SEKITAR 10 tahun lalu, di satu gereja kecil di Kasiguncu, di sebuah desa mungil sekitar 30 kilometer dari Poso Kota, berlangsung pesta perkawinan yang meriah. Sepasang mempelai yang jadi raja sehari itu Ningsih Tumbelaka dan Joni Pokure. Bahtera rumah tangga pun dibangun dan setahun kemudian, Mei 1992, lahirlah buah hati mereka yang pertama: Elsi Maturia.

Di sebagian tempat di Pulau Sulawesi, ada tradisi di mana suami dan istri dipanggil berdasarkan nama anak pertama mereka. Ningsih Tumbelaka karenanya jadi Mama Elsi dan Joni Pokure jadi Papa Elsi. Sehari-hari keluarga muda itu menggantungkan hidupnya pada pertanian. Memang sekitar 86 persen penduduk Poso tinggal di pedesaan dan bertani. "Setiap hari kita pe paitua (suami) pergi ke sawah. Saya sendiri kadang-kadang, nanti kalau musim batanang (tanam) padi atau ba pete (memetik) padi," kata Mama Elsi.

Di samping bertani, di desa Tangkura, desa asal Papa Elsi, sekitar tujuh kilometer selatan Kasiguncu, mereka memiliki kebun coklat seluas dua hektar dengan sekitar 200 pohon. Mereka keluarga sederhana. Papa Elsi juga pria lugu yang selalu mengalah pada istrinya. Kebahagiaan mereka bertambah ketika Elsi berusia tujuh tahun. Elsi mendapatkan seorang adik, yang diberi nama Asri Krisdayanti. Mama Elsi memang penggemar biduanita cantik dari Jakarta bernama Krisdayanti. Salah satu lagu kegemarannya adalah Menghitung Hari.

Tapi kehidupan Asri Krisdayanti dan Krisdayanti ini berbeda jauh. Di Kasigincu, kehidupan mereka penuh rutinitas. Pagi dan siang berjuang menantang terik mentari di sawah, lalu kembali menjelang malam. Tak ada mimpi untuk jadi bupati, gubernur, apalagi presiden. Paling jauh mimpi menyekolahkan anak agar kelak bisa jadi pegawai negeri. Pertarungan politik buat mereka urusan para pembesar dan cerdik pandai di kota-kota. "Torang ini orang kacili. Kita cuma ba pikir bagimana mo kase makang kita pe bini anak (Kami ini orang kecil. Saya cuma berpikir bagaimana memberi makan istri dan anak)," kata Papa Elsi.

TRAGEDI keluarga Elsi Maturia bermula pada Desember 1998, beberapa bulan sesudah tragedi besar mengoyak Jakarta, saat sekitar 3.000 orang mati dalam huru-hara anti-Presiden Soeharto. Runtuhnya rezim Soeharto menimbulkan ombak perubahan yang luar biasa di seluruh negeri. Mencairnya sentralisme kekuasaan secara mendadak, tanpa diikuti kesiapan sosial di daerah-daerah, menyebabkan integrasi sosial yang dibangun Orde Baru secara paksa runtuh satu per satu. Poso juga tak luput dari perubahan tersebut.

Kabupaten Poso dihuni sekitar 232 ribu jiwa. Sebagian besar penduduknya berasal dari suku Kaili, termasuk Papa Elsi dan Mama Elsi. Tapi Kaili masih terbagi jadi empat subkelompok dengan bahasa tersendiri, misalnya suku Lore. Selain itu ada kelompok Pamona di kabupaten Poso yang berbicara dalam satu bahasa dan hidup dekat Danau Poso. Suku Mori yang memiliki bahasa tersendiri, tinggal di Mori Atas. Di samping itu masih ada suku Wana, yang dikategorikan suku terasing.

Warna keragaman di Poso juga dapat dilihat dari komposisi agamanya. Menurut statistik kabupaten Poso, komposisi penduduk muslim sekitar 62,68 persen, Kristen 36,75 persen, Katolik 0,57 persen, dan sisanya beragama Hindu (kebanyakan orang dari Pulau Bali yang bertransmigrasi).

Ada beberapa versi tentang kerusuhan Poso. Versi yang paling populer mengatakan kerusuhan berakar pada konflik politik di tingkat elit pemerintah daerah Poso. Maxi Wolor, wartawan Surya di Palu, ibukota Sulawesi Tengah, yang juga ketua Aliansi Jurnalis Independen setempat, memaparkan pada saya di kantornya Januari lalu, bahwa akar persoalan adalah persaingan merebut jabatan bupati Poso. Persaingan ketat terjadi antara Arief Patanga yang muslim dan Yahya Patiro yang Kristen. Tapi, di luar kedua kandidat ini, bermunculan nama kandidat lain seperti, Abdul Muin Pusadan, Eddy Bungkudapu, Ismail Kasim, Mas’oed Kasim, dan seorang perwira polisi.

Kampanye enam kandidat itu bikin suhu politik Poso naik. Muncul selebaran-selebaran yang isinya mengatakan ada target-target politik tertentu masing-masing kandidat yang terkait dengan agama mereka. Ternyata selebaran itu dibuat oleh Akfar Patanga, salah seorang keluarga bupati lama, Arief Patanga. "Akfar Patanga kini mendekam di penjara Poso selama empat tahun," ujar Iskandar Lamuka, direktur Yayasan Sejati, sebuah organisasi nirlaba di Poso.

Pada Desember 1998, di tengah-tengah hujan selebaran dan intrik politik, terjadi sebuah perkelahian antara dua pemuda yang kebetulan berbeda agama: Kristen dan Islam. Kebetulan pula Desember itu bulan Ramadan, bulan yang disucikan umat Islam, saat seluruh umat Islam dianjurkan menunaikan ibadah puasa.

Si pemuda Kristen dikabarkan dalam keadaan mabuk. Iskandar Lamuka mengatakan berita perkelahian menyebar ke mana-mana dengan isu minuman keras. Secara spontan kalangan muslim bergerak menghancurkan lokasi-lokasi yang dianggap jadi sumber alkohol. Terjadi pengerahan massa, sembari memberikan ultimatum kepada pemerintah agar menertibkan minuman keras. Menurut Lamuka, massa main hakim sendiri. Mereka menghancurkan tempat-tempat minuman keras. Akhirnya merembet ke tempat-tempat yang mereka duga sarang kemaksiatan.

"Masalahnya menjadi rumit karena tidak ada tanggapan serius dari pemerintah daerah, sehingga masyarakat mengambil tindakan sendiri. Situasi semakin tegang ketika massa mulai melakukan tindakan yang destruktif," kata Lamuka pada saya.

Entah sengaja atau tidak, gerakan-gerakan itu dibalas dengan tindakan sama oleh kelompok Kristen. Satu hari, beredar isu sekelompok massa yang dipimpin Herman Parimo, hendak menyerbu rumah dinas bupati. Parimo adalah mantan aktivis Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah pada zaman Perang Rakyat Semesta 1950-an dan kebetulan beragama Kristen.

Isu penyerbuan itu kontan mendatangkan reaksi dari kalangan muslim walau Parimo membantah kabar angin tersebut. "Saya justru hendak mengamankan rumah dinas itu, karena kabarnya akan direbut oleh kelompok lain," ujar Parimo seperti ditirukan Lamuka.

Mana yang benar tak jelas. Repotnya, media Palu maupun Poso tak banyak membantu untuk melakukan verifikasi kebenaran kabar-kabar itu. Media setempat relatif buruk mutunya. Gosip, desas-desus, pernyataan orang, tanpa diperiksa kebenarannya, langsung diberitakan. Berseliwerannya isu-isu yang bagai hantu itu makin mempertegang situasi. Padahal Lebaran kian menjelang, yang kebetulan berdekatan dengan hari Natal 25 Desember 1998.

Tiga hari setelah Natal bisul itu pecah. Benturan fisik dengan senjata parang, panah, dan tombak tak terhindarkan di kecamatan Poso Kota, sebuah wilayah padat di tengah kota, yang berpenduduk sekitar 41 ribu jiwa dan luasnya 15 kilometer persegi. Kerusuhan ini dengan cepat menyebar melewati batas-batas kecamatan Poso Kota, melalui selebaran, juga cerita dari mulut ke mulut, yang terlontar dari mereka yang mengungsi karena takut. Opini yang beredar: Poso Kota terkena kerusuhan antaragama.

Akibatnya luar biasa. "Sebagian penduduk dari desa Ampana, kabupaten Parigi bahkan dari Palu, yang berpenduduk mayoritas Islam, mulai berdatangan ke Poso. Masjid dan gereja pun berubah fungsi. Dari fungsinya sebagai tempat penyiaran agama yang suci, kini menjadi wadah pengorganisasian dan corong untuk mengampanyekan perkembangan situasi teranyar," kata Iskandar Lamuka.

Ampana, Parigi, dan Palu, adalah nama-nama daerah di luar Poso. Pertikaian Desember 1998 itu membangkitkan solidaritas berdasarkan sentimen agama dari orang-orang yang tinggal di luar Poso.

"Jadi sejak kerusuhan 1998, sudah dikampanyekan bahwa konflik itu adalah konflik agama. Nuansa politik sepertinya tenggelam di tengah hiruk-pikuk emosi massa yang sedang memperjuangkan martabat agamanya masing-masing," tambah Maxi Wolor dari Surya.

Poso Kota rupanya bukan tempat yang strategis bagi kelompok Kristen. Karena kalah dari segi jumlah, mereka terpukul mundur oleh kelompok Islam. Tapi dalam perang, jalan mundur haruslah sambil melawan. Tindakan bumi hangus pun dilakukan. Massa Kristen yang mundur membakar kelurahan Sayo yang terletak di Poso Kota. Kelurahan ini jadi wilayah pertama yang menderita kehancuran fisik. "Kemenangan boleh dikata berada di pihak muslim," kata Lamuka.

IBARAT pembabakan dalam serial opera sabun, peristiwa Desember 1998 itu, oleh para pengungsi Poso yang saya temui, sering disebut kerusuhan episode pertama. Dari episode pertama hingga berikutnya, konfliknya makin tajam dan parah. Jika serial sinetron menghasilkan mimpi-mimpi indah, serial drama Poso melahirkan trauma dan tragedi yang memilukan. Luas wilayah konflik juga membesar, menyebar hingga ke pelosok desa Poso Pesisir yang terpencil, seperti dusun Sangginora yang berjarak sekitar 25 kilometer dari desa Tangkura.

Kerusuhan episode pertama berhasil diredam, terutama setelah pengadilan memutus bersalah dan memenjarakan Herman Parimo yang Kristen dan Akfar Patanga yang Islam. Dilambari dengan pendekatan agama dan budaya, pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemuka agama dari kedua kelompok berhasil menenangkan massa. Proses pemilihan bupati, yang diduga menyumbang besar dalam ledakan sosial itu, bisa juga dilaksanakan. Abdul Muin Pusadan, muncul sebagai bupati yang baru, sedangkan Yahya Patiro, dari Poso pindah ke Palu, jadi asisten sekretaris wilayah provinsi Sulawesi Tengah.

Pada awal 2000, di sebuah rumah sakit Poso, Mama Elsi tengah berjuang antara hidup mati menanti kelahiran anaknya yang ketiga. Tepat 1 Januari 2000 sang bayi lahir ke bumi Poso. "Saya memberi nama Jeni, karena ia lahir pada bulan Januari. Dan yang bekeng sanang, samua orang ba pesta akang depe hari jadi (paling menggembirakan, semua orang merayakan ulang tahunnya)," ujar Mama Elsi.

Mama Elsi mengatakan selepas melahirkan ia tak langsung pulang ke desa Kasiguncu. Beruntung ia karena Poso aman ketika itu. Mama Elsi dan Papa Elsi sulit mengerti mengapa orang beda agama harus saling bermusuhan. Di desa Kasiguncu, keragaman agama adalah biasa-biasa saja. Bukan hal luar biasa jika tetangga kiri-kanan berbeda agama. Bahkan mereka saling mempererat hubungan melalui ikatan pernikahan. "Kita pe kakak pe anak bahkan ada yang kaweng deng orang Bugis (Anaknya kakak saya bahkan ada yang menikah dengan orang Bugis)," kata Mama Elsi.

Suasana yang relatif aman itu berlangsung selama setahun. Tapi rasa saling percaya di antara masyarakat merosot drastis. Kata-kata sandi semacam, "Pak Nasir datang berobat lanjut ke Poso" yang berarti akan ada penyerangan kaum Nasrani ke Poso, masih dipakai di kalangan muslim. Gaya bahasa yang sama juga ada di kalangan kristiani. Kata "Nasrani" dalam frasa itu diplesetkan jadi "Pak Nasir." Ada sesuatu yang disembunyikan dan ini mencerminkan realitas sosial yang tegang.

Di tengah-tengah situasi itu, muncul pertarungan untuk memperebutkan jabatan sekretaris wilayah daerah (Sekwilda) atau orang nomor dua setelah bupati. Ada empat kandidat yang muncul, dua orang muslim, dua lainnya kristiani. Perebutan jabatan itu, lagi-lagi turut mengipasi suasana tegang dalam masyarakat Poso, karena semua berpikir, masing-masing kandidat membawa kepentingan agama masing-masing.

"Saya cukup lama berkeliling Poso saat itu. Ketegangan sangat terasa di mana-mana. Dan ketegangan itu sepertinya dipelihara. Pertemuan-pertemuan dalam masyarakat yang membicarakan tentang figur Sekwilda semakin sering terjadi," ujar Iskandar Lamuka.

Iskandar Lamuka asli kelahiran Poso dan beragama Islam tapi Lamuka termasuk satu dari sedikit cendekiawan Poso yang banyak bekerja membantu meredakan konflik antaragama di Poso. Yayasan Sejati, tempatnya bekerja, memang khusus bekerja pada resolusi konflik.

Dalam situasi mencekam itu, Mercusuar, harian yang terbit di Palu, memuat wawancara dengan Halaini Umar, salah seorang anggota parlemen provinsi Sulawesi Tengah, mewakili daerah pemilihan Poso dari Partai Persatuan Pembangunan. Isi wawancara agak keras tapi intinya Halaini Umar mengingatkan Bupati Poso Abdul Muin Pusadan dan parlemen Poso untuk memperhatikan aspirasi rakyat Poso, secara tersirat terutama mereka yang muslim, karena kalau tidak, kerusuhan bakal kembali terjadi.

Hasil wawancara itu jadi headline dan di-blow-up besar-besaran oleh harian Mercusuar, yang kini bernama Radar Sulteng, sebuah penerbitan di bawah payung Jawa Pos News Network dari Surabaya. Isinya terkesan bias dan tidak proporsional. Dua wartawan Mercusuar yang terlibat dalam wawancara itu belakangan dipanggil polisi untuk dimintai keterangan.

Tiga hari setelah pernyataan Halaini Umar dimuat Mercusuar, kebetulan terjadi perkelahian dua pemuda. Lagi-lagi muslim dan kristiani. Satu malam seorang pemuda muslim yang mengendarai sepeda motor Suzuki Crystal dihadang sekelompok pemuda Kristen, yang tengah mabuk di desa Lambogia. Perkelahian tak bisa dihindari. Merasa kalah, pemuda muslim ini lari, pulang memanggil teman sekampung di desa Kayamanya, dan balik menyerang pemuda desa Lambogia. Kedua desa terletak di kecamatan Poso Kota.

Maka pada 16-17 April 2000, kerusuhan episode kedua berkobar. Kerusuhan kali ini terjadi dalam skala yang lebih besar dan mengerikan. Massa dari kedua belah pihak, sama-sama memanggul senjata. Orang lalu lalang di jalan-jalan, bebas menenteng senjata tajam, seperti panah, parang, dan tombak. Aparat keamanan, dengan alasan kekurangan personel, tak bisa melerai perseteruan massal itu.

Tiang listrik ditabuh bertalu-talu pertanda perang dimulai. Kedua kelompok berhadap-hadapan, Islam di sini, Kristen di sana. Wajah-wajah beringas, mata memancarkan kebencian. Mereka bersenjata tajam. Tak jelas apakah mereka hendak saling menghabisi demi kesucian agama dan harga diri atau karena dendam yang bertumpuk-tumpuk menindih ulu hati.

Tapi, walau posisi kedua kelompok beragama itu siap siaga, menurut Iskandar Lamuka, sebenarnya kelompok Kristen tak melakukan perlawanan berarti. Mereka mengungsi ke desa Tentena, yang terletak di kecamatan Pamona Utara dan desa Tagotu, di kecamatan Lage. Kedua desa ini mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Karena tidak ada perlawanan dari kelompok Kristen, ditambah imbauan tak kunjung henti untuk mengakhiri peperangan, warga muslim perlahan-lahan bergerak pulang. Tragisnya, dalam perjalanan pulang, terjadi peristiwa di luar dugaan. "Orang yang sedang pulang itu ditembak oleh aparat Brimob (Brigade Mobil) yang baru tiba dari Palu. Peristiwa dadakan ini spontan memicu amarah masyarakat muslim. Akibat tembakan itu, isu sempat bergeser dari konflik agama menjadi konflik antara masyarakat dengan Brimob. Bahkan sudah ada pengorganisiran untuk menghambat kepulangan Brimob ke Poso dan asrama Brimob di Poso sudah dihancurkan masyarakat," tutur Lamuka.

Maka ketegangan yang agak mereda tadi, kembali meninggi dan kali ini terjadi pertikaian serius. Dalam episode kedua sekitar 400 rumah hancur, tiga orang tewas, empat mengalami luka-luka, lima unit asrama polisi berantakan serta sebuah gereja dibakar massa. Kerugian material ditaksir sebesar Rp 21 miliar. Kecamatan Poso Kota dalam sekejap jadi kota mati dengan bangkai-bangkai rumah berserakan di mana-mana.

Pada episode kedua inilah bala bantuan mulai bermunculan dari luar Poso. Baik berupa makanan, obatan-obatan, bahkan senjata. Mendengar Poso Kota diserang kelompok Kristen yang berbasis di Tentena, massa muslim dari Parigi dan Ampana berbondong-bondong memasuki kota Poso. Keberadaan senjata api, baik rakitan maupun organik, bukan hal yang mengagetkan lagi. Kampanye yang mengobarkan kebencian datang dan pergi silih berganti. Kosakata perang menelan habis segala jenis imbauan damai yang datang dari pejabat pemerintah, para tetua adat, dan pemuka agama. "Saya tahu persis bahwa di balik bantuan-bantuan kemanusiaan pasti disertai dengan suplai persenjataan," ujar Lamuka.

KERUSUHAN April 2000 berhasil diredam setelah datang bantuan dari pihak tentara dan polisi dalam jumlah besar. Tak kurang 600 pasukan dikirim ke Poso. Tapi pertengkaran sudah permanen. Kedua belah pihak sepertinya telah mempersiapkan segalanya untuk menghadapi kerusuhan yang lebih besar.

Pada 22 Mei 2000, beredar isu kelompok Kristen akan menyerang Poso Kota. Tiang-tiang listrik kembali ditabuh bertalu-talu, pengeras suara di masjid-masjid tak henti-hentinya mengabarkan berita penyerangan ini kepada masyarakat, dan mengobarkan panji-panji agar warga muslim siap-siap berjihad.

Pihak pemerintah daerah sebenarnya telah mengambil tindakan antisipasi. Pernyataan-pernyataan damai dan imbauan agar masyarakat tetap tenang dan tak termakan provokasi dilakukan di mana-mana. Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu, imbauan pemerintah itu tak digubris. Ada kepercayaan kuat dalam masyarakat bahwa pemerintah dan aparat keamanan tak bisa dipercaya kata-katanya.

Dalam situasi yang sangat tegang itu, muncullah kisah petualangan Fabianus Tibo, seorang pensiunan tentara, dan 13 orang temannya. Hari itu, 22 Mei 2000, sekitar pukul dua dini hari, kelompok Tibo bergerak dari kelurahan Gebang Rejo memasuki Poso Kota. Menurut Tibo, kepergiannya ke Poso Kota untuk mengamankan sebuah gereja yang dikabarkan hendak dibakar.

Melihat gerakan kelompok Tibo, kata-kata sandi segera dikirim. "Pak Nasir akan berobat ke Poso, malam ini atau besok." Rupanya Tibo dan kelompoknya yang berpakaian serba hitam dan menggunakan cadar tak tahu jalan menuju gereja. Mereka menyandera seorang pegawai bank BNI yang sebagai penunjuk jalan. Karena gelagat mereka yang mencolok itu, seorang polisi bernama Komarudin Ali mengambil keputusan untuk mencegat mereka.

"Saya polisi," ujar Ali, mencabut pistolnya.

Tapi Ali kalah cepat. Ali keburu kena sabetan pedang Tibo hingga tewas.

Kejadian itu disaksikan banyak warga setempat, sementara Tibo terus berjalan memasuki Poso Kota. Di sepanjang perjalanan ia menyuruh ibu-ibu masuk ke dalam rumahnya. Ketika memasuki kelurahan Kayamanya, ada seseorang yang mencoba menghalangi mereka, juga bernasib seperti Ali, tewas kena bacokan.

Memasuki kelurahan Moengko Baru, seorang mantan lurah kembali berusaha mencegat kelompok Tibo, tapi ia juga dibunuh.

Di Poso Kota bunyi tiang listrik yang ditabuh bertalu-talu bergema sepanjang malam. Kelompok muslim mulai berbondong-bondong menuju ke gereja tersebut. Tibo dan kawan-kawannya melawan banyak orang. Gosip beredar bahwa kelompok Tibo dilindungi ilmu kebal senjata, sehingga mereka tak gentar menghadapi massa yang banyak. Tapi, rupanya stamina kelompok Tibo makin lama makin surut, sehingga malam itu mereka berhasil dikalahkan. Tibo lari tapi tiga orang sempat tertangkap, dua laki-laki dan seorang perempuan. Kelak, Fabianus Tibo serta dua rekannya, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu, dalam persidangan pengadilan Palu divonis hukum mati pada 5 April 2001.

Aksi Tibo menggemparkan warga muslim. Mereka membalas dengan membakar gereja Santa Theresia dan rumah-rumah penginapan. Seluruh pelosok Kota Poso diubek-ubek untuk mencari otak dari kelompok Kristen. Tindakan ini ditanggapi serius oleh kelompok Kristen. Belajar dari pengalaman periode pertama dan kedua, masyarakat Kristen, yang relatif kurang terorganisasi ketimbang warga muslim, merapatkan barisan dan melakukan pengorganisasian yang intensif, untuk membalas serangan.

Ketika kelompok muslim belum sepenuhnya siap, tanpa diduga mereka diserang kelompok Kristen dari lima penjuru kota Poso. Perang terbuka berkecamuk di sepanjang perbatasan Poso Pesisir dengan Poso Kota, perbatasan kecamatan Tojo dengan Poso Kota, perbatasan kecamatan Lage dengan Poso Kota, dan di wilayah-wilayah pegunungan. Perang periode ketiga ini berlangsung berhari-hari dan posisi kelompok muslim benar-benar terdesak. Bala bantuan dari luar tak bisa masuk, karena jembatan dirusak dan jalan-jalan menuju Poso Kota dihalangi dengan kayu gelondongan. Tapi kelompok Kristen tak berhasil memasuki Poso Kota karena perlawanan luar biasa oleh kelompok muslim.

Dalam perang terbuka yang melibatkan ribuan orang itu, senjata organik mulai memuntahkan peluru ke hamparan massa. Aparat keamanan dibuat tak berdaya dan bertahan seadanya di bangunan-bangunan pemerintah yang bertempat strategis. Gagal memasuki Poso Kota, kelompok Kristen kemudian membumihanguskan beberapa kecamatan di Poso Pesisir.

Dengan dibakarnya Poso Pesisir, dimulailah cerita panjang pelarian keluarga Papa Elsi, yang telah puluhan tahun mukim di desa Kasiguncu, kecamatan Poso Pesisir. Bersama ribuan pengungsi lainnya, mereka berhamburan menyelamatkan diri. Sebagai orang Kristen, tempat yang dituju adalah desa Tangkura, desa asal Papa Elsi, sekitar tujuh km dari Kasiguncu. Di Tangkura, mereka tinggal selama setahun, untuk kemudian kembali berlari menghindari maut yang ditebarkan atas nama agama.

DALAM berbagai tindak kerusuhan yang berlangsung di beberapa wilayah Indonesia, fakta yang ditemukan di lapangan adalah aparat keamanan, baik polisi maupun militer, sering kali gagal mencegah meledaknya huru-hara.

Ada dua kubu penafsiran. Kubu pertama mengatakan militer, setidaknya individu-individu militer atau polisi, ikut bermain dalam konflik berdarah. Pendapat ini antara lain dikemukakan Iskandar Lamuka dari Yayasan Sejati dan Dedi Askary dari Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia di Palu. Lamuka menunjuk penembakan oleh pasukan Brimob terhadap penduduk muslim pada kerusuhan Poso episode kedua sebagai contoh.

Askary mengatakan keterlibatan aparat keamanan disebabkan tiga hal. Pertama, mental aparat. Kedua rantai komando. Ketiga, konflik internal di kalangan mereka. "Masalah mental misalnya, kita bisa lihat pada kejadian di desa Mapane, ketika pasukan Brimob menganiaya 24 warga di luar batas kewajaran. Akibatnya, aparat keamanan diusir masyarakat setempat," kata Askary. Mapane adalah desa dekat Kasiguncu, tempat terjadinya pemukulan oleh Brimob karena ke-24 warga itu dituduh menembak Ardiansyah, anggota Brimob, pada 10 Oktober 2001.

Kubu kedua berpendapat aparat keamanan gagal karena keterbatasan personel. Pendapat ini paling sering dikemukakan perwira militer dan polisi. Mereka menunjuk banyak contoh. Dari Maluku hingga Poso, dari Aceh hingga Papua. Kekurangan ini makin serius sesudah militer dipisah dari polisi pasca-rezim Presiden Soeharto. Jumlah polisi Indonesia yang tidak lebih dari 700 ribu personel, sangat kecil dibanding penduduknya sebesar 200 juta orang. Soal ini makin serius karena sudah jadi rahasia umum ada persaingan antara polisi dan tentara. Di berbagai tempat sering terjadi perkelahian massal antara polisi dan tentara. Mereka bukannya bekerja sama memadamkan kerusuhan malah ikut terlibat di dalamnya.

Pendapat siapa yang benar tak jadi masalah. Tapi kedua kubu minimal mengakui ketakmampuan aparat menjaga keamanan. Di Poso ketakmampuan aparat ini membuat segala upaya perdamaian berujung kegagalan. Misalnya upaya damai yang dilakukan Gubernur Sulawesi Tengah H.B. Paliudju pada Agustus 2000. Paliudju melaksanakan upacara adat Rujuk Sintuwu Maroso dengan tujuan mencapai perdamaian Tanbu tana. Prosesi Tanbu tana ini pada prinsipnya meletakkan dasar kultural yang kuat demi tegaknya perdamaian.

Ketua adat Poso A. Tabando ikut mendukung upaya Rujuk Sintuwu Maroso. Dalam pernyataan bersama, yang ditandatangani wakil-wakil dari kelompok Kristen maupun Islam, disepakati upaya penegakan hukum dalam menyelesaikan masalah Poso. Mereka yang nyata terlibat tindak pidana harus diadili.

Bagaimana hasil dari perjanjian damai itu? Hanya dua kata: gagal total!

Pembakaran gereja, masjid dan rumah-rumah penduduk tetap terjadi. Kerusuhan dalam skala kecil meledak hampir di tiap tempat. Sweeping mobil tak henti-hentinya dilakukan. Puncaknya terjadi ketika ada pembantaian terhadap wanita dan anak-anak di Buyung Katedo pada Februari 2001. Aksi balasannya dikenal sebagai episode keempat.

Data pemerintah Sulawesi Tengah per Juni 2001 menyebutkan sedikitnya 3.738 ribu rumah terbakar dan 650 rumah lainnya tak bisa lagi dihuni. Data dari polisi Sulawesi Tengah per September 2001 mencatat 258 orang meninggal dunia dengan rincian 252 warga, dua tentara, dan empat polisi. Korban luka berat 103 orang warga dan tiga polisi. Korban luka ringan 28 warga dan dua polisi. Polisi juga mencatat empat warga dan polisi dinyatakan hilang.

Ketakmampuan aparat pemerintah daerah dan keamanan dalam melindungi warga, menyebabkan solidaritas dari luar Poso terus mengalir. Salah satunya dari Laskar Jihad Ahlussunnah wal Jamaah, pimpinan Ja’far Umar Thalib dari Yogyakarta. Menurut Ayip Syarifuddin, ketua Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah, apa yang terjadi di Poso, sejatinya adalah perang agama. "Boleh juga dikatakan awal konflik ini disebabkan kecemburuan pihak tertentu karena tak mendapat jatah kursi jabatan di tingkat pemerintah daerah. Sekali lagi, itu hanya percikan atau pemicu awal. Tapi, ada sebab laten yang selama ini mengintai masyarakat kabupaten Poso, bahkan masyarakat di kabupaten lainnya di Indonesia. Penyebab laten itu adalah sikap ambisi dari kalangan misionaris (Kristen) untuk melakukan pemurtadan terhadap umat Islam," ujar Syarifuddin dalam situs web Laskar Jihad.

Karena ini perang agama, maka penderitaan umat Islam Poso juga menjadi penderitaan umat Islam di luar Poso. Dengan dasar pemikiran ini, pada 25 Agustus 2001, Muhammad Harits dan Abu Ibrahim, mewakili Laskar Jihad, menemui Bupati Poso Abdul Muin Pusadan di kantornya. Dalam pertemuan selama 90 menit itu, Laskar Jihad menyampaikan maksud kedatangan mereka di Poso, yakni untuk memberikan bantuan medis, pendidikan, dan pemberantasan tempat-tempat maksiat. Harits dan Ibrahim mengutip Pusadan yang berpesan agar Laskar Jihad tak ragu-ragu mempertahankan kota Poso dari "serangan musuh."

"Ketika kami tanyakan kemungkinan Poso diserang oleh perusuh, Bupati menyatakan, ‘Apabila kita diserang, maka mempertahankan Poso adalah jihad fisabilillah’," ujar Harits dan Ibrahim.

Hadirnya Laskar Jihad di Poso makin menambah deretan kekuatan dari luar Poso yang terlibat dalam kerusuhan. Dari kelompok Kristen, santer terdengar bahwa mereka juga mendapatkan bantuan dari Laskar Manguni, Laskar Kristus, dan Front Kedaulatan Maluku, yang berasal dari Maluku.

Tapi yang menonjol kehadiran Laskar Jihad. Organisasi milisi itu secara resmi mengatakan mengirim sekitar 3.000 pasukan jihad ke Poso. Sebagian besar berasal dari bumi jihad Ambon yang juga porak-poranda akibat konflik antaragama. Keterlibatan Laskar Jihad di Poso, ditambah dengan perkembangan situasi politik internasional pascapenyerangan World Trade Center, New York, pada 11 September 2001, menimbulkan beberapa pernyataan yang menghubungkan Laskar Jihad dengan kelompok Al-Qaidah pimpinan jutawan Arab Saudi Osama bin Laden.

Itu dimulai pada 12 Desember 2001 ketika kepala Badan Intelijen Nasional A.M. Hendropriyono mengatakan bahwa kerusuhan Poso disebabkan kelompok yang memiliki hubungan dengan Al-Qaidah. Hendropriyono mengatakan bahwa di Poso, tepatnya di desa Kapompa, jadi markas latihan anggota gerakan Al-Qaidah. Tudingan Hendropriyono itu membuahkan reaksi balik karena dianggap tanpa dasar dan memojokkan umat Islam.

"Kami belum menemukan ada indikasi keberadaan Al-Qaidah dan RMS (Republik Maluku Selatan) di Poso. Bahkan kami sudah membentuk tim untuk menyelidiknya, tapi hingga kini belum ditemukan ada indikasi itu," ujar Zainal Abidin Ishak, kepala kepolisian Sulawesi Tengah, seperti dikutip Radar Sulteng.

Hendropriyono berkelit dengan samar-samar. Bukti-bukti memang tak pernah diungkap. Desa Kapompa, misalnya, yang disebut sebagai markas latihan Al-Qaidah, mayoritas penduduknya ternyata beragama Kristen. Tapi, karena Poso telah jadi daerah perang, maka keberadaan kamp-kamp militer jelas tersedia. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kantong-kantong kegiatan militer itu memang ada misalnya, Poso Kota, di daerah pegunungan sekitar Pamona Utara dan Lage. Di wilayah-wilayah itu, kedua kelompok yang bertikai sama-sama mengadakan latihan perang.

Latihan perang. Senjata. Perkelahian massa atas nama agama. Maka keragaman Poso tinggal kenangan. Persaudaraan, pluralisme, dan toleransi jadi sesuatu yang nista. Saudara dipaksa bercerai-berai dan tetangga yang berbeda keyakinan jadi musuh terdekat. Semboyan kabupaten Poso, sintuwu maroso (bersatu teguh) berubah jadi sintuwu molonco, yang artinya "sepakat lari."

SAYA bertemu muka dengan keluarga Elsi Maturia, di Dongi-Dongi, sebuah tempat pengungsian di tengah-tengah Taman Nasional Lore Lindu, sekitar 80 kilometer dari kota Palu. Saya sebagai seorang muslim, selalu terngiang-ngiang oleh pernyataan Darwis Waru dari Gamma, bahwa selama kerusuhan memanas, wartawan muslim tak bisa memasuki wilayah yang dikuasai kelompok Kristen. Ini yang memberi motivasi pada diri saya untuk mencari pengungsi yang kristiani.

"Saya wartawan yang sedang meliput kehidupan pengungsi," ujar saya memperkenalkan diri pada Papa Elsi.

Perkenalan itu sungguh mengharukan. Oleh keluarga yang telah hancur-berantakan karena konflik, saya disuguhi secangkir kopi panas dan umbi rebus campur kelapa. Saya berusaha memancing banyak informasi tapi Papa Elsi bukan narasumber yang artikulatif. Bicaranya sangat pelan, dan sulit menangkap pertanyaan saya. Pembicaraan didominasi Mama Elsi, perempuan yang lugas, yang bercerita dengan lengkap apa yang dialaminya.

Sejak lari dari Kasigincu pada kerusuhan periode kedua Mei 2000, keluarga muda Papa dan Mama Elsi bermukim di desa Tangkura. Keluarga kecil ini jadi potret duka derita yang dirasakan rakyat kecil, Kristen maupun Islam, akibat konflik agama yang berkepanjangan. Kini mereka terdampar di kamp-kamp pengungsian maupun rumah-rumah penampungan yang berserakan di kota Palu, Parigi, dan Tentena. Mereka bertahan hidup dari bantuan seadanya yang diberikan oleh pemerintah maupun organisasi nirlaba. Derita para pengungsi itu semakin meyakinkan saya bahwa perang atas nama apapun adalah perbuatan barbar.

Di Tangkura, Papa Elsi mengerjakan kebun coklatnya. Mama Elsi membuka kios kecil-kecilan depan rumah. Elsi Maturia, anak tertua keluarga ini, juga sudah kembali memasuki bangku sekolah dasar.

Keluarga itu mencoba menjahit kembali kenangan indah masa lalu dari sisa-sisa kerusuhan di Kasiguncu. Ternyata para pembela iman, baik dari pihak Kristen maupun Islam, tak memberi kesempatan pada mereka untuk berlama-lama menikmati kedamaian. Para pembela iman ini seolah-olah sepakat seluruh warga Poso harus menderita bersama. Tak boleh ada yang hidup tenang.

Rabu pagi 28 November 2001, tiba-tiba penduduk desa Tangkura berhamburan ke luar rumah. Mereka seperti beradu cepat. Mama Elsi mengatakan ia sendiri hendak pulang ke rumah ketika tetangganya berteriak-teriak, "Eeh Mama Elsi ngoni pe rumah so tabakar. Dorang so datang, capat lari. So kamu pe rumah yang lebe dulu kana (Eeh Mama Elsi rumahmu sudah terbakar. Mereka (Pasukan Putih) sudah tiba, cepat lari. Rumah kalian yang pertama-tama terbakar)."

"Paitua waktu itu ada di kobong, jadi torang so nyanda baku dapa (Suami waktu itu masih di kebun, jadi kami tidak sempat bertemu)," ujar Mama Elsi.

"Apakah sempat membawa barang-barang dari rumah?" tanya saya.

"Nyanda mungkin. Itu peluru so kurang liwat-liwat di kapala, siuung, siuung, ditambah rentetan tembakan senapan so nyanda baku tau. Bulum lagi itu bom meledak di mana-mana (Tak mungkin. Sebab peluru beterbangan di dekat kepala kami, siuung, siuung, ditambah rentetan tembakan yang kacau-balau. Belum lagi bom meledak di mana-mana)."

"Bagaimana cara mereka menembak?"

"Tidak peduli sapa di muka dia bage. Tidak ada itu dorang bilang, ‘Hei itu jangan.’ Hm tidak ada, pokoknya dia bage. Mo malawang? Dorang tambah bage (Tak peduli, siapa yang di depannya ditembak. Tak ada yang mengatakan, ‘Hei itu jangan.’ Hm, tidak ada, pokoknya ditembak. Mau melawan? Mereka tambah menembak)."

Menurut Mama Elsi, sehari sebelumnya ia berbelanja barang kebutuhan pokok untuk dijual di kiosnya. Tapi siapa sangka semua belanjaan itu musnah dalam sehari. Hidup baru yang coba mereka bangun selama setahun terakhir turut musnah. Bersama penduduk Tangkura lainnya, mereka terpaksa lari meninggalkan desa Tangkura, menyelamatkan nyawa dari orang-orang beringas yang menyerbu desa itu.

Rumah-rumah desa Tangkura dibakar dan dibuat rata dengan tanah. Dua orang meninggal dunia. Satu lelaki tua yang pikun dan satunya perempuan tua yang terbakar bersama rumahnya. Mama Elsi sendiri mengajak ketiga anaknya lari meninggalkan Tangkura.

Menurut laporan Laskar Jihad, dalam pengejaran hingga ke Sangginora, desa Dewua berhasil dihancurkan oleh pasukan muslim. "Empat kongkoli (Pasukan Merah) tewas sementara dari pihak muslim tidak ada korban. Allahu Akbar," bunyi laporan itu.

Bersama ribuan pengungsi lain, sekitar pukul dua siang, Mama Elsi dan ketiga anaknya berjalan kaki 18 kilometer menuju desa Sangginora. Desa-desa sekitar Tangkura seperti, Patiwunga, Betalemba, dan Dewua, juga diserang. Sepanjang perjalanan Mama Elsi menggendong si bungsu Jeni, yang baru berusia hampir dua tahun, sedangkan Elsi Maturia, yang berumur delapan tahun, menggendong adiknya, Asri Krisdayanti.

Mereka berjalan mendaki sejauh delapan kilometer dan menurun 10 kilometer. Tak ada pakaian ganti, juga makanan. Bukan main susahnya. Mereka masih juga dikejar Pasukan Putih yang menggunakan tiga truk. Ada tetangga Mama Elsi yang membawa sapi sampai desa Sangginora. Tapi setelah di Sangginora, sapi-sapi itu dirampas Pasukan Putih dan ditaruh ke atas truk. "Pokoknya barang yang torang ada bawa kong dong dapa, dorang bawa pulang. Barang yang laeng tabakar (Pokoknya barang yang kami bawa dan ditemukan Pasukan Putih semua di bawa pulang. Barang lainnya terbakar)," ujar Mama Elsi.

Di sepanjang perjalanan, teriakan dan tangisan berbaur menjadi satu. Seorang perempuan hamil besar ikut lari dalam rombongan itu. Maria Kakunsi, nama perempuan itu. Sepanjang jalan ia terus merintih, mengeluh sambil terus-menerus memanggil nama Yesus Kristus. Perasaan takut terus dikejar-kejar dari belakang oleh para pembunuh terus membayangi, ditambah ledakan bom yang terdengar di sana-sini. Penderitaannya semakin lengkap saat tak satu pun aparat keamanan yang terlihat bisa dimintai bantuannya.

MENURUT Suwahyuhadji, komandan dari Komando Resort Militer 132 Tadulako, seperti dilaporkan Radar Sulteng, tentara ditarik dari lokasi kerusuhan karena jumlahnya tak memadai. Massa yang terlibat kontak senjata jumlahnya sekitar 800 sampai 1.000 orang. "Aparat TNI yang berpos di Tabalo saat itu berjumlah delapan orang. Karena jumlah massa dengan aparat tidak seimbang dan untuk menghindari hal yang lebih buruk, delapan anggota TNI mengambil taktik langkah mundur sambil memberikan tembakan ke udara."

Karena alasan klasik aparat, pengungsi tak berdosalah yang menuai derita. Menurut Mama Elsi, akibat ditariknya tentara itu, rombongan mereka harus menyelamatkan dirinya sendiri. Dari desa Sangginora, tempat sapi-sapi dirampas Pasukan Putih, rombongan ini memutuskan untuk beristirahat. Tapi baru sehari mencicipi ketenangan, tak lama kemudian Sangginora diserang dan dibakar oleh perusuh, hingga akhirnya para pengungsi memutuskan masuk hutan rimba yang jaraknya lima kilometer dari desa Sangginora. Mereka berjalan masuk hutan yang di kiri kanannya jurang dalam. Mereka bermalam selama tiga hari, tanpa pakaian ganti, dan persediaan makanan. Celakanya, selama tiga malam itu hujan turun deras.

"Itu ade kacili sampe bahosa. Dinging sadiki jo skarang ini dia langsung bahosa (Itu adik kecil sampai terkena asma. Saat ini dingin sedikit saja, ia langsung terkena asma)," kata Mama Elsi.

Di dalam hutan, onak masih hal biasa bagi para petani yang berkaki kasar itu. Tapi bagaimana harus menyusui anak-anak kecil? Rengekan anak-anak yang minta makan? Atau bagaimana jika ibu hamil macam Maria Kakunsi tiba-tiba melahirkan?

Menjelang tengah malam kedua, seorang ibu dari transmigran asal Bali hendak melahirkan. Tragisnya? Perjuangan sang ibu untuk melahirkan anaknya berakhir dengan kesedihan. Bayi itu tak sempat menangis, Tuhan keburu memanggilnya. Bayi yang masih merah itu langsung saja digantung di atas pohon dengan sehelai kain. Tak ada proses agama yang pantas kecuali doa-doa memohon berkat keselamatan.

Setelah menyaksikan proses kelahiran berikut kematian yang tragis itu, para pengungsi dihadapkan pada tantangan mendiamkan anak-anak kecil. Mereka tak membawa bekal. "Untung ada tetangga yang bawa beras dan itu yang torang baku berbage no (kami bagi-bagi)," kata Mama Elsi.

Para lelaki dewasa melarang menyalakan api dan lampu di dalam hutan. Api dan lampu perlambang kehidupan. Gelap gulitanya hutan ditambah guyuran hujan lebat, justru makin meyakinkan para pemburu bahwa kehidupan mereka telah musnah. Kalau tanda-tanda kehidupan masih ada, itu semacam undangan bagi sang maut untuk mendatanginya. Tapi bagaimana dengan anak-anak yang biasanya takut kegelapan?

"Susahnya minta ampun. Waktu di hutan rimba, ada yang bilang ‘Jangan kase ribut itu ade-ade, napa dorang ada keker-keker pa torang. Kalau dorang dapa lia pa torang, kurang kage lempar akang bom.’ Terpaksa pe stengah mati kase badiam anak-anak, wuiih. Ini lagi yang kacili pe cerewet, sementara itu tetangga so bamara. ‘Jang kase baribut itu ade,’ bagitu dia bilang (‘Coba diamkan itu anak-anak, sebab mereka (Pasukan Putih) sedang mencari-cari kita. Kalau kita sampai terlihat, bisa-bisa kita dilempar bom.’ Padahal betapa susahnya mendiamkan anak kecil, wuiih. Mana lagi si Jeni sangat cerewet, sementara tetangga sudah marah-marah. ‘Coba diamkan itu anak kecil,’ katanya)."

Menghadapi kesulitan itu Mama Elsi terpaksa menutup mulut Jeni pakai tangan. Papa Elsi mengatakan si kecil Jeni memang tak bisa diam. Kepalanya sakit karena terkait dengan ranting kayu waktu mereka berjalan di malam gelap.

"Hmm, so nimbole cirita itu torang pe susah. Waktu itu so tidak ada harapan hidup, torang samua so loyo (Hmm, sudah tak bisa diceritakan lagi kesusahan kami. Waktu itu kami sudah tak punya harapan hidup, kami semua sudah letih)," katanya.

TANDA-tanda kehidupan baru tampak ketika mereka ke luar dari hutan. Para pengungsi ini tiba di desa Temu. Mereka di sebuah lahan kosong di bawah guyuran hujan lebat. Di tengah-tengah guyuran hujan lebat dan tubuh lemah-lunglai, akibat kurang makan, entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada mobil milik orang Cina, yang memberikan bantuan supermie sebanyak tiga kardus.

Mereka sempat berebut supermie. Masalahnya, mau dimasak pakai apa? Akhirnya mereka pinjam belanga pada pemilik kebun untuk memasak air panas dan supermie. Walau jumlahnya terbatas untuk memenuhi ratusan perut yang keroncongan, tetap saja supermie itu membantu. Keluarga Elsi baru mendapatkan makanan cukup setelah tiba di desa Hae. Makanan itu diberikan oleh pasukan Brimob. Tapi, makanan khusus Brimob, ternyata tak bisa dimakan anak di bawah lima tahun. “Nanti kami belikan supermie,” ujar Mama Elsi menirukan seorang polisi.

Ironisnya, kekerasan itu tak selamanya mendatangkan kerugian. Bagi sebagian orang, perang adalah sarana untuk mendapatkan keuntungan. Itulah yang terjadi saat para pengungsi ini dibawa ke kecamatan Lore Utara dengan menggunakan mobil truk milik Brimob. Para pengungsi dengan gembira berbondong-bondong naik truk tersebut, karena merasa jiwanya terbebas dari maut. Tapi, siapa menduga bahwa per kepala dipungut uang Rp 10 ribu.

“Mana torang (kami) ada uang sebesar itu. Abis torang lari deng tangan kosong (kami khan lari dengan tangan kosong). Sungguh mereka tidak mengerti dengan kesulitan kami,” ujar Mama Elsi.

Untung ada ipar Mama Elsi yang yang sudah duluan mengungsi di sana. Dia yang membayar Papa dan Mama Elsi.

Di tempat pengungsian itu mereka diberitahu akan ada pembagian jatah makan. Seluruh pengungsi berbahagia dan terharu karena ada yang memperhatikan mereka. Tapi makanan itu hanya nasi sebungkus tanpa lauk-pauk kecuali garam. Mama dan Papa Elsi tak makan karena jatah itu hanya cukup untuk ketiga anaknya. Keluarga Elsi Maturia hanya bertahan dua hari di Napu.

Mereka dijemput oleh kakaknya yang sudah lebih dulu mengungsi dan saat itu sudah tinggal di Dongi-Dongi, sebuah tempat yang terletak di tengah-tengah areal taman nasional Lore Lindu.

“Yah ini jo torang pe rumah, dinding papan stenga deng atap rumbia (Yah inilah rumah kami, dinding papan setengah dan beratap daun rumbia). Dibandingkan dengan rumah di Tangkura dan Kasiguncu, nyanda (tidak) ada apa-apa. Tapi yang penting hidup aman,” ujar Papa Elsi kepada saya.

Dongi-dongi, yang terletak 10 km dari Napu, bukan sebuah desa yang sah di mata pemerintah Donggala maupun Poso. Areal seluas 4.000 hektar yang berlokasi di taman nasional Lore Lindu itu, justru jadi ajang rebutan antara pengungsi yang mendiami lokasi itu dengan pemerintah daerah. Kehadiran sekitar 1.000 kepala keluarga di sana dianggap tindakan kriminal.

Jadi dengan bermukim di tanah yang masih bermasalah, hidup keluarga ini masih belum pasti. Mereka bersikeras tak akan pulang, karena tak yakin dengan keamanan desanya. “Lebe bae di sini, daripada di Poso. So kurang kage ada bom atau tembakan pistol (Lebih baik di sini, ketimbang di Poso. Setiap saat tiba-tiba ada bom dan tembakan pistol),” ujar Mama Elsi.

“Tapi khan sudah ada deklarasi Malino?”

“Yah, torang lia jo kalu sampe dimana. Soalnya yang babagitu sobarapakali dong bekeng (yah kita lihat saja. Soalnya yang seperti deklarasi Malino itu sudah berkali-kali dilakukan),” kata Papa Elsi.

“Sampai kapan?” tanya saya lagi.

“Sampe so aman (sampai sudah aman),” tambah Mama Elsi.

“Kapan itu?”

“Nintau (tidak tahu).”*

by:Coen Husain Pontoh