Mengawinkan Investigasi dan Jurnalisme Sastrawi

S. Sinansari Ecip

Mon, 1 April 2002

MAJALAH bergengsi Columbia Journalism Review pada edisi ulang tahunnya yang ke-40, November-Desember 2001, memuat laporan reporter Nick Spangler,

MAJALAH bergengsi Columbia Journalism Review pada edisi ulang tahunnya yang ke-40, November-Desember 2001, memuat laporan reporter Nick Spangler, seorang mahasiswa pascasarjana dari Columbia Graduate School of Journalism, New York. Isi edisi ini sebetulnya sudah jauh-jauh hari siap. Tapi, halaman-halaman depannya harus digusur untuk memberi tempat buat laporan tentang serangan atas World Trade Center 11 September 2001.

Mari kita ikuti petikannya. “…. saya dengar suara pesawat terbang itu. Gemuruh suaranya sangat ribut. Ketika itu pukul 08.46. Saya lihat pesawat terbang melintas di atas kepala saya, menerobos ke arah sisi utara WTC I. Pandangan saya dihalangi oleh asap dan lubang. Saya lari. Kurang lebih dua menit kemudian saya dapati lapangan luas dekat Church Street, yang berbatasan dengan dua menara yang gagah itu. Jutaan lembar dokumen beterbangan. Lalu saya lari menghindar secepat saya bisa. Yang saya lihat pertama-tama adalah bongkahan-bongkahan material, lempengan-lempengan baja yang panjang, dan keping-keping kaca terhempas di tanah. Tiga orang pembersih gedung dan seorang polisi keluar …. Pada pukul 09.00 pesawat kedua menubruk WTC 2. Ketika kaca berjatuhan, saya merapatkan diri pada dinding dan menutupi muka saya dengan lengan kiri. Saya dengar kaca-kaca jatuh berdentingan sekitar saya dan suara musik suling datang dari pengeras suara yang berada di atas saya ….”

Nick Spangler tampak berusaha memikat pembaca untuk terus mengikuti penggambaran yang dilakukannya. Spangler membawa kita hadir di tempat peristiwa. Kita dirangsang untuk ikut terharu. Pembaca seperti merasa, mendengar, dan melihat sendiri peristiwa itu. Terinci, bersuasana, akrab, berwarna, dan haru dapat ditangkap dan diikuti dengan mudah. Tak pelak ini juga jenis laporan yang disampaikan dengan gaya jurnalisme sastrawi.

Tapi mahkota karya jurnalistik dewasa ini adalah liputan investigatif (investigative reporting). Liputan jenis ini dilakukan dengan sangat serius dan makan waktu lama, sampai satu tahun misalnya. Reporter menyelidik seperti detektif. Perencanaan disusun dengan rinci. Berbagai dokumen ditelusuri. Saksi-saksi ditanyai. Kejahatan dibongkar. Yang disebut kejahatan di sini adalah kejahatan publik. Si wartawan bertindak “atas nama” publik karena hasilnya nanti dibeberkan kepada orang banyak.

Karya-karya jenis itulah yang hampir selalu mendapatkan hadiah utama Pulitzer bidang jurnalisme dari Universitas Columbia –tempat Spangler kuliah. Salah satu puncaknya adalah kisah tergulingnya Presiden Richard Nixon. Carl Bernstein dan Bob Woodward, wartawan The Washington Post, memelopori laporan-laporan tentang bagaimana Nixon menyadap pembicaraan lawan-lawan politiknya. Cerita mereka kemudian dibukukan dan difilmkan, All The President’s Men. Koran Houston Post memberi komentar karya itu, “Mendekati puncak dalam sejarah jurnalisme.”

Di Indonesia sebenarnya banyak ladang gelap yang dapat dibongkar untuk laporan investigatif. Kerusuhan Mei 1998 yang bertabir hitam, pertikaian di Aceh yang tak pernah berhenti, hilangnya uang negara (rakyat) trilyunan rupiah, Pertamina yang kaya tapi kurus, dana-dana non-budget di berbagai lembaga, adalah sebagian kecil contoh yang perlu dibongkar dan dibikin terang. Namun, sayang, belum ada media yang leluasa memberi penugasan untuk itu kepada wartawannya. Banyak wartawan yang kurang berani terjun ke liputan khusus ini karena harus bekerja keras dan harus berani.

SEKITAR satu abad yang lalu, pada 21 April 1906, Will Irwin, wartawan The New York Sun, membuat laporan tentang kota San Francisco yang ditimpa gempa. Tulisannya diberi judul “The City That Was.” Dia membuka tulisan dengan mengejutkan, “The old San Franciso is dead ….” Ketika itu Will Irwin ada di New York. Dia pernah tinggal di San Francisco, sewaktu masih bekerja buat harian San Francisco Chronicle. Tidak heran, dia sangat mengenal kota di pantai barat itu. Berjam-jam dia merenung sebelum dia menuliskannya berdasarkan laporan-laporan masuk. Dari jarak 3,000 mil dari obyeknya, Irwin membuat tulisan yang selalu dijadikan salah satu contoh laporan karya jurnalisme satrawi yang baik.

Sebenarnya, jauh-jauh tahun sebelumnya sudah ada Benjamin Franklin (1706-1790), Walt Whitman (1819-1892), Mark Twain (1835-1919), lalu ada John Steinbeck, O. Henry, dan Ernest Hemingway. Mereka itu sastrawan-sastrawan sebelum bekerja sebagai reporter atau sebaliknya. Karya-karya liputannya enak dibaca pada zamannya.

Contoh yang tak terlalu klasik, yang juga dimuat dalam A Treasury of Great Reporting, berhubungan dengan Indonesia. Buku ini memuat 200 karya liputan yang paling menarik. Editornya, Louis L. Snyder dan Richard B. Morris, menyebut karya-karya yang dipilihnya sebagai “literature under pressure” atau karya di bawah tekanan, terutama tekanan batas waktu (dead line).

Henry G. Wales melaporkan sekitar matinya Mata Hari, seorang mata-mata ganda, keturunan Jawa-Belanda yang cantik. Profesi resminya penari. Pada waktu yang sama dia berpacaran dengan pejabat setingkat menteri orang Jerman dan Prancis. Death comes to Mata Hari: a Serpent in Woman’s Form Falls Before a Firing Squad, judul laporannya yang dimuat International News Service, Paris, sehari kemudian, 19 Oktober 1917.

Tulisannya rinci, mengharukan. Sosok “perempuan ular” digambarkan tegar. Dia dibangunkan dari tidurnya di sel. Mata Hari minta waktu menulis surat dulu, entah untuk siapa. Kertas, amplop, pena, dan tinta diberikan. Lalu dia mengenakan pakaian pelan dan tenang. Kemudian Mata Hari berkata, “Saya siap.” Ketika di depan 12 orang anggota regu tembak, matanya akan ditutup kain, dia bilang tidak perlu. Dia tampak tetap tegar.

Karya jurnalisme satrawi adalah karya sastra nonfiksi. Karya ini bukan rekaan seperti pada umumnya novel atau roman. Karya jurnalisme satrawi berobyekkan sesuatu yang ada atau faktual. Karena itu, jenis liputan ini disebut karya jurnalistik. Cara penyajiannya mengandalkan kemampuan teknik penyajian seorang sastrawan. Tidaklah heran bila ternyata banyak karya jurnalisme satrawi dihasilkan para sastrawan yang bekerja sebagai wartawan.

PADA 1965 Jurnalisme Baru lahir. Seorang redaktur majalah Nugget, diberi tahu oleh Pete Hamill yang ingin menulis tentang dua wartawan: Jimmy Breslin dan Gay Talese. Tulisannya disebut “Jurnalisme Baru,” yang ternyata semacam biografi yang ditulis dengan mendalam. “New” itu sendiri dipakai oleh Tom Wolfe, wartawan New York Herald Tribune, yang pada 1973 menerbitkan buku berjudul The New Journalism. Kata “baru” itu hanya bersifat temporer dan lahir tanpa manifesto. Kebetulan pada kurun yang sama lahir aktivitas dan nama-nama the new poetry, the new humanist, the new left, dan lain-lain.

A new literary genre telah lahir dan itu adalah nonfiction novel, kata Tom Wolfe. Fakta yang digarap adalah sesuatu yang baru dan besar. Penggarapannya mendalam dan bergaya novel. Penulisnya terlibat di dalam masalah yang digarapnya. Norman Mailer pada 1968 menulis tentang demonstrasi antiperang tempat dia juga terlibat di dalamnya. Tulisannya diberi nama The Steps of the Pentagon. Sebelumnya dia menulis An American Dream (1965) dan Why are we in Vietnam (1967).

Jurnalisme Baru ini, dalam perkembangannya, dianggap sebagai salah satu picu ide perkembangan Jurnalisme Sastrawi pada 1990-an.

Mengapa Jurnalisme Satrawi dan Jurnalisme Baru berkembang dan disukai di Amerika Serikat? Ini terjadi karena perkembangan media komunikasi di sana sangat pesat. Kecepatan televisi dalam pemberitaan membuat media cetak merasa kalah bersaing. Media cetak lalu menemukan jurnalisme satrawi yang mendalam, terinci, akrab, dan enak dibaca.

Selain itu, di Amerika Serikat ada waktu yang cukup lama untuk semacam “pendidikan massal” buat menyukai dan kemudian mencintai karya sastra. Novel boom ini berlangsung selama 90 tahun! (1875-1965). Buku-buku karya sastra yang bermutu masuk sekolah. Murid-murid mendapat jam yang leluasa untuk memperbincangkan, melakukan apresiasi, dan menghargai karya para sastrawannya. Sayang di Indonesia tak ada pendidikan seperti itu. Jam pelajaran kesusastraan di sekolah lanjutan, sangat pendek. Masyarakat Indonesia yang gemar, apalagi menghargai dan membanggakan karya sastra bangsanya, sangatlah sedikit.

Anak-anak usia belajar dibiarkan menonton televisi tanpa batasan. Banyak mata tayangan yang mestinya untuk penonton usia dewasa, tak diberi rambu. Orang-orang tua membiarkan anak-anaknya leluasa menonton televisi tanpa bimbingan dan diskusi. Apa yang ditonton anak-anak, langsung dinikmati anak-anak begitu saja. Orang tua tidak memperbincangkannya. Keadaan yang demikian membuat anak-anak pasif menghadapi media massa. Ini menambah terus-menerus jumlah massa (khalayak) pasif media massa. Kepasifan tersebut mempunyai akibat beruntun pada kemalasan untuk membaca. Karya sastra yang baik makin jauh dari murid-murid sekolah. Dalam keadaan yang demikian, apa yang bisa diharapkan dari massa buku sastra Indonesia? Karya sastra hanya singgah sebentar menyentuh mereka. Pada giliran berikutnya, karya Jurnalisme Satrawi di Indonesia tertatih-tatih.

Apa yang terjadi kemudian? Para siswa jauh dari kepekaan rasa dan kehalusan budi. Peta sosialnya kemudian terbentang di depan mata, mereka jadi tukang berkelahi, perilakunya kasar, tak menghargai orang lain (termasuk guru dan orang tua lainnya), sikap tenggang rasa sangat kurang, dan sejenisnya.

Mengawinkan karya liputan investigatif dan teknik penulisan satrawi memang tidak mudah. Kedua hal memerlukan pekerjaan yang serius. Sering keahlian untuk keduanya tidak berada di dalam satu orang.

Hasil liputan yang serius akan mudah diikuti bila penyampaiannya akrab. Penyampaian yang kering, membuat orang tak tertarik untuk membaca dan menikmatinya. Untuk apa dibuat karya tulis jika tidak komunikatif?

Liputan yang baik dan teknik sajian sastrawan yang baik dapat dipelajari. Mungkin yang lolos dengan baik tak banyak karena tak semua orang menyukai untuk menggeluti kedua bidang tersebut.*

kembali keatas

by:S. Sinansari Ecip