Merekam Aceh

Denny S. Batubara

Mon, 4 March 2002

SUATU pagi awal Desember lalu, radio Prapanca FM Medan menyiarkan acara Medan First Channel. Kali itu topiknya mengenai Gerakan Aceh Merdeka yang sehari sebelumnya merayakan ulang tahun deklarasi kemerdekaan mereka.

SUATU pagi awal Desember lalu, radio Prapanca FM Medan menyiarkan acara Medan First Channel. Kali itu topiknya mengenai Gerakan Aceh Merdeka yang sehari sebelumnya merayakan ulang tahun deklarasi kemerdekaan mereka. Wawancara via telepon dilakukan radio itu dengan jurubicara GAM Ayah Sofyan. Isinya seputar bagaimana acara yang acapkali disebut milad GAM itu berlangsung. Militer Indonesia membantah milad itu berlangsung.

Ayah Sofyan mengatakan milad kali ini tak dilakukan dengan publikasi besar-besaran. "GAM tidak mengundang wartawan, tapi kalau ada yang mau silakan," kata Ayah Sofyan, seraya mengatakan ada enam wartawan datang meliput. Salah satunya wartawan dari organisasi berita Prancis Agence France Presse.

Ayah Sofyan tak salah. Wartawan yang dimaksudkannya seorang pemuda berumur 26 tahun asal Medan, Hotli Simanjuntak, yang bekerja sebagai menjadi fotografer AFP di Nangroe Aceh Darussalam sejak April 2001.

Bagi Simanjuntak, meliput konflik Aceh mempunyai keasyikan tersendiri. Tantangannya pun ia nilai lebih besar ketimbang pekerjaannya di Medan, fotografer koran lokal. Di Aceh pula Hotli Simanjuntak mengalami macam-macam pengalaman yang drastis.

Awal Ramadhan 2001 misalnya. Saat itu cuaca belum bersahabat. Di perairan laut Selat Malaka, tepatnya lepas pantai Aceh Timur, sebuah kapal motor terkatung-katung. Menunggu air laut pasang. Delapan jurnalis berada di atas kapal bersama sejumlah orang bersenjata.

"Ini perjalanan terjauh saya ke sarang GAM," ujar Hotli Simanjuntak sembari melihat ke jam tangannya. Fotografer Agence France Presse (AFP) di Nangroe Aceh Darussalam itu baru tersadar kalau ia dan rekan-rekannya sudah hampir 10 jam berada di atas kapal. Padahal sebelumnya, mereka juga harus menempuh perjalanan darat dari Medan ke Peureulak yang memakan waktu hampir 5 jam. Tujuan kali ini ialah melihat langsung kondisi anggota DPRD Aceh Timur, Gazali Usman BA yang disandera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 20 Agustus 2001.

Bersama jurnalis lain dari Kompas, TV 7, Metro TV, Trans TV, Suara Pembaruan dan Radio KISS FM Medan, Simanjuntak mendapat undangan langsung dari Ketua Biro Penerangan GAM Wilayah Peureulak, Ishak Daud. Tujuannya tentu saja untuk melihat kondisi sandera mereka yang kondisinya diberitakan secara simpang siur.

Perjalanan ke lokasi penyanderaan dilakukan dengan berliku. Rombongan bertemu para kurir GAM di wilayan Peureulak, sekitar 40 kilometer dari Kota Langsa. Kemudian dibawa ke sebuah masjid sambil menunggu pemberangkatan. Sore hari, rombongan dibawa ke sebuah dermaga di pinggir sungai menuju muara.

Saat memasuki laut lepas, tiba-tiba kapal tidak bisa melanjutkan perjalanan. Ternyata penyebabnya adalah kondisi laut yang belum pasang. Kapal kembali ke muara. Dalam keremangan senja, seluruh isi kapal melakukan buka puasa. Setelah iar laut meninggi, perjalanan dilanjutkan di malam buta. Perjalanan tanpa alat penerangan apa pun. Rombongan baru sampai ke lokasi yang dikelilingi tambak pada pukul 02.300 Wib. "Kami sudah menunggu sejak tadi sore," tutur Ishak Daud menyambut kedatangan rombongan.

Perjalanan ke pelosok Aceh seperti itu sudah menjadi hal biasa bagi Hotli Simanjuntak. Walau baru menginjakkan kaki di bumi Aceh pada bulan April 2001, seluruh wilayah Aceh hampir dilaluinya. Tujuannya hanya satu, mencari lokasi untuk foto yang akan dikirimkan ke tempatnya bekerja, kantor berita Perancis.

Hotli Simanjuntak, pemuda asal Medan masih belum terlalu yakin saat pesawat Garuda yang ditumpanginya telah mendarat di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang. Saat itu tanggal 27 April 2001 pukul 10.15 Wib. Hari yang bersejarah buat Simanjuntak. Hari pertamanya menginjakkan kaki di Bumi Serambi Mekkah.

Menjadi fotografer di Aceh membuat Simanjuntak harus belajar lagi tentang segala hal. Mulai jadwal peliputan, keuangan, daerah liputan. Bahkan, keamanan pribadi. "Kalau soal keamanan dari tindak kriminal, Aceh paling aman," ujar Simanjuntak suatu ketika.

Kondisi Aceh yang dianggap Simanjuntak sangat aman di kalangan warga itu membuat persepsinya mengenai Aceh berubah seratusdelapanpuluh derajat. "Dulunya aku menyangka kalau Aceh sama kondisinya dengan daerah perang di luar negeri," katanya. Ia menambahkan, kondisi warga yang begitu aman harus terusik dengan berbagai pembunuhan dan kontak senjata antara GAM dan TNI/Polri.

Kondisi Aceh yang masih terus dilanda konflik, membuat ruang gerak jurnalis juga terbatas. Wartawan-wartawan Aceh yang berdiam di Banda Aceh tidak semuanya berani melakukan kegiatan jurnalistik di luar wilayahnya. Umumnya alasan mereka adalah faktor keamanan. Anehnya, yang ditakutkan mereka justru TNI, bukan GAM.

Buat Simanjuntak, meliput di seluruh wilayah Aceh adalah keharusan. Kalau tidak, ia tidak akan punya foto untuk dikirim ke AFP. Maka jadilah Simanjuntak sebagai petualang, berkelana ke seluruh Aceh. Terutama daerah yang sedang dilanda konflik bersenjata.

Wartawan Kantor Berita Antara di Banda Aceh, Heru Dwi Suryatmojo mengakui hal tersebut. "Simanjuntak berani meliput ke daerah sendirian, kami tidak selalu bisa karena alasan keamanan," katanya. Menurut Heru kondisi Simanjuntak memang berbeda dengan mereka. Posisi Simanjuntak sebagai fotografer media asing akan lebih bisa diterima dua pihak, GAM dan TNI.

Bicara keamanan, Simanjuntak hanya punya satu resep, pandai-pandai membawa diri dan melihat situasi. Situasi kemanan membuat pekerjaan meliput jadi sangat riskan. Tidak ada jaminan keamanan dari manapun bahwa kita akan selamat dalam prosses peeliputan. Sama halnya dengan tidak jelasnya penyelesaian hukum di Aceh.

Menjaga diri adalah syarat utama. Seluruh korban kekerasan di Aceh selalu punya kaitan dengan GAM atau TNI. Kalaupun warga, biasanya yang menjadi korban adalah mereka yang dekat dengan salah satunya. Atau bisa juga sesama warga yang saling dendam secara pribadi lalu memanfaatkan lemahnya penyelesaian hukum untuk balas dendam.

Satu-satunya kendala Simanjuntak dalam meliput Aceh adalah daerah liputan yang sangat luas. Akibatnya banyak daerah yang sulit dicapai dalam waktu singkat dari Banda Aceh.

Selama meliput di Aceh, Simanjuntak banyak mengalami peristiwa dramatis dalam hidupnya. Salah satu yang ia anggap paling seram adalah ketika ia meliput pertikaian etnis di Takengon, Aceh Tengah.

Saat Simanjuntak pergi ke kota Pondok Baru, ibukota kecamataan Bandar, Aceh Tengah ia menemukan kota tersebut kosong. Seluruh penduduk telah mengungsi ke Takengon. Padahal hari itu cuaca cerah dan baru pukul 1 siang. Simanjuntak sendirian menyusuri jalan ke arah Desa Bakaran Batu. Di desa itu Simanjuntak bermaksud mengambil foto karena merupakan lokasi dengan jumlah korban terbanyak dibantai.

Tidak ada seorangpun di jalanan. Hanya sapi dan ayam sesekali melintas.

Setelah berjalan sekitar 1 kilometer Simanjuntak mulai mencium bau bangkai.

Bau busuk itu langsung membuat Simanjuntak merinding. Tak ada jalan lain. Simanjuntak memuutuskan untuk berbalik arah.

Setelah tiba di kota, Simanjuntak baru mengetahui ada banyak orang tak dikenal sedang membakari desa dan membunuh siapa saja yang mereka temukan di jalan. Pihak PMI yang ia temui bahkan mengaku kalau masih banyak mayat yang belum dievakuasi dari desa Bakaran Batu karena situasi yang mencekam dan tidak adanya jaminan keselamatan. Mendengar hal itu, tanpa pikir panjang, Simanjuntak langsung bergegas kembali ke Takengon.

Pengalaman dengan pihak GAM dan TNI/Polri juga punya kisah tersendiri. Umumnya saat pertama kali disweeping, kita tidak akan tahu dari kelompok mana mereka. Hingga sulit untuk menentukan jawaban bila sewaktu-waktu ditanyai.

Menurut Simanjuntak, saat sweeping ini ia lebih takut dengan sweeping TNI. Sebab dalam sweeping GAM, biasanya orang dengan KTP luar Aceh, selain Jawa akan dibiarkan saja. Namun prosesnya tetap saja membuat jantung berdebar.

Bila ditanya pekerjaan, Simanjuntak jarang mengaku sebagai wartawan foto. Jika terpaksa ia lebih memilih mengatakan sebagai ‘tukang foto’. Untungnya, tidak semua anggota GAM dan TNI yang mengerti dengan maksud kata ‘jurnalis’ yang tertulis di tanda pengenal Simanjuntak.

Hotli Simanjuntak dilahirkan di Sipahutar, Tapanuli Utara 15 Desember 1975. Ia dibesarkan dalam lingkungan masyarakat Batak yang menganut kepercayaan Kristen Protestan. Kondisi perbedaan agama tersebut, di Aceh justru tidak terlalu menjadi masalah. "Masyarakat Aceh sangat terbuka," kata Simanjuntak.

Simanjuntak mulai tertarik dengan fotografi sejak ia duduk di bangku SMP. Bermula dengan rasa penasaran terhadap sejumlah foto di media cetak yang dianggapnya sangat luar biasa. Ia lalu membeli sebuah kamera saku dan mulai bereksperimen. Namun yang ia peroleh adalah rasa kecewa karena tidak bisa membuat foto sebagus di majalah.

Saat SMA, dengan uang tabungan dan dibantu pacar, Simanjuntak membeli sebuah kamera SLR Casio VR-5. Ia mulai belajar dari majalah dan buku serta mempraktekkannya. Untuk biaya pembelian film dan cuci cetak, Simanjuntak memotret teman-teman sekelasnya di SMA 11 Medan. Hasilnya ia jual. Ia kemudian selalu masuk dalam kepanitiaan sebagai seksi dokumentasi.

Saat kuliah di Jurusan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara, kebutuhan dana meningkat. Simanjuntak lalu memulai pekerjaan menjadi fotografer kegiatan pesta perkawinan. "Seluruh biaya kuliah saya dari hasil foto wedding itu," ujar Simanjuntak. Saat itu ia mulai menambah alat-alatnya. Tahun 1997 ia bertemu dengan Andi Kurniawan Lubis, sekarang fotografer Harian Analisa di Medan, dan sama-sama menjadi pengurus Forum Studi Foto Merdeka (FSFM). Mereka sama-sama menjadi kontributor Majalah HAI untuk Medan.

Saat kerusuhan Mei 1998, Simanjuntak masih mahasiswa. Usai Soeharto lengser, beberapa mahasiswa yang sempat mengabadikan peristiwa Mei membuat Pameran Foto Reformasi’98. Seluruh mahasiswa yang ikut pameran tersebut kemudian mendirikan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fotografi USU. UKM ini kemudian menjadi cikal bakal masuknya anggota mereka ke media massa umum, termasuk Simanjuntak. Alumni seangkatan Simanjuntak di UKM Fotografi USU menyebar di Majalah Gamma, Detik.com, Metro TV, Harian Analisa, Medan Bisnis dan Komatkamit.com.

Akhir tahun 1998, Simanjuntak memulai karir di jurnalistik dengan bergabung dengan Harian Realita Pos di Medan. 13 bulan kemudian ia berhenti karena Realita Pos juga berhenti terbit. Kemudian ia masuk ke Harian Sinar Medan. Alasan kesejahteraan membuatnya hengkang ke Harian Radar Nauli, sebuah anak perusahaan Jawa Pos di Medan yang kemudian bergabung dengan Harian Radar Medan menjadi Sumut Pos.

Redaktur Sumut Pos, Arifin Saleh Siregar yang pernah sama-sama bekerja di Radar Nauli dengan Simanjuntak mengatakan bahwa kelebihan dan kelemahan Simanjuntak ada pada kenekatannya. Ia memberi contoh pada foto-foto kasus bom Natal di Medan yang menjadi ekslusif lewat tangan Simanjuntak.

Keadaan ini juga diakui para koresponden media nasional yang ada di Medan. Emil W Aulia, wartawan Majalah Forum, saat menjadi koresponden di Medan mengaku Simanjuntak selalu menjadi andalan bila ia tiba-tiba diharuskan mengirim foto tentang berita yang ia tulis.

Emil yang saat di Medan juga aktif di LSM Anak Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) kenal pertamakali dengan Simanjuntak di kalangan LSM Anak. Saat melihat hasil jepretan Holti tentang anak jalanan, ia mengaku sudah berpikir bahwa Simanjuntak merupakan orang yang humanis. "Perkenalan dilanjutkan dengan kerjasama foto," ungkap Emil.

Saat menjadi fotografer di media lokal Medan, Simanjuntak memang juga menjadi relawan di sebuah LSM Anak, Perserikatan Perlindungan Anak Indonesia (PPAI). Di lembaga itu, Simanjuntak menangani sebuah media intern bernama "Suara Anak". Disana ia menjadi Pemimpin Redaksi merangkap fotografer dan reporter.

Manajer Departemen Komunikasi PPAI, Ade Ahmad Ilyasak yang saat itu membawahi penerbitan "Suara Anak" mengatakan Simanjuntak punya andil besar di PPAI. Kasus-kasus anak, seperti anak yang tertembak di Gebang dan Percut bisa menjadi laporan lengkap di Suara Anak atas hasil kerja Simanjuntak.

Awal tahun 2001, ada kabar kalau AFP butuh stringer di Aceh. Kabar ini ia dengar dari Andi Kurniawan Lubis. Kemudian Andi memberikan rekomendasi kepada Adek Berry. Melalui beberapa kali negosiasi, akhirnya 27 April 2001, Simanjuntak berangkat ke Banda Aceh.

Karir Simanjuntak di jurnalistik foto, diakuinya sendiri banyak dipengaruhi orang-orang dekatnya. Orang yang ia anggap paling berpengaruh adalah Andi Kurniawan Lubis, Adek Berry, jurnalis foto AFP serta Arbain Rambey, kepala perwakilan Kompas di Medan.

Arbain Rambey sendiri kenal dengan Simanjuntak di USU Medan setelah Arbain datang ke Medan sebagai Kepala Perwakilan Kompas. Arbain punya gambaran unik mengenai Simanjuntak. Menurutnya, bagi Simanjuntak fotografi itu bukan hanya hobi atau profesi. "Fotografi sudah menjadi jiwanya," kata Arbain.

Alasan itu pula yang kemudian membuat Arbain pernah menyarankan Simanjuntak ikut tes di Kompas. Namun gagal dengan beberapa alasan. Saat AFP mencari orang untuk Aceh, yang pertama diajukan Arbain adalah Hotli Simanjuntak.

Saat ini dalam meliput, Holti memakai kameraa Digital Nikon Cool Pix 950 dilengkapi Wide Conventer lens dan Tele Conventer lens. 1 buah flas card 96 MB, 2 buah Flas card 16 MB dan 1 Buah flas caard 8 MB. Tak lupa Laptop Macintosh Power Book 5300, Modem card untuk pengiriman foto.

Sebelum dibekali laptop, pengiriman foto dilakukan dengan internet. Akibatnya pengiriman hanya bisa dilakukan dari Banda Aceh. Foto-foto yang lebih banyak diambil di daerah tingkat dua kemudian tidak up to date lagi. Sekarang, pengiriman foto bisa dilakukan dengan saluran telepon biasa.

Saat memulai karir di AFP, Simanjuntak sempat dua bulan baru menemukan format foto yang sesuai dengan standar kantor berita. Pengalamannya di media lokal, ia lebih banyak berkutat dengan foto-foto dokumenter.

Belakangan, Simanjuntak juga mulai menyeleksi sendiri foto-foto yang akan dikirimkannya ke AFP. "Aku tidak ingin terjebak dengan menghasilkan foto kekerasan," ungkapnya. Maka mulailah ia berburu foto yang bercerita tentang ekses kekerasan itu sendiri. Foto anak-anak SD yang harus belajar di puing sekolahnya yang terbakar. Wajah-wajah sedih para pengungsi dan keceriaan anak-anak, bahkan foto-foto keindahan alam menjadi pilihannya.

Niat Simanjuntak untuk mengedepankan ekses kekerasan tidak selalu mulus. Sebagai kantor berita, AFP lebih suka dengan foto yang menggambarkan situasi konflik bersenjata di Aceh. "Aku memotret tentara dengan senjata semata-mata sebagai tuntutan AFP," kata Simanjuntak mengakui.

Akibat pilihannya itu, banyak foto Simanjuntak yang tidak terpakai. Arbain Rambey mengatakan keinginan Simanjuntak ini sebagai niat yang sangat dilematis. "Hotli ingin memperlihatkan bagaimana kondisi masyarakat Aceh hingga beberapa fotonya nggak laku," ujar Arbain di Medan. Menurutnya keinginan itu dilematis dengan tuntutan perusahaan yang tentu komersial.

Keinginan Simanjuntak adalah menunjukkan kepada dunia tentang orang Aceh. "Terjadi kesalahan opini tentang Aceh bagi dunia luar," katanya. Simanjuntak melihat Aceh jauh berbeda dengan Aceh yang ia dengar sebelumnya. "Itu berhubungan secara tidak langsung dengan distorsi berita yang kadang tidak sesuai dengan fakta di lapangan," ungkapnya.*

kembali keatas

by:Denny S. Batubara