendapat balasan.

Hanya Kompas yang agak berbeda. Sesuai dengan ciri Kompas yang cenderung moderat, pada edisi tanggal 8 Maret, Kompas turun dengan berita tentang prosesi penahanan Akbar Tandjung. Reaksi petinggi Golkar atas penahanan Tandjung, tak banyak ditonjolkan.

Majalah berita tidak jauh berbeda dengan suratkabar harian. Majalah Gatra menurunkan laporan utama pada edisi 16 Maret yang berisi ancaman boikot dari pendukung Tandjung terhadap pemerintahan Megawati. Alasannya, ada intervensi politik di balik penahanan Akbar Tandjung. Majalah Tempo juga demikian. Dalam laporan utama edisi 11-17 Maret misalnya ditulis bagaimana penahanan Akbar Tandjung ini dipastikan di Istana Negara dan memang atas perintah Presiden Megawati. Menurut Karaniya Dharmasaputra, penanggung jawab rubrik nasional, dalam liputan Tandjung ini, Tempo menurunkan 10 orang reporter yang diterjunkan di Istana Negara, kejaksaan, dan parlemen. “Dari penelusuran yang kami lakukan, kami yakin bahwa ada intervensi istana dalam penahanan Akbar,” kata Dharmasaputra.

Ketika meliput kasus Tandjung, wartawan menghadapi kegamangan. Peristiwa ini pasti akan menimbulkan polemik karena pengungkapan korupsi di Indonesai diwarnai dengan percampuran politik. Ketika Tandjung ditahan, suara yang banyak muncul adalah penangkapan tersaebut pasti mempunyai motif tertentu. Nasihin Masha dari Republika menilai hukum harus diletakkan sebagai hukum. “Kalau Akbar memang korupsi harus ditahan, meskipun penahanan itu bagian dari intervensi politik,” kata Nasihin. Hal yang sama dikemukakan oleh Karaniya Dharmasaputra dari Tempo.

Penekanan berlebihan pada aspek politis atau intervensi politik mengakibatkan media tidak proporsional dalam menempatkan Tandjung dan kesalahan yang dilakukan. Lewat pemberitaan seperti itu, Tandjung ditempatkan sebagai korban, pihak yang dizalimi oleh kekuasaan. Padahal, lewat hasil intervensi atau tidak, jika Tandjung terbukti bersalah, ia harus dihukum.

Hal demikian juga dikatakan oleh Cyprianus Aoer, wakil pemimpin redaksi Suara Pembaruan. “Memang tampak tidak proporsional. Akbar Tandjung yang bersalah, jadi tampak menjadi korban. Tapi itu resiko yang sukar kita hindari dalam pemberitaan,” kata Aoer.

PADA 20 Maret 2002 Akbar Tandjung untuk pertama kalinya dihadapkan di muka pengadilan. Jaksa mendakwa Tandjung bersalah dalam menyalurkan dana senilai Rp 40 milyar.

Dua hari setelah penahanan Tandjung, Winfried Simatupang dan Dadang Sukandar, dua tersangka lain dalam kasus ini, mengembalikan dana Rp 40 miliar ke kejaksaan agung. Artinya, pembagian 1.620.000 paket bahan bangan yang diakui Ketua Yayasan Raudatul Jannah, Dadang Sukandar, kepada penyidik, adalah kebohongan. Terbukti keberadaan yayasan itu fiktif. Pengembalian dana ini menguntungkan posisi Tandjung karena dikesankan yang bersalah dan berbohong adalah Simatupang dan Dadang.

Bagaimana pengadilan Tandjung ini diliput oleh media? Paling tidak ada dua versi besar pemberitaan. Versi pertama mempersoalkan pencairan dana. Dana Bulog adalah dana non-budgeter yang pemakaiannya harus dilakukan secara hati-hati. Dalam versi ini, penyaluran bisa salah, bisa juga tidak, tapi masalah dilokalisir semata pada pencairan dana. Mereka yang menyatakan bersalah, berargumentasi pencairan dana Bulog itu tak transparan, tak memenuhi prosedur dan sebagainya. Sebaliknya yang menganggap benar, berargumentasi, pencairan itu sudah sesuai dengan prosedur dan memang menjadi hak prerogatif dari presiden. Dalam hal ini adalah Presiden B.J. Habibie yang memerintahkan Akbar Tandjung sebagai sekretaris negara untuk mengurus distribusi bahan kebutuhan pokok senilai Rp 40 milyar itu.

Versi kedua lebih melihat pada persoalan penyaluran dana. Pencairan dana sama sekali tidak dipersoalkan. Yang dipersoalkan adalah, kemana larinya dana tersebut, dan dipakai untuk apa saja dana tersebut. Apakah dana itu telah dipakai secara benar ataukah terjadi penyelewengan.

Versi itu menentukan bagaimana kisah Bulog ditulis. Versi itu juga menentukan siapa yang harusnya bertanggung jawab atas uang Rp 40 miliar tersebut. Kalau versi pertama yang diketengahkan, maka yang harus bertanggungjawab adalah Presiden BJ Habibie dan Rahardi Ramelan. Habibie adalah orang yang mempunyai hak untuk memerintahkan pencairan dana. Sementara Rahardi adalah kepala Bulog, orang yang memegang kunci dan kas dana Bulog. Aktor lain yang bisa disebut adalah Achmad Ruskandar, deputi ketua Bulog, orang yang bertanggungjawab sebagai pelaksana dalam mencairkan dana Bulog. Ruskandar pula yang mengakui menyerahkan cek kepada Akbar Tandjung. Pendeknya, mereka yang harus bertanggungjawab adalah mereka yang ikut serta dalam mencairkan dana Rp 40 milyar.

Dalam versi kedua, masalah Bulog dipahami sebagai masalah penyaluran dana. Tidak ada yang salah dengan pencairan dana: sudah sesuai dengan prosedur dan kewenangan pejabat yang mengeluarkan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana dana itu disalurkan, siapa yang menerima dan dipakai untuk apa dana tersebut. Kalau versi ini yang diketengahkan, yang bertanggungjawab sebagai aktor adalah Akbar Tandjung. Karena dana itu memang diserahkan dan diterima oleh Tandjung. Yang harus dikorek lebih lanjut adalah dikemanakan dana sebesar Rp 40 miliar tersebut. Bisa disebut dalam deretan aktor dalam versi ini adalah Dadang Ruskandar, yang dalam versi Tandjung, diserahi tugas sebagai pelaksana penyaluran dana Bulog.

Saat pertama kali kasus Buloggate II ini mencuat pertengahan tahun lalu, kasus Bulog dilihat semata sebagai persoalan pencairan dana. Yang salah adalah pengeluaran dana yang tidak sesuai dengan prosedur. Kasus Bulog dianggap sebagai pembobolan uang negara. Karena itu, yang diperiksa dan dijadikan tersangka pertama kali adalah Rahardi Ramelan. Skenario ini berubah setelah pengakuan Rahardi yang mengagetkan. Rahardi menyatakan kalau dana itu disalurkan dan diterima di antaranya oleh Akbar Tandjung. Kisah Bulog lantas berubah menjadi persoalan penyaluran dana. Pertanyaannya adalah dipakai untuk apa dana itu. Ini agak aneh, karena Tandjung saat itu adalah Menteri Sekretaris Negara yang tak punya departemen dan tugas teknis.

Selama sebulan pemberitaan media cetak dari 7 Maret-7 April 2001, ada perbedaan dari versi yang diberitakan media. Majalah Tempo secara konsisten memberitakan kasus Bulog ini dalam bingkai kedua. Dalam pemberitaan Tempo, porsi Akbar Tandjung sangat dominan. Tandjung bersalah dan berupaya membelokkan alur perkara ke dalam skenario Yayasan Raudlatul Jannah yang cuma rekaan. Kebohongan itu makin nyata ketika Winfried Simatupang mengembalikan uang hasil korupsi yang sebelumnya diakui telah habis disalurkan untuk membeli dan membagikan bahan pangan buat keluarga miskin di berbagai kabupaten.

Sebaliknya dalam pemberitaan Forum atau Gatra, arah perkara bukan melulu pada Tandjung. Ia juga mengarah pada BJ Habibie dan Rahardi Ramelan, orang yang membuat kebijakan dalam penyaluran dana Bulog. Dalam edisi 11 Maret, Suara Pembaruan menulis perlunya penelusuran dan penyidikan yang tuntas dari semua pihak yang terlibat dalam kasus Bulog.

Redaktur pelaksana Republika, Nasihin Masha, menilai seharusnya baik pelaksana maupun yang membuat aturan haruslah mendapat porsi yang sama untuk dihukum “Selama ini yang selalu menjadi sasaran pemeriksaan adalah kasir, mereka yang mencairkan uang. Seperti Suwondo dalam kasus Bulog I yang melibatkan Gus Dur. Atau dalam kasus Bulog II ini melibatkan Winfried Simatupang. Sementara mereka yang membuat kebijakan, tidak pernah tersentuh,” kata Nasihin.

AKBAR Tandjung telah ditahan. Tetapi ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab dalam liputan media. Sebut misalnya soal dana kembalian Winfried Simatupang dan Dadang Sukandar sebesar Rp 40 miliar. Selama satu bulan, dari tanggal 7 Maret-7 Juni, liputan soal pengembalian dana Simatupang dan Dadang ini, tak mendapat tempat yang memadai dibanding dengan isu pembentukan panitia khusus atau persidangan Tandjung.

Pengembalian dana tersebut membuktikan, operasi pemberian bahan pangan –skenario yang semula dipakai untuk karang-karangan– hanya bohong belaka. Bahkan dalam sidang pun, sesudah Tandjung ganti pengacara, Tandjung mengakui di depan majelis hakim bahwa keterangan sebelumnya tidak benar. Di sini timbul dua persoalan. Kalau uang itu memang tidak dipakai untuk operasi pangan, kemana larinya dana tersebut. Terus, dari mana uang kembalian Simatupang itu berasal. Untuk melacak hal tersebut wartawan perlu melakukan penyelidikan. Belum ada media yang bisa melaporkan secara tuntas asal dana Rp 40 milyar itu.

Majalah Tempo berusaha melacak asal dana tersebut meskipun sumber yang diwawancarai menyangkal. Tak ada dokumen yang meyakinkan yang bisa menunjukkan asal dana dan siapa saja yang ikut mengumpulkan uang sebesar itu. Data semacam ini, kata Karaniya Dharmasaputra, susah didapat karena hanya bisa dibuka oleh otoritas seperti Bank Indonesia. “Jaksa Agung sebetulnya punya wewenang untuk mendapatkan data tersebut. Sayangnya, kejaksaan sudah masuk dalam skenario yayasan. Kejaksaan lebih tertarik di sekitar keterlibatan Yayasan Raudlatul Jannah daripada menelusuri aliran dana Bulog,” kata Dharmasaputra. Bank Indonesia sendiri telah menyatakan siap membantu kejaksaan agung menelusuri aliran dana bulog. Tanpa dokumen siapa saja penyumbang dana kembalian Simatupang, yang bisa didapat adalah keterangan saksi-saksi tanpa bukti dokumen.

Kasus Bulog yang melibatkan Akbar Tandjung hanyalah bagian kecil dari korupsi di tubuh Bulog yang ditaksir mencapai Rp 2,6 triliun atau jauh lebih kecil lagi ketimbang korupsi di Indonesia selama zaman Orde Baru. Di kalangan wartawan sendiri sudah beredar kabar beberapa partai sudah mengantongi data korupsi Bulog tersebut. Tinggal menunggu momentum dibuka ke publik. PDI Perjuangan telah membentuk tim kecil yang bertugas menyelidiki korupsi tersebut. Tim ini diketuai Sukono, dengan delapan anggota, dan narasumber kepala Bulog Widjanarko Puspoyo yang juga masih kader PDI Perjuangan.

Fakta ini menguatkan dugaan pembongkaran kasus korupsi lebih dimaksudkan untuk balas dendam politik. Agenda pengungkapan korupsi lebih banyak ditentukan oleh politisi dibandingkan oleh media sendiri. Banyak kasus korupsi yang tak tuntas. Kasus Buloggate II belum selesai, muncul apa yang disebut asramagate, muncul lagi banpresgate, yang akhirnya hilang begitu saja tanpa ada kejelasan siapa yang bersalah. Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi media.*

Tema pemberitaan suratkabar 7 Maret-7 April 2002

Tema Pemberitaan

Kompas

Republika

Suara Pembaruan

Media Indonesia

Penahanan Tandjung

10

Ancaman boikot Golkar terhadap pemerintah Megawati

Kondisi Tandjung di penjara

Panitia khusus Buloggate II

12

10

Reaksi penahanan Tandjung di daerah

Debat perlu tidaknya Tandjung non aktif

Demonstrasi pro dan anti Akbar Tandjung

Pengembalian dana oleh Winfried Simatupang dan Dadang Sukandar

Persidangan Rahardi Ramelan

Persidangan Tandjung

12

10

Lain-lain

 

Total

63

48

46

52

by:Eriyanto