Dewan Pers Menunggu Dana

Agus Sudibyo

Mon, 4 March 2002

ZAMAN banjir kritik terhadap media, mau tak mau, membuat orang ingat peranan Dewan Pers. Indonesia pasca-Soeharto. Negara tak lagi campur tangan urusan pers.

ZAMAN banjir kritik terhadap media, mau tak mau, membuat orang ingat peranan Dewan Pers. Indonesia pasca-Soeharto. Negara tak lagi campur tangan urusan pers. Institusi inilah yang punya peran strategis menjaga moral dan etika jurnalisme.

Tak heran, setiap saat mengalir surat protes atau surat aduan ke Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih 32-34 Jakarta. “Kami tak tahu berapa persisnya jumlah pengaduan yang diterima Dewan Pers setiap bulan. Yang jelas, kadang-kadang kami sampai kewalahan menanggapi surat-surat itu,” kata ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja.

Seberapa jauh Dewan Pers mampu memikul beban yang berat itu? Tak semuanya merasa optimis. “Saya melihat sejauh ini Dewan Pers berjalan tertatih-tatih. Sementara problematika pers berjalan begitu dinamis, Dewan Pers tetap saja diurus dengan sambil lalu. Akibatnya, publik kecewa karena mereka tak mampu memberi respons signifikan,” kata Said Budairy, staf khusus Wakil Presiden Hamzah Haz untuk urusan pers.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga salah satu pihak yang pernah kecewa terhadap Dewan Pers. Apa pasal? Ternyata ini buntut sengketa YLKI dan harian Media Indonesia. Suratkabar Jakarta ini pada 8 Juli 2001 memuat berita berjudul “Wakil Ketua YLKI Terima Rp 6 Milyar Dana Untuk Sosialisasi Kenaikan Tarif Dasar Listrik.”

YLKI merasa berita itu berbau fitnah. Mereka mengadukan Media Indonesia ke Dewan Pers. Setelah melakukan kajian dan negosiasi, Dewan Pers mengeluarkan pernyataan resmi pada 18 September 2001 di mana dinyatakan berita itu memenuhi standar jurnalistik serta tak mengandung pelanggaran kode etik. Tapi Dewan Pers mengatakan judul berita memang kurang sinkron dengan isinya.

“Saya kira Dewan Pers kurang konsisten dan tidak transparan. Di satu sisi mereka mengakui berita Media Indonesia tidak konsisten dan merugikan image YLKI, di sisi lain mereka bilang tidak ada pelanggaran prinsipil. Kalau memang dianggap Media Indonesia tidak melanggar kode etik, mestinya secara tegas saja diputuskan begitu. Lagi pula, proses lahirnya PPR (pernyataan) itu tidak transparan sehingga publik tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi,” ujar Sudaryatmo dari YLKI.

Atmakusumah Astraatmadja, wartawan senior yang dulu bekerja buat harian Indonesia Raya, mengatakan kinerja Dewan Pers memang belum maksimal. Ujung-ujungnya masalah dana operasional yang minim. Dewan Pers tak bisa memaksa sembilan anggotanya, antara lain R.H. Siregar dari Suara Pembaruan, Jakob Oetama dari Kompas, Goenawan Mohamad dari Tempo, atau Surya Paloh dari Media Indonesia, agar lebih intensif mengurusi kerja-kerja organisasi.

Sebagai gambaran. Kini Dewan Pers punya 10 tenaga administrasi. Delapan mantan pegawai Departemen Penerangan dengan status pegawai negeri dan dua orang dibayar honorer. Di luar mereka, praktis hanya ketua, wakil ketua dan direktur eksekutif yang mengurusi Dewan Pers. Ini pun tak cukup baik karena Dewan Pers tak punya dana untuk memberi kompensasi pada mereka, kecuali uang transpor yang jumlahnya tak besar. Mereka buntutnya tak kerja penuh waktu untuk Dewan Pers.

“Kalau ada rapat untuk membahas masalah tertentu, harusnya anggota Dewan Pers yang hadir mendapatkan honor dan uang transpor. Tapi kami tak punya anggaran untuk itu,” kata Astraatmadja. Kekurangan dana membuat Astraatmadja sendiri terpaksa ikut mengurus hal-hal teknis macam memeriksa dan membalas surat-surat masuk.

Berapa besar dana operasional kebutuhan Dewan Pers? Astraatmadja baru-baru ini menyebut angka Rp 1,5 milyar. Ini hanya separoh dari dana operasional lembaga sejenis di Australia yang mencapai A$ 600 ribu.

Di Jakarta Dewan Pers memang mendapat sumbangan dari beberapa suratkabar. Namun sifatnya tidak rutin dan jumlahnya tak besar. Pada 2000, Dewan Pers mendapat sumbangan dana harian Kompas sebesar Rp 100 juta, Jawa Pos Rp 50 juta, Suara Merdeka Rp 25 juta dan Bali Pos Rp 1 juta. Hanya Pikiran Rakyat dari Bandung yang rutin memberikan Rp 1,5 juta per bulan sejak April 2000.

Lembaga seperti Aliansi Jurnalis Independen dan The Asia Foundation juga memberikan sumbangan non-finansial. “The Asia Foundation membantu penerbitan, perlengkapan kantor dan program sosialisasi. Kalau dihitung-hitung, jumlahnya besar juga,” kata Astraatmadja.

Bagaimana dengan dana dari pemerintah? Inilah problem yang dihadapi Dewan Pers saat ini. Jika mengacu ketentuan hukum, harusnya pemerintah mendanai Dewan Per secara langsung atau tak langsung, katakanlah melewati Sekretariat Negara. “Kan nggak ada bedanya dengan Komnas HAM, Lembaga Sensor Film dan lembaga nondepartemen lainnya?” kata Astraatmadja.

Mereka sebenarnya telah menanyakan hal ini kepada Direktorat Jenderal Anggaran. Namun ada kendala yang serius. Direktorat tak bisa mengeluarkan dana karena memang tak ada undang-undang yang mengaturnya. Undang Undang Pers 1999 tak secara tegas menyatakan pemerintah harus mendanai Dewan Pers. Pasal 15 ayat 7 hanya menyebutkan, “Sumber Pembiayaan Dewan Pers dari: (a) organisasi pers; (b) perusahaan pers; (c) bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.”

“Dirjen Anggaran bilang, harus ada Keppresnya dulu, baru dana untuk Dewan Pers bisa dianggarkan dari APBN. Alternatif lain, ya menginduk kepada lembaga terkait seperti LIN (Lembaga Informasi Nasional). Tapi LIN pun tak mungkin bisa memberi dana yang cukup,” kata Astraatmadja.

Dulu beberapa saat setelah Presiden Soeharto dipaksa mundur, cukup banyak orang yang ingin Dewan Pers pasca-Soeharto ini lebih independen ketimbang Dewan Pers zaman Soeharto yang senantiasa dipimpin oleh Menteri Penerangan. Kekhawatiran Dewan Pers dikooptasi pemerintah membuat mereka ingin Dewan Pers juga tak menggantungkan diri secara finansial pada pemerintah. Mereka optimis, kalangan media punya komitmen membantu Dewan Pers. Akhirnya, ditempuhlah jalan kompromi seperti dalam ayat itu. Namun dalam perkembangannya, ternyata subsidi dari para media tak dapat diharapkan banyak.

“Sekedar contoh, sebuah media besar di Jakarta sudah menjanjikan Rp 50 juta. Namun hingga kini tak ada realisasinya. Padahal kami sudah menanyakan, ibaratnya sampai mengemis-ngemis,” kata Sugeng Suprayanto, kepala sekretariat Dewan Pers.

Memakai dana pemerintah memang terkait dengan independensi Dewan Pers. Dilema ini juga dihadapi Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia. Namun, memakai dana pemerintah jadi pilihan yang realistis ketika media sebagai stakeholder utama Dewan Pers tak dapat diharapkan banyak.

Apa boleh buat? Perkembangan industri pers Indonesia memang belum sejajar dengan Australia. Di negara kangguru itu, hanya dengan subsidi rutin lima media saja, dapat digerakkan Dewan Pers yang bermartabat dan produktif.

Menurut Suprayanto, Dewan Pers kini tengah menunggu Keputusan Presiden (Keppres) tentang dana Dewan Pers itu. “Sinyal positif Keppres ini sudah muncul ketika Dewan Pers audiensi dengan Presiden Megawati akhir Desember 2001. Kemarin, kami menanyakan kelanjutannya kepada Sekretaris Presiden. Namun, Bambang Kesowo hanya menjawabnya dengan tertawa,” kata Suprayanto.*

kembali keatas

by:Agus Sudibyo