Banjir di Jakarta, Elshinta Mengudara

Heru Widhi Handayani

Mon, 4 March 2002

MINGGU 3 Februari 2002. Hujan sesekali berhenti, tapi menderas lagi. Sungai-sungai di kawasan Jakarta tak kuasa menahan derasnya limpasan air yang melintas. Terbatasnya tempat resapan air membuat sungai meluap, membanjiri kota.

MINGGU 3 Februari 2002. Hujan sesekali berhenti, tapi menderas lagi. Sungai-sungai di kawasan Jakarta tak kuasa menahan derasnya limpasan air yang melintas. Terbatasnya tempat resapan air membuat sungai meluap, membanjiri kota.

Telepon di radio Elshinta 90,05 MHz berdering. Penelepon dari kawasan Pluit. Ada yang minta dievakuasi. Eddy Harsono, kepala bagian siaran, segera minta bantuan dua perahu karet dan tronton marinir untuk meluncur ke sana. Purbasari Daruningsih, biasa dipanggil Sari, dan Haryo Ristamaji, dua reporter radio ini, yang sedang dalam perjalanan menyalurkan bantuan ditelepon pula.

“Anda di mana?”

“Masuk ke Pluit.”

“Oke, bantuan makanan ditunda, kerahkan perahu menuju Pluit Utara. Di sana butuh pertolongan evakuasi secepatnya.”

Alamatnya tak jelas disebutkan.

“Kita coba-coba saja!”

Mereka mendayung kurang lebih dua kilometer, mencari lokasi, menyusuri perumahan.

Tapi banjir juga menyerbu kawasan Menara Indosiar, Joglo, tempat radio Elshinta berkantor. Bukan banjir air, tapi banjir bantuan dari para pendengar Elshinta. Inilah bencana banjir pertama pasca pemerintahan otoriter Orde Baru.

Beda dengan banjir 1996 di mana Presiden Soeharto turun tangan, mengatur koordinasi, dan mengerahkan semua kekuatan birokasi dan militer guna membantu korban banjir, maka korban banjir tahun ini tak banyak berharap pada pemerintah. Warga Jakarta harus turun tangan sendiri. Mereka mendirikan posko-posko banjir, minta sumbangan, saling menolong, dan radio-radio memainkan peran penting.

Elshinta hanya satu dari sekian radio Jakarta yang menunjukkan kekuatan media ketika banjir menggenangi sebagian besar ibukota, bahkan hingga ke Istana Negara, kedutaan-kedutaan asing, dan daerah paling elit Menteng. Lebih dari 350 ribu orang kehilangan tempat tinggal. Jutaan orang menderita karena banjir, mulai dari sekadar jalanan macet hingga listrik mati.

Coba lihat Elshinta. Sumbangan uang, menurut Prihastuti, akuntan radio Elshinta, mencapai Rp 600 juta dalam minggu pertama. Bantuan berupa barang mengalir, menumpuk di ruangan redaksi Elshinta dan meja resepsionis. Beras sebanyak 20 ton, mi instan 7.000-an dus, lebih dari 50 karung pakaian, air mineral 5.000 dus, obat-obatan, kompor minyak 300 buah, dan ikan asin sekitar 3.500 kilogram, memenuhi halaman kantor dan sejumlah bangunan di luar studio, yang berubah fungsi jadi gudang. Namun, berselang satu hari, barang-barang itu lenyap. Tentu saja, disalurkan pada yang membutuhkan.

Dering telepon dari korban banjir atau pelapor juga terdengar. Mereka meminta bantuan logistik dan evakuasi atau memberitahu lokasi korban banjir yang perlu ditangani. Kendalanya, alat transportasi menuju lokasi banjir sangat terbatas. Elshinta hanya mengandalkan mobil perusahaan, dua Toyota Kijang dan satu Suzuki Carry.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Seorang pendengar setia radio Elshinta menawarkan bantuan. Tiga truk miliknya boleh dibawa awak Elshinta ke mana saja, lengkap dengan bensin dan sopirnya. Gratis. Akhirnya satu truk saja yang dipakai. Masalah transportasi pun teratasi.

“Pak sampai di sini saja, biar kami turun dengan perahu karet,” pinta Donny Garnida Arifin, reporter Elshinta, pada si sopir saat menyusuri jalanan yang tergenang.

Saat itu sopir sudah beberapa kali membanting setir. Jalan truk tersaruk-saruk.

“Saya tetap jalan sampai benar-benar tidak bisa jalankan,” jawab Rahmat, si sopir, seperti yang ditirukan Donny.

Rahmat memang benar-benar dapat diandalkan.

“Bahkan ketika mau membayar uang bensin saja kami sampai rebutan membayarnya. Coba! Mana ada zaman sekarang orang seperti dia?”

Selain mereka, di atas truk ada Sari dan dua anggota Fun Rafting, kelompok pecinta arung jeram dari Bandung.

“Tak ada perbedaan jenis kelamin di sini,” kata Donny, mengomentari keberadaan Sari.

Selain mendayung, Sari juga harus mengangkat perahu karet bila tiba di daratan. Malam hari pun dilaluinya di atas perahu, berputar-putar mencari korban yang harus dievakuasi.

Saat hujan belum reda kru radio Elshinta dalam keadaan siaga. Ruang rapat berubah fungsi menjadi pos komando, tempat menerima dan mengirimkan informasi. Meja panjang penuh kertas yang berserakan. Kerupuk, biskuit, juga makanan suplemen dan obat-obatan tersedia di sana. Di sebelah kiri pintu masuk tergantung papan tulis putih penuh berisi data lima kawasan di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang lengkap dengan nomor telepon reporter, pendengar, atau tokoh masyarakat yang siap memantau dan memberikan informasi sewaktu-waktu. Ada beberapa kertas kecil berisi catatan yang memuat nama penyumbang dan bentuk sumbangannya tertempel juga di papan tulis itu.

Tiga pesawat telepon berada di atas meja. Mesin faksimile juga tersedia. Tiba -tiba ada faks yang masuk. Informasi tentang korban di Perumahan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ditulis dalam lembaran faks: Gawat! Segera!

Eddy Harsono segera mengirim informasi pada reporter lapangan. Kala itu Sari yang berjaga-jaga di sekitar wilayah ini. Bersama anggota marinir, Sari mendayung perahu karet mengitari kompleks perumahan mewah itu.

Para korban ditemukan di loteng rumahnya, sementara air memenuhi lantai satu. Satu demi satu anggota keluarga tersebut dipindahkan ke perahu karet untuk dievakuasi. Tapi apa yang terjadi? Setelah sampai di pos terdekat, korban menawar.

“Gimana ya Mbak, kami ingin diantar ke hotel,” kata mereka.

Sari mengkal juga. Namun, para korban itu tetap dievakuasi, meski sampai pos komando saja.

“Rasa capek sih pasti ada. Tapi rasanya jadi plong manakala kita bisa menolong orang pada saat dibutuhkan,” jawab Prihastuti, yang kini lebih banyak di kantor mengurusi informasi yang masuk, penyumbang, penyaluran sumbangan, hingga laporan pertanggungjawaban.

“Aku pernah mendatangi korban di daerah Jakarta Timur. Banjirnya baru sampai lantai … lantai tingkat dua, maksudnya. Korban ditampung di sebuah masjid di lantai dua. Kami disambut dengan uraian air mata ketika datang ke sana. Kedatangan kami sangat tak disangka-sangka. Katanya, ‘Kami sempat mau nanak nasi, tapi tidak jadi karena tinggal sekarung,’” kenang Sari. Saat itu yang berada di pos penampungan sekitar 2000-an orang.

Beras 40 karung dibagikan, dan masaklah mereka. Juga mi instan 200-an dus, pakaian layak pakai, tak ketinggalan kompor minyak.

“Rasanya ada kepuasan batin bisa membantu,” kata Sari.

Kini apa yang dilakukan pascabanjir?

“Suplai obat-obatan, itu yang terpenting. Juga bantuan alat-alat sekolah, seperti ini,” kata Eddy, sambil menunjukkan selembar faks dari sebuah SMP yang meminta sumbangan buku-buku tulis untuk siswanya. *

kembali keatas

by:Heru Widhi Handayani