LELAKI berkacamata minus itu tersenyum di balik meja kerjanya. Wajahnya bulat, keningnya agak lebar. Ada kerut di antara kening matanya. Dia cakap bicara. Tak pernah kehabisan cerita. Ruang kerjanya di lantai tiga sebuah rumah toko tak jauh dari gedung harian Suara Pembaruan, Jakarta Timur. Ruang itu hanya berukuran tujuh meter persegi. Kendati sempit, ruang itu semarak dengan berbagai poster dan aksesoris bola berwarna cerah. Di dekat meja kerja lelaki berusia 34 tahun itu ada dua buah bola kaki yang menjulur dari atas langit-langit ruangan, digantungkan pada seutas tali, dan hampir separuh dinding ruangan ditempeli poster-poster sepak bola, kebanyakan dari klub Liverpool, Inggris. Persis dekorasi toko merchandise sepak bola.

Di bagian yang lain dari dinding ruangan itu, bergantung sebuah kaos berwarna oranye, kostum tim Belanda, dalam bingkai kaca. Di kaos itu dibubuhkan tanda tangan sejumlah pemain tim nasional Belanda saat Piala Eropa 2000. Foto lelaki itu dalam kaos tim Brazil dengan nama punggung Ronaldo, bintang kesebelasan Brazil, juga dipajang di sana. “Menyaksikan langsung dari pinggir lapangan tim Brazil bertanding adalah obsesi saya yang sampai kini belum kesampaian," katanya.

Lelaki itu bernama Mohamad Kusnaeni. Orang memanggilnya Bung Kus. Dia komentator sepak bola. Profesi yang dilahirkan televisi. Kusnaeni menjadikan sepak bola sebagai pengetahuan. Dia membawa semacam gaya baru berkomentar tentang sepak bola di televisi. Berkomentar tapi tak meramal. Fakta dan data yang utama. Bukan opini.

Komentator sepak bola dibutuhkan untuk memperkaya informasi pemirsa saat pertandingan berlangsung. Kusnaeni hampir tiap akhir pekan tampil di siaran langsung pertandingan sepak bola Liga Italia di RCTI. Gaya yang dibawakannya, berkomentar tapi tidak meramal, membuatnya dipercaya pemirsa, dan jangan lupa, juga dipercaya para petaruh bola.

Kusnaeni gemar sepak bola sejak kecil. Ia mengoleksi majalah olah raga Olympic, saat masih di sekolah dasar. Ayahnya kerja di Bandung, sementara rumah keluarga itu di Cirebon. Hanya majalah yang banyak mengulas sepak bola itu yang diminta Kusnaeni sebagai oleh-oleh jika ayahnya pulang.

Ketika remaja dia pindah ke Bandung. Di kota itu, dia besar di atmosfer fanatisme bobotoh Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung (Persib). Hampir semua warga kota pendukung Persib. Seorang bobotoh fanatik, diukur dari kesetiaannya mendukung tim ke mana pun bertanding. Tak ayal, menjadi pemain Persib adalah impian banyak anak muda Bandung, tak terkecuali Kusnaeni.

Namun impian itu gagal. Dia dinyatakan rabun mata ketika menjalani tes kesehatan untuk masuk klub Propelat, klub anak gawang terkemuka di Bandung. Kegagalan itu mengantar Kusnaeni menjadi kolumnis bola di harian Pikiran Rakyat. “Spesialisasi saya menulis Persib,” ujarnya.

Kusnaeni menulis kolom sejak berusia 17 tahun. Kebiasaan itu berlanjut hingga dia jadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Setelah lulus kuliah pada 1988, dia bekerja di sebuah pabrik kondom di Bandung sebagai pengontrol mutu. Tapi tak bertahan lama. Dia pun menjadi wartawan majalah hiburan Vista TV di Jakarta. Sempat pula dia jadi redaktur pelaksana Paron.

Perkenalannya dengan televisi bermula dari sebuah jumpa pers. Kala itu, menjelang Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. SCTV menggelar jumpa pers soal program siaran langsung sepak bola. Kusnaeni masih wartawan Vista TV. Budi Darmawan dari SCTV, membuka kesempatan bagi wartawan yang berminat jadi komentator. Kusnaeni mengajukan lamaran. Kebetulan dia dekat dengan Darmawan. Tak berapa lama, Kusnaeni ditelepon orang SCTV. Dia diminta tampil bersama M. Basri, pembawa acara SCTV, yang mantan pelatih sepak bola nasional.

Kini, dia mendapatkan apa yang disukai dalam hidupnya, bekerja di ranah sepak bola. Selain komentator sepak bola, sehari-harinya Kusnaeni jadi wakil pemimpin redaksi majalah mingguan sepak bola Sportif. Sondang Meliala, sang pemimpin redaksi, sudah lama nonaktif.

STUDIO satu RCTI. Pukul 02.20. Pintu tertutup rapat. Mesin pendingin udara di studio diatur pada kisaran suhu 12-14 derajat celcius. Dingin menusuk tubuh. Produser acara Erik Irawan mengizinkan saya masuk dan memotret di dalam studio. Tapi dia mengingatkan agar jangan memotret ketika siaran berlangsung. Telepon seluler pun harus dimatikan. Suasana di dalam studio itu hening dan temaram. Ruang tempat pengambilan gambar telah didekorasi dengan apik. Ada logo Liga Champions 2001-2002.

Kamis dini hari itu, 6 Desember 2001, berlangsung pengambilan gambar sekaligus suara komentator dan pembawa acara untuk program siaran langsung pertandingan sepak bola Liga Champions 2001-2002. Danurwindo sang komentator sedangkan pembawa acara Andi Darussalam Tabusala. Mereka orang bola. Tabusala pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Dia dikenal sebagai pengusaha yang dekat dengan Bob Hasan –sahabat mantan presiden Soeharto yang kini mendekam dalam penjara. Danurwindo sendiri mantan pelatih kesebelasan nasional. Dia sempat bermukim di Genoa, sebuah kota bola di Italia, saat melatih tim PSSI Yunior Primavera.

Tiga puluh kru bekerja menyiapkan tayangan itu. Dari office boy, penjaga keamanan, juru rias, juru kamera, audioman, lighting, macintosh, director, switcher, floor director, presenter, komentator, produser, hingga program director.

RCTI membeli hak siar 64 pertandingan Liga Champions, kompetisi antarklub papan atas se-Eropa, musim kompetisi 2001-2002. Terdiri atas 45 pertandingan siaran langsung dan 19 siaran tunda. Gita Suwondo, produser RCTI, mengatakan mereka membelinya seharga US$ 250 ribu dari TEAM Marketing, sebuah badan usaha federasi sepak bola Eropa Uni Europe Football Association. TEAM memasarkan hak tayang siaran kejuaraan antarklub se-Eropa.

Harga itu jauh lebih murah ketimbang harga siaran Liga Italia dalam satu musim kompetisi. Stasiun televisi Italia RAI, menjual hak siar pada RCTI seharga US$ 1,8 juta, belum termasuk ongkos satelit sebesar US$ 200 ribu. Untuk siaran dini hari, RCTI masih harus menambahnya, membeli dari ESPN.

Kamis, 6 Desember dini hari, RCTI menayangkan partai penyisihan Grup B Liga Champions, antara AS Roma melawan Liverpool. Pertandingan itu berlangsung di Stadion Olympico Roma. Di sana Rabu malam.

“Rating Liga Champions berkisar enam hingga tujuh,” kata Suwondo, produser Liga Champions RCTI. Rating atau peringkat yang dimaksud berdasarkan hasil survei AC Nielsen Indonesia. Sementara itu peringkat tayangan langsung kompetisi Liga Italia pada jam tayang utama, yang berlangsung di bawah pukul 12 malam, lebih tinggi lagi.

Pengambilan gambar berlangsung enam menit sebelum tayangan pukul 02.30 disiarkan. Tabusala duduk menyerong dalam jarak satu meter di sisi kiri Danurwindo. Tiga kamera diarahkan kepada mereka. Kedua orang itu seakan-akan jadi orang paling penting dini hari itu.

Sebelum pengambilan gambar, Danurwindo dan Tabusala diberi daftar pemain yang akan bertanding. Tak banyak yang didiskusikan di belakang kamera. Baik Danur maupun Tabusala sudah mempersiapkan diri sebelumnya. "Setiap hari saya baca apa saja tentang bola,” ujar Tabusala.

Para komentator sangat terbantu dengan internet. Banyak situs menyediakan kisah-kisah mutakhir dunia bola. Tabusala hampir tiap hari mengklik situs daily soccer, onefootball, dan soccernet. Kusnaeni menghabiskan lima jam sehari untuk jelajah. Selambatnya empat hari sebelum mengomentari pertandingan, dia mulai menyusun sejumlah catatan untuk bahan komentar.

Ronny Pangemanan, komentator bola di TPI, punya bank data di rumahnya. “Dari hari ke hari saya harus tahu apa yang terjadi di dunia bola,” katanya. Dia dulu wartawan Suara Pembaruan.

Saya menemui Pangemanan di Senayan. Lelaki berperawakan kecil itu baru selesai bermain bola bersama Kesit Handoyo, komentator bola juga, dari harian Sinar Harapan, presenter liga Inggris TPI Rico Ceper, Boy Noya, presenter olah raga Metro TV, dan M. Nigara, pemimpin redaksi tabloid GO. Peluh membasahi tubuhnya. Memiliki waktu bermain bola, dua kali dalam seminggu, dua jam sekali main, adalah hal yang luar biasa bagi wartawan. "Komentator bola kalau nggak tahu main bola, diketawain orang,” ujar Pangemanan.

Tak terlalu ada persiapan diri yang istimewa sebelum tampil di televisi bagi Pangemanan. Saya selalu mencermati penampilannya di televisi. Dia tidak menggunakan alat bantu berupa catatan-catatan. Seakan semua terekam di otaknya. Setiap hari, sebagaimana seorang wartawan, dia mengumpulkan informasi dunia bola. “Artinya, siapa pemain yang cedera, line up-nya bagaimana, mungkin ada pergantian pelatih atau pemain baru yang masuk. Paling-paling informasi seperti itu, yang bisa mendukung persiapan saya," ujarnya.

Senja berganti malam. Pangemanan melemparkan pandangan ke lapangan hijau. Selama lima tahun sejak 1990, Pangemanan menjadi komentator di RCTI. Lalu dia pindah ke AN Teve, SCTV, dan sekarang TPI. Kebanyakan komentator, seperti dirinya, menggeluti sepak bola sejak belasan tahun lalu. Satu-satunya hal tersulit bagi komentator adalah menjaga konsentrasi, menghindari rasa kantuk selagi bertugas. Maklum, usia mereka tak muda lagi. Dan Pangemanan mempunyai resepnya: minum vitamin.

SIARAN langsung pertandingan bola tanpa ulasan, bak sayur tanpa garam. Hambar. Pernah suatu ketika Indosiar menayangkan langsung pertandingan Piala Italia. Tidak ada komentator, juga presenter. "Rasanya nggak enak ditonton, meski klub yang bertanding hebat-hebat,” kata Kusnaeni.

Komentator bola mulai dikenal di Indonesia sejak TVRI menayangkan siaran langsung pertandingan sepak bola pada 1970-an. Ketika itu, lewat TVRI orang Indonesia mengenal Johan Cruyff, pemain bola asal Belanda yang tengah hebat-hebatnya bersama tim Oranye Belanda, memperagakan total football.

RCTI mempunyai run down, format acara atau skenario baku dalam suatu tayangan RCTI Sports. Kapan komentator bicara, kapan commercial break, preview pertandingan, kuis, juga laporan langsung via telepon dari koresponden mereka, Rayana Jakasurya di Italia. Di sini peran komentator tentu tak bisa dihapus begitu saja.

"Ini sudah menjadi suatu rutinitas. Jadi tak ada persiapan khusus lagi," kata Andi Darussalam Tabusala yang menjadi pembawa acara siaran bola sejak 1990. Menurutnya yang sulit itu masa-masa awal saja, saat RCTI memulainya.

Andi Chairil adalah salah seorang yang merancang run down siaran langsung sepak bola di RCTI. Tapi Chairil mengundurkan diri dari RCTI sekitar setahun yang lalu. Sekarang dia konsultan televisi yang tengah menggarap siaran langsung Liga Spanyol di Trans TV. Dia bekerja untuk M-Lynx, konsultan broadcasting yang didirikan sejumlah mantan orang RCTI, di antaranya mantan direktur utama RCTI Harry Kuntoro, Linda Wahyudi, Nenny Soemawinata, dan Endang Mawardi.

"Penonton bisa saja sudah membaca preview pertandingan dari koran. Tapi, ada sesuatu yang berbeda jika itu disampaikan komentator di televisi,” kata Chairil.

Kredibilitas komentator menjadi penting. Menurut Chairil, jika para petaruh menjadi ragu-ragu lantaran ulasan komentator, artinya dia tak dipercaya. Petaruh biasanya lebih membutuhkan komentator ketimbang penonton biasa. Hampir semua komentator pernah dihubungi petaruh.

Menurut Chairil, jam terbang komentator di dunia bola menentukan kredibilitasnya. "Tidak harus pemain bola. Asalkan pengalaman dan pengetahuannya mendalam soal bola, maka dia bisa menjadi komentator yang bagus. Misalnya, Danurwindo dan Kusnaeni,” ujar Chairil.

Kusnaeni sendiri sering kali dimintai nasihat oleh para petaruh sebelum mereka beraksi. Dia bahkan ditawari bayaran tinggi oleh seorang petaruh di Jakarta asalkan menjadi penasihat pribadinya. Tawaran itu sempat dia terima. Dia memberi semacam soccer opinion untuk petaruh itu. Apa ini tak menimbulkan benturan kepentingan? "Sekarang sudah saya hentikan,” ujar Kusnaeni.

JAKARTA sunyi sebelum pluit kick-off tanda dimulainya pertandingan AS Roma melawan Liverpool ditiup wasit pada pukul setengah tiga pagi. Di sebuah kawasan di Cempaka Putih, Jakarta, Mohamad Yusuf, seorang penonton bola terbangun ketika pertandingan telah berjalan sepuluh menit. Buru-buru dia memasang alat perekam dan merekam pertandingan itu di kaset video. Yusuf penggemar fanatik klub Liverpool, kendati tak sekali pun pernah ke sana.

Dia mengandalkan televisi sejak Piala Dunia 1978 di Argentina yang kala itu disiarkan langsung TVRI. Ketika itu usianya baru empat tahun. "Saya bela-belain begadang, demi nonton bola. Meski besoknya, telat ke kantor," kata Yusuf, yang berprofesi sebagai copy writer di sebuah perusahaan periklanan di Jakarta. Yusuf bilang, umumnya, komentator kita sering sok tahu. Lalu dia menyebut sebuah nama, cukup terkenal.

Namun menurut Erik Irawan, seorang produser di RCTI, stasiun televisi itu merekrut komentator berdasarkan ulasan-ulasan pertandingan yang mereka tulis di media cetak. Danurwindo, Kusnaeni, Andi Darussalam Tabusala, dan Ronny Pattinasarani adalah sederet nama yang juga tercatat sebagai kolumnis di media cetak.

Sementara Yusuf orang biasa, yang sejujurnya menyatakan masih membutuhkan kehadiran komentator. Suaranya pemirsa bola yang menginginkan sepak bola memiliki arti. Dan para komentatorlah yang semestinya memberi arti sebuah pertandingan sepak bola. Yusuf sering kecewa.

Bola itu bundar. Kalimat ini dulu sering terdengar dari para komentator. Menjadi semacam jurus pamungkas dalam berkomentar. Terutama saat ramalan si komentator meleset. Banyak kritik dialamatkan pemirsa kepada komentator bola Indonesia. Kebanyakan menyangkut isi komentar yang sebetulnya tak perlu mengingat sempitnya durasi bicara. Misalnya, “Bila klub A lemah pertahanannya maka akan mudah bagi klub lawan menciptakan gol.”

"Itu sih anak kecil juga tahu," ujar Barry Sihotang, mantan wartawan olah raga harian Kompas. Saya bertemu Sihotang di sebuah kafe di Senayan, lima hari setelah pertandingan AS Roma melawan Liverpool.

Sihotang datang bersama Kesit Handoyo, wartawan Sinar Harapan, yang juga komentator pemula. Kedua wartawan muda ini juga bekerja untuk Ropan Enterprise, sebuah event organizer yang dikelola jurnalis dan artis, dipimpin Ronny Pangemanan. Perusahaan itu mengorganisasikan acara-acara yang berbau sepak bola. “Komentator sering kali lebih pintar dari Anceloti,” ujar Sihotang memulai perbincangan. Carlo Ancelotti adalah pelatih klub AC Milan di Italia.

"Seharusnya komentator bola itu mengulas apa yang telah dilakukan pelatih. Bukan menggurui,” tandas Sihotang.

"Pembukaan Liga Inggris musim ini saya masih ingat, Bang Ian Situmorang yang jadi komentatornya di TPI. Bang Ian kan sudah tak pernah keep in touch lagi dengan Liga Inggris, dia sudah terbiasa menulis bulutangkis,” ujarnya sengit. Ian Situmorang pemimpin redaksi Bola. Pada lain waktu, Situmorang memang mengatakan lebih paham bulutangkis ketimbang sepak bola.

"Pelatih dan mantan pemain bola Indonesia jarang yang menguasai sepak bola dunia. Terutama karena masalah keterbatasan informasi. Mereka hanya tahu dari media massa yang ada. Dan nggak ada usaha untuk membuka akses informasi lain, seperti internet. Jadi, informasinya terbatas,” kata Kesit Handoyo.

Kesit punya pengalaman menarik. Lima hari sebelum perjumpaan kami di kafe itu, Kesit di RCTI menjadi komentator siaran langsung pertandingan Liga Italia antara Bologna melawan Torino. Dian Purba tampil sebagai pembawa acara tayangan dini hari itu.

Pertandingan itu meraup cukup banyak iklan, hingga mengambil durasi bicara sang komentator. Ketika tiba giliran Kesit bicara, pertandingan hampir dimulai. Sementara Kesit bicara, pertandingan berlangsung. Selesai Kesit bicara, kamera beralih ke lapangan pertandingan. Apa yang terjadi? Pada menit keempat pertandingan, selagi pemirsa menyaksikan komentar Kesit, sebuah gol telah tercipta di gawang Torino.

Pemirsa hanya bisa melihat gol itu dari tayangan ulang. Sangat menjengkelkan. Apalagi itu satu-satunya gol yang terjadi dalam pertandingan 2 Desember 2001 itu. Bukan cuma pemirsa yang kecewa. Kesit yang jadi komentator pun menggerutu. "Profesi komentator tak ubahnya seperti peran pelengkap penderita," kata Kesit.

Semua komentator mengeluhkan soal durasi bicara mereka yang sangat terbatas. Menurut Erik Irawan dari RCTI, dalam suatu pertandingan, paling banyak para komentator punya waktu bicara tak sampai 12 menit, sebelum kick-off babak pertama, pada saat jeda pertandingan, dan usai pertandingan. Durasi terbanyak saat jeda pertandingan. Ini semua karena iklan. Apalagi tayangan Liga Italia harga hak siarnya mahal sekali.

"Komentator harus jadi profesi,” tandas Sihotang. Tapi ini sulit, karena kini bayaran seorang komentator tak mahal, berkisar antara Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta per siaran.

“FANATISME terhadap sebuah tim itu tak boleh ditampakkan komentator di layar televisi," kata Kusnaeni. Komentator bola wajib untuk tidak memihak, secara terang-terangan maupun tersembunyi, pada klub tertentu.

Kusnaeni dan para pembawa acara RCTI sepakat untuk tak membawa kepentingan pribadi, seperti fanatisme terhadap suatu klub, dalam berkomentar. Kendati demikian, menurut Ronny Patinasarani, komentator itu sebenarnya sangat bergantung dengan presenter dalam memancing pertanyaan-pertanyaan.

Suatu kali pertanyaan yang mengarahkan jawaban untuk memihak salah satu kesebelasan terlontar saat tayangan Liga Inggris di TPI. Rico Ceper, sang presenter, kepada Cindy Claudia Harahap, artis yang didaulat menjadi komentator bola dalam pertandingan West Ham melawan Liverpool, bertanya, "Jadi, Anda pegang mana?"

Bagi Ronny Pangemanan, pertanyaan seperti itu untuk menegaskan sikap komentator. "Kita kan tidak selamanya harus netral terus dalam mengomentari," ujarnya.

Pangemanan setuju atas keberpihakkan terhadap salah satu klub. Dia juga, berbeda dengan Kusnaeni, sering meramal hasil pertandingan.

Ramalan hasil pertandingan didengarkan para petaruh. Umumnya, skor menang, seri, atau kalah dalam suatu pertandingan bola dijudikan. Karena itu, pernyataan komentator di antara tayangan langsung sepak bola dijadikan bahan acuan. Bisa jadi, terselip pesan atau kode-kode dari bandar taruhan. Tapi Pangemanan menyatakan itu bukan bagian dari perjudian.

MALAM tahun baru. Tidak ada pertandingan hari itu. Orang-orang bola berkumpul. Puluhan pemain bola Persatuan Sepak Bola Jakarta Timur (Persijatim), sejumlah wartawan, manajer klub dan keluarganya, juga Ronny Pattinasarani datang. Saya diundang Ronny Tanuwijaya ke pesta tahun baru di sebuah hotel di Sunter, Jakarta Utara. Tanuwijaya pengusaha distribusi bahan kimia. Dia pernah jadi manajer klub Indocement, dan banyak tahu tentang taruhan bola. Orang berdialek Surabaya ini baru saja diangkat menjadi manajer klub Persijatim.

“Komentator tak boleh memprediksikan hasil pertandingan. Dalam sepak bola situasi bisa berbalik. Maka sebaiknya komentator hanya mengulas apa yang terjadi di lapangan,” kata Tanuwijaya.

Tanuwijaya memberikan beberapa contoh komentar siaran langsung pertandingan Liga Inggris di TPI, saat komentator meramalkan hasil pertandingan, dan salah. Banyak petaruh, kata Tanuwijaya, tak menyukai ramalan komentator. Tanuwijaya bersahabat dengan Ronny Pattinasarani, mantan bintang sepak bola nasional Indonesia 1970-an. Keduanya gandrung sepak bola. Tanuwijaya kadang diminta Pattinasarani memberikan soccer opinion, sebelum komentator sepak bola itu tampil di televisi. Tanuwijaya memang rajin mengumpulkan informasi seputar klub yang akan bertanding.

Ketika SCTV memutuskan tak meneruskan siaran langsung Liga Inggris, selesai musim kompetisi 2000-2001, Tanuwijaya sempat resah. Sejatinya, dia akan kehilangan tontonan terfavorit.

Dalam perjamuan makan malam itu, saya duduk di sisi kanan Ronny Pattinasarani. "Ada yang bilang, kalau belum pernah ke Inggris, jangan mengomentari sepak bola Inggris. Apa pendapat Anda, Bung?" tanya saya pada Pattinasarani.

“Tak perlu, sebab yang dikomentari permainannya,” jawab Pattinasarani. Baginya, cukup menyaksikan tayangan pertandingan, mengamati permainan di lapangan, dan didukung sejumlah informasi yang diperoleh dari media massa, maka seorang komentator bisa bicara.

Kusnaeni mengungkapkan hal yang sama, kendati untuk memperkaya nuansa komentarnya, dia pernah secara khusus menyaksikan Ronaldo berlatih di Stadion Giussepe Meazza di Milan. Kusnaeni juga menyempatkan mendatangi Stadion Anfield Liverpool, dan beberapa stadion di Eropa. Kenyataannya, tak semua komentator pernah menyaksikan langsung dari tribun penonton jalannya pertandingan sepak bola Liga Italia, Inggris, atau Spanyol. Apalagi menyaksikan bagaimana klub-klub elit Eropa berlatih.

Kebanyakan dari mereka tak pernah tahu di mana letak Stadion Old Trafford di Manchester. Sebagian kecil saja yang pernah memasuki Stadion Anfield Liverpool, Olympico Roma, Giussepe Meazza Milan, dan stadion-stadion internasional lainnya.

Ronny Pangemanan yang telah mengunjungi hampir semua stadion di Eropa Barat tak sependapat dengan Pattinasarani dan Kusnaeni. Menurut Pangemanan, sangat penting pengalaman menyaksikan dari dekat, sebuah klub Eropa berlatih atau pun bertanding di dalam kompetisi profesional mereka. Dengan menonton langsung komentator dapat merekam atmosfer klub itu. Atmosfer inilah yang menarik untuk dijadikan bahan komentar. “Juga supaya tahu, mana pemain yang kaki kirinya lebih kencang dalam menendang bola,” ujar Pangemanan.

Dari kubu Pangemanan, komentator yang berkomentar untuk meramal pertandingan, pengalaman memantau dari dekat klub-klub yang dikomentari merupakan keharusan. Jangan ngomong sepak bola Inggris kalau belum pernah ke Inggris.

Terompet tahun baru dibunyikan. Pattinasarani masih bergabung di meja restoran hotel itu. Berkomentar di televisi, menurut Pattinasarani, bukan sekadar memberikan informasi. Tapi, bagaimana informasi-informasi itu bisa berguna bagi para pemain muda kita. Pattinasarani menganggap audience-nya adalah pemain bola. Asumsi yang boleh jadi salah. Tak semua penonton bola adalah pemain bola. Demikian sebaliknya, tak semua pemain bola suka nonton bola. Contohnya, pemain tim nasional Indonesia untuk pra Piala Dunia. Mereka dilarang tidur pada larut malam. Padahal, pertandingan sepak bola dunia, terutama di Eropa, berlangsung lewat tengah malam. “Paling-paling pertandingan di bawah jam sembilan malam masih saya tonton,” ujar Firman Utina, salah seorang pemain tim nasional Indonesia.

Sejatinya, komentator sepak bola adalah bagian dari bisnis industri tontonan di televisi.*

by:Salahudin Achmad