Api Dalam Sekam

Salahudin Achmad

Mon, 1 April 2002

LELAKI itu menunggu 25 tahun untuk duduk di kursi presiden direktur. Kali ini, tak lagi di perusahaan orang lain, tapi pada usahanya sendiri: sebuah perusahaan outsourcing.

LELAKI itu menunggu 25 tahun untuk duduk di kursi presiden direktur. Kali ini, tak lagi di perusahaan orang lain, tapi pada usahanya sendiri: sebuah perusahaan outsourcing. Harry Kuntoro, lelaki itu, memiliki 30 persen saham content provider bernama M-lynx. Mereka menjual jasa pada stasiun televisi. Pelanggannya antara lain, Trans TV, TVRI, TV-7. Program Pro Liga misalnya, sebuah tayangan pertandingan bola voli nasional,ditayangkan Trans TV dan TVRI.

Ya, lelaki yang kini berusia 55 tahun itu telah menunggu 25 tahun sebelum jadi pengusaha. Juni lalu Kuntoro mengundurkan diri dari Bimantara Citra dan jadi majikan dirinya sendiri!

"Saya resign secara baik-baik," kata Kuntoro pada saya Januari lalu. Sebelumnya, selama 19 tahun Kuntoro bekerja pada konglomerat Bimantara Citra, yang dirintis Indra Rukmana dan Bambang Trihatmodjo, masing-masing menantu dan putra kedua Presiden Soeharto. Di Bimantara Citra, Kuntoro ibaratnya jadi dokter. Manakala ada anak perusahaan Bimantara Citra sakit, Kuntoro ditunjuk mengobatinya. Jika pasien sembuh, Kuntoro ditarik lagi ke perusahaan induk.

Sejak semula, pertumbuhan Bimantara Citra mengundang kecurigaan. Ia besar secara tak wajar dan banyak mengandalkan pengaruh Soeharto. Salah satunya, RCTI. Sejak 1970-an ada saja perusahaan media yang tertarik mendirikan televisi tapi tak pernah diberi lampu hijau oleh rezim Soeharto. Pada 1989 Bimantara mendapat izin operasi televisi swasta pertama. Rajawali pun terbang tinggi, menguasai bisnis televisi swasta.

Ia meraup iklan secara luar biasa hingga 1998 ketika krisis ekonomi bukan saja menggulung kekuasaan Soeharto, tapi nyaris menggulung RCTI karena utang-utangnya. Hasil audit dari kantor akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa menunjukkan RCTI mengalami kerugian Rp 90,3 miliar. Alex Kumara, wakil presiden direktur RCTI saat itu, seperti dikutip majalah Gamma, mengatakan stasiun tersebut menanggung utang US$ 12 juta. Utang itu harus diselesaikan pada 1999. "Sementara itu, yang Rp 85 miliar lagi adalah kerugian tahun buku 1998," kata Kumara. Pembelian program asing, yang transaksinya menggunakan dolar, adalah salah satu sebabnya.

Saat itulah, Harry Kuntoro, yang punya latar belakang akuntansi, ditugaskan Bimantara Citra memeriksa keuangan RCTI. Dia masuk RCTI awal 1999. "Hasil pemeriksaan itu membuahkan adanya satu rapat umum pemegang saham luar biasa untuk perusahaan tersebut. Keputusan yang paling utama adalah penggantian manajemen," kata Kuntoro.

Rapat digelar pada 17 Mei 1999. Presiden direktur RCTI M.S. Ralie Siregar diganti, bersama dengan direktur operasional Alex Kumara, direktur pemasaran R. Hardiyanto, dan direktur keuangan Ishar Baharuddin. Di jajaran komisaris, presiden komisaris Bambang Trihatmodjo, bersama Peter F. Gontha, Indra Rukmana, Rosano Barack, Budiarto, dan Sugiyanto, pun diganti.

Rapat menunjuk Kuntoro sebagai direktur utama, menggantikan M.S. Ralie Siregar. Nenny Indiani Soemawinata ditetapkan sebagai direktur operasional, menggantikan Alex Kumara, yang kini bekerja buat Trans TV. Soemawinata sebelumnya jadi seorang pemimpin Anteve. Tapi sejatinya, Soemawinata orang iklan, berpengalaman selama 15 tahun.

Bagaimana reaksi orang-orang RCTI ketika Kuntoro masuk ke sana? "Saya benci sekali sama dia waktu pertama masuk ke RCTI," ujar Linda Wahyudi, yang ketika itu bekerja di bagian produksi. Linda Wahyudi tak sendirian. Apalagi, di RCTI, nama Kuntoro termasuk asing. Menurut beberapa orang yang pernah menjadi anak buahnya, dia sering mencoret-coret anggaran keuangan yang mereka ajukan. Kuntoro dikenal cerewet. "Bila ada anggaran yang menurutnya tak masuk akal, langsung dicoret," kata Ndang Mawardi yang waktu itu bekerja di bagian pemasaran RCTI.

"Pola kerja dan kedisiplinan diubah. Maklum, kan waktu itu uang dan fasilitas berlimpah. Banyak orang RCTI di level atas yang jam kerjanya terserah mereka. Pak Harry ingin semua aturan main jelas. Tapi kan di Indonesia ini ada orang-orang yang merasa terancam justru kalau keteraturan itu ditegakkan," kata Soemawinata.

Soemawinata yang jadi rekan kerja Kuntoro tak mengenal Kuntoro sebelum masuk RCTI. Tapi, mereka jadi duet yang serasi, bahkan hingga hari ini. Penunjukan Soemawinata sebagai direktur operasional pun bukan tanpa kontroversi. Soemawinata dianggap tak memahami bidang program televisi.

Kuntoro tak menghiraukan ketidaksukaan orang-orang lama RCTI terhadap gaya kepemimpinannya. "Saya memang dari awal ditugaskan untuk membenahi dan itu sebetulnya bukan pekerjaan yang pertama bagi saya," kata Kuntoro.

Kuntoro pun mengetatkan biaya dan menjaga pemasukan iklan. Beberapa bulan kemudian keadaan RCTI mulai membaik. "Di akhir 1999, jadi Mei sampai Desember 1999 itu, kita sudah mencapai (angka) positif. Meskipun angkanya sangat marginal, sekitar Rp 5,3 miliar. Itu profit. Hasil audit dari kantor akuntan publik," kata Kuntoro kepada saya. Pada 2000, lanjut Kuntoro, dia berhasil membuat untung Rp 54 miliar. Angka-angka itu hasil audit kantor akuntan publik Drs. Paul Hadiwinata Atmadja & Rekan.

Saat itu Harry Kuntoro menaikkan gaji karyawan. Dalam setahun, kata Soemawinata, level di bawah manajer mengalami kenaikan gaji tiga kali. Sementara level manajer ke atas, dinaikkan dua kali. Kenaikan gaji, pada 1999, besarnya berkisar 10 hingga 20 persen. Setahun kemudian, angka kenaikan gaji hingga 30 persen. "Padahal sama sekali tidak ada injeksi modal segar baru. Kami hanya menggunakan apa yang ada," kata Soemawinata pada saya.

Ironisnya, ketika upaya ini masih berjalan 20 bulan, Kuntoro dan Soemawinata justru dikeluarkan dari RCTI. Pada 7 Februari 2001 Kuntoro digantikan Wisnu Hadi, dan Soemawinata diganti Oerianto Guyandi. Keputusan itu dihasilkan oleh rapat umum pemegang saham luar biasa RCTI. "Saya diminta mengurus divisi multimedia," kata Kuntoro.

Wisnu Hadi yang menggantikan Harry Kuntoro, kata Teguh Juwarno, juru bicara RCTI, dekat dengan para pemegang saham Bimantara Citra. "Pak Hadi pernah di bagian finance, departemen keuangan Bimantara, lalu keluar, membangun bisnis sendiri, berbisnis dengan Bimantara. Bisnisnya macam-macam, seperti realestat, properti, dan usaha lain," kata Juwarno.

SEBUAH kantor di kompleks pertokoan Grand Wijaya Center, Jakarta Selatan, pukul delapan pagi awal Maret lalu itu, sudah dihuni satu dua pekerja. Papan nama M-lynx (semua huruf kecil) terpampang di depan kantor. Di sekitarnya orang dengan mudah menemukan supermarket Jepang, panti pijat Jepang, atau toko-toko lain yang khusus melayani keperluan orang Jepang dan Korea di Jakarta. Kantor baru itu berlantai tiga dan telah disewa sejak Januari tahun ini.

“Selain strategis, tempat yang cocok untuk mobilisasi usaha kami ini juga dapat dibayar per bulan,”kata Ndang Mawardi pada saya.

Lantai tiga rencananya dijadikan studio untuk produksi ringan. M-lynx mirip production house yang memasok program acara televisi. Namun, perusahaan ini cakupannya lebih luas. M-lynx memiliki 23 karyawan. Selain memproduksi acara, mereka juga bertindak sebagai makelar pembelian tayangan-tayangan asing. Misalnya, acara Grand Prix 500 cc yang ditayangkan TV-7. Selain itu , TV-7 juga bermitra dengan M-lynx untuk mendapatkan siaran Liga Inggris dari ESPN. “Kami dapatkan harga yang pantas. Kontraknya tiga tahun. TPI tidak akan melanjutkan tayangan Liga Inggris,” kata Mawardi.

Layanan purna jual pada program-program di mana M-lynx menjadi makelarnya, dilakukan dalam bentuk konsultasi. “Joy (Anton Sanjoyo EBUAH kantor di kompleks pertokoan Grand Wijaya Center, Jakarta Selatan, pukul delapan pagi awal Maret lalu itu, sudah dihuni satu dua pekerja. Papan nama M-lynx (semua huruf kecil) terpampang di depan kantor. Di sekitarnya orang dengan mudah menemukan supermarket Jepang, panti pijat Jepang, atau toko-toko lain yang khusus melayani keperluan orang Jepang dan Korea di Jakarta. Kantor baru itu berlantai tiga dan telah disewa sejak Januari tahun ini.

"Selain strategis, tempat yang cocok untuk mobilisasi usaha kami ini juga dapat dibayar per bulan," kata Ndang Mawardi pada saya. Lantai tiga rencananya dijadikan studio untuk produksi ringan. M-lynx mirip production house yang memasok program acara televisi. Namun, perusahaan ini cakupannya lebih luas. M-lynx memiliki 23 karyawan. Selain memproduksi acara, mereka juga bertindak sebagai makelar pembelian tayangan-tayangan asing. Misalnya, acara Grand Prix 500 cc yang ditayangkan TV-7. Selain itu, TV-7 juga bermitra dengan M-lynx untuk mendapatkan siaran Liga Inggris dari ESPN.

"Kami dapatkan harga yang pantas. Kontraknya tiga tahun. TPI tidak akan melanjutkan tayangan Liga Inggris," kata Mawardi.

Layanan purna jual pada program-program di mana M-lynx menjadi makelarnya, dilakukan dalam bentuk konsultasi. "Joy (Anton Sanjoyo dari TV-7) minta tolong kita untuk mengemas siaran olah raga yang belinya lewat kami," kata Mawardi yang kini jadi direktur pemasaran M-lynx.

M-lynx dimiliki 30 persen oleh Harry Kuntoro, 30 persen oleh Nenny Soemawinata, dan 20 persen Ndang Mawardi. Modal awal perusahaan Rp 4 miliar.

Dengan melakukan blocking time di Trans TV, dan TVRI, M-lynx memproduksi sekaligus memasarkan siaran pertandingan bola voli nasional Pro Liga tiap hari Minggu. Urusan iklan jadi tanggung jawab M-lynx. Tapi mereka membayar pengurus besar Persatuan Bola Voli Indonesia sebesar Rp 3 miliar pada tahun pertama kerja sama ini. M-lynx berhak atas tayangan kompetisi bola voli profesional tersebut selama empat tahun. "Tahun selanjutnya akan kita evaluasi berapa yang harus kita berikan. Kami anggap ini investasi," kata Soemawinata.

Dalam perhitungan Mawardi, sewaktu stasiun televisi swasta berjumlah lima, durasi tayang yang tersedia di kelima stasiun itu adalah 400 jam seminggu. Kedatangan lima stasiun baru: Metro TV, Trans TV, TV-7, Global TV, dan Lativi, praktis menambah kapasitas tayang. Dalam seminggu, 10 televisi swasta akan membutuhkan 800 jam tayang. "Tapi, kemampuan pengelola stasiun menyediakan program baru 400 jam," kata Mawardi.

Riza Primadi, direktur pemberitaan Trans TV, mengatakan stasiun televisi memang sangat membutuhkan. "Sangat, sangat dibutuhkan. Tapi, kalau untuk news, tidak bisa. Karena itu kebijakan stasiun teve," kata Primadi.

Selisih 400 jam itu adalah peluang bagi perusahaan seperti M-lynx. Program acara olah raga dan hiburan jadi bidang garapan M-lynx. Acara hiburan mereka yang pertama Satu di Hari Fitri ditayangkan RCTI pada Lebaran tahun lalu.

Pendapatan iklan adalah target utama M-lynx. Tabloid Kontan melaporkan televisi mendapat 60 persen total iklan di media massa. Tahun lalu, Indosiar memperoleh Rp 2,6 triliun atau 28 persen belanja iklan di televisi. Berikutnya SCTV Rp 2,32 triliun (25 persen), RCTI Rp 2,23 triliun (24 persen), TPI Rp 1,4 triliun (15 persen), Anteve Rp 465 miliar (lima persen) dan Metro TV Rp 259 miliar (tiga persen).

AC Nielsen memperkirakan tahun ini belanja iklan media massa Indonesia akan meningkat 30 persen dari Rp 9,1 triliun jadi Rp 12,6 triliun. Tahun lalu, televisi mendapat jatah 66,52 persen dari nilai belanja itu dan tahun ini diperkirakan sekitar 60 persen juga.

ASET material M-lynx hanya bernilai Rp 1 miliar. Itu digunakan untuk membeli dua kamera digital Sony dan Panasonic, serta beberapa unit komputer untuk para karyawan. Sedang modal operasional, sedikitnya Rp 3 miliar setahun. Di antaranya untuk blocking time televisi, produksi program, dan membayar urusan bola voli.

M-lynx lebih suka menyewa peralatan, juga menggunakan tenaga luar dalam menjalankan bisnisnya. Karena, menurut Kuntoro, di situlah letak kesalahan para pengelola stasiun televisi swasta Indonesia. "Semua maunya dimiliki sendiri. Misalnya mau bikin program acara hiburan, sebetulnya kan tinggal ditentukan standarnya saja. Pengerjaannya biar ditangani outsourcing yang sudah berpengalaman. Kalau di sini kan nggak. Mereka merekrut orang, jadi karyawan, hanya untuk membikin program hiburan," kata Kuntoro.

Bukan hanya dalam karyawan, dalam kepemilikan stasiun transmisi pun, masih kata Kuntoro, stasiun televisi tak efisien. Satu stasiun transmisi, yang berfungsi merelai siaran, harganya sangat mahal. Padahal, satu stasiun transmisi bisa digunakan untuk semua stasiun. "Contohnya di Amerika, di Eropa, di Australia, yang pernah saya lihat. Soal transmisi, sekadar informasi saja, satu transmisi, satu lokasi, itu dengan kekuatan standar kira-kira 10-15 kilowatt, harganya nggak kurang dari US$ 1,2 juta. Itu harga tahun kemarin ya. Dan sekadar gambaran, RCTI itu mempunyai 47 buah di seluruh Indonesia, sehingga bisa nationwide. Kalau Anda membuat satu stasiun teve baru, kemudian Anda hendak membuat transmisi sendiri, berapa you harus investasi?" kata Kuntoro.

Riza Primadi mengatakan ini disebabkan gengsi. Kebijakan membangun stasiun transmisi itu sebetulnya tak efisien. "Tapi kan pengusaha kita gengsinya tinggi," kata Primadi, terkekeh.

Sebelum krisis moneter 1997, beberapa pemilik televisi punya gagasan mendirikan Jakarta Tower di kawasan Kemayoran Jakarta. Ini juga direncanakan jadi menara tertinggi di dunia, menyaingi Petronas di Malaysia. Puncaknya dipakai sebagai stasiun transmisi bersama yang dikelola oleh konsorsium. Tapi, gagasan itu, entah karena krisis, tak jadi terlaksana.

Modal utama yang dimiliki M-lynx adalah sumber daya manusia. M-lynx sangat mengandalkan jaringan kerja dan pengalaman orang-orang mereka. Investasi ini tak ternilai harganya. Mereka telah berpengalaman dalam industri televisi. Sejak lama orang-orang inti M-lynx itu telah membangun relasi dengan pemasang iklan mau pun pemasok program teve di luar negeri, maupun production house dan pemilik peralatan (kamera) di sini. Semua orang kunci M-lynx adalah mantan orang-orang RCTI.

Andi Chairil, ekswartawan majalah Sportif yang kemudian berkarier sebagai penyiar RCTI, adalah salah satu orang kunci M-lynx. Chairil dikenal sebagai produser yang menggagas kemasan siaran sepak bola Liga Italia. "Istilah bola mania itu ciptaan gue," kata Chairil kepada saya.

Mobilitas Chairil, Kuntoro, Soemawinata, Mawardi, dan orang M-lynx lainnya, di luar kantor cukup tinggi. Mereka lebih sering berada di luar kantor dalam menjalankan M-lynx.

BASIS gagasan mereka adalah menjadi perusahaan outsourcing televisi di tanah air. Gagasan itu dicangkok dari sistem pengelolaan televisi di Perancis dan Amerika Serikat. Soemawinata dan Kuntoro mengatakan banyak jalan-jalan ke luar negeri.

“Kita melihat dalam dunia pertelevisian di negara-negara maju cara pengelolaan televisi sudah sangat berbeda dengan apa yang kita kenal selama ini di Indonesia. Padahal kalau diurut-urut, Indonesia juga mengikutnya dari mereka. Tapi, pada hari ini manajemen yang diterapkan oleh kalangan pertelevisian Indonesia itu berbeda sekali,” kata Kuntoro.

“Di negara mana setiap stasiun punya stasiun transmisi sendiri?” tambah Soemawinata yang mendampingi Kuntoro saat wawancara dengan saya.

Contohnya TF1 Perancis. “Kita melihat bagaimana mereka membuat agar usaha-usaha tetap berkembang, tetapi dari segi organisasinya lebih ramping. Jadi sesuai dengan fungsinya. Sebagai contoh, kalau di TF1, produksi itu sudah tidak ada di dalam badan TF1 tivinya. Yang ada, hanya produski yang berkaitan dengan berita. Di luar itu, dikerjakan oleh perusahaan tersendiri di mana mereka memiliki saham juga. Begitu juga, sales marketing dan promotion, itu tidak ada di dalam badan tivinya. Itu bekerja sama dengan mereka,” kata Soemawinata.

“Di Amerika, stasiun NBC yang terkenal itu pun studionya berada dalam perusahaan yang berbeda, NBC Studio’s,”tambah Soemawinata.

Namun tak semudah itu stasiun televisi bekerja. Contohnya dalam membeli program asing. Pihak pemasok di luar negeri, menurut Linda Wahyudi, tidak sembarangan menjual acara-acara mereka. Karena, reputasi pembeli menjadi kriteria utama para supplier. Artinya, meski tersedia dana untuk membeli, tidak serta merta program yang diburu bisa didapat. Maka TV-7 yang dimiliki Kelompok Kompas Gramedia mesti menggunakan jasa Wahyudi kala mereka ingin membeli siaran Grandprix 500 cc dan siaran Liga Inggris. “Karena di luar negeri, teve sport di Indonesia yang dikenal adalah RCTI. Sedangkan TV-7 yang masih baru tidak dikenal sama sekali,” kata Wahyudi.

Kesulitan seperti itu yang dimanfaatkan oleh M-lynx. Orang-orang mereka telah populer di kalangan pemasok program, dalam dan luar negeri. Karenanya, mereka menjual jasa broker sekaligus konsultan, khususnya acara hiburan dan olahraga. “Tapi yang jelas kami tidak akan menggarap sinetron, karena lahan itu sudah ada pemainnya,” kata Mawardi. Mereka kini tengah menggagas program hiburan untuk acara anak-anak.

Hingga kini, kata Mawardi, belum ada hasil yang signifikan dengan investasi yang ditanamkan M-lynx. Kesulitan terbesar dalam menjalankan M-lynx adalah justru menjelaskan kepada klien, kenapa mereka keluar dari RCTI.

MAJALAH Gamma edisi 14 Agustus tahun lalu menurunkan laporan yang mengatakan Nenny Soemawinata dan Harry Kuntoro diturunkan pangkatnya karena korupsi. Tampaknya isu ini sempat berkembang di kalangan televisi yang agak membuat M-lynx kesulitan.

Ketika isu ini saya tanyakan pada Soemawinata, ia segera menelepon saya ulang. Suara perempuan itu meninggi. “Kalau Anda mau investigate silakan. Tapi, tolong check and recheck dong! Anda bisa lihat track record saya. Tanya orang-orang yang pernah bekerja sama dengan saya. Silakan cek ke Sampoerna. Lebih dari 12 tahun saya meladeni mereka beriklan. Semua kontrak jelas. Dan sampai sekarang hubungan saya tetap baik dengan relasi-relasi yang lain. Buktinya, sampai hari ini masih ada yang mempercayai kami, memberi kerjaan. Saya marah sekali dengan laporan Gamma itu. Saya nggak tahu apakah mereka itu kawan-kawan Anda, jurnalis, apa bukan!” kata Soemawinata. Sekitar tujuh menit kami bicara.

Dalam edisi itu, Gamma menurunkan laporan tentang dugaan korupsi di RCTI. Ada tiga tulisan: “Rajawali Diterpa Badai Korupsi,” “Membenahi Kapal Oleng,” dan “Rajawali Tak Lagi Terbang Tinggi.”

Salah satu alinea berbunyi begini. “Kedua mantan direksi RCTI itu diam-diam kini menjadi sorotan tajam di puncak manajemen, terutama di kalangan direksi PT Bimantara Citra Tbk. yang memegang saham mayoritas televisi swasta tertua itu. Menurut sumber Gamma, persoalan mismanegement itu tidak terlepas dari unsur korupsi yang diduga telah dilakukan kedua mantan direksi RCTI tersebut. Nenny dan Harry Kuntoro sekarang sedang disorot karena dituduh melakukan KKN dan mark-up, kata sumber Gamma.” Arahnya pada soal sewa studio dan pembelian program televisi dari luar negeri. Tapi Gamma tak menyodorkan dokumen-dokumen yang biasa dijadikan dasar laporan soal beginian.

Saya menanyakan ihwal Kemala Atmojo kepada Soemawinata. “Apakah Anda mengenal Kemala Atmojo, pemimpin redaksi Gamma?” tanya saya.

“Ya saya tahu nama itu. Yang saya tahu dia juga pernah berbisnis program acara di Anteve. Kalau nggak salah acara Arjuna atau apa begitu. Saya sendiri baru sekali bertemu dengan dia, lupa-lupa ingat” jawab Soemawinata.

Saya mendatangi rumah Soemawinata Maret lalu untuk melihat dokumen-dokumen keuangan yang membuktikan bahwa keuangan RCTI bersih selama kepemimpinan Harry Kuntoro dan Soemawinata. Rumah itu terletak di Jalan Bromo, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dua buah mobil, salah satunya Mercedes Benz, diparkir di garasi, tak jauh dari kandang burung-burung piaraan suaminya. Jalan Bromo itu sempit, hanya muat satu mobil. Rumah itu dimiliki keluarga suaminya. Sejak menikah 1984, Soemawinata tinggal di sana.

“Kalau saya korupsi, saya tentu nggak tinggal di sini lagi,” kata Soemawinata. Sejak saya lontarkan pertanyaan soal tudingan korupsi sebagaimana laporan Gamma, Soemawinata penuh selidik menghadapi saya. Dia cemas, jangan-jangan saya membohongi dia.

“Terus-terang saya merasa dibohongi mereka (Gamma). Awalnya mereka ngakunya mau ngomong soal perkembangan industri televisi. Tapi kok wawancara itu diplintir, tulisannya malah soal korupsi? Meski tidak menuding langsung, tapi mereka mengarahkan korupsi kepada saya dan Pak Harry. Gosip kok dijadikan laporan khusus. Mana buktinya kalau kami korupsi?” kata Soemawinata.

Hingga detik ini, tak ada material buat mempercayai dugaan korupsi itu. Laporan Gamma sangat lemah karena hanya berdasarkan keterangan sumber anonim, itu pun sangat bersandar hanya pada satu sumber. Dalam jurnalisme bermutu, sumber anonim kebanyakan dihindari, karena selain kredibilitasnya rendah, sumber-sumber macam ini bisa memanfaatkan media buat kepentingan mereka sendiri. Lembar batu sembunyi tangan.

Namun Kuntoro dan Soemawinata sudah keburu jadi korban manakala isu lama itu mencuat kembali. Dugaan korupsi memang merebak di sela rapat pemegang saham RCTI. Tapi belum pernah ada buktinya. Hembusan isu korupsi itu, sewaktu-waktu bisa membakar. Seperti api dalam sekam!*

kembali keatas

by:Salahudin Achmad