SOEKARNO berkata: “Revolusi belum selesai.” Maka, setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, ia menyudahi aksi militer Belanda lewat Konferensi Meja Bundar. Dan ketika Belanda memainkan kartu-kartu politiknya, Soekarno menyiasatinya dengan truf maut. Ia membubarkan Republik Indonesia Serikat. Tak urung, negara-negara boneka bikinan Belanda ikut tumpas dengan segera.

Tidak semua berbuah manis. Paham integralistik yang menjadi drumroll pembentukan negara kesatuan ternyata juga melahirkan anak haram sejarah. Kekuasaan terpusat. Ekspektasi Jakarta tambah hari tambah menguat. Sebaliknya, eksistensi daerah kian lama kian melemah. Ketidakpuasan, kegelisahan, intrik, bencana politik, merayap cepat. Suasana kebatinan daerah pun berubah dengan sendirinya. Puncaknya, orang tak lagi percaya pada pusat, tak percaya Konstituante, dan tak percaya Soekarno.

Di Garut, Kartosuwiryo mengkombinasikan aliran politik sektarian dan primordial dalam satu pikulan. Hasilnya adalah Negara Islam Indonesia dan perlawanan bersenjata terhadap republik yang baru lahir itu. Di Bandung, kaum muda membuat kelompok-kelompok diskusi. Lahirlah kanon-kanon politik seperti Nonoman Sunda, Mitra Sunda, Front Pemuda Sunda, yang terus berusaha melubangi benteng kekuasaan pusat. Di Bogor, bekas ibukota Negara Pasundan, Putra Sunda aktif mengingatkan entitas budaya Sunda seraya menyerang desain besar versi Soekarno. Warga, majalah bahasa Sunda setempat, yang terbit sejak 1954, menyuarakan pokok-pokok pikiran mereka.

“Jaman harita usum nanduk. (Zaman itu musim menanduk),” ungkap Wahyu Wibisana, salah seorang eksponen Putra Sunda. “Menanduk” di masa itu dapat diterjemahkan: acungan tinju terhadap Soekarno.

Tidak semua tokoh gerakan menggunakan jalur politik untuk melancarkan perlawanannya. Wibisana adalah salah seorang di antaranya. Ia lebih memilih lapangan kebudayaan sebagai medan perlintasan ide. Sesungguhnya, ini pula salah satu rahasia kecilnya kenapa ia tak lagi bisa menjalankan perannya sebagai wartawan Warga, yang buat sebagian orang sudah memerankan dirinya sebagai pamflet politik. Di dadanya, tertanam niat untuk membuat majalah baru yang dapat merepresentasikan sikapnya.

BOGOR 1957. Di sebuah rumah kos di Jalan Kebon Kembang – kini Jalan Dewi Sartika– sejumlah pemuda biasa berkumpul. Mereka umumnya mahasiswa Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Indonesia (sekarang Institut Pertanian Bogor). Ada juga kelompok intelektual lain seperti wartawan dan guru. Tak seperti biasanya, sore itu ruang percakapan diisi wajah-wajah serius.

“Mataholang,” kata yang satu.

“Tandang!” seru yang lain.

“Mangle!” timpal Wibisana.

Rochana Sudarmika –pemilik rumah kos, yang juga kolega mengajar Wibisana di Sekolah Dasar Kebon Kembang– mendengar perbincangan tersebut. Ia memotong perbincangan, “Bagaimana kalau Mangle saja?”

Diskusi berakhir. Mereka sepakat menerbitkan majalah bulanan. Mangle terpilih sebagai namanya. Tanpa harus didesak, Oeton Moechtar, suami Sudarmika, langsung menyatakan bersedia jadi penyandang dana. Kesediaannya diwujudkan dalam bentuk bangunan kantor di belakang rumahnya, lima unit mesin tik, payung Yayasan Kebudayaan Sunda, hingga modal Rp 10 ribu disetor.

Moechtar sempat didaulat untuk memimpin penerbitan. Ia menolak. Kesibukannya sebagai pejabat dinas kehutanan Bogor jadi alasan. Moechtar –yang sesekali meluangkan waktu untuk mengarang (yang terkenal: Modana dan Mustika Leuweung)– menunjuk istrinya. Sudarmika pun jadi direktur.

Selama dua minggu mereka menyiapkan nomor perdana. Tenggat terkejar. Seluruh naskah segera dilarikan ke percetakan Quick di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Opmaak diserahkan sepenuhnya ke orang-orang di percetakan.

Nomor perdana selesai dicetak dalam 24 halaman, dengan harga eceran seringgit. Oplahnya? “Sajipeunlah,” ungkap Eto Hidayat, 60 tahun, sopir pertama Mangle. Ia jadi sopir sejak usia 15 tahun. Kini, ia pensiun dan jadi teknisi di percetakan Mangle.

Ungkapan “sajipeun” artinya tiras keseluruhan Mangle cukup dimuat dalam satu jip. Ia menaksir antara 2.000 sampai 3.000 eksemplar.

Sampul edisi pertama Mangle menampilkan Ika Rostika, seorang jurukawih dari sanggar Mang Koko, seniman karawitan ternama Jawa Barat. Di sampingnya, terdapat untaian tujuh bunga melati. Angka “tujuh” mengingatkan pada jumlah pemrakarsa pendirian Mangle: Oeton Moechtar, Rochamina Sudarmika, Wahyu Wibisana, Sukanda Kartasasmita, Saleh Danasasmita, Utay Muchtar, dan Alibasah Kartapranata. Mangle sendiri, dalam bahasa Sunda, berarti untaian melati yang biasa dikenakan pada pengantin.

Selain tujuh melati, kelak Mangle pun dihiasi sebuah candrasengkala: Sukaning Indriya Gapuraning Rahayu. Candrasengkala bikinan Mas Atje Salmoen—bekas redaktur Balai Pustaka, yang dianggap guru bagi banyak pengarang Sunda—ini kurang lebih berarti “Kesukaan Membaca Gerbang Kebahagiaan.” Tafsir akan lain maknanya bila ia dieja dari arah sebaliknya. Ia kini jadi sebuah kronogram. Rahayu bisa berarti satu, Gapuraning sembilan, Indriya lima, Sukaning tujuh. Ini jelas menerangkan tahun pertama Mangle diterbitkan, 1957. Persisnya, 21 November 1957.

Tak ada judul pada sampul. Satu-satunya rangkaian huruf lain selain logotif dan candrasengkala adalah brand image yang menjelaskan kalau Mangle merupakan majalah umum dan panglipur (hiburan). Isi perut Mangle memberi penegasan. Cerita pendek tentang kehidupan sehari-hari, utamanya dengan setting kampung, cerita pewayangan, guyonan, dan kisah-kisah menggelikan yang dialami pembaca dalam rubrik “Pangalaman Para Mitra” dapat disebut sebagai contoh-contoh faktualnya. Porsi non-hiburan secara reguler barangkali terletak pada rubrik pengajaran bahasa Sunda.

Sebagai majalah hiburan, Mangle jelas tak bisa diharapkan jadi media perlawanan budaya terhadap penguasa sebagaimana dicita-citakan Wahyu Wibisana jauh-jauh hari. Pada 1960-an, Mangle malahan jadi corong rezim dengan memuat artikel serial tentang Manipol Usdek (Manifestasi Politik Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional). Sekurang-kurangnya dua halaman dihabiskan untuk menjelaskan bab-bab ajaran Soekarno, yang berjejuluk “pemimpin besar revolusi” itu.

“Akang kan inginnya majalah sastra, majalah yang memberi jalan pada kebudayaan dan harga diri Sunda?” tanya saya kepada Wibisana baru-baru ini.

“Betul. Tapi yang punya duit bukan Akang,” jawab pria kelahiran 1935, yang sampai saat ini masih rajin menulis buku-buku pelajaran bahasa Sunda.Terakhir, ia sedang berusaha menamatkan triloginya mengenai pelik-pelik bahasa Sunda, masing-masing sebanyak 2.000 halaman.

Wahyu Wibisana sebenarnya tidak gagal-gagal amat mendesakkan konsepnya. Selaku redaktur kepala, Wibisana masih didengar pemodal ketika ia menyodorkan 30 banding 70 untuk sastra banding hiburan. Dalam perkembangannya, konsep inilah agaknya yang memberi Mangle identitas lain, selain sekadar majalah hiburan. “Karena banyak karya yang dimuat di situ punya kekuatan sastra, juga aspek bahasa dan sastra sering dibahas dalam karya-karya yang dimuat itu, secara tidak langsung Mangle ikut memekarkan sastra Sunda,” komentar Ajip Rosidi, seorang novelis dan ketua Yayasan Kebudayaan Rancage, yang mengadakan penyusunan Ensiklopedia Sastra Sunda, dan kini mukim di kota Mino, Jepang.

Rosidi mengatakan pada saya, Mangle bahkan dapat disebut sebagai salah satu referensi penting untuk meneliti perkembangan sastra Sunda mulai 1957 sampai sekarang. “Lagi pula,” sambung Rosidi, “hampir seluruh pengarang Sunda pernah memuatkan karya-karyanya di Mangle.”

Apapun pendapatnya, belum lagi setahun bersama Mangle, Wibisana hengkang ke Bandung. Orang tak pernah tahu persis musababnya. Kalau ditanya, ia biasa memberikan jawaban klise, “Akang pindah ngajar.” Begitukah? Sebuah koran tua di Bandung yang mulai terbit pada 1920, Sipatahoenan, punya catatan yang menunjukkan, sejak 1958 Wibisana pernah bekerja di sana.

PADA 1963 Mangle lagi-lagi kehilangan pemimpin. Mas Atje Salmoen, redaktur-cum-pengarang yang memberi cetak biru pada Mangle, memutuskan membuat majalah sendiri, Sari, juga berbahasa Sunda. Tak ada huru-hara pada awal perceraian ini. Pangkal penyebab hanyalah karena Salmoen tak bisa mengikuti kepindahan markas besar Mangle ke Bandung.

Oetoen Moechtar mengutus Sukanda Kartasasmita untuk menemui Wibisana, yang berhasil diajak bergabung kembali sekaligus duduk sebagai pemimpin redaksi. Pembenahan di tubuh Mangle dimulai. Penyundaan struktur kepengurusan mengawalinya. Sekadar menyebut contoh, pucuk pimpinan tertinggi yang selama ini menggunakan kredit direktrise kemudian pemimpin umum, diubah jadi pupuhu. Sedang pemimpin redaksi disundakan menjadi girang rumpaka. Nama-nama yang selama ini asing buat kepengurusan media, sekalipun majalah berbahasa Sunda, tiba-tiba bermunculan: dari panangkes (redaktur pelaksana), juru duum (sirkulasi), sampai candoli (keuangan).

Kepindahan Mangle ke Bandung juga ditandai oleh dimulainya keseriusan untuk mengelola sektor bisnisnya. Mangle yang sejak pertama terbit tak pernah menagih uang langganan, membalik sikapnya. Sopir Eto Hidayat pun dikelilingkan ke berbagai daerah. Tagihan Mangle tidak sulit ditarik. Sepertinya orang lebih takut kehilangan sebagian jatah uang belanja ketimbang kiriman Mangle. Intensifikasi penagihan ini sungguh luar biasa hasilnya. “Waktu diadakan penagihan,” kenang Hidayat, “orang Mangle terkejut sebab ternyata mereka kaya.”

Bersamaan dengan itu, Mangle merekrut para penulis yang sedang semangat-semangatnya. Ki Umbara, Ami Raksanagara, Dudu Prawiraatmadja, Duduh Durahman, Yus Rusyana, atau Saini KM adalah beberapa di antaranya. Mangle tak salah pilih. Ki Umbara, umpamanya, berhasil membumikan apa yang disebut Ajip Rosidi “sastra dakwah Islamiyah”—walaupun untuk itu Ki Umbara harus berhadapan dengan para penulis sastra kiri, yang dengan tensi tinggi berusaha merevolusikan “sastra realis” –anak kandung paham realisme sosialis.

Sebelum bergabung, Umbara dikenal sebagai redaktur majalah Pelet dan kontributor Balai Pustaka yang terbilang produktif. “Karya-karyanya yang mula-mula menarik perhatian karena memperlihatkan mutu yang jauh menjulang di atas karya-karya sebelumnya, ialah yang menceritakan pengalaman manusia mu’min yang tersesat atau masuk ke dalam dunia siluman atau jin,” tulis Ajip Rosidi merujuk pada cerita pendek Kasilib (Terseret ke Dunia Siluman) yang dimuat Mangle pada 1963.

Cerita-cerita lain yang bergenre sama—yang juga melambungkan nama Umbara sekaligus Mangle—bisa disebut beberapa di antaranya lagi. Taruhlah Nu Ilang Tanpa Karana (Yang Hilang Tanpa Sebab), Mang Marebot Dipinangsaraya (Mang Marebot Dimintai Tolong), atau Teu Tulus Paeh Nundutan (Batal Mati Ketika Mengantuk). Cerita-cerita ini, menurut Rosidi dalam karyanya Sastra dan Budaya (1995), bukan saja telah melanjutkan tradisi dakwah Islamiyah dalam sastra Indonesia, melainkan bersesuaian pula dengan perkembangan fiksi dunia mutakhir, tatkala para pengarang kian cenderung meninggalkan realisme dan seolah berlomba-lomba menciptakan karya-karya nonrealis. “Apa yang dilukiskannya sebenarnya merupakan kehidupan yang dianggap riil dalam dunia orang kecil di perkampungan Sunda,” tulis Rosidi.

Jerih payah Ki Umbara tidak sia-sia. Belum lagi setahun masa kepemimpinan Wibisana, oplah Mangle sudah bisa dilarikan ke angka 30 ribu eksemplar; naik 200-an persen dari semula. Akhir 1963, oplah naik jadi 50 ribu eksemplar. Roda bisnis Mangle pun berputar makin cepat. Setahun kemudian, awak percetakan PT Ekonomi di Jalan Oto Iskandardinata mencetak 90 ribu eksemplar per bulannya.

“Saya kira Akang orang yang paling berhasil menggenjot oplah Mangle,” puji saya pada Wibisana.

Ia mengibas-ngibaskan tangan. “Tidak persis begitu,” Wibisana mencoba membuang pujian. “Zaman Akang beda. Saingan belum banyak, terbit tidak seperti sekarang seminggu sekali. Jangan lupa, waktu itu kebahasaan Sunda masih eksis. Penuturnya masih banyak.”

Meraih sukses barangkali sama sulitnya dengan mempertahankannya. Mangle yang sedang menyala kuat, tak urung mengundang laron-laron untuk ikut menikmati sinarnya. Tak heran kalau berbagai kader partai politik berdatangan meminang Mangle. “Waktu itu musim bergandul,” ucap Wibisana mengacu pada aturan rezim Soekarno yang mengharuskan tiap media punya gandulan politik. “PNI, kiri, kanan, terus merongrong,” katanya lagi. PNI adalah Partai Nasional Indonesia, sedangkan kiri dan kanan masing-masing sebutan untuk kalangan komunis dan kaum agama.

“Partai apa akhirnya?”

“Partai militer. Hahaha,” gelaknya.

Militer waktu itu jadi simbol netralitas. Ia lebih berfungsi sebagai pemadam kebakaran dan tak berkepentingan pada kekuasaan. Wibisana merasa, media hanya bisa berkembang manakala tak terlibat berbagai kepentingan, terutama politik. “Orang politik mulai mengambil jarak,” katanya. “Sebelum itu Akang sempat dapat ancaman-ancaman. Bahkan ada yang mengancam akan mencungkil mata segala.”

Seiring sukses yang dicapai, biduk Mangle mulai terancam bocor oleh friksi internal yang tiba-tiba menggejala. Aturan Departemen Penerangan agar pemilik media massa memberikan sahamnya 20 persen kepada karyawan, jadi biangnya. Pemilik keberatan. Desas-desus mulai berterbangan di meja-meja awak Mangle. Perang dingin tak dapat dielakkan lagi.

Sekuat tenaga Wibisana menjaga keharmonisan kerja. Ketika eskalasi konflik makin memanas dan pemilik saham mulai merasa gerah, Wibisana dihadapkan pada pilihan sulit. Oeton Moechtar menginstruksikan Wibisana memecat sejumlah awak redaksi yang dianggap susah diatur. Dalam daftar Wibisana, terdapat nama-nama Ki Umbara, Duduh Durahman, Yus Rusyana, dan Saini KM; orang-orang yang selama ini sudah memberikan nama besar Mangle, sekaligus sudah dianggap saudara sendiri olehnya. “Pak Oeton tidak sependapat dengan mereka,” kata Wibisana.“Setelah ditimbang-timbang, Akang memilih memecat diri sendiri.”

Tahun 1966, era Wibisana angkat kaki. Seluruh temannya, yang diminta Moechtar untuk dipecat, terpana. Mereka akhirnya mengikuti langkah.

SEPENINGGAL Wibisana, Mangle dimasuki orang politik: Mh. Rustandi Kartakusuma, kader Partai Nasional Indonesia. Yang menarik, Kartakusumah tidak pernah mengubah Mangle jadi dapur politik. Justru sebaliknya, Mangle-lah yang kemudian membenahi dirinya untuk lebih kencang lagi berkreasi setelah politik mengendurkan kemampuan sastranya.

Kartakusumah—kini 81 tahun, tetap lajang dan tinggal di Panti Wreda Karya Bakti, Cibubur, Jakarta—bukan orang baru di jagat sastra. Tahun 1960-an, Mh. Rustandi Kartakusumah dikenal sebagai seteru polemik kritikus sastra H.B. Jassin. Jassin sendiri menggolongkan Kartakusumah masuk ke dalam jajaran sastrawan 1945 atau seangkatan Chairil Anwar. Prabu dan Putri (1950) serta Bunga yang Merah Merah Semua, Bunga yang Putih Putih Semua (1958) adalah sejumlah karya drama yang dianggap cemerlang untuk masanya.

Nama Kartakusumah di dalam negeri meredup pada 1950-an ketika ia melalangbuana untuk mengajar di Yale University, Harvard University, dan Massachussetts Institute of Technology, semuanya universitas papan atas di Amerika Serikat. Selain itu, Kartakusumah tercatat pula sempat mukim selama setahun di Belanda, melakukan studi lapangan atas undangan Sticussa (Stichting voor Culturele Samenwerking) –sebuah lembaga kebudayaan Belanda yang cukup prestisius.

Di tangan Kartakusumah, Mangle diubah jadi dwimingguan, dengan harga eceran Rp 7. Oplah Mangle yang sempat melorot 40 ribu eksemplar, dapat ditingkatkan menjadi 50 ribu per terbit atau 100 ribu eksemplar per bulan.

Kartakusumah adalah pekerja keras, toleran, dan guru buat mereka yang berbakat. “Karya-karya yang dinilai tinggi dari segi sastra bisa saja dimuat dalam satu nomor majalah, yang juga memuat karya yang sama sekali tidak bernilai sastra,” ungkap Abdullah Mustappa, wakil pemimpin redaksi Mangle pada periode 1979-1982.

Mustappa menuturkan bagaimana Kartakusumah memainkan peranannya begitu diangkat jadi pemimpin. Pertama-tama, ia membongkar lemari untuk mencari naskah-naskah yang dinyatakan tidak laik muat sebelumnya. Ia baca satu per satu, kalimat per kalimat, kata per kata. Beberapa yang menarik perhatian, ia sunting dan ketik ulang. Kalau dirasa perlu, ia akan mengirimkan surat kepada pengarangnya untuk mengabarkan bahwa naskahnya akan dimuat. Tak jarang, Kartakusumah datang sendiri ke rumah sang pengarang.

Kebijakan Kartakusumah tak urung mengundang kontroversi. Saini K.M, redaktur Mangle di masa Wibisana, mengomentari Kartakusumah telah mengubah Mangle dari sastra menjadi kitsch.

Memuat karangan yang pernah ditolak mungkin masih bisa “dimaafkan.” Tapi, langkah Kartakusumah berikutnya tambah membuat orang tak habis pikir. Ia dengan sengaja mengundang para pengarang baru, yang sebelumnya sama sekali tak dikenal dalam jagat sastra, untuk duduk bersama-sama di jajaran redaksi. Tak hanya sampai di sana. Nama-nama pengarang yang selama ini naskahnya jadi hiasan lemari pun ia panggil, dan malah ditawari jabatan redaktur.

“Mendidik pengarang,” ujar Mustappa, kini jadi redaktur Pikiran Rakyat, “itu merupakan salah satu tujuannya, bahkan mungkin yang paling penting ketika memimpin Mangle. Pemikirannya, sebagaimana ia kemukakan kemudian, tampak cukup sederhana. Yaitu, sastra itu harus disukai pembacanya.”

Kegilaan Kartakusumah baru dirasakan beberapa tahun kemudian. Banyak siswa bimbingannya yang kemudian jadi pengarang-pengarang kuat hingga mampu menyejajarkan karyanya dengan para inohong sastra Sunda. Pengarang novel Eddy D. Iskandar yang terkenal pada 1980-an adalah salah satu didikannya. Ada juga nama lain seperti Teti Hodijah, Adang S., Aam Amalia, atau Holisoh ME—yang memarakkan hiruk-pikuk sastra Sunda 1980-an.

Kartakusumah sendiri akhirnya memperlihatkan wajah aslinya sebagai pengarang yang piawai membangun karakter dan plot. Novel Mercedes 190, mulanya sebuah cerita bersambung di Mangle, umpamanya, dianggap sebagai karya monumental oleh banyak kritikus sastra Sunda, termasuk Ajip Rosidi. “Selama ini, karya sastra dihindari karena dianggap bacaan berat,” kata Rosidi, seraya menambahkan bahwa Kartakusumah mematahkan anggapan tadi. “Karya sastra yang baik, juga bisa jadi bacaan populer.”

Kartakusumah bertahan dua tahun. Oeton Moechtar, pemilik yang telah pensiun dari kursi pejabatnya di dinas kehutanan Bogor, mengambil alih kepemimpinan. Ia mulai menjangkarkan pola manajemen keluarga di berbagai lini.

Masa keemasan Mangle yang dimulai sejak Wibisana dan dilanjutkan Kartakusumah, pelan-pelan memudar. Menjelang dekade 1960-an berakhir, jenis kelamin Mangle sudah tidak jelas lagi, apakah majalah fiksi atau informasi. Pasalnya, di bawah kepemimpinan Moechtar, Mangle yang sudah kekurangan pengarang, mencoba masuk ke lahan baru: jurnalistik. “Kalau dikatakan dosa, ya saya berdosa. Saya mencoba memadukan sastra dan jurnalistik di Mangle. Saya membentuk wartawan,” ungkap Us Tiarsa, bekas redaktur reportase Mangle yang kini jadi pemimpin redaksi mingguan Sunda Galura, anak perusahaan Grup Pikiran Rakyat.

Us Tiarsa menuturkan, sejak roda jurnalisme berputar itulah konflik sering terjadi di Mangle. Dalam berbagai rapat, direksi malahan sering mempertanyakan arah dan konsistensi Mangle. Dihadapkan dengan situasi demikian, awak Mangle tak lagi dapat bekerja secara tenang. Setiap saat mereka dapat menjadi sasaran kritik. “Friksi yang begitu tajam tidak ada, tapi situasi jadi tidak harmonis lagi,” kata Tiarsa.

Moechtar mungkin sadar akhirnya, ia tak dilahirkan untuk menjadi pemimpin redaksi. Maka, segera setelah Us Tiarsa dan kawan-kawan meninggalkannya, dia menyerahkan kepemimpinan redaksi kepada Ki Umbara, orang yang juga sempat meninggalkannya. Karya-karya nonfiksi kembali diberi tekanan. Aktivitas jurnalistik hanya diberi tempat seperlunya, sekadar sebagai “ganjal” halaman yang kini sudah lebih tebal: 36 halaman.

SEBELUM Ki Umbara benar-benar bekerja menjalankan tugasnya, langkahnya terhenti di tengah jalan. Tanpa jelas sebabnya, kepemimpinan redaksi diambil-alih Sukanda Kartasasmita, salah seorang pendiri Mangle, yang kini jadi menantu Oeton Moechtar.

Tidak banyak yang dilakukan Kartasasmita, selain mengubah periodisasi terbit Mangle menjadi mingguan dengan oplah 50 ribu eksemplar. Bukannya membawa kemajuan, oplah Mangle terus merosot hingga mencapai 30 ribu eksemplar per minggu. Ki Umbara pun kembali dinaikkan jadi pemimpin redaksi. Tapi, tampaknya, Mangle tak menemukan jalan baru untuk dapat mendongkrak lagi oplahnya. Pilihan kembali periodisasi terbit ke format semula, sebulan tiga kali terbit, tak pernah mereka ambil.

Tahun 1979, Departemen Penerangan menginventarisasi ulang penerbitkan seraya mengingatkan kembali agar karyawan diberi porsi saham. Sejarah berulang. Awak Mangle lagi-lagi terlibat aksi bisik-bisik. Malang buat Ki Umbara, ia terkena langkah pengamanan manajemen. Kedudukannya digantikan Oejang Darajatoen Moechtar, anak kandung keluarga Moechtar.

Di masa kepemimpinan Darajatoen, struktur kepengurusan redaksi Mangle kembali berubah. Banyak nama-nama yang kemudian mendapat tempat di hati masyarakat. Namun, itu setelah mereka keluar dari Mangle. Beberapa di antaranya Abdullah Mustappa, Yoseph Iskandar, atau Aam Amalia.

Mangle sendiri tak kunjung mampu berlari. Jangankan oplahnya naik, sekadar mempertahankan saja sudah sulit. Dan itulah yang terjadi hingga akhirnya oplah tinggal 10 ribu eksemplar sebelum krisis moneter 1997. Celakanya lagi, iklan yang masuk makin lama makin seret. Belakangan, yang tersisa tidak lebih dari iklan barter, iklan kursus menjahit, ucapan selamat kepada pejabat yang naik pangkat, atau iklan ulang tahun suatu daerah.

“Mangle semata-mata hidup dari penjualan per eksemplar dan sumbangan-sumbangan yang tidak mengikat, baik dari pemerintah (daerah) maupun dari lembaga swasta dan perorangan,” ungkap Duduh Durahman, kini wakil pemimpin redaksi bidang fiksi.

Darajatoen Mochtar berusaha sekuatnya menyehatkan bisnis Mangle, semisal dengan melakukan intensifikasi penagihan. Tapi zaman sudah berubah rupanya. Berbeda dengan masa Wibisana, agen-agen tak lagi cemas kalau pengiriman Mangle dihentikan. “Mereka tak bereaksi. Tak ada respons. Mangle bukan Tempo atau Kompas, yang kalau dihentikan pengirimannya, agen akan kelabakan,” Darajatoen menyampaikan kegundahannya.

Sadar situasi, Darajatoen mengalihkan pandangan dari pola penjualan eceran. Ia mendekati instansi-instansi dan perusahaan-perusahaan agar dapat berlangganan secara borongan. Tapi, ini pun tak banyak hasilnya. Mereka baru membeli banyak kalau kebetulan sedang punya event penting.

“Mangle menulis kegiatan mereka, dan mereka membeli Mangle,” tambah Darajatoen. Ia kemudian menunjuk Bank Jabar, PT Telkom, Pos dan Giro, serta Pupuk Gresik, yang selama ini menyangga pasar Mangle. “Kalau ulang tahun atau ada kegiatan penting,” begitu kata Darajatoen, “Telkom biasanya memesan 100 eksemplar.”

Sulitnya mendongkrak oplah, menurut Durahman, amat berpengaruh pada kesejahteraan karyawan. Gaji karyawan, yang menjadi kunci utama untuk membuka masalah tersebut, hampir tak pernah terperhatikan. Berapa sebenarnya gaji karyawan Mangle?

Darajatoen mengatakan, karyawan tetap redaksi rata-rata memperoleh imbalan Rp 300 ribu per bulannya. Sedangkan redaktur mendapat gaji rata-rata Rp 500 ribu. Tapi, Karno Kartadibrata, wakil pemimpin redaksi, punya angka berbeda. Redaktur menurutnya berkisar Rp 200 ribu. Ini pun buat karyawan tetap. Mereka yang berstatus honorer, total gaji yang diterima bisa lebih kecil lagi, berkisar Rp 100 ribu. “Semuanya serba tertutup. Tak pernah ada transparansi. Tapi, Akang mendapat Rp 650 ribu,” ucap Karno Kartadibrata, wakil pemimpin redaksi bidang nonfiksi.

“Para karyawan bisa bertahan hidup sebulan dari gaji, itu satu keajaiban,” timpal Durahman. “Tetapi memang begitulah kenyataannya. Banyak karyawan yang terpaksa berimprovisasi memanfaatkan kesempatan dan keterampilan yang dimiliki; merangkap sebagai montir alat elektronik, makelar, buka warung, tukang kredit, atau tukang jahit.”

Awak redaksi bisa saja mendapatkan “uang lebih” dari kantor. Cara yang paling simpel adalah dengan menulis fiksi, yang menurut Durahman, akan dibayar penuh oleh Mangle. Tapi, selain keterbatasan kolom dan tidak banyak awak redaksi yang punya kemampuan menulis fiksi, honor pun tak punya daya saing.

Honor pengarang Mangle memang hampir tak pernah naik lagi dalam lima tahun terakhir ini. Seorang pengarang cerita pendek hanya dihargai Rp 45 ribu sampai Rp 75 ribu. Ini kata Darajatoen. Perkiraan Durahman lebih kecil lagi. Tapi, ia enggan menyebut jumlah persisnya. “Yah, kira-kira sepadan dengan harga sebelas liter beras. Bayangkan saja,” tandasnya bersenyum kecut.

Satu-satunya yang dia banggakan dari Mangle dalam perkara honor adalah ketepatannya dan kecepatannya membayar. “Mangle tak pernah menipu. Hari ini menulis, besok sudah bisa diambil honornya. Bahkan Mangle kalau perlu membayar di muka. Ini dari dulu sampai sekarang.”

HALAMAN Mangle sekarang 74 lembar. Hanya sampul yang tampil berwarna, isi melulu hitam putih, dengan kualitas cetak “begitulah.” Melati tujuh, gambar perempuan berkebaya, candrasengkala, masih menghiasinya. Bedanya, sampul kini tak lagi dibiarkan telanjang tanpa judul. Sejumlah banner dengan huruf-huruf mencolok, bahkan didesain secara bevel dan emboss, bertebaran di sana.

Rubriknya makin banyak, yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar: fiksi dan nonfiksi. Pada rubrik fiksi, Mangle menampilkan cerita pendek, cerita bersambung, kadang-kadang kisah kriminal saduran, selain sajak. Sedangkan rubrik nonfiksi, dengan jumlah bejibun, antara lain menghadirkan artikel agama, artikel umum, kolom, pengalaman sejati, parlementaria, wawancara, tajuk rencana, tulisan jendela, dan banyak lagi. Hampir seluruh rubrik menggunakan bahasa Sunda.

Dalam sebulan, majalah yang sekarang dipayungi PT Mangle Panglipur ini menerbitkan sisipan Mangle Alit (anak-anak) dan Mangle Rumaja (remaja). Sebulan sekali, Mangle terbit dalam edisi Kandaga. Dalam edisi ini Mangle sepenuhnya memuat karya-karya fiksi, terutama cerita pendek dan cerita bersambung, selain guyonan. Penerbitan Kandaga diawali oleh niat untuk lebih menggiatkan kembali sastra Sunda, selain memacu semangat para pengarang untuk tetap berkarya.

Pengarang yang beruntung akan mendapatkan uang penghargaan senilai Rp 500 ribu. Penghargaan yang disponsori Uu Rukmana, seorang pengusaha, diberikan setiap bulan untuk satu cerita pendek yang dianggap punya mutu bagus. Sebelumnya, sejak 1963, Mangle menganugerahkan Hadiah Sastra Mangle. Ki Umbara, Sjarif Amin, Aam Amalia, Adang S, adalah beberapa di antara nama yang sempat memperolehnya. Kini, tak jelas bagaimana nasib penghargaan tersebut.

Beruntung di luar Mangle masih ada pihak lain yang bersedia menyediakan penghargaan untuk karya-karya fiksi. Taruhlah Hadiah Sastra LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra Sunda atau Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda) yang diberikan setiap tahun, sejak 1989. Mereka yang mendapatkan Hadiah Sastra LBSS, dengan Mangle sebagai etalase karya-karyanya, tercatat Cecep Burdiansyah untuk cerita pendek Bilatung (1990); Yous Hamdan, Simpe di Makam (1995); Ahmad Rustandi, Rekayasa Dayang Sumbi (1996); Eti Nurhayati Sukentar, Bapa (1997), dan Empu Surawinata untuk esei Bubungkusan (1998).

Ada juga penghargaan yang tak kurang gengsinya, Hadiah Sastra Rancage, yang diprakarsai Ajip Rosidi sejak 1989. Mulanya, hadiah ini memusatkan perhatian pada karya fiksi sastra Sunda. Beberapa tahun kemudian, wilayah penghargaan diperluas menjadi sastra Sunda dan Jawa. Terhitung 1998, Hadiah Sastra Rancage juga diberikan untuk para penggiat sastra Bali.

Sejak diberikan untuk pertama kali, sejumlah pengarang yang menaruh karyanya di Mangle, kemudian dibukukan, sudah mendapatkannya. Mereka adalah Yus Rusyana, buku kumpulan cerita pendek Jajaten Ninggang Papasten (1989); Iskandarwarsid, buku kumpulan cerita pendek Halimun Peuting (1990); Rachmat Ading Affandi, novel Nu Kaul Lagu Kaleon (1991); Yoseph Iskandar, novel Tanjeur na Juritan Yaya di Buana (1992); Tjandra, buku kumpulan cerita pendek Awewe Dulang Tinande (1998); Darpan Ariawinangun, buku kumpulan cerita pendek Nu Harayang Dihargaan (1998), serta Chye Retty Isnendes, buku kumpulan sajak Kidung Kawiyasa (2000).

Itu soal fiksi. Di bagian nonfiksi, cerita lain lagi. Awak redaksi tak bisa menyandarkan mimpinya untuk mendapatkan hadiah serupa bagi karya-karyanya, hasil reportasenya. Berkontraksi dengan rendahnya upah kerja dan lemahnya kualitas sumber daya manusia, bisa dipahami kalau orang sulit menemukan karya jurnalistik bermutu.

Di masa lalu, ketika Us Tiarsa mengomandani pasukan wartawan, Mangle masih bisa menggonggongi sejumlah kebijakan pemerintah daerah –seperti pendirian diskotek, kelab malam, tempat-tempat hiburan. Pemerintah setempat akan berpikir dua kali untuk memberikan perizinan daripada dimurkai Mangle. Di sini, dalam takaran tertentu, Mangle dapat dikatakan mampu memerankan dirinya sebagai agen kontrol sosial. Kini, mana bisa Mangle memainkan rol macam itu?

Banyak tulisan di Mangle yang mereka sebut features, atau katakanlah karya jurnalistik, tapi tak ada bedanya dengan buatan petugas hubungan masyarakat. Semua tokoh yang ditampilkan seperti seseorang yang datang dari langit ke tujuh dengan segala kesuciannya. Tak ada kontrol, tak ada kegelisahan, tak ada pula curiosity. Lebih penting dari itu, suara instansi dan pejabat mendapat porsi terbanyak, lima sampai tujuh halaman. Hampir di setiap edisi, pejabat anu, instansi anu, selalu nampang di sana —baik mengenai diri dan keluarganya atau keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai. Alih-alih hendak membuat produk jurnalistik, mereka justru membuat tulisan public relations.

Masuk akal kalau Duduh Durahman dari bagian fiksi sering mengungkapkan anggapan yang berkembang bahwa Mangle terlalu banyak memuat rubrik yang tak menghibur. “Di satu pihak, ada anggapan Mangle ketinggalan jauh karena tidak ikut serta dengan lajunya perjalanan zaman dalam era informasi. Pihak lain beranggapan Mangle harus tetap sebagai majalah hiburan, tak perlu latah terbawa arus. Informasi sudah lebih dulu sebagai jatah media cetak lain,” katanya.

Ia kemudian memaparkan kesangsiannya akan kemampuan Mangle untuk bisa bersaing informasi dengan media lain, baik media cetak maupun elektronik seperti televisi, radio, dan internet, sedang peralatan untuk itu sama sekali tak menunjang. Sampai di sini Durahman tidak sedang membual. Saya melihat, peralatan redaksi Mangle memang hanya komputer-komputer uzur yang bekerja secara manual. Jumlahnya pun tidak banyak. Lima unit untuk belasan orang.

KAMAR redaksi hanya beberapa langkah dari pintu utama; melewati ruang resepsionis yang sebagian sudutnya diisi meja Karno Kartadibrata, wakil pemimpin redaksi bidang nonfiksi. Dua lampu neon yang bergelantungan di atas kabel-kabel tua meneranginya. Bentuk ruang mengingatkan layout bus kota. Meja-kursi, sebagian di antaranya dipajangi komputer, berderet dari depan ke belakang dalam dua saf. Lemari besi, kabinet arsip, bufet, sofa, tampak berdesak-desak, seperti saling sikut memperebutkan lahan sekitar 4 x 10 meter persegi.

Tepat di seberang kamar redaksi, terletak sebuah ruangan agak besar, seluas sekitar 7 x 10 meter persegi. Inilah ruangan percetakan yang berisi mesin potong Polar-Mohr Standard, mesin jahit kawat Hohner Economy, dan Heidelberg untuk isi dan cover. Mesin pelat Duplihot HS 130 menempati sudut lain, di sebuah bedeng tersembunyi di balik pintu tripleks. Seluruh mesin dibeli tahun 1980, tatkala Mangle mendapatkan kucuran kredit Rp 90 juta dari Bank Dagang Negara. Ketika itu, kurs dolar atas rupiah masih sekitar Rp 600.

Andai tak ada peralatan-peralatan tersebut, sulit membayangkan bagaimana perjalanan nasib Mangle, terutama sekali sejak krisis moneter memukul perekonomian Indonesia menjelang jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Sejak 1997, oplah cetak Mangle memang hanya 5.000 eksemplar, dengan harga eceran Rp 4.000 per eksemplarnya. “Ada subsidi silang dari order cetak luar,” kata Darajatoen. Dengan order ini, ia menandaskan, separuh langkah bisnis Mangle disangga usaha percetakan.

“Apa saja yang bisa dicetak di sini?”

“Kartu nama, apa saja. Semua diterima,” ujar seorang petugas percetakan dalam bahasa Sunda halus. Hambali, demikian jatidiri pria itu, kemudian melanjutkan pekerjaannya, memotong-motong kertas. “Mangle kebanyakan orang. Untung percetakan bisa memberi makan.”

Hingga akhir 2001, karyawan Mangle sekurang-kurangnya 43 orang. Separuh di antaranya tenaga redaksi. Sebagian karyawan tetap, sebagian lagi hononer.

Bukan perkara gampang bagi Darajatoen untuk dapat memberi makan mereka. Kalkulasi kasar memperlihatkan, buat hidup sebulan, Mangle sekurang-kurangnya memerlukan biaya sekitar Rp 30 juta untuk gaji, produksi, dan biaya umum. Angka ini mungkin akan lebih membengkak lagi ketika datang musibah kenaikan harga kertas. Padahal, kertas yang diperlukan untuk menerbitkan Mangle tidak dibeli dari distributor besar, tapi dari kelas leveransir di Jalan Cibadak, Bandung.

Untuk empat ribu eksemplar per minggu, dalam satu bulan, Mangle sekurang-kurangnya memerlukan 100 rim plano untuk isi, dan 12 rim kertas kunsdruck untuk sampul. Total jenderal biaya yang dibutuhkan untuk semua itu sekitar Rp 10 hingga Rp 15 juta. “Kertas saja Rp 5 juta. Hanya untuk satu-dua kali terbit,” kata Moechtar.

Yang sedang dihadapi Mangle jelas bukan aktivitas investasi tapi perkara bertahan hidup. Persoalannya, bagaimana Mangle bisa bertahan dengan pengeluaran Rp 30 juta per bulannya? Kelihatannya, Mangle masih punya selisih pendapatan Rp 50 juta dari penjualan oplah sebulannya yang 20 ribu eksemplar itu. Tapi, ini selisih di atas kertas. Dalam prakteknya, tidak seluruh oplah terjual, dan tidak seluruhnya menghasilkan uang cepat. Lagi pula, biaya rutin Rp 30 juta itu tidak termasuk ongkos-ongkos percetakan dengan segala tetek-bengeknya.

Beralasan kalau awak Mangle – termasuk Darajatoen sendiri – menilai medianya dalam kondisi “hirup teu neut paeh teu hos”. Saya agak kesulitan mengindonesiakannya secara persis, tapi kira-kira peribahasa tua tersebut setara dengan “bagai kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau.” Dalam kalimat yang lebih pendek, ngos-ngosan. Gamblangnya: sekarat.

Jalan keluar dari situasi tersebut teorinya adalah menggenjot pemasaran, baik oplah maupun iklan. Betapapun, di hadapannya terbentang pasar yang amat besar. Simak hasil riset Galura, sebagaimana disampaikan pemimpin redaksinya, Us Tiarsa. Dia bilang, dari 42 juta warga Jawa Barat, lebih separuhnya penutur bahasa Sunda. Angka melek huruf pun, berangkat dari data Sensus Ekonomi Nasional 1999, relatif tinggi, yakni sekitar 92 persen.

Namun, indahnya angka-angka tadi sepertinya tak berarti apa-apa buat Mangle. Selain daya beli masyarakat sedang melemah akibat pukulan krisis ekonomi, Mangle harus berhadapan dengan minimnya biaya operasi. Sekarang saja, biaya pengiriman majalah ke luar kota tak lepas dari karitas 4848, sebuah perusahaan angkutan di Jawa Barat yang punya jaringan ke berbagai daerah.

Jangan tanya dana promosi. Sejak 10 tahun terakhir ini, Mangle hampir tak melakukan kegiatan promosi, selain memasang iklan barter dengan penerbit media massa setempat. Itu pun tidak banyak. “Mangle termasuk barang dagangan, namun harus diberi perhatian oleh pemerintah dan lembaga-lembaga terkait,” ujar Duduh Durahman. Pemikiran Durahman bermuara pada tesisnya, bahwa selain memuat kepentingan bisnis, Mangle juga menampung unsur emosional, kebanggaan, rasa memiliki, dan tanggung jawab masyarakat Pasundan. “Mangle merupakan salah satu media pewarisan budaya.”

Pemerintah Jawa Barat rupanya telah lama mendengar suara semacam itu. Itu sebabnya, seperti dikatakan Darajatoen, sejak tahun 1980, Mangle mendapat bantuan setiap tahunnya. Hanya saja jumlahnya hanya cukup untuk stok kertas dua edisi, Rp 5 juta. Baru sejak 2001, Mangle seperti mendapat durian runtuh tatkala pemerintah setempat memberikan bantuan Rp 50 juta per tahun. Sejak tahun itu pula, badan legislatif di sana ikut-ikutan bermurah hati, memberi Rp 25 juta.

“Bagaimana kalau wartawan secara perorangan juga memperoleh bantuan. Misalnya, amplop?” iseng-iseng saya bertanya suatu hari di penghujung 2001.

“Nya meungpeun carang we,” tukas Moechtar. Maksudnya, pura-pura tidak melihat.

“Artinya dibolehkan?”

“Mau apa lagi….”

SEMINGGU menjelang lebaran 2001.

Jalan Buahbatu yang panas dan sibuk hampir sepanjang tahun, ternyata masih menyisakan keteduhan, ketenangan. Mampirlah ke sebuah rumah yang berjarak beberapa langkah dari mulut Jalan Mutiara. Di sini, Ki Umbara, nama populer untuk Wiredja Ranulaksa, tinggal ditemani dua cucu dan dua pembantunya. Istri Ki Umbara, Ruwisah binti Karta Perwata, sudah meninggal pada 1984 dalam usia 72 tahun.

Sejak masuk ke halaman, kesan teduh sudah terasa. Tanaman perdu setinggi semeter lebih memagari areal seluas sekitar 20 meter persegi. Di pojok kiri, berdiri pohon jambu air yang sudah berjanggut suplir dan tumbuhan parasit. Di sampingnya, terdapat pohon nangka yang tumbuh tidak sengaja sejak dua tahun lalu gara-gara salah seorang anak Ki Umbara melempar biji nangka ke sana. Setiap hari, kedua pohon berdaun lebat dan rindang itu seperti tak pernah jemu mengumpulkan angin dan menjatuhkannya setelah jadi udara segar.

Lewat lubang berdiameter antara 20-25 centimeter, oksigen menerobos ke dalam ruang tamu yang sangat sederhana. Dua guci Cina, salah satunya setinggi pinggang, mengawal ruang kosong di sayap kanan. Selebihnya, meja dengan vas bunga plastik di atasnya, dan kursi model lama yang telah dimodifikasi ala kadarnya oleh kain tebal warna merah hati. Di salah satu kursi, terlihat tape compo, empat kaset dakwah Zainuddin Mz dan sekeping kaset tembang Sunda Mamah Dasimah. Ada juga balsem untuk menggosok hidung Ki Umbara yang sedang pilek.

Kakek yang dikaruniai enam anak dan 15 cucu itu sekilas masih tampak sehat untuk usianya yang telah menginjak 87 tahun pada 2001. Dituntun salah seorang cucunya, Rastri, 38 tahun, seorang guru sekolah dasar, Ki Umbara berjalan tertatih-tatih. Tangan kanannya menggenggam kuat-kuat kepala tongkat jati penuh ukiran. Ia berkain, berpeci, bersandal kulit.

Saya tahu kemudian, giginya tinggal satu, dan bicaranya kelu. Bergetar. Terbata-bata seperti bocah yang sedang belajar bicara. Matanya sudah tak awas benar sehingga saya harus lebih merapat agar gerak bibir saya terbaca olehnya. Belasan pertanyaan yang saya ajukan, dalam percakapan yang seluruhnya menggunakan bahasa Sunda, dijawab dengan satu kata: lupa. Lainnya, dengan pejaman mata. Juga geleng-geleng kepala. Sampai kemudian ia merogoh saku baju kampretnya. Dari dalam, ia keluarkan secarik surat tanpa amplop, yang diketik dengan rapi. Tiada satu pun kesalahan ketik. Surat dari Ajip Rosidi.

Sejak sebulan, ungkap Rastri, surat itu jadi hiburannya, dan selalu di taruh di saku kemeja itu untuk sesekali minta dibacakan. Isinya antara lain mengabarkan: sejumlah buku dan karya-karya lain Ki Umbara di Mangle akan diterbitkan ulang oleh Ajip Rosidi, yang tempo hari memprakarsai Konferensi International Budaya Sunda, dengan biaya 70 ribu dolar US lebih.

Dari kop, saya tahu, Ajip Rosidi mengirimkan surat dari Mino, Jepang. Nadanya sangat lembut, dengan bahasa Sunda halus, sebagaimana layaknya seorang anak yang berbicara pada orangtuanya. Bahasa Sunda memang mengenal tingkatan, mulai ningrat sampai Sunda pasar. Kepala surat bahkan jelas-jelas menyebut “Kangrama” yang artinya kurang lebih “ayahanda.” Sebutan Ua, atau Uwak dalam bahasa Indonesia, pada tubuh surat, tiada lain sebuah penghormatan kepada seorang yang dituakan. Panggilan ini pula yang digunakan seluruh awak Mangle dan orang-orang yang mengenalnya secara dekat.

Ki Umbara dan Mangle ibarat tubuh dengan jiwa. Ia boleh dibilang satu-satunya pengawal Mangle sejak pertama kali terbit hingga sekarang. Secara formal, memang ia bergabung sebagai redaktur sejak Mangle pindah ke Bandung, pada 1963. Namun, sebenarnya, sejak 1957, tahun pertama Mangle berdiri, Ki Umbara sudah mengirimkan karangan-karangannya. Hanya aktivitasnya sebagai gurulah yang membatasi dirinya sehingga tak bisa bekerja full time.

Kepengarangan yang melekat pada dirinya dirintis sejak bersekolah di Noormal School, pendidikan lanjutan setelah mendapat dasar di Sekolah Rakyat. Bakatnya makin terasah ketika ia mengirimkan karangannya ke Balai Pustaka awal 1950-an. Ketika merapat ke Mangle, Ki Umbara mendapatkan gemblengan Mas Atje Salmoen, redaktur Mangle generasi awal.

Tentang Salmoen, Ki Umbara punya pengalaman yang sampai kini dikenangnya. Suatu ketika Ki Umbara naik kereta-api ke Stasiun Jatinegara, Jakarta, untuk kemudian menyambung perjalanan dengan mobil menuju Bogor. Ia hendak menemui Salmoen. Di kereta api, ia duduk berdampingan dengan seorang yang ia sebut “babah,” panggilan pasar untuk seseorang beretnis Cina. Ia menyebut teman sekereta-apinya demikian lantaran kulitnya yang putih bersih dan matanya yang sipit. Ki Umbara tak punya referensi cukup untuk mengajak “babah” bicara. Bahkan, saat turun pun dan menabrak badannya, Ki Umbara tak sempat meminta maaf.

Sampai di Bogor, setelah keliling mencari-cari alamat Salmoen, Ki Umbara bertemu lagi dengan “babah” yang sama—yang ternyata pengarang pujaannya. “O, yang tadi nabrak, ya,” Salmoen menggodanya.

Ki Umbara hanya sanggup menganggukkan kepala, tanpa berani memandang wajahnya. “Saya malu sekali,” katanya.

Dari Salmoen, Ki Umbara memperoleh teknik-teknik mengarang serta sebuah nasihat yang sampai kini diingatnya. “Kunci mengarang, dengarlah orang. Apapun yang diomongkan orang, dengar. Jangan sekali-sekali menutup kuping,” ujar Ki Umbara mengutip nasihat itu. “Bapak bahkan memerlukan diri datang ke kampung-kampung, termasuk kampung bapak di Bendungan, untuk mendengar cerita-cerita rakyat mulai korban kepala manusia untuk pembangunan jembatan, para penculik anak kecil sampai kelong wewe.”

Kelong wewe yang dimaksud adalah perempuan jadi-jadian dalam mitologi Sunda yang kerjanya menakut-nakuti orang di malam hari, dengan suara-suara seramnya.

Bagi publik Mangle, Ki Umbara bukan hanya pengarang andal, tapi juga sosok bijak. Kritik-kritik sosial yang meluncur dari kepalanya tak pernah disampaikan sepedas-pedasnya, melainkan dengan cara guyon. Ia menuliskannya dalam Lempa Lempi Lempong, salah satu rubrik tetap yang jadi trade mark majalah itu.

Karakter bijak dan ngemong itulah agaknya yang menuntun karirnya hingga dipercayai jadi pemimpin redaksi dalam kurun 1972-1979. Ketika Oejang Darajatoen, anak kandung Oeton Moechtar, pemilik Mangle, mengambil alih kepemimpinan dari kepala sampai leher, Ki Umbara ditempatkan sebagai penasihat redaksi.

Tahun 1986, Ki Umbara mencoba meninggalkan Mangle. Namun, awak redaksi menghalanginya. Padahal, saat itu usia Ki Umbara sudah menginjak 72 tahun, usia yang lebih dari pantas untuk menikmati hari tua bersama anak-cucu. “Bapak tidak boleh keluar dari dulu. Dari tahun 1980-an. Selama Mangle ada, bapak dijanjikan tidak akan ditelantarkan,” ujar Ki Umbara.

Apa boleh buat, nama Ki Umbara masih terus terpajang di boks redaksi sampai sekarang, walaupun sejak awal 1990-an ia tak pernah lagi menyentuh mesin tik. Karya-karyanya yang dimuat Mangle sejak itu tak lebih dari pemuatan ulang.

Sebagai penasihat redaksi, Ki Umbara mendapat kiriman gaji pensiun dari Mangle sebesar Rp 100 ribu saban bulan. Jika ada cerita yang dimuat ulang, ia mendapat tambahan. Kadang Rp 7.500, kadang Rp 15 ribu. “Seringnya tujuhribu limaratus,” kata Rastri menimpali.

“Kemarin bapak diberi 120 ribu,” Ki Umbara mengungkap gaji Desember 2001.

“Itu tak termasuk THR. Kan nanti bapak diberi THR,” Rastri menghibur kakeknya. THR, tunjangan hari raya, yang biasa diberikan perusahaan menjelang Idul Fitri.

Peraih Hadiah Sastra Rancage 1991 itu mengangguk-angguk. Ada bening di kedua sudut matanya. Sepertinya ia menangis – entah untuk apa.*

by:Agus Sopian