Pengganyangan Ulil Abshar-Abdalla

Indah Nurchaidah

Mon, 1 April 2002

BAGAIMANA rasanya mengalami pengganyangan pribadi? Mungkin kejadian ini bisa jadi salah satu contohnya.

BAGAIMANA rasanya mengalami pengganyangan pribadi? Mungkin kejadian ini bisa jadi salah satu contohnya. Februari lalu majalah Suara Hidayatullah memuat artikel berjudul "Tragedi Presiden Uzil Bashar Afdhalla." Menarik, bahkan sempat jadi bahan diskusi di internet, karena karakter utama dalam fiksi tujuh halaman itu mirip dengan figur Ulil Abshar-Abdalla.

Ulil seorang kolumnis suratkabar. Ia sering menulis untuk majalah Tempo dan harian Kompas. Ulil juga dikenal sebagai pemimpin Jaringan Islam Liberal, sebuah kelompok diskusi yang sering menyuarakan upaya liberalisasi tafsir Islam. Ulil sendiri berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ayahnya Abdullah Rifa’i dari pesantren Mansajul Ulum, Pati, sedang mertuanya, Mustofa Bisri, kyai dari pesantren Raudlatut Talibin, Rembang.

Dalam cerita fiksi itu, figur Ulil diplesetkan dengan nama Uzil Bashar Afdhalla. Banyak hal yang mirip dengan Ulil asli, misalnya, Uzil muda memimpin sebuah organisasi bernama Jaringan Islam Liberal. Bedanya, karier dan pengaruh Uzil dilaporkan Suara Hidayatullah meningkat hingga pada 2030, Uzil terpilih jadi presiden Indonesia.

Kemiripan yang lain adalah nama Asosiasi Studi Organisasi dan Informasi (ASOI) yang mirip dengan Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Ulil memang bekerja buat ISAI tapi ISAI yang tak asoi ini adalah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pelatihan wartawan dan penelitian media. Jaringan Islam Liberal sendiri terkait dengan ISAI. Sama halnya dengan majalah ini.

Dalam cerita "Reportase Futuristik, Tragedi Presiden Uzil" didongengkan kejadian-kejadian penting di Indonesia. Pada 2001 berdirilah Jaringan Islam Liberal yang berhasil memperkenalkan ide-idenya dan mendekonstruksi syariat Islam. Banyak orang pindah agama, dan puncaknya, Indonesia jadi negara sekuler. Uzil Bashar Abdalla, pemimpin Partai Liberal yang juga mantan tokoh Jaringan Islam Liberal, terpilih jadi Presiden Indonesia Raya Serikat melalui pemilihan umum langsung.

Pada masa pemerintahan Uzil terjadi berbagai konflik di daerah. Situasi negara jadi kacau dan ini menjalar ke Jakarta. Badan intelijen negara memberi laporan bahwa panglima militer Jenderal Frederic Tanujaya adalah orang di balik kekacauan demi kekacauan itu. Tanujaya, lagi-lagi sebuah figur fiktif, diduga akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Uzil. Tapi Uzil tak percaya, karena dia dan Fred berteman karib.

Namun, situasi makin genting. Nyawa Uzil pun di ujung tanduk. Ada tawaran dari jenderal lain, Letnan Jenderal Firman Syakur, untuk mendukung Laskar Mujahidin demi menyelamatkan nyawa Uzil dan bangsa Indonesia. Uzil menolak mentah-mentah, karena dianggap bisa mencoreng reputasinya sebagai seorang tokoh pluralisme dan inklusivisme.

Akhirnya, Frederic Tanujaya berhasil menjebak Uzil di sebuah pulau tak berpenghuni. Di sana dia dibunuh. Tubuhnya dimasukkan ke sumur yang dalam, lalu dituangi cairan beton dan limbah radioaktif. Uzil tewas dibunuh sahabatnya sendiri.

Suara Hidayatullah mencantumkan nama Eliza Vitri Handayani di sinopsis atau eye catching naskah tujuh halaman ini. Laporan fiksi ini mengacu pada gaya penulisan skenario film yang berjudul Area X karya Eliza. Area X memenangi Lomba Penulisan Naskah Skenario Film yang diadakan Departemen Penerangan pada 1999.

Eliza sendiri lewat email mengatakan dia sama sekali tak tahu kisah yang dimuat Suara Hidayatullah itu. Dia bahkan kaget mengetahui karyanya dikaitkan dengan Ulil Abshar-Abdalla dan menerangkan dia sama sekali tak punya hubungan dengan organisasi apa pun. Kini Eliza sedang kuliah di Wesleyan University, Middletown, Connecticut, Amerika Serikat.

Naskah ini ditulis oleh dua orang yang mencantumkan nama Abdillah Razak dan Idris Rustamaji. Tapi mereka keberatan diwawancarai. Mereka minta redaksi Suara Hidayatullah untuk menyampaikan tanggapan mereka.

Wisnu Pramudya, pemimpin redaksi Suara Hidayatullah, mengatakan Razak dan Idris mendapat ide penulisan cerita tersebut dari naskah Eliza Vitri Handayani. Mereka membaca karya Eliza dalam buku antologi sastra Taufik Ismail yang berjudul Dari Fansuri ke Handayani. Mereka melakukan riset pustaka, mengumpulkan sejumlah pernyataan para tokoh Jaringan Islam Liberal dari kliping media massa serta situs Islam Liberal. Selanjutnya hasil riset pustaka itu diramu dengan imajinasi penulis, mengikuti format cerita Eliza.

Wahyu mengatakan tulisan itu memang ditujukan untuk Jaringan Islam Liberal dan siapa saja yang mendukung ide-ide mereka. Razak dan Idris bermaksud memberikan peringatan pada Jaringan Islam Liberal tentang kemungkinan yang akan terjadi pada masyarakat Indonesia bila pemikiran mereka terwujud.

Nama Abdillah Razak dan Idris Rustamaji nama samaran. Wahyu mengatakan mereka keberatan nama aslinya dibuka. Menurut Wahyu, semula Suara Hidayatullah memang ingin memuat laporan tentang Jaringan Islam Liberal. Pucuk dicinta ulam tiba. Ada orang yang menawarkan tulisan dengan syarat si penulis tak mau bertanggung jawab bila di kemudian hari ada complain atau tanggapan dari pihak mana pun. Penulis melimpahkan tanggung jawab itu pada redaksi.

Masmimar Mangiang, seorang wartawan senior dari Harian Ekonomi Neraca, yang sering mengajar dan terlibat dalam berbagai pelatihan wartawan, mengatakan Suara Hidayatullah melakukan sebuah praktik jurnalisme yang tidak bertanggung jawab. Jurnalisme harus bisa membedakan mana yang fiksi dan mana yang fakta. Walau Wahyu menolak karakter Uzil disamakan dengan Ulil, tapi Mangiang mengatakan terlalu mudah buat mencari kesamaan-kesamaannya. Naskah ini bisa dianggap sebagai pengganyangan pribadi Ulil Abshar-Abdalla.

Banyak tanggapan masuk ke Suara Hidayatullah, baik yang pro maupun kontra terhadap laporan fiksi tersebut. Sebagian tanggapan tak bisa dimuat, menurut Wahyu, karena tak menyertakan identitas jelas. Pihak Jaringan Islam Liberal sendiri tak menanggapi secara resmi. Tapi ada kiriman surat pembaca dari Farid Gaban, seorang wartawan Tempo yang juga anggota mailing list Islam Liberal.

Farid Gaban menyebut laporan itu berisi sejumlah interpretasi yang terlalu jauh. "Ini upaya yang kreatif, namun sayang kedengaran berlebihan karena berisi ‘pembunuhan karakter’ terhadap sejumlah orang. Saya kira tulisan itu kontradiktif dengan pesan yang dimuat dalam rubrik Mutiara Hadist pada edisi yang sama: "Positive Thinking: Ajaran Khas Islam."

Ulil Abshar-Abdalla sendiri mengatakan "belum dan tidak mau membaca" laporan Suara Hidayatullah tersebut. "Saya merasa tidak perlu menanggapi tulisan tersebut karena bukan merupakan argumen yang perlu ditanggapi," katanya dalam sebuah wawancara telepon.

Apakah ia tersinggung dengan kesamaan karakter Uzil dengan dirinya? Tidak tapi Ulil tak setuju pada penggunaan istilah ‘reportase.’ "Reportase dalam jurnalisme merupakan tulisan yang melaporkan suatu peristiwa secara objektif dan berdasarkan kenyataan yang ada."

Reportase futuristik adalah contradictio in terminus. Artinya, dua kata itu merupakan dua terminologi yang saling bertentangan. "Reportase" senantiasa berkenaan dengan masa lalu, yang sudah terjadi, sedangkan "futuristik" adalah kata sifat untuk peristiwa yang belum terjadi, peristiwa di masa depan.

Bagaimana bisa diciptakan sebuah reportase tentang masa depan? Sejak kapan pekerjaan wartawan bercampur dengan ahli nujum?

Wahyu Pramudya dari Suara Hidayatullah punya jawaban yang menarik. Reportase futuristik adalah istilah kreasi Suara Hidayatullah untuk reportase imajiner dan fiksi futuristik. Ia mencontohkan serial tulisan kolumnis Christianto Wibisono tentang wawancara imajinernya dengan Bung Karno. Menurutnya, bagaimana pun reportase futuristik ini merupakan sebuah karya fiksi.*

kembali keatas

by:Indah Nurchaidah