Wartawan: Menolong atau Memotret?

Sirikit Syah

Mon, 4 March 2002

SEJAK saya pertama kali jadi wartawan pada 1980-an, pertanyaan ini seringkali muncul, baik dalam obrolan sesama wartawan, dalam pelatihan jurnalistik maupun dalam seminar tentang etika pers.

SEJAK saya pertama kali jadi wartawan pada 1980-an, pertanyaan ini seringkali muncul, baik dalam obrolan sesama wartawan, dalam pelatihan jurnalistik maupun dalam seminar tentang etika pers. Dalam situasi tertentu, misalnya musibah, kecelakaan, tragedi, wartawan yang kebetulan berada di tempat kejadian harus menolong dulu atau memotret –merekam dalam kamera, melakukan wawancara?

James Fallowes dalam bukunya Breaking the News (1997), menuliskan situasi khusus itu di bagian “Why We Hate the Media.” Menurut Fallowes, wartawan yang menjawab –dan mempraktikkan jawaban– bahwa “wartawan harus memotret dulu, karena tugas wartawan adalah memotret, bukan menolong” itu jadi salah satu penyebab masyarakat Amerika Serikat membenci media massa.

Pada akhir 1980-an, ada sebuah program televisi yang disiarkan di hampir semua station PBS (Public Broadcasting Service) di Amerika Serikat. Program itu bertajuk Ethics in America. Di program ini dihadirkan sekitar selusin tamu dari berbagai profesi untuk membahas kode etik dan praktik dari profesi masing-masing, termasuk kendala atau hambatan menerapkan kode etik tersebut.

Salah satu episode yang dibahas berjudul “Under Orders, Under Fire,” dengan tamu kalangan tentara dan wartawan. Moderatornya Charles Ogletree, seorang pofesor dari Harvard Law School. Mengapa profesi tentara dipertemukan dengan profesi wartawan tak dijelaskan dalam buku itu. Mula-mula Ogletree menanyai seorang veteran perang yang kehilangan sebelah lengannya di Vietnam. Kepadanya diberi persoalan, kawan-kawannya tertangkap lawan, sementara dia hanya menangkap seorang musuh. Pertanyaannya: “Sejauh mana dia akan membuat tawanannya berbicara dan memberitahu informasi penting yang dapat menyelamatkan kawan-kawannya?”

Frederick Down, veteran Vietnam yang kemudian jadi novelis itu, kelihatan kesulitan menjawab pertanyaan itu. Dia pernah mengalami hal-hal yang tak mengenakkan di medan perang. Dia menjawab, “Saya akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan kawan-kawan saya.”

Ogletree mengejarnya, “Termasuk dengan menyiksa tawanan Anda? Anda punya pisau. Dari mana Anda mulai dan sampai di mana Anda akan berhenti?”

Agak enggan, Down menjawab, “Well, saya tak suka melakukannya. Tapi kalau terpaksa, saya akan menyiksanya agar dia berbicara dan saya dapat menyelamatkan kawan-kawan saya.”

Jawaban itu memicu perdebatan di kalangan tentara sendiri dalam forum itu. Sebagian setuju dengan Down. Sebagian mengingatkan dalam perang pun ada aturannya. Di antara yang berpendapat perlunya kode etik perang ditegakkan adalah William Westmoreland, pensiunan jendral yang mengomandani seluruh tentara Amerika Serikat di Vietnam ketika Fredercik Down bertugas saat itu.

Audience tampak bersimpati pada Down, apalagi dia menutup dengan kalimat, “Saya tahu konsekuensinya. Saya harus hidup dengan bayangan peristiwa itu, dan itu tidak mudah ….” Dari jawaban itu dapat disimpulkan dua hal: a) Down akan melanggar kode etik perang dalam situasi tertentu, tapi b) dia melakukannya demi solidaritas tentara dan dia melakukannya dengan beban perasaan yang berat.

Sekarang Ogletree beralih pada para wartawan yang diwakili Peter Jennings, pembawa acara terkenal World News Tonight dari ABC, diberi persoalan. Setelah melobi sekian lama, Jennings berhasil menarik perhatian pemimpin tentara musuh. Dia diundang ke medan perang dan kini dia sedang diajak tur ke garis belakang tentara lawan. Pada saat melihat-lihat medan perang di belakang garis lawan itu, rombongan Jennings terperangkap di tengah-tengah jejak tentara Amerika Serikat dan tentara musuh yang tengah mempersiapkan penyerbuan ke arah mereka. “Apakah Anda akan memerintahkan kameraman Anda untuk siap mengambil gambar saat serangan itu terjadi?” tanya Ogletree.

Jennings diam sekitar 15 detik, lalu menjawab, “Saya kira saya tak akan melakukan itu. Saya akan lakukan apa yang dapat saya lakukan untuk memberitahu tentara Amerika tentang rencana penyerbuan itu.”

“Meskipun itu berarti mengorbankan sebuah liputan hebat?” desak Ogletree.

“Meskipun itu akan mengorbankan nyawaku,” tandas Peter Jennings. “Saya tak mungkin meliput hal semacam itu. Ini masalah pribadi. Mungkin wartawan lain tak sependapat dengan saya.”

Tiba-tiba Mike Wallace, pembawa acara 60 Minutes dari CBS, menyela, “Wartawan lain pasti akan melakukan hal sebaliknya. Bagi mereka, itu cuma sebuah peristiwa yang harus diliput.” Wallace kemudian menguliahi Jennings, “Saya benar-benar tercengang atas jawaban Anda. Anda adalah wartawan, meskipun Anda orang Amerika. Saya tak mengerti mengapa hanya karena Anda orang Amerika Anda tak akan meliput peristiwa itu.” (Ini hanya contoh seolah-olah, karena Mike Wallace dan semua orang Amerika tahu, bahwa Peter Jennings warganegara Kanada)

Ogletree kemudian mendesak Wallace, “Bukankah Jennings memiliki tugas yang lebih mulia, apakah itu bersifat patriotis atau manusiawi, untuk melakukan lebih dari sekadar merekam gambar saat tentara negaranya ditembaki?”

“Tidak,” Wallace menjawab datar dan cepat.

“Tak ada itu tugas mulia semacam itu. Tidak ada. Kami hanyalah wartawan! Dan tugas wartawan adalah meliput peristiwa, bukan mencegahnya.”

Jennings, setelah memikirkan jawabannya dan kuliah seniornya, tiba-tiba meralat, “Wallace benar. Saya seorang pengecut.” Jennings mengakui dia kehilangan pandangan jurnalistiknya dan menjadi “terlibat” –sikap yang sama sekali tidak profesional.

Ketika Jennings bersependapat dengan Wallace, para tamu lain dalam forum itu, dan para audience, memandang keduanya dengan tercengang. Seorang pensiunan jendral Angkatan Udara, Brent Scowcroft, berdiri dan berkata dengan nada pahit pada kedua wartawan senior itu, “Anda akan berdiam diri dan menyaksikan pihak Anda dibantai? Untuk apa? Untuk 30 detik pada berita malam, sebagai ganti menyelamatkan satu peleton!”

George M. Connell, seorang kolonel marinir yang mengenakan seragam lengkap (tanda masih berdinas), menatap kedua wartawan televisi itu. “Saya merasa sangat … tersinggung.” Katanya, dua hari setelah diskusi ini, bisa saja Jennings atau Wallace berada di medan perang bersama tentara Amerika, dan terluka atau tertembak, sebagaimana sebagian wartawan perang mengalaminya. Mereka akan mengharapkan tentara Amerika menentang hujan peluru untuk menyelamatkan mereka.

“Dan kami akan melakukannya!” kata Connell, dengan nada pahit. “Dan inilah yang membuat kami muak kepada (golongan) mereka. Marinir akan dan bisa kehilangan nyawa karena menolong dua wartawan yang terluka.”

Itulah gambaran bagaimana tentara dan jurnalis menerapkan atau melanggar kode etik mereka. Tentara Amerika Serikat tampaknya cenderung melanggar kode etik, meski dengan perasaan tak mudah dan konsekuensi psikologis bakal mereka hadapi sepanjang hidup. Wartawan tampak lebih ketat menjaga kode etik meskipun itu bisa berarti mengorbankan nyawa manusia lainnya.

Saya harap kisah ini tak dipandang dengan kacamata Indonesia! Gambaran kisah ini kemungkinan berbeda dengan situasi di Indonesia di mana pada umumnya tentara sangat patuh pada perintah atasan sementara wartawan justru cenderung melanggar kode etik mereka sendiri.

Masalah ini pernah saya bahas dalam sebuah diskusi Aliansi Jurnalis Independen di Jawa Timur pada 2001. Saya tergolong wartawan yang percaya bahwa, “Sebelum wartawan, kita adalah manusia.” Dengan demikian, dalam situasi seperti yang digambarkan, seyogyanya kita berfungsi sebagai manusia terlebih dahulu. Yang membuat saya terkesan, para anggota AJI yang mendengar penjelasan itu memberikan applause –yang menurut saya itu berarti mereka sependapat dengan saya dan tidak sependapat dengan Mike Wallace dan Peter Jennings. Wartawan AJI, setidaknya mayoritas dari anggota di Jawa Timur, tampak menyadari benar bahwa wartawan adalah manusia juga. Dapat diharapkan, dalam menjumpai peristiwa kebakaran di kampung mereka, pertama-tama mereka akan turut membawa air dan menyiram api, sebelum melakukan wawancara dengan Pak RT atau Hansip yang bertugas, atau memotret tetangga mereka yang hangus terbakar.

Seorang wartawan yang memfungsikan diri sebagai “wartawan” lebih dahulu, mungkin akan jadi “wartawan hebat” bahkan menerima penghargaan, tapi mereka bisa gagal sebagai manusia. Sebuah contoh tragis adalah kasus meninggalnya Kevin Carter, fotografer pemenang hadiah Pulitzer 1994. Fotonya yang terkenal adalah tentang seorang anak perempuan Afrika yang tengah kelaparan dalam perjalanan ke tempat pembagian jatah pangan. Anak itu jatuh dan dalam keadaan menunggu kematiannya di gurun pasir Afrika dengan latar belakang burung pemakan bangkai yang menungguinya mati (burung pemakan bangkai hanya memakan orang yang sudah mati). Foto itu menarik perhatian juri dan memenangkan Pulitzer. Kemudian muncul perdebatan: mengapa dia memotret foto mengenaskan itu? Mengapa dia tidak menolong gadis itu? Mengapa dia membiarkan burung itu menunggui si gadis meninggal dunia? Istilah kita, “Kok tega?”

Beberapa bulan kemudian, fotografer freelance yang sering memotret buat Reuters itu, mati bunuh diri. Banyak orang berspekulasi dan mengatakan dia tak tahan mendapat kritik atas fotonya yang kontroversial itu. Sebagian mengatakan dia tak tahan menanggung konsekuensinya seumur hidup. Ada lagi yang mengatakan, keganasan perang dan kekejaman alam Afrika di mana dia bekerja, membuatnya depresi.

PADA 1996, sebuah stasiun televisi Los Angeles, menerima telepon dari seseorang yang bermaksud melakukan bunuh diri dan minta diliput. Stasiun itu mengirim awak TV untuk mendatangi sang sumber dengan peralatan lengkap. Bukannya mencegah orang itu bunuh diri, dengan memanggil polisi misalnya, awak televisi itu malah mengantisipasi sebuah liputan “eksklusif.” Mereka mempersiapkan liputan langsug, menunggui orang itu melaksanakan niatnya, dan merekam langsung saat orang itu menambak dirinya sendiri. Orang itu mati di depan kamera televisi. “Live on air!”

Ribuan telepon masuk ke stasiun itu. Mereka mengecam tindakan televisi Los Angeles itu. Menurut para pemirsa televisi yang protes itu, pertunjukan tersebut sama sekali bukan berita menarik. Bahkan mengerikan. Mereka keberatan anak-anak mereka menonton “siaran langsung sebuah peristiwa bunuh diri,” yang selain mengerikan juga khawatir dapat ditiru anak-anak. Mereka mempertanyakan “moralitas dan etika para awak televisi itu.” Stasiun tersebut lalu mohon maaf kepada publik. Pertanyaan sang jendral pada cerita di bagian awal tadi ada benarnya, “Untuk apa? Untuk 30 detik siaran berita? Dengan harga sebuah nyawa?”

Seorang redaktur CNN yang pernah saya jumpai di Atlanta juga menerapkan kode etik dengan ketat. Waktu David Koresh, ketua Branch Davidian di Waco, Texas, pada 1993 mengurung semua pengikutnya dan mengabaikan permintaan polisi agar mereka keluar dari rumah itu, CNN mendapatkan jalur telepon khusus dengan David Koresh.

Waktu itu Federal Bureau of Investigations (FBI) kesulitan berkomunikasi dengan mereka yang terkurung (atau mengurung diri) dalam rumah, karena sambungan telepon diputus, dan mereka mengancam bunuh diri bila FBI mendesak masuk. CNN mendapatkan nomor telepon khusus David Koresh dan melakukan wawancara eksklusif sesaat sebelum mereka semua terbakar dan meninggal bersama-sama.

Saya bertanya, “Sandainya nomor telepon Anda berikan kepada FBI, mungkin mereka dapat berkomunikasi dan melakukan negosiasi sehingga puluhan nyawa manusia itu terselamatkan.” Redaktur CNN itu memandang saya dengan pandangan sulit mengerti. Katanya, “Tapi kita wartawan, Sirikit. Kita harus menjaga kerahasiaan yang dipercayakan kepada kita. David hanya mau bicara dengan orang-orang saya. Tak dapat dibenarkan kalau kami memberikan nomor itu pada FBI.”

“Ya, tapi, harga sekian nyawa …,” saya masih bersikeras. Dan di antara kami tak ketemu saling pengertian.

Kematian Putri Diana merupakan salah satu contoh yang sangat signifikan dari pertanyaan: memotret atau menolong dulu? Sekian menit yang dibuang para paparazi untuk memotret korban mungkin sangat berarti dalam menyelamatkan satu atau dua nyawa manusia. Karena peristiwa itulah Press Complaint Commission, sebuah badan pemantau pers semacam Dewan Pers versi Indonesia (sebelumnya namanya memang British Press Council), kemudian menelurkan sekian banyak peraturan bagi wartawan, umumnya berkenaan dengan pelanggaran privacy, penggunaan tele kamera, dan sebagainya.

Pada pertemuan para redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi dari wilayah Maluku di Surabaya akhir 1999, juga terungkap bahwa para wartawan itu mengalami kesulitan untuk menerapkan standar jurnalistik dan kode etiknya. Karena tingginya tingkat kecurigaan di Maluku, setiap wartawan yang tengah bertugas diperiksa lebih dulu oleh nara sumber dari media apa dan beragama apa. Wartawan beragama tertentu sulit memasuki wilayah sumber agama lainnya. Dengan kondisi seperti ini, wartawan cenderung, karena dipaksa keadaan, menulis berita secara sepihak. Untuk mengurangi ekstrim keberpihakan, wartawan tentunya dapat melakukan wawancara pihak ketiga atau netral, bila pihak kedua menolak atau sulit ditemui atau bahkan membahayakan kalau ditemui.

Tidak sedikit pula wartawan di Indonesia mengabaikan kode etik yang berbunyi “berikan identitas Anda dalam mewawancarai sumber.” Dalam Kode Etik Persatuan Wartawan Indonesia jelas-jelas disebut “wartawan tidak boleh menyamar.” Aturan ini masuk akal, karena bagaimana perasaan Anda sebagai warga negara kalau orang yang mengajak Anda ngobrol di kereta, pesawat, bus kota, tempat tunggu dokter, adalah wartawan yang menyamar dan besoknya semua pembicaraan Anda dimuat di media massa lengkap dengan identitas Anda?

Menurut saya, wartawan diperbolehkan menyamar hanya dalam kondisi: a) kalau tidak menyamar, pekerjaan itu membahayakan jiwanya (di medan perang, wilayah konflik), b) berita yang diburu demi kepentingan orang banyak bukan skandal yang menyangkut pribadi-pribadi (misalnya, investigasi kasus Bulog dengan menyamar mungkin lebih diterima daripada investigasi dengan menyamar ke tempat pelacuran hanya untuk menuliskan tentang siapa saja para pelanggan lokalisasi itu).

Pada persoalan sejauh mana kode etik dapat dilanggar, memotret dulu atau menolong dulu, saya tetap berpendapat bahwa kita takkan jadi wartawan yang hebat kalau pada mulanya bukan manusia yang baik. Be a good man, than a good journalist. Itu saja.*

kembali keatas

by:Sirikit Syah